At Tauhid edisi VI/11
Dalam kesempatan ini kita akan membahas sebuah hal yang agung bagi seorang mu’min. Karena dengan hal tersebut, seorang mu’min akan menyadari betapa lemahnya ia di hadapan Allah. Dan dengan hal ini pula, ia akan mengenal Rabb-Nya, Allah Azza Wa Jalla, beserta nama-nama dan sifat-sifatnya yang sempurna. Sampai akhirnya ia akan paham benar tentang hakikat keberadaannya di dunia serta untuk apa ia diciptakan. Dan kami akan terus dan terus mengingatkan, bahwa tujuan utama Allah menciptakan kita adalah untuk beribadah kepada-Nya semata, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apapun. Allah Ta’ala berfirman:
Pertanyaan: Apakah memelihara jenggot wajib hukumnya atau hanya boleh? Apakah mencukurnya berdosa atau hanya merusak Dien (agama)? Apakah mencukurnya hanya boleh bila disertai dengan memelihara kumis?
Jawaban: Mengenai pertanyaan-pertanyaan di atas, kami katakan, terdapat dalam hadits yang shahih dari Nabi shalalohu'alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim di dalam shahih keduanya, dari hadits Ibnu Umar Radhiallohu'anhu, ia berkata, 'Rasulullah shalalohu'alaihi wasallam bersabda:
"Selisihilah orang-orang musyrik; potonglah kumis dan sempurnakan jenggot (biarkan tumbuh lebat-pent.) (Al-Bukhari 5892, 5893, dan Muslim 259).
Di dalam Shahih Muslim, dari Abu Hurairah Radhiallohu'anhu, ia berkata, 'Rasulullah shalalohu'alaihi wasallam bersabda: '
"Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot memanjang, selisihilah orang-orang Majusi." ( HR. Muslim 260).
Imam an-Nasa`i di dalam sunannya mengeluarkan hadits dengan sanad yang shahih dari Zaid bin ArqamRadhiallohu'anhu, ia berkata, 'Rasulullah shalalohu'alaihi wasallam bersabda:
"Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya (memotongnya), maka dia bukan termasuk dari golongan kami." (An-Nasa`i 13, 5047 dan at-Tirmidzi 2761 dan ia berkata: Hasan Shahih.)
Al-Allamah besar dan al-Hafizh terkenal, Abu Muhammad bin Hazm berkata, (Dalam kitabnya: al-Muhalla (2/220) dengan kata semisalnya.) 'Para ulama telah bersepakat bahwa memotong kumis dan membiarkan jenggot tumbuh adalah fardhu (wajib).'
Hadits-hadits tentang hal ini dan ucapan para ulama perihal memotong kumis dan memperbanyak jenggot, memuliakan dan membiarkannya memanjang banyak sekali, sulit untuk mengkalkulasi kuantitasnya dalam risalah singkat ini.
Dari hadits-hadits di muka dan nukilan ijma' oleh Ibnu Hazm diketahui jawaban terhadap ketiga pertanyaan di atas, ulasan ringkasnya; bahwa memelihara, memperbanyak dan membiarkan jenggot memanjang adalah fardhu, tidak boleh ditinggalkan, sebab Rasulullah shalalohu'alaihi wasallam memerintahkan demikian, sementara perintahnya mengandung makna wajib, sebagaimana firman Allah Subhanahuwata'aala :
Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah;. (QS. al-Hasyr:7)
Demikian pula, menggunting (memotong) kumis wajib hukumnya, akan tetapi memotong habis lebih utama, sedangkan memperbanyak atau membiarkannya begitu saja, maka hukumnya tidak boleh karena bertentangan dengan sabda Nabi shalalohu'alaihi wasallam: قصوا الشوارب ('Potonglah kumis.)'(Ahmad 2/229 dengan isnad yang hasan, ath-Thabrani dalam al-Ausath 9426 dan al-Kabir11335, 11724) أَحْفُوا الشَّوَارِبَ ('Potonglah kumis sampai habis.') جُزُّوا الشَّوَارِبَ '(Potonglah kumis.)' مَنْ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ شَارِبِهِ فَلَيْسَ مِنَّا(Barangsiapa yang tidak mengambil dari kumisnya (memotongnya), maka dia bukan termasuk dari golongan kami).
Keempat lafazh hadits tersebut, semuanya terdapat di dalam riwayat-riwayat hadits yang shahih dari Nabi shalalohu'alaihi wasallam, sedangkan pada lafazh yang terakhir tersebut terdapat ancaman yang serius dan peringatan yang tegas sekali. Hal itu mengandung konsekuensi wajibnya seorang muslim berhati-hati terhadap larangan Allah Subhanahuwata'aala dan Rasul-Nya, dan segera menjalankan perintah Allah Subhanahuwata'aala dan Rasul-Nya.
Dari hal itu juga diketahui bahwa memperbanyak kumis dan membiarkannya merupakan suatu perbuatan dosa dan maksiat. Demikian pula, mencukur jenggot dan memotongnya merupakan perbuatan dosa dan maksiat yang dapat mengurangi iman dan memperlemahnya serta dikhawatirkan pula ditimpakannya kemurkaan Allah Subhanahuwata'aala dan azab-Nya.
Di dalam hadits-hadits yang telah disebutkan di atas terdapat petunjuk bahwa memanjangkan kumis dan mencukur jenggot serta memotongnya termasuk perbuatan menyerupai orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, padahal sudah diketahui bahwa menyerupai mereka adalah perbuatan mungkar, tidak boleh dilakukan, berdasarkan sabda Nabi shalalohu'alaihi wasallam:
"Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka." (Sunan Abu Daud, 4031 dan Ahmad 5093, 5094, 5634).
Saya berharap jawaban ini cukup dan memuaskan. Wallahu waliyuttaufiq. Washallallahu wa sallam 'ala Nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbih.
Majmu Fatawa wa maqalat mutanawwi'ah 3/362-363.
Mu’adz bin Jabal –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)
Bukti bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amalan
Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, “Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)” Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta’ala,
“Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah’ lalu mengatakan ‘mohonlah ampun’. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)
Al Muhallab rahimahullah mengatakan, “Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya.” (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)
Ibnul Munir rahimahullah berkata, “Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (Fathul Bari, 1/108)
Halaman 184 dari 211