Belum lama berlalu, kaum muslimin berada di bulan yang penuh barakah. Bulan yang kaum muslimin berpuasa di siang harinya dan shalat tarawih di malam harinya. Bulan yang kaum muslimin mengisinya dengan berbagai amal ketaatan. Kini, bulan itu telah berlalu. Dan akan menjadi saksi di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala perbuatan yang dilakukan oleh setiap orang di bulan tersebut. Baik yang berupa amalan ketaatan maupun perbuatan maksiat. Maka sekarang tidak ada lagi yang tersisa dari bulan tersebut kecuali apa yang telah disimpan pada catatan amalan yang akan diperlihatkan pada hari akhir nanti.
Oleh karena itu, orang yang mau berpikir tentu akan melihat pada dirinya. Apa yang telah dilakukan selama bulan Ramadhan? Sudahkah dia memanfaatkannya untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya? Ataukah kemaksiatan yang dilakukan sebelum Ramadhan masih berlanjut meskipun bertemu dengan bulan yang penuh ampunan tersebut? Jika demikian halnya, dia terancam dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانُ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ
“Dan rugilah orang yang bertemu dengan bulan Ramadhan namun belum mendapatkan ampunan ketika berpisah dengannya.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, beliau mengatakan hadits hasan gharib).
Imam Ibnul Qayyim dalam Kitabal-Fawaa’id menjelaskan syarat untuk mendapatkan pengaruh dan mukjizat Qur’an ada empat:
Pertama, Muatsir Muqtadhin [arab: مؤثر مقتض]: Sumbernya adalah sumber otentik yang mengandung kebenaran.
Kedua, Mahalun Qobil [arab: محل قابل]: Adanya hati yang hidup dan siap menerima petunjuk Qur’an [kelayakan objek yang menerima pengaruh].
Ketiga, Ishghois Sam'i [arab: إصغاء السمع] Pendengarannya Normal [tidak tertutup]. Yaitu terpenuhinya syarat sampainya petunjuk.
Keempat, Syaahidul Qolbi [arab: شاهد القلب] Hadirnya persaksian hati atau tidak adanya ‘dinding’ yang menghalangi sampainya petunjuk tersebut [عدم المانع].
Keseluruhan syarat ini dirangkum secara padat dalam ayat 37 Surah Qaaf. Allah ta'aala berfirman:
إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَذِكْرَىٰ لِمَنْ كَانَ لَهُ قَلْبٌ أَوْ أَلْقَى السَّمْعَ وَهُوَ شَهِيدٌ
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang menggunakan pendengarannya, sedang dia menyaksikannya.
Oleh Ustadz Aunur Rofiq Ghufron,lc Hafidzahullah
Setiap orang pasti ingin hidup bahagia selamanya, baik dunia dan akhiratnya, namun manusia berbeda pendapat didalam meraih kebahagiaan, ada kalanya dengan mencari harta yang banyak, mencari hiburan dan cara lainnya, sedangkan kebahagiaan menurut islam ditempuh dengan ibadah dan istiqomah
Allah memerintah kita ibadah hanya sebentar , yaitu ketika kita hidup di dunia, umur antara 60-70 tahun, tidak lama
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
...dan beribadahlah kepada Robbmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal). [QS. Al Hijer(15) ayat 99].
Dengan dasar ayat ini, kita tidak lama beribadah kepada Allah yang berupa melaksanakan perintahnya dan meninggalkan larangannya, sungguh sangat sedikit dan pendek umur kita di dunia kita beribadah kepada Allah, karena orang ketika sudah mati tidaklah diwajibkan beribadah lagi, Rasulullah bersabda :
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ
Apabila seseorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya {Muslim: 5/73}
Selanjutnya beribadah kepada Allah, sangat mudah dikerjakan, perhatikan orang shalat lebih mudah dari pada mencari rezki, yang tidak bisa berdiri boleh duduk, masih sulit mencari dunia, belum tentu orang yang berjuang menjadi orang kaya dia kaya, tetapi siapa yang ingin sorga jalannya mudah.