Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

gempaBerikut beberapa hikmah di balik terjadinya musibah dan cobaan[1].

Pertama: Agar Hamba Mengenal Keagungan Rubûbiyah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ dan Kemuliaan-Nya
Bila Allah Jalla Jalâluhû menghendaki kejelekan bagi hamba, tiada seorang pun yang dapat menolak kejelekan itu.

Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,


وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ

“Dan apabila Allah menghendaki kejelekan terhadap suatu kaum, tak ada yang dapat menolak (kejelekan) itu; dan sekali-kali tiada pelindung bagi mereka, kecuali Dia.” [Ar-Ra’d: 11]

Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,


أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّا نَأْتِي الْأَرْضَ نَنْقُصُهَا مِنْ أَطْرَافِهَا وَاللَّهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir) lalu mengurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tiada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah Yang Maha cepat hisab-Nya.” [Ar-Ra’d: 41]
 
Kedua: Mengenal Kehinaan dan Kerendahan Diri dalam Menegakkan Ibadah kepada-Nya
Saat dilanda musibah, manusia akan menyadari keadaannya sebagai para hamba dan di bawah kekuasaan Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ. Mereka semua tidak terlepas dari ketetapan dan pengaturan Allah serta qadha dan takdir-Nya. Hal ini tersirat dari pengakuan orang-orang beriman sebagaimana dalam firman-Nya,

الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ

“(Yaitu) orang-orang yang, apabila ditimpa musibah, mengucapkan, ‘Innâ lillâhi wa innâ ilaihi râji’ûn ‘sesungguhnya kami hanyalah untuk Allah, dan sesungguhnya hanya kepada-Nya kami dikembalikan’.’.” [Al-Baqarah: 156]

Ketiga: Mengantar Hamba kepada Pintu Ikhlas
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ

“Dan jika Allah menimpakan suatu kemudharatan kepadamu, tiada yang dapat menghilangkan (kemudharatan) itu, kecuali Dia sendiri.” [Al-An’âm: 17]

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka, apabila menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya; (Namun), tatkala (Allah) menyelamatkan mereka sampai ke darat, mereka pun (kembali) mempersekutukan (Allah).” [Al-‘Ankabût: 65]
 
Keempat: agar Hamba Bertaubat dan Kembali kepada Allah ‘Azza Wa Jalla
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وَإِذَا مَسَّ الْإِنْسَانَ ضُرٌّ دَعَا رَبَّهُ مُنِيبًا إِلَيْهِ ثُمَّ إِذَا خَوَّلَهُ نِعْمَةً مِنْهُ نَسِيَ مَا كَانَ يَدْعُو إِلَيْهِ مِنْ قَبْلُ وَجَعَلَ لِلَّهِ أَنْدَادًا لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِهِ قُلْ تَمَتَّعْ بِكُفْرِكَ قَلِيلًا إِنَّكَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ

“Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Rabb-nya dengan kembali kepada-Nya; (Namun) kemudian, apabila (Rabb-nya) memberi nikmat-Nya kepadanya, lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia mohonkan (kepada Allah) untuk (dihilangkan) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah, ‘Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya engkau termasuk sebagai penghuni neraka.’.” [Az-Zumar: 8]
 
Kelima: Adanya Doa dan Penyerahan Diri kepada Allah Jalla Jalâluhû
Allah Jalla Jalâluhû berfirman,

وَإِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فِي الْبَحْرِ ضَلَّ مَنْ تَدْعُونَ إِلَّا إِيَّاهُ فَلَمَّا نَجَّاكُمْ إِلَى الْبَرِّ أَعْرَضْتُمْ وَكَانَ الْإِنْسَانُ كَفُورًا

“Dan apabila kalian ditimpa bahaya di lautan, niscaya hilanglah siapa saja yang kalian seru, kecuali Dia. (Namun), tatkala Dia menyelamatkan kalian ke daratan, kalian berpaling (dari-Nya). Dan adalah manusia itu selalu tidak berterima kasih.” [Al-Isrâ`: 67]

Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman pula,

بَلْ إِيَّاهُ تَدْعُونَ فَيَكْشِفُ مَا تَدْعُونَ إِلَيْهِ إِنْ شَاءَ وَتَنْسَوْنَ مَا تُشْرِكُونَ

“(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kalian seru maka Dia menghilangkan bahaya yang, karena (bahaya) itu, kalian berdoa kepada-Nya jika Dia menghendaki, dan kalian meninggalkan (sembahan-sembahan) yang kalian persekutukan (dengan Allah).” [Al-An’âm: 41]

Pada ayat lain, Rabb kita Jalla Jalâluhû menegaskan,

قُلْ مَنْ يُنَجِّيكُمْ مِنْ ظُلُمَاتِ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ تَدْعُونَهُ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً لَئِنْ أَنْجَانَا مِنْ هَذِهِ لَنَكُونَنَّ مِنَ الشَّاكِرِينَ

"Katakanlah, ‘Siapakah yang dapat menyelamatkan kalian dari bencana di darat dan di laut, yang kalian berdoa kepada-Nya dengan rendah diri dan dengan suara yang lembut (dengan mengatakan,) ‘Sesungguhnya jika Dia menyelamatkan kami dari (bencana) ini, tentulah kami menjadi orang-orang yang bersyukur.’.’.” [Al-An’âm: 63]
 
Keenam: Menumbuhkan Sifat Hilm ‘Berakal, Kedewasaan, Kesabaran’ saat Terjadi Musibah
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman tentang Nabi Ibrahim ‘alaihis salâm,

وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ إِلَّا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَأَوَّاهٌ حَلِيمٌ

“Dan permintaan ampun dari Ibrahim (kepada Allah) untuk bapaknya tidak lain hanyalah karena suatu janji yang telah beliau ikrirkan kepada bapaknya itu. Oleh karena itu, tatkala jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, Ibrahim berlepas diri dari (bapak)nya. Sesungguhnya Ibrahim adalah seseorang yang hatinya sangat lembut lagi sangat hilm.” [At-Taubah: 114]

Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Asyajj Abdul Qais,

إِنَّ فِيْكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالأَنَاةُ

“Sesungguhnya, pada engkau, ada dua (akhlak) yang Allah cintai: hilm dan anâh ‘sikap tidak tergesa-gesa’.” [2]
 
Ketujuh: Adanya Sifat Memberi Maaf kepada Orang-Orang yang Tertimpa Musibah

Sifat memberi maaf merupakan sifat yang sangat terpuji. Dalam firman-Nya, Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman menjelaskan sebagian sifat orang-orang yang bertakwa,

وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ

“Dan memaafkan (kesalahan) manusia.” [Âli ‘Imrân: 134]

Allah Jalla Jalâluhû juga berfirman,

فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ

“Maka barangsiapa yang memaafkan dan berbuat baik, pahalanya atas (tanggungan) Allah.” [Asy-Syûrâ: 40]
 
Kedelapan: Mendidik Diri untuk Bersabar
Kesabaran adalah akhlak yang Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ cintai. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

“Dan Allah menyukai orang-orang sabar.” [Âli ‘Imrân: 146]

Kesabaran adalah sebab dilipatgandakannya kebaikan tanpa batasan. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang pahala mereka dicukupkan tanpa batas.” [Az-Zumar: 10]
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ

“Dan tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih luas daripada kesabaran.” [3]
 
Kesembilan: Musibah Menggugurkan Dosa dan Kesalahan
Seorang mukmin, yang bersabar dan ridha akan ketentuan Allah saat tertimpa musibah, dosa dan kesalahannya akan digugurkan.
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا يُصِيْبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلاَ نَصَبٍ وَلاَ سَقَمٍ وَلاَ حَزَنٍ حَتَّى الْهَمِّ يُهَمُّهُ إِلاَّ كُفِّرَ بِهِ مِنْ سَيِّئَاتِهِ

“Tidaklah seorang mukmin ditimpa oleh sakit terus-menerus, keletihan, penyakit, kesedihan, hingga gundah gulana yang menyusahkannya, kecuali bahwa dia akan digugurkan dari kesalahan-kesalahannya.” [4]
 
Kesepuluh: Kegembiraan karena Adanya Sejumlah Manfaat di Balik Musibah
Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَإِنْ كَانُوا لَيَفْرَحُوْنَ بِالْبَلاَءِ كَمَا تَفْرَحُوْنَ بِالرَّخَاءِ

“Sungguh mereka (para nabi) sangat bergembira dengan musibah sebagaimana kalian bergembira dengan kemudahan.” [5]
 
Kesebelas: Bersyukur terhadap Musibah Lantaran Berbagai Manfaat
Berbagai manfaat yang dipetik di balik musibah adalah bagian dari anugerah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ telah memerintah,

وَاشْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan syukurilah nikmat Allah jika kalian hanya menyembah kepada-Nya.” [An-Nahl: 114]
Telah dimaklumi bahwa orang sakit kadang mensyukuri perbuatan seorang dokter yang mengamputasi tubuhnya guna kesembuhannya. Walaupun harus merelakan ketiadaan sebagian anggota tubuhnya, dia bersyukur akan kesembuhannya.
 
Kedua Belas: Rasa Rahmat dan Iba kepada Mereka yang Tertimpa Musibah
Musibah, yang melanda seorang muslim, sering menggerakkan hati muslim lain untuk berbuat kebaikan bagi saudara-saudaranya tersebut. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

مَثَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ فِيْ تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan kaum mukmin dalam hal cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan kasih-mengasihi bagaikan satu jasad. Bila sebagian anggota jasad mengeluh (kesakitan), hal itu akan dirasakan oleh seluruh anggota jasad dalam bentuk tidak bisa tidur atau demam.” [6]
 
Ketiga Belas: Mengenal Besarnya Nikmat Afiat
Nikmat afiat serta nikmat perihal terhindarnya seseorang dari musibah dan petaka akan terasa saat orang tersebut dilanda musibah atau menyaksikan musibah yang menimpa orang lain. Oleh karena itu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan,

مَنْ رَأَى مُبْتَلًى فَقَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ عَافَانِيْ مِمَّا ابْتَلاَكَ بِهِ وَفَضَّلَنِيْ عَلَى كَثِيْرٍ مِمَّنْ خَلَقَ تَفْضِيْلاً لَمْ يُصِبْهُ ذَلِكَ الْبَلاَءُ

“Barangsiapa yang menyaksikan orang yang tertimpa ujian, hendaknya dia membaca, ‘Alhamdulillâhil ladzî ‘âfânî mimmâb talâka bihi wa fadhdhalanî ‘alâ katsîrin mimman khalaqa tafdhîlan ‘segala puji bagi Allah yang memberi afiat kepadaku terhadap sesuatu yang menimpamu, dan (Allah) telah menberi keutamaan kepadaku di atas banyak makhluk-Nya’.’ Pasti ujian itu tidak akan menimpanya.” [7]
 
Keempat Belas: Pahala yang Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ Persiapkan di Akhirat
Dari sejumlah penjelasan yang telah berlalu, tampak berbagai pahala akhirat di balik keberadaan musibah dan petaka. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ                                                                                                           

“Siapa saja yang Allah kehendaki kebaikan padanya, Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” [8]
Kata kebaikan, yang dijanjikan dalam hadits, adalah segala hal yang mencakup kebaikan dunia dan akhirat, baik dalam bentuk pahala maupun selainnya.
Namun, harus diketahui pula bahwa pahala tersebut adalah bagi siapa saja yang menerima musibah dengan kesabaran. Juga, pahala yang diberikan berjenjang sesuai dengan kekuatan sabar. Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,

إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

“Sesungguhnya kalian diberi balasan terhadap segala sesuatu yang telah kalian kerjakan.” [Ath-Thûr: 16]
 
Kelima Belas: Berbagai Manfaat yang Tersembunyi di Balik Musibah
Di antara hikmah Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ adalah bahwa terkadang, pada musibah, ada kebaikan-kebaikan yang tidak disangka oleh seorang hamba.
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ berfirman,

وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kalian membenci sesuatu, padahal sesuatu itu amat baik bagi kalian. Boleh jadi pula kalian menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu amat buruk untuk kalian; Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui.” [Al-Baqarah: 216]
Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,

فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak pada sesuatu itu.” [An-Nisâ`: 19]

Pada ayat lain, Allah Jalla Jalâluhû berfirman pula,

إِنَّ الَّذِينَ جَاءُوا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِنْكُمْ لَا تَحْسَبُوهُ شَرًّا لَكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِنْهُمْ مَا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَالَّذِي تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu berasal dari golongan kalian juga. Janganlah kalian mengira bahwa berita bohong itu buruk bagi kalian, tetapi hal itu adalah baik bagi kalian. Tiap-tiap orang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dia kerjakan. Dan siapa saja di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, adzab yang besar bagi dia.” [An-Nûr: 11]
 
Keenam Belas: Musibah Menahan Manusia untuk Berlaku Sombong, Congkak, dan Sewenang-Wenang
Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ menjelaskan salah satu sifat manusia dalam firman-Nya,

كَلَّا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَيَطْغَى. أَنْ رَآهُ اسْتَغْنَى

“Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas karena dia melihat bahwa dirinya serba cukup.” [Al-‘Alaq: 6-7]
Allah ‘Azza Wa Jalla juga berfirman,

وَلَوْ بَسَطَ اللَّهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهِ لَبَغَوْا فِي الْأَرْضِ وَلَكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ بِعِبَادِهِ خَبِيرٌ بَصِيرٌ

“Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Dia menurunkan apa-apa yang Dia kehendaki dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” [Asy-Syûrâ: 27]
Dengan musibah dan cobaan, seorang hamba akan menahan diri dari segala sifat keangkuhan.
 
Ketujuh Belas: Merupakan Pendidikan bagi Hamba untuk Ridha kepada Ketentuan dan Takdir Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ
Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلاَءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلاَهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ السَّخَطُ

“Sesungguhnya, besarnya pahala bersama dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya, apabila mencintai suatu kaum, Allah akan menguji (kaum) tersebut. Barangsiapa yang ridha, untuknya keridhaan (Allah), (tetapi) barangsiapa yang murka, baginya kemurkaan (Allah).” [9]
 
Kedelapan Belas: Menampakkan Konsekuensi dan Keagungan Nama-Nama yang Maha Baik dan Sempurna (Al-Asma` Al-Husna) Milik Allah Jalla Jalâluhû
Di antara Al-Asma` Al-Husna milik Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ adalah Ar-Rabb (Yang Maha bersendirian dalam kepemilikan, pengaturan, kekuasaan, penciptaan, dan perbuatan) dan Al-‘Azîz (Yang Maha Perkasa). Keagungan nama-nama ini akan terasa dengan menyaksikan musibah dan petaka yang Allah ‘Azza Wa Jalla turunkan, yang kehendak Allah tersebut tidak akan mampu ditolak oleh siapapun. Demikian pula kandungan dan konsekuensi Al-Asma` Al-Husna yang lain.
 
Kesembilan Belas: Keberadaan Musibah di Tengah Manusia Akan Membuat Seorang Hamba Tersadar bahwa Seluruh Manusia Sangat Bergantung kepada Penjagaan dan Perlindungan Allah Subhânahû Wa Ta’âlâ 
Apabila tidak ada rahmat dan perlindungan Allah ‘Azza Wa Jalla, niscaya dia akan binasa di tengah badai musibah dan petaka.
 
Kedua Puluh: Seorang Hamba yang Didera oleh Petaka Akan Banyak Merenungi Sebab yang Mendatangkan Petaka
Dengan demikian, dia akan terdidik untuk banyak memperbaiki diri, membenahi aib dan keburukannya, serta menahan diri dari membahas aib orang lain.
 
Kedua Puluh Satu: Musibah Menyingkap bahwa Kehidupan Dunia Hanyalah Sementara, bukan Kehidupan Kekal Abadi
Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman,

وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini, melainkan senda gurau dan permainan belaka. Dan sesungguhnya akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya kalau mereka mengetahui.” [Al-‘Ankabût: 64]
Wallâhu Ta’âlâ A’lam

Footnote:

[1] Tujuh belas poin pertama dirangkum dari Fawâ`id Al-Balwâ wa Al-Mihan karya Al-‘Izz bin Abdus Salam, selebihnya dibahasakan dari keterangan Ibnul Qayyim dalam Zâd Al-Ma’âd Fî Hadyi Khair Al-‘Ibâd 4/ 188-196 dan Tharîq Al-Hijratain wa Bâb As-Sa’âdatain 2/362-372.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu ‘Abbâs dan Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhum.
[3] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry, Muslim, At-Tirmidzy, dan An-Nasâ`iy dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhû.
[4] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim, dari Abu Hurairah dan Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhumâ, serta oleh At-Tirmidzy, dari Abu Sa’îd Al-Khudry radhiyallâhu ‘anhû.
[5] Diriwayatkan oleh Ma’mar bin Râsyid, Ahmad, Ibnu Mâjah, dan selain mereka. Dishahihkan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 2047.
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim dari An-Nu’mân bin Basyir radhiyallâhu ‘anhumâ.
[7] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan selainnya. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 602.
[8] Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhû.
[9] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzy dan Ibnu Mâjah. Dihasankan oleh Al-Albâny rahimahullâh dalam Ash-Shahîhah no. 146.

Artikel: dzulqarnain.net