بسم الله الرحمن الرحيم
Materi : Keutamaan Istighfar
Pemateri : Ustadz Deka Mujahidin, S.Pdi حفظه الله تعالى
- Alumnus STAI Ali Bin Abi Thalib Surabaya
- Dosen aktif di MABAIS Surakarta
- Pengajar Ilmu Syar’i Pondok Pesantren Khulafaurrosyidin Cemani
Hari : Jum’at, 30 Muharram 1447 / 25 Juli 2025
Waktu : Ba’da Maghrib – Isya’
Tempat : Masjid Al-Qomar Purwosari
Setelah memuji Allâh dan bershalawat atas Nabi-Nya, Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan hingga masih dipertemukan dalam majelis ilmu.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ
“Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” (HR. Muslim)
Nabi ﷺ seorang yang maksum, tetapi beliau masih banyak beristighfar dan memberi contoh kepada umatnya.
Sebuah Hadist yang masyhur sering kita dengar,
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Seluruh anak Adam itu bersalah, dan sebaik-baik yang bersalah adalah mereka yang senantiasa bertaubat.”
Diriwayatkan oleh At tirmidzi, ibnu Majah, imam Ahmad, Ad Darimi, Al Hakim, Al Baihaqi dll. Semua riwayat tersebut berporos di Ali bin Mas’adah, dari Qatadah, dari sahabat Anas bin Malik, dari rasulullah shallallahu alaih wasallam.
Istighfar artinya thalabul maghfirah – Mencari ampunan Allah ﷻ, berasal dari kata mighfar – مغفار (helm pelindung kepala yang dipakai oleh seorang prajurit dalam peperangan.) yang fungsinya menutupi kepala dan melindungi.
Dan tidaklah seseorang memakai mighfar kecuali telah terwujud pada dirinya sitr (menutupi) – aib dan dosa dan wiqoyah (perlindungan) agar dosa-dosa kita ini tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi kita.
Dari sini kita bisa memahami, tatkala kita beristighfar kepada Allah artinya kita memohon kepada Allah agar menutupi aib-aib kita. Agar Dia tidak membongkar kesalahan-kesalahan yang telah kita lakukan. Agar Dia merahasiakan dosa-dosa kita. Karena sungguh rugi seseorang yang dibuka oleh Allah aib-aibnya tatkala di dunia. Orang-orang membencinya. Orang-orang tidak mendengarkannya apalagi mengikutinya. Terlebih lagi kalau aibnya dibongkar di akhirat. Ini sungguh mengerikan dan kebinasaan.
Muhammad bin Waasi’ rahimahullah mengatakan, “Kalau seandainya dosa ini memiliki BAU, niscaya tidak ada seorangpun yang mau duduk denganku.” (Siyar A’laamin Nubalaa (6/120).
Kemudian makna yang kedua adalah kita memohon perlindungan agar dosa-dosa kita ini tidak menimbulkan dampak yang buruk bagi kita. Karena dosa pasti memiliki dampak. Setidaknya dosa itu membuat hati kita menjadi hitam. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيئَةً نُكِتَتْ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةٌ سَوْدَاءُ، فَإِذَا هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ وَتَابَ سُقِلَ قَلْبُهُ، وَإِنْ عَادَ زِيدَ فِيهَا حَتَّى تَعْلُوَ قَلْبَهُ، وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ: {كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ}”.
“Jika seorang hamba melakukan satu dosa, niscaya akan ditorehkan di hatinya satu noda hitam. Seandainya dia meninggalkan dosa itu, beristighfar dan bertaubat; niscaya noda itu akan dihapus. Tapi jika dia kembali berbuat dosa; niscaya noda-noda itu akan semakin bertambah hingga menghitamkan semua hatinya. Itulah penutup yang difirmankan Allah, “Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka lakukan itu telah menutup hati mereka” (QS. Al-Muthaffifin: 4). HR. Tirmidzi dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu. Hadits ini dinilai hasan sahih oleh Tirmidzi.
Ketika hatinya menghitam, maka ia merasakan ketidak-tenangan. Ia merasa gelisah. Hatinya menjadi keras dan sulit tersentuh. Semakin banyak seseorang mengerjakan dosa, semakin mudah ia terpengaruh dengan maksiat dan dosa. Semakin mudah ia terpengaruh dengan syahwat dan syubhat. Belum lagi dampak-dampak yang lain. Bisa dalam bentuk diganggu orang lain, rasa sedih yang tak hilang-hilang, dll.
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – : أَنَّ رَجُلاً قَالَ : يَا رَسُوْلَ اللهِ ، إِنَّ شَرَائِعَ الإِسْلاَمِ قَدْ كَثُرَتْ عَليَّ ، فَأَخْبِرْنِي بِشَيْءٍ أَتَشَبْثُ بِهِ قَالَ : (( لاَ يَزالُ لِسَانُكَ رَطْباً مِنْ ذِكْرِ اللهِ )) . رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ ، وَقَالَ : (( حَدِيْثٌ حَسَنٌ )) .
Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu bahwa ada seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat Islam ini telah banyak bagiku, maka beritahulah kepadaku sesuatu yang bisa aku pegang selalu.” Beliau menjawab, “Hendaklah lisanmu selalu basah karena berdzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi, ia mengatakan bahwa hadits ini hasan) [HR. Tirmidzi, no. 3375. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan].
- Redaksi standar:
استغفرالله العظيم
أَسْتَغْفِرُ اللهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ
“Aku memohon ampun kepada Allah dan bertaubat kepadaNya”
(Dalam HR Bukhari, Abu Hurairah radhiyallahu’anhu menerangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sehari membacanya lebih dari tujuhpuluh kali.”
- Riwayat Ibnu Umar:
Hadist yang diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Kami pernah menghitung, dalam satu majelis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengucapkan doa:
رَبِّ اغْفِرْ لِي، وَتُبْ عَلَيَّ، إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
‘Ya Rabbi, berikanlah ampunan padaku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima taubat dan Maha Penyayang),’ sebanyak seratus kali.”
(HR. Abu Dawud II/21, Ibnu Majah 3814, Tirmidzi 3430, Ahmad dalam Al Musnad II/21, Baghawi dalam Syarhus Sunnah 1289, dan Ibnu Suni dalam ‘Amalul Yaumi wal Lailah 458)
- Sayyidul Istighfar:
Di antara redaksi istighfar yang banyak tersebut, ada satu redaksi istighfar yang paling sempurna. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai Sayyidul Istighfar yang dapat kita artikan sebagai Tuan atau Rajanya seluruh istighfar.
Al-Imam Al-Bukhari menyebutkan di dalam Sahihnya, Bab Afdhalul Istighfar (Istighfar yang Paling Utama):
بُشَيْرُ بْنُ كَعْبٍ الْعَدَوِيُّ قَالَ حَدَّثَنِي شَدَّادُ بْنُ أَوْسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ انَّبِيِّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُ الاسْتِغْفَارِ أَنْ تَقُولَ اللهُمَّ أَنتَ رَبِّي لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ خَلَقْتَني وَأَنَا عَبْدُكَ وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ أَبُوءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ وَأَبُوءُ لَكَ بِذَنْبِي فَاغْفِرْ لِي فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ قَالَ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يمسي فَهُوَ منْ أَهْل الْجَنَّة وَمَنْ قَالَهَا مِنْ الليْلِ وَهوَ مُوقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ فَهُوَ منْ أَهْل الْجَنَّة
Busyair bin Ka’ab al-‘Adawi berkata, “Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu menceritakan (hadis) kepadaku dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tuan dari seluruh istighfar adalah engkau berdoa, ‘Allaahumma anta rabbii laa ilaaha illaa anta, khalaqtanii wa ana ‘abduka wa ana ‘alaa ‘ahdika wawa’dika mastatha’tu, a’uudzu bika min syarri maa shana’tu, abuu’u laka bini’matika ‘alayya wa abuu’u laka bidzanbi faghfirlii, fa-innahu laa yaghfirudz-dzunuuba illaa anta’ (Ya Allah, Engkau adalah Tuhanku, tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau ciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu, terikat dengan janjiku kepada-Mu (dengan mengerjakan janji) sesuai dengan kemampuanku, aku berlindung kepada-Mu dari segala kejahatan dan kejelekan yang aku lakukan, aku akui akan ni’mat- ni’mat-Mu kepadaku dan aku juga mengakui akan kesalahan dan dosaku kepada-Mu, (oleh karena itu) ampunilah karena tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosaku kecuali Engkau).’
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَمَنْ قَالَهَا مِنْ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِيَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَمَنْ قَالَهَا مِنْ اللَّيْلِ وَهُوَ مُوقِنٌ بِهَا فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
‘Siapa yang berdoa dengan doa tersebut di siang hari dengan penuh keyakinan akan terkabulnya, lalu ia meninggal di hari itu sebelum sore hari, maka orang tersebut menjadi penghuni surga. Dan siapa yang berdoa dengan doa tersebut di malam hari dan dia yakin akan dikabulkannya doa tersebut lalu ia meninggal dunia sebelum masuk waktu pagi maka orang tersebut menjadi penghuni surga.” (HR. Bukhari 6306)
Allâh Azza wa Jalla berfirman,
فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوا رَبَّكُمْ إِنَّهُ كَانَ غَفَّارًا ﴿١٠﴾ يُرْسِلِ السَّمَاءَ عَلَيْكُمْ مِدْرَارًا ﴿١١﴾ وَيُمْدِدْكُمْ بِأَمْوَالٍ وَبَنِينَ وَيَجْعَلْ لَكُمْ جَنَّاتٍ وَيَجْعَلْ لَكُمْ أَنْهَارًا
Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, -sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat. dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. [Nûh/ 71: 10-12]
Dinukilkan dalam al-Jami’ li Ahkamil Quran, Ibnu Shabih berkata, “Ada seseorang mengeluhkan paceklik kepada Al-Hasan Basri. Lalu beliau rahimahullah berkata kepadanya, “Mintalah ampun kepada Allâh Azza wa Jalla !”
Ada lagi seseorang datang mengeluhkan kefakirannya. Beliau rahimahullah berkata, “Mintalah ampun kepada Allâh Azza wa Jalla !”
Ada lagi yang mengeluhkan, “Doakanlah agar aku dikaruniai anak!” Beliau rahimahullah menjawab, “Mintalah ampun kepada Allâh Azza wa Jalla !”
Begitu pula dengan orang yang mengeluhkan kondisi kebunnya yang kering, beliau rahimahullah juga berkata, “Mintalah ampun kepada Allâh Azza wa Jalla !” Lantas kami pun menanyakan hal itu kepada al-Hasan rahimahullah. Beliau rahimahullah berkata, “Yang aku katakan sedikitpun bukan berasal dariku. Sesungguhnya Allâh Azza wa Jalla berfirman dalam Surat Nûh ayat 10-12″. (membacakan ayat di atas).
Kisah Pembuat Roti dan Imam Ahmad Rahimahullah
Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah (murid Imam Syafi’i) dikenal juga sebagai Imam Hanbali. Di masa akhir hidup beliau bercerita, “Suatu ketika (ketika saya sudah usia tua) saya tidak tahu kenapa ingin sekali menuju ke salah satu kota di Irak –dalam manaqib Imam Ahmad beliau menuju Bashrah.”
Padahal tidak ada janji sama orang dan tidak ada hajat. Akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah berangkat sendiri menuju ke kota Bashrah.
Beliau meriwayatkan “Saat tiba di sana waktu Isya’, saya ikut salat berjamaah isya di masjid, hati saya merasa tenang, kemudian tiba-tiba saya ingin istirahat.”
Selepas salat dan jamaah bubar, Imam Ahmad ingin tidur di masjid, tiba-tiba sang marbot masjid datang menemui imam Ahmad sambil bertanya,
“Kenapa Syaikh, mau ngapain di sini? –term “Syaikh” dalam tradisi Arab bisa dipakai untuk 3 panggilan, bisa untuk orang tua, orang kaya ataupun orang yang berilmu. Panggilan Syaikh dikisah ini panggilan sebagai orang tua, karena imam Ahmad kelihatan sebagai orang tua.
Marbot tidak mengetahui kalau beliau adalah Imam Ahmad, dan Imam Ahmad pun tidak memperkenalkan siapa dirinya. Di Irak, semua orang kenal siapa Imam Ahmad, seorang ulama besar dan ahli hadis, beliau hafal sejuta hadis, sangat saleh dan zuhud.
Ketika itu belum ada teknologi kamera dan media sosial seperti sekarang, sehingga orang tidak tahu wajahnya, hanya saja namanya sudah terkenal. Kata Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah “Saya ingin istirahat, saya musafir.” Kata marbot, “tidak boleh, tidak boleh tidur di masjid”
Imam Ahmad melanjutkan bercerita “Saya didorong-dorong oleh orang itu disuruh keluar dari masjid. Setelah keluar masjid, maka dikuncilah pintu masjid. Lalu saya ingin tidur di teras masjid.”
Ketika sudah berbaring di teras masjid marbotnya datang lagi, marah-marah kepada Imam Ahmad. “Mau ngapain lagi, Syaikh?” tanya marbot.
“Mau tidur, saya musafir,” jawab Imam Ahmad. Lalu marbot berkata, “Di dalam masjid tidak boleh, di teras masjid juga tidak boleh.” Imam Ahmad diusir. Imam Ahmad bercerita “saya didorong-dorong sampai jalanan”.
Di samping masjid ada penjual roti (rumah kecil sekaligus untuk membuat dan menjual roti). Penjual roti ini sedang mengolah adonan roti, sambil melihat kejadian Imam Ahmad didorong-dorong oleh marbot tadi. Saat Imam Ahmad sampai di jalanan, penjual roti itu memanggil dari jauh “Mari Syaikh, anda boleh nginap di tempat saya, saya punya tempat, meskipun kecil.”
”Baik,” kata Imam Ahmad
Imam Ahmad masuk ke rumahnya, duduk di belakang penjual roti yang sedang membuat roti (dengan tidak memperkenalkan siapa dirinya, hanya bilang sebagai musafir). Penjual roti ini punya perilaku yang bisa dibilang unik, kalau Imam Ahmad mengajak berbicara, maka ia jawab. Kalau tidak, dia terus membuat adonan roti sambil melafalkan istighfar, Astaghfirullah.
Saat meletakkan garam mengucap istighfar, memecahkan telur dengan istighfar, mencampur gandum mengucap lagi istighfar. Selalu mengucap istighfar.
Imam Ahmad memperhatikan terus. Lalu imam Ahmad bertanya, “Sudah berapa lama kamu lakukan ini?” Orang itu menjawab, “Sudah lama sekali Syaikh, saya menjual roti sudah 30 tahun, jadi semenjak itu saya lakukan.”
Imam Ahmad bertanya, “Apa hasil dari perbuatanmu ini?”
Orang itu menjawab, “(berkah wasilah istighfar) tiada hajat yang saya minta, kecuali pasti dikabulkan Allah. Semua yang saya minta ya Allah, langsung dikabulkan”.
Nabi ﷺ pernah bersabda: “Siapa yang menjaga istighfar, maka Allah akan menjadikan jalan keluar baginya dari semua masalah dan Allah akan berikan rizki dari jalan yang tidak disangka-sangkanya”.
Lalu orang itu melanjutkan, “Semua dikabulkan Allah kecuali satu, masih satu yang belum Allah kabulkan.”
Imam Ahmad penasaran kemudian bertanya, “Apa itu?”
Penjual roti menjawab “Saya minta kepada Allah supaya dipertemukan dengan Imam Ahmad bin Hanbal.”
Sejurus kemudian Imam Ahmad bin Hanbal bertakbir, “Allahu Akbar, Allah telah mendatangkan saya jauh dari Bagdad pergi ke Bashrah dan bahkan sampai didorong-dorong oleh marbot masjid itu sampai ke jalanan karena istighfarmu.”
Penjual roti terperanjat, memuji Allah, ternyata yang di depannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal.
Subhanallah!
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
طُوْبَى ِلمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيْفَتِهِ اسْتِغْفَارًا كَثِيْرًا
“Sungguh beruntung seseorang yang mendapati pada catatan amalnya istighfar yang banyak” (HR. Ibnu Majah, no 3818 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Sahih Al Jami’ no. 3825)
طُوبى مَعْناها: أنَّ لَهم مَزيدَ نَعيمٍ وفرَحٍ بالجنَّةِ، وقيل: هو اسمٌ للجَنَّةِ، وقيل: هو اسمٌ للشَّجرةِ في الجنَّةِ
Tuuba (طُوْبَى) maksudnya baginya tambahan kenikmatan dan kegembiraan di surga. Ada juga yang mengatakan ia adalah salah satu nama Surga, ada juga yang mengatakan ia adalah nama pohon di surga.
Beberapa Tempat untuk Istighfar
- Pertama, seusai shalat tahajud, agar diakhiri dengan istighfar di waktu sahur.
Allah Surat Az-Zariyat Ayat 18:
وَبِٱلْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.
Kebiasaan orang shalih adalah memanfaatkan waktu sahur untuk istighfar. Kita sangat banyak melakukan dosa, baik itu dosa yang kita sadari atau tidak kita sadari. Misalnya melihat rambut wanita di zaman ini, itu adalah dosa, akan tetapi kita bisa jadi menganggapnya biasa saja. Masih banyak dosa lainnya yang kita perlu istighfar agar Allah mengampuni kita.
Allah Ta’ala berfirman mengenai orang-orang shalih.
وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
“Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17).
- Kedua, setelah shalat kita dianjurkan untuk beristighfar.
Mungkin kita heran, padahal kita habis beribadah. Kita disuruh istighfar, mengapa? Karena kita sangat yakin, dalam ibadah shalat yang kita lakukan sangat rentan dengan kekurangan. Dan kita mohon ampun atas semua kekurangan yang kita lakukan ketika shalat. Hadirkan perasaan semacam ini ketika anda membaca istighfar setelah shalat. Agar ucapan istighfar kita lebih berarti.
- Ketiga, seusai haji
Allah perintahkan agar di penghujung pelaksanaan haji, kaum muslimin banyak beristighfar,
Allah ﷻ memerintahkan untuk beristighfar setelah melaksanakan rangkaian ibadah haji, khususnya setelah bertolak dari Arafah.
ثُمَّ أَفِيضُوا۟ مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ ٱلنَّاسُ وَٱسْتَغْفِرُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (‘Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah ayat 199).
- Keempat, selesai tugas kenabian
Sebagian ulama tafsir menyebutkan, surat terakhir yang Allah turunkan untuk Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah adalah surat an-Nashr. Di dalam surat ini, Allah perintahkan agar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk banyak bertasbih, memuji Allah, dan banyak beristighfar.
فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَٱسْتَغْفِرْهُ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابًۢا
maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.
Semoga Allah Ta’ala selalu mengilhamkan kita untuk selalu beristighfar. Aamiin.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم