Sering terjadi diskusi atau debat tentang boleh dan tidaknya seorang da’i yang menjelaskan masalah bid’ah dimajlis majlis ‘ilmu dan tentu saja debat ini terjadi diantara para pendukung sunnah melawan pendukung bid’ah, simpatisan atau para da’i yang gandrung dengan bid’ah-bid’ah yang digemari oleh kebanyakan manusia, dan mereka tidak ingin ditinggalkan pengikutnya.
Seakan-akan sudah menjadi kaidah yang disepakati diantara mereka (walaupun tidak diucapkan) bahwasanya pembahasan masalah-masalah bid’ah akan membuat manusia lari dan menjauh dari mereka, dan memecah belah persatuan ummat islam, maka demi terlaksananya dakwah maka tidak perlu hal-hal tersebut diangkat dihadapan manusia.
Satu contoh jawaban yang sering mereka lontarkan ketika ditanya “apakah melafadzkan niat itu bid’ah atau sunnah ?” maka mereka menjawab “Tidak perlu sibuk dengan hal itu, semua benar yang salah adalah yang tidak sholat !”.
Jawaban seperti ini seolah olah sebagai jurus penyelamat bagi mereka supaya tidak di tinggalkan oleh pengikutnya, dan ternyata jawaban seperti ini sangatlah ampuh sehingga orang yang mendengarnya akan mengatkan padanya ini adalah seorang ustadz/kyai yang tidak kolot, sesuai dengan keadaan dan menyatukan dan tidak memecah belah ummat, dan mampu memberi solusi tepat tidak menyusahkan.
Di zaman sekarang ini, banyak wanita, kaum Muslimah, yang kehilangan suri tauladan. Betapa banyak diantara kita yang menjadikan orang-orang fasik sebagai contoh dalam kehidupan, atau paling tidak yang paling sering kita baca dan dengar kisahnya, menyebut mereka sebagai bintang. Padahal dari kisah-kisah Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, ada banyak tokoh wanita yang patut dijadikan suri tauladan. Merekalah bintang yang sesungguhnya.
Dimana posisi kita dibandingkan dengan Masyitha, wanita tukang sisir puteri Fir’aun, yang tetap teguh menyaksikan anak-anaknya satu persatu dimasak ke dalam minyak panas untuk membuat dirinya berpaling dari tauhid kepada Allah, hingga akhirnya dia dan bayinya beserta seluruh anaknya mati dalam siksaan Fir’aun itu? Pada saat ini, kita hanya sekedar mendengarkan cemoohan orang-orang bodoh dan benci terhadap ajaran Islam, yang mengatakan bahwa mengenakan Jilbab adalah tanda keterbelakangan, kita menjadi malu dan rela menaggalkan hijab dan membuka aurat, padahal kita juga menginginkan surga!
Dimana posisi kita dibandingkan dengan Asiah, sang Ratu isteri Fir’aun, yang rela meninggalkan kedudukannya sebagai wanita utama di dunia, di kerjaan seseorang yang paling berkuasa saat itu, dengan tabah menjalani siksaan yang begitu pedih untuk memeprtahankan aqidahnya, hanya berharap kepada Allah untuk menjadikannya pemilik rumah di Surga. Sedangkan kita pada saat ini, hanya sekedar menampakkan agama dan menjalankan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam pun kita malu, dan bahkan mencemooh orang-orang yang teguh di atas sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Padahal kita juga mengharapkan Surga!
(Apakah) perumpamaan (penghuni) jannah yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring... (Muhammad:15)
Judul asli: Al Jannah
Penulis : Syaikh Muhammad Isham bin Mar'I rahimahullah
Fisik : Buku sedang, softcover, 100 halaman
Jannah Alloh 'azzawajalla, istilah yang tidak asing lagi dalam benak kita, di dalamnya terdapat seluruh kenikmatan, kebaikan dan kebahagiaan. Tiada kesedihan, kekecewaan dan keburukan, hingga mencapai kenikmatan tertinggi di dalamnya yaitu melihat Alloh 'azzawajalla, Rabb semesta alam tanpa hijab.
Dalam ayal kita, Jannah adalah tempat meraup segala macam kenikmatan, hingga ada yang menyebutnya 'Dunia Kenikmatan Abadi'. Pada beberapa konteks dijelaskan bahwa Jannah adalah kenikmatan yang belum pernah dilihat oleh kasat mata, terdengar oleh telinga dan terbersit dalam benak manusia. Namun sesederhana itukah?
Halaman 142 dari 200