Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

rumahSeringkali kita melihat di tengah masyarakat terdapat kebiasaan selamatan ketika memasuki rumah baru. Berbagai ritual pun dilakukan baik dengan pembacaan surat tertentu secara jama’i, tahlilan, atau bahkan yang berbau syirik pun ada yang dilakukan. Sudah barang tentu hal ini perlu kita tinjau secara syari’at apakah semacam itu dibenarkan? Semoga pembahasan berikut ini dapat bermanfaat bagi pengunjung sekalian.

Bid’ah dalam Adat Kebiasaan

Bid’ah –yaitu ibadah yang jauh dari tuntunan Islam- biasa kita temukan dalam hal ibadah. Yaitu ibadah tersebut dilakukan dengan tatacara, penetapan waktu, penetapan jumlah dan penetapan tempat tanpa mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah dalam masalah ibadah-lah yang biasa dicela dalam hadits, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Namun sebenarnya adat kebiasaan bisa juga terdapat bid’ah yaitu ketika dalam adat dimasuki amalan tertentu tanpa adanya tuntunan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau adat kebiasaan tersebut dicampuri ibadah dan dilakukan pada waktu atau tempat tertentu tanpa adanya dasar sama sekali. Sebagaimana kita dapat melihat pada perkataan Asy Syatibi rahimahullah yang telah ma’ruf, beliau berkata dalam kitabnya al I’tishom. Bid’ah dalam masalah adat adalah,

طَرِيْقَةٌ فِي الدِّيْنِ مُخْتَرَعَةٍ تُضَاهِي الشَّرْعِيَّةَ يُقْصَدُ بِالسُّلُوْكِ عَلَيْهَا مَا يُقْصَدُ بِالطَّرِيْقَةِ الشَّرْعِيَّةِ

“Suatu jalan dalam agama yang dibuat-buat (tanpa ada dalil) dan menyerupai syari’at (ajaran Islam), yang dimaksudkan ketika melakukan (adat tersebut) adalah sebagaimana niat ketika menjalani syari’at (yaitu untuk mendekatkan diri pada Allah).”[1]

Dari sini kita dapat melihat bahwa jika adat dicampur dengan ibadah yang tidak dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka ini dapat dikatakan bid’ah.

Bid’ah dalam Acara Memasuki Rumah Baru

Sebagaimana ilmu yang kami dapat dari site Syaikh Sholih Al Munajjid “Al Islam Sual wa Jawab” atau “Islam Question and Answer”, beliau -hafizhohullah- menjelaskan demikian,

لا يشرع عند الانتقال إلى مسكن جديد الأذان في أركانه الأربعة ، أو في أي ركن منها ، ولا قراءة سور مخصوصة ، أو تلاوة أوراد معينة ، حيث لا دليل على شيء من ذلك في السنة .

“Tidak disyariatkan ketika seseorang pindah ke kediaman baru untuk adzan di empat tiang rumah atau di salah satunya, tidak disyariatkan pula membaca surat-surat tertentu atau membaca dzikir-dzikir tertentu ketika itu, karena tidak ada dalil dalam sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal tersebut.”[2]

Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah pernah memberikan penjelasan,

ومن البدع : التخصيص بلا دليل ، بقراءة آية ، أو سورة في زمان أو مكان أو لحاجة من الحاجات ، وهكذا قصد التخصيص بلا دليل

“Di antara bid’ah adalah mengkhususkan amalan tertentu tanpa adanya dalil, atau mengkhususkan membaca surat tertentu di waktu, tempat tertentu atau pada hajatan tertentu. Demikianlah niatan mengkhususkan amalan tertentu tanpa adanya dalil.”[3]

Jika seseorang membaca Al Qur’an -khususnya surat Al Baqarah- di rumah dengan tujuan untuk mengusir setan, maka itu tidaklah mengapa, namun hal ini tidak dikhususkan ketika memasuki rumah baru. Dalil anjuran untuk membaca surat Al Baqarah adalah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنَ الْبَيْتِ الَّذِى تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Janganlah menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan. Sesungguhnya setan akan lari dari suatu rumah yang dibacakan di dalamnya surat Al Baqarah” (HR. Muslim no. 780). Namun ingat, hadits ini bukan memaksudkan untuk memasuki rumah baru. Jika kita ingin mengkhususkan membaca surat Al Baqarah atau surat lainnya ketika memasuki rumah baru, maka sudah barang tentu harus butuh dalil. Sedangkan tidak ada satu pun dalil yang menunjukkan adanya bacaan surat tertentu ketika itu. Karena suatu amalan tidaklah diterima kecuali dengan mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bagaimana dengan Acara Makan-Makan Sebagai Tanda Syukur Ketika Memasuki Rumah Baru?

Adapun untuk acara makan-makan (diistilahkan dengan walimahan[4]) dalam rangka syukur, maka ini tidak ada masalah karena acara makan-makan bukanlah masuk dalam kategori ibadah mahdhoh (ibadah murni), beda halnya dengan shalat dan membaca al Qur’an. Acara makan-makan semacam ini juga dapat memupuk ukhuwah antar tetangga dan sesama muslim, serta dapat berbagi kebahagiaan ketika itu.

Disebutkan dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,

الْوَلِيمَةُ لِلْبِنَاءِ مُسْتَحَبَّةٌ ، كَبَقِيَّةِ الْوَلاَئِمِ الَّتِي تُقَامُ لِحُدُوثِ سُرُورٍ أَوِ انْدِفَاعِ شَرٍّ

“Acara makan-makan untuk rumah baru itu dianjurkan sebagaimana walimah (acara makan-makan) lainnya (seperti pada pernikahan) yang di mana walimahan tersebut dilakukan untuk berbagi kebahagiaan atau menghilangkan suatu bahaya (rasa tidak senang dari lainnya).”[5]

Namun perlu diberi catatann penting di sini, bahwa acara makan-makan ini bukanlah dimaksudkan untuk mendatangkan keselamatan bagi penghuni rumah atau bukan untuk mendatangkan keberkahan. Acara makan-makan ini dilakukan hanya sebagai tanda syukur atas adanya kediaman baru tersebut.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah pernah ditanya mengenai sembelihan yang dilakukan untuk menyelesaikan pembangunan rumah. Beliau rahimahullah menjawab,

“Hal ini butuh perincian. Jika sembelihan tadi dimaksudkan untuk mengusir jin atau untuk maksud lain dari si pemilik rumah, yaitu diyakini bahwa sembelihah ini dapat mendapatkan keselamatan demikian dan demikian, maka seperti ini tentu saja tidak dibolehkan, hal ini termasuk bid’ah. Jika sembelihan tersebut disembahkan kepada jin, maka ini bisa jadi syirik akbar karena termasuk menyerahkan suatu ibadah kepada selain Allah.

Adapun jika sembelihan tersebut dilakukan dalam rangka syukur atas nikmat Allah karena telah dimudahkan dalam pembangunan rumah, lalu si pemilik rumah mengundang kerabat, tetangga untuk makan-makan, maka seperti ini tidaklah mengapa. Inilah yang seringkali dilakukan oleh kebanyakan orang. Mereka bersyukur atas nikmat Allah karena Dia telah memberikan kemudahan untuk memiliki rumah baru tanpa mesti menyewa lagi. Semisal hal ini adalah ketika seseorang mengajak kerabat dan tetangganya selepas pulang dari perjelanan jauh. Ia mengundang mereka untuk bersyukur pada Allah atas nikmat keselamatan yang diberikan selama perjalanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah melakukan hal serupa. Ketika beliau pulang dari safar (perjalanan jauh), beliau menyembelih hewan dan mengundang yang lainnya untuk menikmati sembelihan tersebut.”[6]

Syaikh Sholih Al Fauzan hafizhohullah menerangkan,

“Tidak mengapa melakukan acara makan-makan ketika ingin memasuki rumah baru yaitu dengan mengundang sahabat dan kerabat karena seperti ini adalah dalam rangka berbagi kebahagiaan. Namun jika acara ini dilaksanakan dengan keyakinan dapat mengusir jin, maka ini yang tidak dibolehkan. Ini adalah keyakinan syirik dan pemahaman yang rusak. Jika acara makan-makan semacam ini hanyalah adat kebiasaan, maka hukum asalnya tidak mengapa.”[7]

Penutup

Intinya, hendaklah pemilik rumah baru bersyukur pada Allah atas kediaman baru yang ia peroleh. Jadikanlah rumah baru tersebut sebagai ladang kebaikan dan ibadah serta tempat berdzikir pada Allah. Janganlah jadikan tempat tersebut sebagai tempat kehancuran karena diisi dengan maksiat. Lakukanlah hal-hal di kediaman baru tersebut yang bisa mendatangkan ridho Allah dan di sini tidak perlu dikhususkan dengan amalan tertentu (do’a bersama, bacaan surat, tahlil, dzikir atau wiridan tertentu) ketika ingin memasukinya. Namun ada amalan shalat yang bisa dilakukan ketika ingin memasuki rumah, yaitu shalat dua raka’at. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih,

إِذَا خَرَجْتَ مِنْ مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَخْرَجِ السُّوْءِ وَإِذَا دَخَلْتَ إِلَى مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَدْخَلِ السُّوْءِ

Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.” (HR. Al Bazzar, hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 1323)

Shalat dua raka’at ketika memasuki atau keluar rumah berlaku setiap saat, bukan hanya ketika memasuki rumah baru. Shalat ini bisa dilakukan dengan satu niat dengan shalat rawatib atau shalat sunnah lainnya. Karena yang dimaksud hadits di atas, lakukanlah shalat dua raka’at –apa saja- ketika memasuki atau keluar dari rumah.

Selain itu, semoga Allah menjadikan rumah tersebut dijadikan rumah yang berkah. Setiap harinya, isilah dengan memperbanyak tilawah Al Qur’an (secara lafazh atau makna melalui kitab tafsir), perbanyaklah shalat sunnah dan bacaan dzikir di dalamnya. Rumah yang berkah adalah yang selalu diisi dengan ibadah. Semoga Allah selalu memberkahi. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Panggang-GK, 29 Jumadits Tsani 1431 H (12/06/2010)

Artikel www.rumaysho.com

Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Al I’tishom, 1/26, Asy Syamilah
[2] Mawqi’ Al Islam Sual wa Jawab, Syaikh Sholih Al Munajjid, Fatawa no. 148863, http://islamqa.com/ar/ref/148863
[3] Bid’ah Al Qiro’ah, hal. 14.
[4] Perlu diketahui bahwa yang dimaksud walimahan adalah makan-makan dan bukan yang dimaksud terbatas hanya pada acara pernikahan.
[5] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 8/207.
[6] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 5/388.
[7] Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan, 16/94.