Tanya: Aku adalah seorang pemuda. Aku punya hobi main internet dan ngobrol (chatting). Aku hampir tidak pernah chatting dengan cewek. Jika terpaksa aku chatting dengan cewek maka aku tidaklah berbicara kecuali dalam hal yang baik-baik.
Kurang dari setahun yang lewat ada seorang gadis yang mengajak aku chatting lalu meminta no hp-ku. Aku katakan bahwa aku tidak mau menggunakan hp dan aku tidak ingin membuat Allah murka kepadaku.
Dia lalu mengatakan, “Engkau adalah seorang pemuda yang sopan dan berakhlak mulia. Aku akan bahagia jika kita bisa berkomunikasi secara langsung”. Kukatakan kepadanya, “Maaf aku tidak mau menggunakan HP”. Kemudian dia berkata dengan nada kesal, “Terserah kamulah”.
Selama beberapa bulan kami hanya berhubungan melalui chatting. Suatu ketika dia mengatakan, “Aku ingin no HP-mu”. “Bukankah dulu sudah pernah kukatakan kepadamu bahwa aku tidak mau menggunakan HP”, jawabku. Dia lalu berjanji tidak akan menghubungiku kecuali ada hal yang mendesak. Kalau demikian aku sepakat.
Setelah itu selama tiga bulan dia tidak pernah menghubungiku. Akupun berdoa agar Allah menjadikannya bersama hamba-hambaNya yang shalih.
Setiap orang pasti senang untuk melakukan amalan sedekah. Bahkan kita pun diperintahkan setiap harinya untuk bersedekah dengan seluruh persendian. Ternyata ada suatu amalan yang bisa menggantikan amalan sedekah tersebut yaitu shalat dhuha. Simak saja pembahasan berikut ini.
Keutamaan Shalat Dhuha
Di antara keutamaannya, shalat Dhuha dapat menggantikah kewajiban sedekah seluruh persendian
Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,
يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ
وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى
“Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.”[1]
Orang yang pertama kali didaulat oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menjadi utusanNya adalah Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau menyampaikan fatwanya berdasarkan wahyu. Beliau adalah sebagai Hakim, dan fatwanya wajib diikuti, dilaksanakan dan dijadikan pondasi kehidupan setelah Al Qur’an. Akan tetapi dalam menanggapi persoalan umat yang beragam, perbedaan pendapat seringkali tak terelakan. Jika hal tersebut pada akhirnya terjadi, Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hambaNya agar mengembalikan urusan tersebut kepada-Nya dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya)” [An Nisaa: 59]
Ilustrasi di atas menggambarkan betapa mulianya orang-orang yang mendapat “rekomendasi” dari Rabbnya untuk menyampaikan ajaran-Nya.
Dalam konteks pembahasan buku ini, mereka itu disebut sebagai “I’lamul Muwaqi’in ‘an rabbul ‘alamiin“, yakni orang-orang yang menyampaikan syari’at Allah Rabb seru sekalian alam. Dalam perkembangannya kemudian mereka disebut “mufti” atau “pemberi fatwa“. Mufti di sini berkedudukan sebagai “pemegang kebijakan yang memiliki otoritas memutuskan hukum suatu perkara. Karena itulah mereka diletakkan pada “bingkai para mufti” yang dapat mencegah mereka dari keputusan yang salah. Sebab keputusan mufti berlaku bagi setiap orang dan dimana saja, meski terkadang dapat dilaksanakan dan dapat pula ditinggalkan.
Sedangkan keputusan hakim hanya berlaku bagi tedakwa dan harus dilaksanakan. Dengan demikian baik mufti maupun hakim dihadapkan pada bahaya (ancaman) besar dan pahala besar pula. Keduanya laksana orang yang berdiri dengan kaki kiri di neraka dan kaki kanan di surga.
Selengkapnya: E-book: I’lamul Muwaqi’in - Panduan Hukum Islam
Halaman 136 dari 200