Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

Segala puji bagi Allah, salawat dan salam semoga selalu ter­lim­pah kepada Rasulullah. Amma ba’du.

pena_copySeorang penun­tut ilmu, tentu tidak meng­inginkan ilmunya hilang begitu saja tanpa bekas. Ter­lebih lagi, jika yang hilang itu adalah keber­kahan ilmunya. Alias ilmu yang dipelajarinya tidak menam­bah dekat dengan Allah ta’ala, namun jus­tru sebalik­nya, wal ‘iyadzu billah

Tidak sedikit, kita jum­pai para penun­tut ilmu syar’i yang ber­usaha untuk meng­kaji kitab para ulama, bahkan ber­majelis dengan para ulama dalam rangka menyerap ilmu dan arahan mereka. Tentu saja, per­kara ini adalah sesuatu yang sangat-sangat harus kita syukuri. Karena dengan kokoh­nya ilmu dalam diri setiap pribadi mus­lim, niscaya agamanya akan ter­topang lan­dasan yang kuat. Sering kita dengar, ucapan yang sangat populer dari seorang Imam, Amirul Muk­minin dalam bidang hadits, Muham­mad bin Isma’il al-Bukhari rahimahullah di dalam Kitab Shahih­nya yang menegaskan, “Ilmu sebelum ucapan dan perbuatan.”

Begitu pula, per­kataan Imam Ahlus Sun­nah di masanya Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang sangat ter­kenal, “Umat manusia sangat mem­butuhkan ilmu jauh lebih banyak daripada kebutuhan mereka ter­hadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman dibutuhkan dalam sehari cukup sekali atau dua kali. Adapun ilmu, maka ia dibutuhkan sebanyak hem­busan nafas.” (lihat al-’Ilmu, fadh­luhu wa syarafuhu, tahqiq Syaikh Ali al-Halabi hafizhahullah).

Akan tetapi…, tat­kala ilmu yang dikaji, dihafalkan, dan didalami itu tidak sam­pai meresap serta ter­tan­cap kuat ke dalam lubuk hati, maka jus­tru musibah dan ben­cana yang ditemui. Tidak­kah kita ingat ung­kapan emas para ulama salaf yang menyatakan, “Orang-orang yang rusak di antara ahli ilmu kita, maka pada dirinya ter­dapat kemiripan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka pada dirinya ter­dapat kemiripan dengan Nas­rani.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id min Surah al-Fatihah oleh Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah). Apa yang mereka katakan adalah kenyataan yang amat sering kita jum­pai. Itu bukanlah dongeng atau cerita fiksi.

Saudaraku, semoga Allah men­jaga diriku dan dirimu… Masih ter­simpan dalam ingatan kita, doa yang sepan­jang hari kita pan­jatkan kepada Allah, “Ya Allah, tun­jukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan­nya orang-orang yang Eng­kau ber­ikan nik­mat atas mereka, dan bukan jalan­nya orang-orang yang dimur­kai (Yahudi) dan bukan pula orang-orang yang sesat (Nas­rani).” Inilah doa yang sangat ring­kas namun penuh dengan arti. Bahkan, Syaikhul Islam Abul Abbas al-Harrani rahimahullah pun menyebut­nya seba­gai doa yang paling ber­man­faat, meng­ingat kan­dungan­nya yang sangat dalam dan ber­guna bagi setiap pribadi. Kaum Yahudi dimur­kai karena mereka ber­ilmu namun tidak ber­amal. Adapun kaum Nas­rani ter­sesat karena mereka ber­amal tanpa lan­dasan ilmu. Maka, orang yang ber­ada di atas jalan yang lurus adalah yang memadukan antara ilmu dan amalan.

Dari sinilah, kita meng­etahui, bahwa hakekat keil­muan seseorang tidak diukur dengan banyak­nya hafalan yang dia miliki, banyak­nya buku yang telah dia beli, banyak­nya kaset ceramah yang telah dia koleksi, banyak­nya ustadz atau bahkan ulama yang telah dia kenali, tidak juga deretan titel akademis yang dibang­gakan kesana-kemari. Kita masih ingat, ucapan sahabat Nabi yang mulia, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu wa ardhahu, “Bukanlah ilmu itu diukur dengan banyak­nya riwayat. Akan tetapi pokok dari ilmu adalah khas-yah/rasa takut –kepada Allah-.” (lihat al-Fawa’id karya Ibnul Qayyim rahimahullah).

Oleh sebab itulah, kita dapati para ulama salaf sangat keras dalam ber­juang meng­gapai keikh­lasan dan menaklukkan hawa nafsu serta ambisi-ambisi duniawi. Diriwayatkan dari Sufyan ats-Tsauri rahimahullah, beliau ber­kata, “Tidaklah aku menyem­buhkan sesuatu yang lebih berat daripada niatku.” (lihat Hilyah Thalib al-’Ilm oleh Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullahu rah­matan wasi’ah).  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber­sabda, “Sesung­guh­nya setiap amal itu dinilai ber­dasarkan niat­nya. Dan setiap orang hanya akan meraih balasan sebatas apa yang dia niatkan. Maka barang­siapa yang hijrah­nya [tulus] karena Allah dan Rasul-Nya niscaya hijrah­nya itu akan sam­pai kepada Allah dan Rasul-Nya. Barang­siapa yang hijrah­nya karena [per­kara] dunia yang ingin dia gapai atau per­em­puan yang ingin dia nikahi, itu artinya hijrah­nya akan dibalas sebatas apa yang dia inginkan saja.” (HR. Bukhari dan Mus­lim).

Ikh­las, bukanlah ucapan yang ter­lon­tar di lidah, huruf yang ter­tulis dalam catatan, banyak­nya harta yang telah kita sum­bangkan untuk kebaikan, lamanya waktu kita ber­dakwah, atau penam­pilan fisik yang tam­pak oleh mata. Ikh­las adalah ‘per­mata’ yang ter­simpan di dalam hati seorang muk­min yang meren­dahkan hati dan jiwa-raganya kepada Rabb penguasa alam semesta. Inilah kunci keselamatan dan keber­hasilan yang akan men­jadi sebab ter­bukanya ger­bang keten­traman dan hidayah dari Allah ta’ala. Allah ta’ala ber­firman (yang artinya), “Orang-orang yang ber­iman dan tidak men­cam­puri keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), maka mereka itulah orang-orang yang akan mem­peroleh keamanan dan mereka itulah orang-orang yang men­dapatkan hidayah.” (QS. al-An’am: 82). Allah ber­firman (yang artinya), “Pada hari [kiamat] tidak lagi ber­guna harta dan keturunan, kecuali bagi orang yang meng­hadap Allah dengan hati yang selamat.” (QS. asy-Syu’ara’: 88–89). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ber­sabda, “Sesung­guh­nya Allah tidak meman­dang kepada rupa kalian, tidak juga harta kalian. Akan tetapi yang dipan­dang adalah hati dan amal kalian.” (HR. Mus­lim). Semen­tara kita semua meng­etahui, bahwa tanpa keikh­lasan tak ada amal yang akan diterima, Allahul musta’an.

Kita juga masih ingat, nasehat emas Ahli Hadits kon­tem­porer yang sangat ter­kenal Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam kitab-kitabnya supaya kita tidak men­jadi orang yang mem­buru popularitas. Beliau meng­utip ung­kapan para ulama kita terdahulu,

Hubbuzh zhuhur yaqtha’uzh zhuhur, “Menyukai ‘keting­gian’ akan mematahkan pung­gung.

Mak­nanya, gila popularitas akan menyebabkan kebinasaan, kurang lebih demikian… Allah ber­firman (yang artinya), “Ber­ikanlah per­ingatan, sesung­guh­nya per­ingatan itu akan ber­guna bagi orang-orang yang ber­iman.” (QS. adz-Dzariyat: 55).

Ikh­las -wahai saudaraku- … adalah rahasia kesuk­sesan dakwah nabi dan rasul serta para pen­dahulu kita yang salih. Ber­apapun jum­lah orang yang tun­duk meng­ikuti seruan mereka, mereka tetap dinilai ber­hasil dan telah menunaikan tugas­nya dengan baik. Mereka tidak dikatakan gagal, mes­kipun ayah­nya  sen­diri produsen ber­hala, mes­kipun anak­nya sen­diri menolak per­in­tah Rabbnya, mes­kipun paman­nya sen­diri tidak mau masuk Islam yang diserukan­nya, mes­kipun tidak ada pengikut­nya kecuali satu atau dua saja, bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut sama sekali…! Mereka, adalah suatu kaum yang men­dapatkan pujian dan keutamaan dari Allah karena keikh­lasan dan ketaatan mereka kepada Rabbnya, karena ilmu dan amalan yang mereka miliki. Allah ta’ala ber­firman (yang artinya), “Barang­siapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka itulah yang akan ber­sama dengan kaum yang men­dapatkan kenik­matan dari Allah, yaitu para nabi, shiddiqin, syuhada’ dan orang-orang salih. Mereka itulah sebaik-baik teman.” (QS. an-Nisaa’: 69)

Kalau kita memang ikh­las -wahai saudaraku- niscaya kita akan merasa senang apabila saudara kita men­dapatkan hidayah, entah itu melalui tangan kita atau tangan orang lain… Kalau kita memang ikh­las -wahai saudaraku- maka amalan sekecil apapun tidak akan per­nah kita sepelekan! Ibnu Mubarak rahimahullah meng­ingatkan, “Betapa banyak amalan kecil yang men­jadi besar karena niat. Dan betapa banyak amalan besar men­jadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ al-’Ulum wal Hikam oleh Ibnu Rajab). Semoga Allah mem­berikan karunia keikh­lasan kepada kita...

Sum­ber: abumushlih.com