Mayoritas kaum muslimin yang berada di berbagai belahan negeri Islam menisbatkan aqidah mereka kepada Abul Hasan Al-Asy'ary. Namun sangat disayangkan, mereka tidak mengenal sedikitpun tentang Abul Hasan dan juga tidak mengetahui aqidah terakhir yang beliau yakini yang menjadikan diri beliau termasuk dalam deretan imam-imam yang menjadi panutan. Kami ingin menerangkan kepada mereka hakikat sebenarnya tentang imam yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang-orang yang menisbatkan diri mereka kepada beliau dan berpegang dengan aqidah beliau berdasarkan literatur muktabar yang telah diteliti.
Imam Abul Hasan Al-Asy'ary datang ke kota Baghdad dan mengambil hadits dari Al-Hafizh Zakariya bin Yahya As-Saajy [Salah seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal] salah seorang imam hadits dan fiqh, dari Abi Khalifah Al-Jumahi, Sahl bin Sarh, Muhammad bin Ya'qub al-Muqry dan Abdurrahman bin Khalaf Al-Bashry. Beliau banyak meriwayatkan dari mereka dalam kitab tafsir beliau berjudul Al-Mukhtazin. Beliau juga mengambil ilmu kalam dari gurunya yaitu suami ibunya yang bernama Abi Ali Al-Jubba'i, salah seorang tokoh Mu'tazilah.
Abu Bakar Ahmad bin Ali bin Tsabit yang dikenal dengan sebutan Al-Khathib Al-Baghdady wafat tahun 463 H dalam tarikhnya yang terkenal, tarikh al Baghdadi juz 10 halaman 346 berkata, "Abul Hasan Al-Asy'ary adalah pemilik berbagai kitab yang membantah kaum mulhid dan lain-lainnya dari kalangan Mu'tazilah, Rafidhah, Jahmiyah, Khawarij dan berbagai kelompok bid'ah lainnya.".... kemudian beliau mengatakan, "Pada waktu itu kaum Mu'tazilah sedang berjaya hingga Alloh Subhanahu Wa Ta'ala memunculkan Abul Hasan Al-Asy'ary yang akhirnya menghujat mereka hingga tak berkutik."
Ibnu Farhun berkata dalam kitab Ad-Dibaj, "Abu Muhammad bin Abi Zaid Al-Qiruwany dan imam-imam lainnya memberi pujian terhadap Abul Hasan Al-Asy'ary."
Selengkapnya: Al Ibanah : Kupas Tuntas Penyimpangan Aqidah Al Asy'ariyah
Di samping sebagai perantara antara diri-Nya dengan hamba-hamba-Nya, dengan rahmat dan pertolongan-Nya, Allah Subhanahu wa Ta'ala juga menjadikan para ulama sebagai pewaris perbendaharaan ilmu agama. Sehingga, ilmu syariat terus terpelihara kemurniannya sebagaimana awalnya. Oleh karena itu, kematian salah seorang dari mereka mengakibatkan terbukanya fitnah besar bagi muslimin.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya yang diriwayatkan Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, katanya: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعاً يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِباَدِ، وَلَكِنْ بِقَبْضِ الْعُلَماَءِ.
حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عاَلِماً اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوْساً جُهَّالاً فَسُأِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabutnya dengan diwafatkannya para ulama sehingga jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun, maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Bukhari no. 100 dan Muslim no. 2673)
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah mengatakan: Asy-Sya’bi berkata: “Tidak akan terjadi hari kiamat sampai ilmu menjadi satu bentuk kejahilan dan kejahilan itu merupakan suatu ilmu. Ini semua termasuk dari terbaliknya gambaran kebenaran (kenyataan) di akhir zaman dan terbaliknya semua urusan.”
Di dalam Shahih Al-Hakim diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr secara marfu’ (riwayatnya sampai kepada Rasulullah): “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda datangnya hari kiamat adalah direndahkannya para ulama dan diangkatnya orang jahat.” (Jami’ul Ulum wal Hikam, hal. 60)
"Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku sholat" [HR. Bukhari dari Kitabul Adzan]
1. Shalat dengan mengenakan baju ketat sehingga menggambarkan lekuk tubuh
Rasulullah ketika melihat Jabir bin Abdullah datang kepadanya malam hari lalu dia sholat malam bersamanya, sedangkan waktu itu dia hanya menyelimutkan pakaian yang sempit sehingga membentuk semua tubuhnya, beliau menasehati : "Jika pakaian itu sempit, jadikanlah sarung (ikatkan kainmu mulai diatas perut sampai ke bawah), jika kainmu luas sekali, maka selimutkan ke seluruh anggota badan." [HR. Bukhari dalam Kitabus Sholat]
Imam Syafi'i berkata : "Jika orang sholat memakai baju tipis sehingga kelihatan kulitnya, maka tidak sah sholatnya." [Kitab Al-Umm 1/78]
Syaikh al-Albaniy berkata bahwa celana ketat itu mendatangkan dua macam musibah:
Musibah pertama, bahwa orang yang memakainya menyerupai orang-orang kafir. Sedangkan Kaum Muslim memang memakai celana, akan tetapi model celana yang lebar dan longgar. Ummat Islam baru mengenal celana ketat setelah mereka dijajah bangsa eropa. Pengaruh buruk itulah yang diwariskan oleh kaum penjajah kepada ummat Islam. Akan tetapi karena kebodohan ummat Islam sendiri, mereka mengambil tradisi buruk tersebut.
Musibah kedua, celana ketat menyebabkan bentuk aurat terlihat dengan jelas. Memang benar bahwa aurat pria adalah anggota badan antara pusar dan lutut. Namun seorang hamba yang sedang melakukan shalat dituntut untuk berbuat lebih dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh syariat (dalam masalah busana ini, lihat Al Qur’an Surah 7:31-pen-). Tidak pantas dia melakukan maksiat kepada ALLAH ketika sedang sujud bersimpuh di hadapan-Nya. Ketika dia mengenakan celana ketat, maka kedua pantatnya akan terbentuk dengan jelas. Bahkan lebih dari itu, bagian tubuh yang membelah keduanya juga terlihat nyata !
Komite Tetap Pembahasan Masalah ‘Ilmiyyah dan fatwa Saudi Arabia (semacam MUI di Indonesia -pen-) menjawab pertanyaan mengenai hukum Islam tentang shalat memakai celana. Jawaban yang dirumuskan adalah sebagai berikut: “Jika pakaian tersebut tidak menyebabkan aurat terbentuk dengan jelas, karena modelnya longgar dan tidak bersifat transparan sehingga anggota aurat tidak bisa dilihat dari arah belakang, maka boleh dipakai ketika shalat. Namun apabila busana itu terbuat dari bahan yang tipis sehingga memungkinkan aurat yang memakai dilihat dari belakang, maka shalat yang dikerjakan batal hukumnya. Jika sifat busana yang dipakai hanya mempertajam atau memperjelas bentuk aurat saja, maka makruh mengenakan busana tersebut ketika shalat. Terkecuali jika tidak ada busana lain yang dapat dikenakan. Wa billahi al taufiq.
Halaman 157 dari 211