ETIKA TIDUR DAN BEPERGIAN
٦۰ - äóåìٰ Úóäö ÇáúæóÍúÏóÉö : Çóäú íóÈöíúÊó
ÇáÑøóÌõáõ æóÍúÏóåõ ¡ ÇóæúíõÓóÇÝöÑó æóÍúÏóåõ
“Rasulullah r
melarang
sendirian, artinya tidur seorang diri dan pergi seorang diri.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad (2/9), dari Ashim bin Muhammad, dari ayahnya dari Ibnu Umar secara
marfu’.
Saya berpendapat
sanad ini shahih, sesuai dengan criteria Bukhari. Sedangkan perawi-perawinya juga
tsiqah dan dipakai oleh Bukhari-Muslim, kecuali Abu Ubaidah Al-Haddad, yang nama aslinya Abdul Wahid bin Washil. Perawi
yang disebutkan terakhir ini hanya dipakai oleh Imam Bukhari. Ia seorang perawi tsiqah. Sedang Ashim bin Muhammad adalah
putera Zaid bin Umar bin Khattab Al-Umari. Ia
meriwayatkan dari Ubadalah (sahabat yang nama aslinya Abdullah, tetapi berbeda
nama orang tuanya) yang empat, di antaranya Abdullah bin Umar.
Hadits ini juga disebutkan di dalam Al-Mujma’
(8/104) dan diberi komentar: “Hadits itu diriwayatkan oleh Imam Ahmad, sedang
perawi-perawinya shahih.”
Beberapa ulama
juga meriwayatkan hadits tersebut dari Ashim dengan redaksi yang berbeda.
٦١ - áóæúíóÚúáóãõ ÇáäøóÇÓõ
Ýöì ÇáúæóÍúÏóÉö ãóÇ ÇóÚúáóãõ ãóÇÓóÇÑóÑóÇßöÈñ Èöáóíúáò æóÍúÏóåõ – ÇóÈóÏð - .
“Seandainya manusia mengetahui
bahaya yang aku ketahui, maka tak akan ada orang yang berjalan sendirian di
waktu malam.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (2/247), At-Tirmdizi (1/314), Ad-Darimi (2/289), Ibnu Majah (3768),
Ibnu Hibban di dalam kitab shaihnya (Mawarid, 1970), Imam Hakim (2/101),
Imam Ahmad (2/23,24,86,120), Al-Baihaqi (5/257), dan Ibnu Asakir (8/89/2)
melalui jalur Ashim bin Muhammad bin Zaid bin Abdullah bin Umar dari ayahnya,
dari Ibnu Umar secara marfu’.
Al Hakim berkomentar: “Hadits ini
shahih sanadnya.” Sedangkan Adz-Dzahabi juga sependapat
dengan peniliaian ini. Sementara Imam Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini
hasan shahih (tidak jelas antara hasan atau shahih), dan hanya saya ketahu dari
Ashim.”
Saya berpendapat hadits ini
sebenarnya diperkuat oleh saudaranya, Umar bin Muhammad. Imam Ahmad juga
mengatakan (2/111-112): Telah meriwayatkan kepada kami Mu’ammal, ia berkata: Telah meriwayatkan kepada kami Umar bin
Muhammad. Di tempat lain ia berkata: “Telah
meriwayatkan kepada kamu Mu’ammal tanpa menyebut dari Ibnu Umar.”
Hadits ini memiliki syahid yang
diriwayatkan oleh Jabir dengan tambahan: “Dan tidak akan ada seseorang yang
tidur di rumah seorang diri.”
Al-haitsami di
dalam Al-Mujma’ (8/104) berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath. Di dalamnya terdapat Muhammad bin Al-Qasim Al-Asadi
yang dinilai tsiqah oleh Ibnu Ma’in dan dianggap dha’if oleh Imam Ahmad dan
Imam yang lain. Sedangkan perawi-perawi lainnya tsiqah.
Saya melihat, bahwa mengenai
Al-Asadi ini, Al-hafizh Ibnu Hajar di dalam At-Taqrib menjelaskan:
“Mereka menilainya kadzib (pembohong). Oleh karena itu
tidak bisa dipergunakan untuk memperkuat hadits itu.”
Tambahan ini
berlaku pada beberapa hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, yaitu hadits
sebelumnya. Dan hadits itulah yang dipegangi.
٦٢ - ÇóáÑøÇßöÈõ ÔóíúØóÇäñ ÇóáÑøóÇßöÈóÇäö
ÔóíúØóÇäóÇäö æóÇáËøóáÇó ËóÉõ ÑóßúÈñ .
“Satu orang yang
berjalan adalah durhaka. Dua orang yang berjalan adalah durhaka.
Tiga orang yang berjalan satu kafilah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Malik (2/978/35), Abu Dawud darinya (2807), demikian pula At-Tirmidzi (2/186, 214), Al-Hakim (2/102),
Al-Baihaqi (5/267) dan Imam Ahmad (2/186,214)
melalui jalur Amer bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya secara marfu’.
Sebab wurud hadits itu sebagaimana
disebutkan di dalam Al-Mustadrak dan disebutkan pula oleh Al-Baihaqi:
Dia menajawab: “Tak ada seorangpun
yang menemaniku.”
Rasulullah r bersabda: (Kemudian perawi
menyebutkan sabda Nabi SAW di atas).
Imam Hakim berkomentar: “Hadits ini
shahih sanadnya.” Adz-Dzahabi sependapat dengan penilaian
ini. Sedangkan At-Tirmidzi menilai: “Hadits ini hasan.:
Saya berpendapat sanadnya hasan,
sebab masih ada perawi yang diperselisihkan statusnya, yaitu Amer bin Syu’aib
yang mendapatkan hadits dari ayahnya yang mengutip dari kakeknya. Dengan demikian diakui bahwa hadits ini adalah hasan. Penjelasannya bisa dilihat di dalam Shahih Abu Dawud (hadits
no. 124).
Hadits ini
mengandung pengharaman berjalan sendirian. Demikian pula jika ada seorang
teman. Sabda Nabi r: Syaithan berarti ashin (orang yang berdurhaka), sebagaimana
firman Allah: “manusia dan jin yang durhaka”,
seperti dikatakan oleh Al-Mundziri. Imam Ath-Thabrani dalam hal ini berkata:
“Hal ini
semata-mata hanya tuntunan etis, karena orang yang berjalan sendiri
kadang-kadang merasa gelisah. Jadi tidak menunjukkan diharamkannya
perbuatan itu. Orang yang berjalan seorang diri di gurun atau
Saya berpendapat,
kemungkinan yang dimaksudkan oleh Al-Hadits adalah berjalan seorang diri (atau
berdua) di tengah belantara atau di tengah gurun yang jarang dijumpai adanya
manusia. Dengan demikian perjalanan seseorang pada zaman sekarang ini yang
penuh dengan keramaian tidak masuk di dalam hadits tersebut. Apalagi sarana transportasi sudah tidak sedikit lagi.
Hadits ini juga mengandung penolakan
terhadap sikap kaum sufistik yang suka keluar di
٦٣ - ÊóÈóÇ íóÚõæúäöìú Úóáóì ÇáÓøóãúÚö
æóÇáØøóÇÚóÉö Ýöì ÇáäøöÔóÇØö æóÇáúßóÓóáö æóÇáäøóÝóÞóÉö Ýöì ÇáúÚõÓúÑö æóÇáúíõÓúÑö
¡ æóÚóáóì úáÇóãúÑö ÈöÇáúãóÚúÑõæúÝö æóÇáäøóåúìö Úóäö ÇáúãõäúßóÑö ¡ æóÇóäú
ÊóßõæúáõæúÇ Ýöì Çﷲö ¡ áÇóÊóÎóÇÝõæúäó Ýö ÇﷲöáóæúãóÉó áÇóÁöãò ¡
æóÚóáìٰ Çóäú ÊóäúÓõÑõæúäöìú ¡ ÝóÊóãúäóÚõæúäöìú ÇöÐó ÞóÏöãúÊõ Úóáóíúßõãú
ãöãøóÇ ÊóãúäóÚõæúäó ãöäúåõ ÇóäúÝõÓõßõãú æóÇóÒúæóÇÌõßõãú æóÇóÈúäóÇÁõßõãú
æóáóßõãõ ÇáúÌóäøóÉõ
“Berbaiatlah kepadaku untuk selalu
mendengar (tunduk) dan taat, baik ketika sedang bersemangat atau lesu; dan
selalu memberikan najhah baik ketika dalam kesulitan maupun dalam keadaan
lapang, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, tidak takut
terhadap bagaimana tanggapan orang lain ketika berbakti kepada Allah; dan
senantiasalah membantuku, janganlah yang menolak ketika aku datang dengan suatu
kepentingan untuk kalian sendiri, isteri kalian dan anak kalian enggan
menerimanya padahal; untuk kalian adalah surga (jika menerimanya).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Ahmad (3/322, 323-339) dari beberapa jalur, dari Abdullah bin Utsman bin
Khaitsam dari Abuz-Zubair Muhammad bin Muslim, bahwa ia
meriwayatkannya dari Jabir, ia berkata:
“Rasulullah r berada di Makkah selama sepuluh
tahun. Beliau
melakukan pendekatan kepada masyarakat dengan mendatangi rumah-rumah mereka, di
pasar, maupun di tempat-tempat lain. Beliau berkata: “Siapa yang akan
mengikutiku? Siapa yang mau membantuku sehingga aku dapat
menyampaikan risalah dengan baik? Sungguh ia akan
mendapatkan surga.” Kemudian berduyun-duyun orang dari
Yaman dan Madhar. Mereka berkata: “Hati-hatilah dengan pemuda dari
Quraisy ini, jangan sampai engaku terperdaya olehnya.” Nabi r tetap berjalan di antara rumah
mereka. Mereka menunjuki Nabi r dengan jari mereka. Kemudian
kami diperintahkan oleh Allah untuk memulai dakwah dari Yatsrib. Beberapa saat kemudian kami kesana dan mulanya ada seseorang yang
menyatakan dirinya masuk Islam. Nabi r membacakan Al-Qur’an kepadanya.
Kemudian anggota keluarganya pun banyak yang masuk Islam
karenanya, dan hal ini terus berkembang hingga Islam menjadi agama yang tidak
asing lagi. Singkat cerita tatkala kami meninggalkan
Rasulullah r seorang diri di
pegunungan Makkan, beliau merasa khawatir. Lalu kami,
sekitar tujuh puluh ribu orang, menghadap beliau pada suatu musim. Kami sepakat untuk berkumpul di lereng Aqabah. Satu persatu kami menghadap beliau. Lalu kami berkata:
“Wahai Rasul, kami ingin berbai’at kepadamu.” Beliau menjawab: (perawi
menyebutkan sabdanya di atas).
Jabir melanjutkan penuturannya:
“Kemudian kami berdiri di hadapan beliau untuk berbai’at bersama. Nabi r memegang
tangan Ibnu Zurarah, seorang yang paling muda di antara kami. Lalu Zurarah
berseru: “Tunggu wahai penduduk Yatsrib, saya tidak berbohong, sungguh beliau
ini adalah Rasul Allah, dan beliau keluar (kemari) adalah karena ingin
memisahkan diri dari seluruh penduduk Makkah, berperang melawan
pembesar-pembesar mereka dan senantiasa memanggul senjata. Adakalanya
kalian akan bersabar melakukan semua itu dan Allah-lah yang akan memberikan
balasannya kepada kalian; ada kalanya kalian akan merasa takut melakukannya,
yang merupakan alasan bagi Allah I
untuk tidak memberikan pahala kepada kalian.” Mereka berkata: “Maafkan
kami wahai Sa’d, kami tidak akan meninggalkan bai’at ini dan tidak akan
melepaskannya sampai kapan pun.” Setelah kami berbai’at, Nabi
r menjanjikan surga sebagai
balasan dari Allah I.”
Saya berpendapat,
sanad hadits ini sesuai dengan syarat (kriteria) yang ditentukan oleh Muslim. Akan tetapi Ibnu
Zubair mempertanyakan sebagian sanad hadits itu. Sedang Ibnu Katsir
dalam tarikhnya Al-Bidayah wan-Nihayah (3/159-160) menjelaskan:
“Hadits ini
diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ahmad. Sanadnya bagus sesuai dengan
kriteria Muslim. Tetapi para ulama tidak
mentakhrijnya.”
Di dalam Mustadrak
(2/624-625) saya melihat penilaian yang senada: “Hadits ini shahih sanadnya dan
mencakup secara tuntas tentang bai’at Al-‘Aqabah.” Adz-Dzahabi
juga sependapat dengan peniliain ini. Ia
meriwayatkan bagian akhir hadits dari jalur lain bersumber dari Jabir dan
berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan kriteria Imam Muslim.”
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |