MENGHIDUPKAN KEMBALI
SUNNAH YANG TERBENGKALAI
Tidak sedikit
hadits shahih yang memerintahkan kita agar meluruskan barisan ketika shalat. Hadits-Hadits itu
bahkan telah dikenal di kalangan pencinta ilmu, lebih-lebih guru mereka.
Tetapi tidak sedikit di antara mereka yang belum menyadari bahwa apa yang diperintahkan Nabi e adalah tidak semata-mata meluruskan barisan antara bahu
dengan bahu, tetapi juga antar kaki dengan kaki. Bahkan kita
sering mendengar seorang imam masjid yang menyerukan untuk meluruskan barisan
antar bahu saja, tidak sekalian dengan kaki. Karena hal ini merupakan
penyimpangan dari sunnah Nabi e, maka saya ingin menyebutkan
hadits-hadits yang berkenaan dengan perintah tersebut. Hal ini saya maksudkan
agar menjadi peringatan bagi mereka yang ingin mengamalkan ajaran Nabi e dari sumber yang benar-benar valid,
bukan dengan cara mengikuti tradisi yang tidak sesuai,
atau mengikuti mereka yang sedikit pengetahuannya tentang agama.
٣١ - ÇóÞöíúãõæú ÇÕõÝõæúÝóßõãú ¡ æóÊóÑóÇÕóæúÇ ¡
ÝóÇöäøöì ÇóÑóÇßõãú ãöäú æóÑóÇÁöÙóåúÑöìú .
“Tegakkanlah barisanmu, dan tetaplah
di tempat, sebab aku dapat melihat kalian dari balik punggungku.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Bukhari (2/176, dengan syarah Al-Fath cet. Balagh), Imam Ahmad (3/182),
Imam Mukhlis di dalam Al-Fawa’id (juz 1/10/2) dari beberapa jalur yang
berasal dari Humaid Ath-Thawil dari Anas bin Malik, yang menuturkan:
“Shalat telah
diqamati. Lalu
Rasulullah e menghadap kepada kami dan bersabda:
(kemudian perawi menyebutkan sabda Nabi seperti di atas).”
Sementara itu Imam Bukhari dalam
riwayat lain menambahkan:
“Sebelum beliau bertakbir” dan di
akhir hadits, Imam Bukhari juga menambahkan:
æóßóÇäó ÇóÍóÏúäóÇ
íóáúÒõÞõ ãóäúßöÈöåö ÈöãóäúßöÈöåö ÕóÇÍöÈöåö æóÞóÏú ÈöÞóÏóãöåö
Seseorang di
antara kami menempelkan bahunya dengan bahu kawannya údan
menempelkan telapak kakinya dengan kaki kawannya.
Sedang yang dipakai oleh Al-Mukhlis
adalah:
“Anas berkata: “Saya benar-benar
melihat bahwa salah seorang di antara kami menempelkan bahu dan telapak kakinya
ke bahu dan telapak kaki kawannya. Seandainya hal itu
dilakukan sekaranõ, niscaya salah seorang di antara kalian akan ada yang enggan,
seperti seekor bighal yang membangkang.”
Sanad hadits ini
juga shahih sesuai dengan syarat Bukhari-Muslim. Sedang Al-Haizh Ibnu Hajar
menyandarkan hadits tersebut kepada Sayyid bin Manshur dan Al-Ismaili. Imam
Buhkari menerjemahkan hadits tersebut dengan perkataannya: “Bab Menempelkan
Bahu dengan Bahu dan Telapak Kaki dengan Telapak Kaki Lainnya dalam Barisan
Shalat.”
Sedangkan hadits kedua, yakni hadits
Nu’man adalah:
٣٢ - ÇóÞöíúãõæúÇ
ÕõÝõæúÝóßõãúú ËóáÇóËËóÇ ¡ æóÇﷲöáóÊõÞöíúãóäøó ÕõÝõæúÝóßõãú Çóæú
áóíõÎóÇáöÝóäøó Èóíúäó ßõáõæúÈößõãú
“Rapatkanlah
barisanmu (tiga kali). Demi Allah, kalian akan menegakkan
barisan, atau Allah akan membuat hati kalian saling berselisih.”
Hadits ini ditakhrij oleh Abu Dawud
(hadits nomor: 662), Ibnu Hibban (396), Imam Ahmad (4/276) dan Ad-Daulabi di
dalam Al-Jadali. Husain bin Harits menceritakan: “Saya mendengar Nu’man
bin Tsabit berkata:
“Rasulullah e menghadap kearah jamaah dan bersabda:
(ia menuturkan sabda Nabi di atas). Nu’man bin Basyir berkata: “Lalu saya
melihat masing-masing jamaah menemplekan bahunya ke bahu kawannya dan mata
kakinya ke mata kaki kawannya.”
Menurut hasil
pengamatan saya, sanad hadits ini shahih. Sedang Imam Bukhari
mengomentarinya sebagai hadits yang majzum (bisa diandalkan
keshahihannya). Adapun Imam Abu Khuzaimah juga
menyebutkannya di dalam kitab shahihnya. Dan hadits
tersebut juga disebutkan di dalam At-Targhib (1/176) dan Al-Fath
(2/176).
Kemudian Ad-Daulabi meriwayatkannya
dari jalur Baqiyyah bin Al-Walid, dari Huraiz yang menuturkan: “Saya mendengar
Ghailan Al-Muqri meriwayatkannya dari Abu Qutailah Martsad bin Wada’ah yang
meceritakan: “Saya mendengar Nu’man bin Basyir berkata (kemudian ia menyebutkan
hadits di atas).”
Sanad ini bisa (la
ba’sa bihi) dipakai sebagai mutabi’ (pendukung). Perawi-perawinya tsiqah
kecuali Ghailan Al-Muqri. Kemungkinan besar yang dimaksud dengan Ghailan
adalah yang saya sebutkan tadi, jika demikian maka ia
adalah perawi yang majhulul-hal (tidak diketahui identitasnya), namun
diambil haditsnya oleh beberapa perawi lain. Oleh karena itu
Al-Hafizh Ibnu Hajar menilainya maqbul (dapat diterima).
Kandungan Hadits
Kedua hadits ini memiliki beberapa
makna yang cukup penting, yaitu:
Pertama: Kewajiban merapatkan dan
meluruskan barisan shalat. Hal ini merupakan perintah agama.
Hukum asalnya adalah wajib, kecuali jika ada isyarat-isyarat yang ditetapkan di dalam kaidah hokum Islam
(Ushul Fiqh). Alasan yang ada di sini justru semakin memperkuat hokum wajib
tersebut, yaitu sabda Nabi e:
“Atau Allah SWT akan membuat hati kalian saling berselisih.” Peringatan
seperti ini tidak mungkin dinilai tidak wajib. Hal ini
tentunya sudah jelas.
Kedua:
Cara meluruskan dan merapatkan barisan itu adalah dengan menempelkan
antara bahu dengan bahu dan sisi telapak kaki dengan sisi telapak kaki. Karena cara inilah yang ditempuh oleh para sahabat, tatkala mereka
diperintah untuk meluruskan dan merapatkan barisan shalat oleh Nabi e. Oleh karena itu Al-Hafizh Ibnu
Hajar di dalam Al-Fath berkomentar, setelah menututkan perkataan Anas:
“Penjelasan ini memberikan pengertian kepada kita bagaimana cara
merapatkan dan meluruskan barisan shalat pada zaman Nabi e. Dengan demikian
jelaslah bagi kita argumentasi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
merapatkan dan meluruskan barisan.”
Namun yang patut disayangkan adalah
bahwa sunnah ini telah dilupakan oleh sebagian besar
kaum muslimin. Hanya beberapa ulama hadits yang masih
memeganginya. Sekitar tahun 1468 H saya
masih melihat mereka masih mempunyai semangat yang tinggi untuk mempraktekkan sunnah Nabi tersebut. Hal itu jelas berbeda dengan apa yang kita saksikan di kalangan ahli fiqh, yaitu para
pengikut empat mahdzab terkemuka. Sunnah semacam ini
dikalangan mereka benar-benar telah terlupakan. Bahkan
mereka nampaknya merekayasa agar hal ini bisa dihindari. Buktinya, mayoritas mereka menetapkan bahwa jarak antar kaki adalah
kurang lebih empat jari. Jika jarak ini dilebihi maka
hukumnya makruh. Hal ini bisa kita lihat secara lebih
rinci di dalam kita Al-Mudzahib Al-Arba’ah (1/207). Sebenarnya
pembatasan jarak seperti itu tidak ada dasar haditsnya sama
sekali. Hal itu hanya didasarkan pada ra’yu (rasio
semata). Jika hal itu benar, maka harus dipraktekkan
pula oleh imam atau orang yang shalat sendirian sebagiaman bisa diketahui dari
kaidah ushuliyyah (asal).
Jelasnya, saya menghimbau kepada
kaum muslimin, lebih-lebih para imam masjid atau musholla yang masih mempunyai
minat yang besar dalam mengikuti sunnah Nabi, agar
mengetahui benar sunnah ini dan mencari keutaman (fadhila), emnghidupkan
sunnah Nabi serta mengajak para jamaah untuk membiasakannya sehingga akan
terhindar dari perpecahan sebagaimana diperingatkan oleh Nabi e: “Atau Allah akan membuat hari
kalian saling berselisih.”
Ketiga: Di dalam hadits pertama terdapat
penjelasan mu’jizat Nabi e, yaitu kemampuan beliau untuk
melihat suasana yang ada di belakangnya. Namun perlu
diketahui bahwa hal ini hanya mampu beliau lakukan ketika sedang shalat.
Sebab tidak ada satu hadits pun yang menjelaskan bahwa beliau sanggup melakukan
hal yang sama ketika berada di luar shalat.
Keempat: Kedua hadits tersebut mengandung
bukti kuat tentang sesuaut yang jarang diketahui oleh umum, walaupun hal itu
telah dikenal di dalam ilmu jiwa, yaitu bahwa fenomena lahiriah merupakan
indikasi batiniah. Jika yang tampak di luar adalah
kebobrokan, maka aspek dalam pun tidak jauh berbeda. Demikian
pula sebaliknya. Dan hadits-hadits yang senada dengannya
masih banyak. Insya Allah akan saya paparkan
dalam kese mpatan
lain.
Kelima: Imam yang
membaca takbiratul ihram ketika mu adzin mengucapkan kata: Qad
Qamatish-Shalat” adalah bid’ah. Karena bertentangan
dengan hadits shahih, seperti yang ditunjukkan oleh hadits ini, terutama hadits
yang pertama. Keduanya memberikan pengertian bahwa
seorang imam setelah iqamat selesai, seyogyanya berdiri menghadap kearah jamaah
sambil mengatur barisan mereka. Hal itu karena ia
bertanggung jawab terhadap jamaah yang dipimpinnya, sebagaimana disebutkan
dalam hadits Nabi e: “Kalian semua adalah pemimpin dan
akan dimintai pertanggung-jawabannya.”
٣٣ - íóÈúÕõÑõ ÇóÍóÏõßõãú ÇáúÞóÐóÇ Éó Ýöì Úóíúäö
ÇóÎöíúåö ¡ æóíóäúÓóì ÇáúÌóÐúÚó ÇóæöÇáúÌóÏóáó Ýöì Úóíúäöå ãõÚúÊóÑúÖðÇ .
“Salah seorang di antara kalian suka
melihat kotoran mata saudaranya, tetapi lupa melihat sosok yang melintang di depan matanya (sendiri).”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu
Sha’id di dalam Zawa’iduz-Zulud karya Ibnul Mubarak (nomor: 165/1 dari Al-Kawakib
575), Ibnu Hibban di dalam kitab shaihnya (1848), Abu Na’im di dalam Al-Hilyah
(4/99) dan Al-Qadha’i di dalam
Musnad Asy-Syihab (nomor: 51/1) dari beberapa jalur yang berasal dari
Muhammad bin Hunair yang menuturkan: “Saya mendapatkan hadits dari Ja’far bin
Burqan dari Yazid bin Al-Ahsam dari Abu Hurairah secara marfu”.
Sementara itu Abu Na’im berkomentar: “Hadits ini gharib dari Yazid. Sebab
diriwayatkan secara menyendiri oleh Muhammad bin Hunair dari Ja’far.
Menurut hasil analisa saya: Seluruh
hadits ini tsiqah, dan termasuk perawi-perawi shahih, serta tak
maengandung cacat sedikitpun. Karena itu hadits ini adalah
shahih. Adapun komentar gharib yang dilontarkan
pada hadits tersebut tidak mempengaruhi keshahihannya sedikitpun. Di samping itu kaidah ilmu hadits telah bahwa gharib kadang-kadang
bisa mempunyai nilai shahih.
Oleh As-Suyuthi di
dalam Al-Jami’ush-Shaghir hadits tersebut disandarkan kepada Abu Na’im
saja. Dalam hal
ini Al-Manawi menuturkan: “Al-Amiri menilai hadits tersebut sebagai hadits
hasan.”
Di sisi lain Imam Bukhari juga
meriwayatkan hóadits tersebut di dalam Al-Adab
Al-Mufarrad (592) dari jalur Miskin bin Bukair Al-Hadzadza Al-Harani dari
Ja’far bin Burqan dengan redaksi di atas, dan berhenti (mauquf) sampai
Abu Hurairah.
Nama Miskin ini
dikenal jujur, tetepi pernah melakukan kesalahan (shaduq yakhti’),
sehingga riwayat Ibnu Humair secara marfu’ lebih kuat disbanding hadits ini,
sebab yang disebut terakhir ini tidak dikenal sifat khatha’ (melakukan
kesalahan di dalam meriwayatkan hadits). Namun demkian, keduanya termasuk
perawi-perawi yang dipakai Bukhari.
٣٤ - ÇöÐóÇ ÐõßöÑó ÇóÕúÍóÇÈöìú ÝóÇóãúÓößõæúÇ ¡
æóÇöÐóÇ ÐõßöÑó ÇáäøõÌõæúãõ ÝóÇóãúÓößõæúÇ ¡ æóÇöÐóÇ ÐõßöÑó ÇáÞóÏúÑõ
ÝóÇóãúÓößõæúÇ .
“Jika para
sahabatku disebut, maka diamlah. Jika bintang-bintang disebut, maka
diamlah. Dan jika qadar disebut, maka diamlah.”
Hadits ini
diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Tsauban, Ibnu Umar, dan Thawus, secara mursal
(perawinya gugur di sanad yang terakhir). Semua sanad itu dha’if tetapi, satu sama lain saling menguatkan.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Mas’ud ini ditakhrij oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir(2/78/2) dan
oleh Abu Na’im di dalam Al-Hilyah (4/108) dari jalur Al-Hasan bin Ali
Al-Fasawi dari Sa’id bin Sulaiman Mashar bin Abul Malik bin Sala’ Al-Hamdani,
dari Al-A’masy, dari Abi Wa’il dari Abdullah secara marfu’ (sanadnya bersambung
hingga sampai kepada Nabi e).
Abu Na’im berkomentar: “Hadits ini gharib dari Al-A’masy dan diriwayatkan
secara menyendiri oleh Mashar.”
Saya berpendapat: Hadits itu dha’if,
lebih-lebih karena Imam Bukhari berkata: “Hadits ini sebagian masih perlu
ditinjau kembali.” Penilaian semacam ini dilontarkan pula
oleh Ibnu Addi (1/343). Demikian pula apa yang disebutkan di dalam At-Tahdzib dan Al-Mizan dengan redaksi: “Imam Bukhari
berpendapat: “Hadits ini memerlukan analisa tersendiri”, tanpa menyebutkan kata
badh’an (sebagian). Karena redaksi penilaian yang dipakai oleh Imam
Bukhari adalah dengan mencantumkan kata tersebut, boleh jadi hal itu merupakan
kesalahan dari Adz-Dzahabi (penulis At-Tahdzib dan
Al-Mizan) atau karena kesalahan cetak. Yang jelas An-Nasa’i juga
menegaskan: “Hadits ini tidak kuat.” Sedangkan Ibnu Hibban
juga berpendapat demikian dalam Ats-Tsiqaat. Sementara
Al-Hafizh Ibnu Hajar sendiri di dalam At-Taqrib menilainya layyinul
hadits (hadits yang lentur, dalam arti dapat dikenai berbagai macam
penilaian).
Perawi-perawi
hadits itu tergolong tsiqah kecuali Al-Fasawi. Semuanya dipakai
oleh Bukhari-Muslim. Sedangkan Al-Fawasi ini ditulis
biografinya oleh Al-Khathib (7/372). Ad-Daruquthni
menilainya “laa ba’sa bihi” (tidak perlu dikhawatirkan).
Adapun Sa’id bin Sulaiman di sini
adalah Adh-Dhabi Al-Wasithi termasuk rawi yang dipakai oleh Bukhari-Muslim yang
berstatus “Tsiqah Hafizh” (tsiqah penghafal).
Dari semua penjelasan di atas, Anda
bisa melihat kelemahan dari apa yang dikatakan oleh
Al-Haitsami (7/202) yakni: “bahwa hadits itu diriwayatkan oleh Ath-Thabrani,
yang di dalam sanadnya terdapat Mashar bin Abdulmalik, dimana oleh Ibnu Hibban
dua tokok yang lain dinilainya tsiqah. Sedang penilaian
tsiqah tersebut terdapat perbedaan di kalangan para penilai hadits.
Adapun mengenai perawi-perawi yang lain adalah
termasuk perwai yang dipakai oleh Bukhari-Muslim.”
Padahal sebenarnya, Al-Fawasi itu
bukanlah perawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslimm juga bukan perawi imam
enam yang lain. Al-Hafizh Al-Iraqi di dalam kitab Takhrijul Ahya’(1/50 cet. Ats-Tsaqafah
Al-Islamiah) menyebutkan: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dari
hadits Ibnu Mas’ud dengan sanad hasan.”
Ath-Thabrani juga
mempunyai hadits dari Ibnu Mas’ud melalui jalur lain, yang diriwayatkan oleh
Al-Lalika’i di dalam Syarah Ushulus-Sunnah (239/1 dari Al-Kawakib
576) dan Ibnu Asakir (14/155/2), dari An-Nadhar Abi Qahdzam dari Abi Qilabah,
dari Ibnu Mas’ud secara marfu’.
Sanad ini dha’if dan mengandung dua
cacat:
Pertama: Terputusnya sanad antara Abu
Qilabah – namanya Abdullah bin Zaid Al-Jarami – dan Ibnu Mas’ud. Sebab jarak antara keduanya kurang lebih 75 tahun.
Kedua: Nadhar Abu Qahdzam, putera Ma’bad,
adalah seorang yang sangat dha’if. Ibnu Ma’in menilainya “laisa
bi syai’in” (tak berarti apa-apa). Sementara Abu Hatim lain lagi, dia menilainya yukhtabu haditsuh (haditsnya
bisa ditulis/dipakai). Sedangkan An-Nasa’i menilainya: “laisa bitsiqah”
(ia bukan seorang yang tsiqah).
Adapun hadits
Tsauban diriwayatkan (ditakhrij) oleh Abu Thahir Az-Zayadi di dalam kitabnya Tsalatsu
Majalis Minal Amali (191/2) dan Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir
(1/71/2). Dari
Yazid bin Rabi’ah yang menuturkan: “Saya mendengar Abul Ash’ats Ash-Shan’ani
meriwayatkan hadits itu dari Tsauban secara marfu’.
Menurut saya: Sanad ini sangat
dha’if, sebab Yazid bin Rabi’ah Ar-Rabby Ad-Dimasqi adalah seorang matruk
(diabaikan haditsnya), sebagaimana dilontarkan An-Nasa’I, Al-Uqaili
dan Ad-Daruquthni. Sedang Abu Hatim sendiri berkomentar: “Pada mulanya ia
adalah seorang yang bagus penguasaan haditsnya, tetapi menjelang wafatnya
hafalannya kacau.” Kemudian beliau ditanya: “Lalu apa komentar Anda selanjutnya
tentang dia?” Beliau menjawab mengingkari haditsnya yang
berasal dari Abul Asy’ats. Sementara itu Al-Jauzani mengatakan: “Saya
khawati kalau haditsnya maudhu’ (dibuat dengan kebohongan). Sedangkan Ibnu Addi menilainya dengan mengatakan “Arju annahu la
ba’sa bihi” (saya berharap agar ia tidak apa-apa).”
Adapun hadits Ibnu
Umar ditakhrij oleh Ibnu Addi (295/1). As-Sahmi juga mengambil hadits ini dari Ibnu Umar di
dalam kitab Tarikh Jurjan (315), dari jalur Muhammad bin Fadhl, dari
Kuraz bin Warabah, dari Atha’ yang memperolehnya dari Ibnu Umar tanpa menurut
kata An-Nujum. Ibnu Addi mengatakan: “Muhammad Fadhl adalah seorang
perawi yang kebanyakan haditsnya tidak didukung oleh hadits-hadits yang
diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah.
Sebagaimana saya
ketahui, dia (Muhammad bin Fadhl) adalah Ibnu ‘Athiyyah yang oleh Al-Fallas
dinilai sebagai kadzdzab (pendusta). Imam Bukhari menilainya sangat
dha’if, dengan perkataannya: “Sakatuu’anhu (mereka mengabaikan (hadits)nya).”
Sedang Karaz bin Wabarah telah
dicatat biografinya secara panjang lebar oleh As-Sahmi (295-290). As-Sahmi juga
banyak menampilkan haditsnya yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rabi’
bin Khaitsam, Thawus, Na’im bin Hind, ‘Atha bin Abi Rabah, Mujahid dan Abu
Ayyub. As-Sahmi menilainya: “Karaz bin Wabarah dikenal sebagai ahli ibadah dan
zuhud.” Namun tidak disebutkan adanya jarh (penilain
cacat) mapun ta’dil (penilaian adilnya).
Jalur kedua dari
Ibnu Umar, ditakhrij oleh As-Sahmi (254-255). Jalur ini berasal dari Muhammad bin
Umar Ar-Rumi dari Al-Farrad As-Sa’ib, dari Maimun bin Mihram, dari Ibnu Umar
secara marfu’ dengan redaksi yang lengkap.
Sanad ini juga sangat da’if sebab
Al-Farrat oleh Ad-Daruquthni dan imam yang lain
dinilainya matruk (diabaikan haditsnya). Bahkan Imam
Bukhari menilainya demikian dalam Munkarul Hadits (hadits yang tidak
diakui). Adapun Imam Ahmad menilainya: “Pada masa Maimun, ia sama seperti Muhammad bin Zaid dimana suka mencela.
Bahkan sempat dituduh tidak objektik di dalam meriwayatkan hadits, seperti yang
dilakukan oleh Muhammad bin Zaid. Ibnu Addi sendiri (314/2) menyebutkan:
“Mayoritas haditsnya, terutama yang diriwayatkan dari Maimun bin Mihram adalah munkar
(perawinya dha’if).” Sedang Muhammad bin Umar Ar-Rumi adalah (Layyinul
Hadits), sebagaimana disebutkan dalam At-Taqrib.
Hadits itu juga
disadur oleh As-Suyuthi di dalam kitabnya Al-Jami’ Ash-Shaghir dari
riwayat Ath-Thabrani dari Ibnu Mas’ud. Ibnu Addi juga meriwayatkannya
dari Ibnu Mas’ud dan Tsauban, juga dari Umar. Al-Manawi di dalam kitab Syarah-nya
menjelaskan bahwa Al-Hafizh Al-Iraqi menilai hadits tersebut denga mengatakan:
“sanadnya dha’if.” Sedang Al-Haitsami memberi komentar: “Di dalam sanadnya
terdapat Yazid yang berstatus dha’if.” Sementara itu Ibnu Rajab juga mengatakan: “As-Suyuthi meriwayatkannya dari beberapa jalur,
akan tetapi semuanya masih perlu dipertanyakan. Dengan
demikian dapat diketahui, bahwa penilaian hasan atas haditsnya karena mengikuti
penilaian Ibnu Sharshari hanyalah sebagai penguat.
Jadi telah anda ketahui sendiri
bahwa seluruh sanad yang dipakainya adalah sangat dha’if, kecuali sanad
pertama, sehingga hadits tersebut tidak bisa menjadi kekuatan hokum sebagaimana
ditetapkan dalam ilmu Utshul
Hadits.
Kemudian di dalam
kitab karya As-Suyuthi dijelaskan bahwa hadits itu berasal dari Ibnu Addi dari
Umar. Padahal saya tidak melihat bahwa hadits itu berasal dari Umar.
Yang benar adalah dari anaknya, Abdullah bin Umar. Jadi
kemungkinan hal itu merupakan salah tulis dari As-Suyuthi atau kesalahan cetak,
yakni adanya pembuangan kata “Ibnu”.
Di tempat, lain saya melihat sebuah
ahdits mursal (hadits yang sanadnya gugur di sanad terakhir) yang
menjadi syahid (penguat) hadits di atas, dan ditakhrij oleh Ar-Razzaq di
dalam di dalam Al-Amali (2/39/1) dari Mu’ammar dari Ibnu Tawwus dari
ayahnya secara marfu’ dengan redaksi yang sama.
Bagi saya,
seandainya tidak diirsalkan (dinilai mursal), maka sanad hadits terakhir ini
bisa dikatakan shahih. Namun demikian hadits ini bisa dipakai sebagai
penguat hadits-hadits sebelumnya yang senada di atas, khususnya hadits pertama.
Wallahu a’lam.
٣٥ - Çöäøó ÇﷲóÇ
ÓóÊóÞúÈóáó Èöìó ÇáÔøóÇãó ¡ æóæóáìۤ ÙóåúÑöì Çáúíóãóäó Ëõãøó ÞóÇáó áöìú :
,, íóÇ ãõÍóãøóÏõ Çöäøöì ÞóÏúÌóÚóáúÊõ áóßó ãóÇ ÊõÌóÇåóßó ÛóäöíúãóÉð æóÑöÒúÞð ¡
æóãóÇ ÎóáúÝó ÙóåúÑößó ãóÏóÏðÇ ¡ æóáÇó íóÒóÇáõ Çﷲóõ íóÒöíúÏõ ÇóæúÞóÇáó :
íõÚöÒøõ ÇúáÇöÓúáÇóãó æóÇóåúáóåõ ¡ æóíóäúÞõÕõ ÇáÔøöÑúßó æóÇóåúáóåõ ¡
ÍóÊøٰì íóÓöíúÑó ÇáÑøóßöÈõ Èóíúäó ßóÐóÇ – íóÚúäöì ÇáúÈöÍúÑóíúäö áÇó íóÎúÔٰì
ÇöáÇøó ÌóæúÑðÇ ¡ æóáóíóÈúáõÛóäøó åٰÐó ÇúáÇóãúÑõ ãóÈúáóÛó Çááøóíúáö .
“Sesungguhnya
Allah menghadapkanku ke Syam dan memalingkan punggungku ke Yaman. Kemudian berfirman kepadaku: “Wahai
Muhammad, sesungguhnya Aku telah menjadikan daerah yang engkau hadapi sebagai
harta ramapasan dan rezeki, dan menjadikan daerah di belakangmu sebagai
pertolongan.” Allah senantiasa menambahnya. Atau Nabi
bersabda: “Allah akan meluhurkan Islam dan para pemeluknya, dan akan
memperkecil jumlah kekafiran dan para pemeluknya, sehingga orang yang berada di
antara dua laut ini tidak akan merasa takut kecuali kepada kecurangan. Dan hal
ini akan mencapai puncaknya.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu
Na’im (6/107-108) dan Ibnu Asakir di dalam Tarikh Dimasqi (juz I
1/377-378), dari Dhamrah dari Saibani, dari Amer bin Abdillah Al-Hadhrami, dari
Abu Umamah secara marfu’. Abu Na’im berkomentar: “Hadits dari As-Saibani ini
gharib, karena Dhamrah meriwayatkan sendiri (mutafarrid).”
Menurut pengamatan
saya, Dhamrah adalah seorang yang tsiqah. Demikian pula As-Saibani. Nama terakhir ini di beberapa tempat di dalam kitab Al-Hilyah
dan At-Tarikh ditulis oleh Asy-Syaibani (dengan memakai syin bukan sin).
Namun hal ini hanya perbedaan ejaan. Nama sebenarnya adalah Yahya Ibnu Abu Amer.
Sedangkan
Al-Hadhrami dan Ibnu Hibban dinilainya tsiqah olehAl-Ijli. Akan tetapi Adz-Dzahabi mengatakan:
“Saya tidak pernah melihat ada seorang perawi yang meriwayatkan hadits darinya
kecuali Yahya.”
Saya berpendapat: Bagian hadits
kedua memiliki beberapa penguat (syahid) yang salah satunya telah saya sebutkan
pada hadits nomor 3. Sedang hadits ini diperkuat juga oleh Abdullah bin Hani’
tetapi saya tidak mengakuinya.
Hadits ini oleh
As-Suyuthi di dalam kitabnya Al-Jami’ Al-Kabir (1/141/1) dinilainya aziz
(hadits yang semula hanya diriwayatkan oleh dua orang perwai). Demikian pula Ath-Thabrani di dalam
Al-Kabir, juga Ibnu Asakir, memberikan penilaian yang sama
seperti As-Suyuthi.
٣٦ - ÇóáÇú õÐõäóÇäö ãöäó ÇáÑøóÃúÓö .
“Kedua telinga termasuk
kepala.”
Hadits ini shahih dan memiliki
beberapa jalur dari segolongan sahabat, di antaranya Abu Umamah, Abu Hurairah,
Ibnu Amer, Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Musa, Anas Samurah
bin Jundub dan Abdullah bin Zaid.
1. Hadist dari Abu Hurairah memiliki tiga sanad:
Pertama : Diriwayatkan oleh Sinan bin
Rabi’ah, dari Syaher bin Hausyab, dari Abu Umamah secara marfu’.
Hadits dengan
sanad ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi dan Ibnu Majah, Ad-Daruquthni,
Al-Baihaqi dan Ahmad (5/285/268) serta Ath-Thahawi, semuanya dari Hammad bin
Zaid dari Sinan.
Sanad ini hasan
dan bisa dipakai sebagai syahid. Pada diri Sinan dan Syaher terdapat
kedha’ifan, namun keduanya gharu mattahan (tidak disangsikan). Mayoritas ahli hadits menganggap bahwa hadits itu dari segolongan
sahabat dari Hammad. Hanya saja Sulaiman berbeda dalam
meriwayatkannya. Dia meriwayatkannya secara mauquf
(hanya sampai kepada sahabat saja). Namun riwayat dari segolongan
sahabat itulah yang lebih kuat, seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya, yakni
di dalam Sunan Abu Dawud (hadits nomor: 123). Saya
menyebutkan bahwa hadits ini diperkuat oleh beberapa imam dan ulama, seperti
oleh At-Turmudzi yang menilainya hasan dalam beberapa tulisannya.
Penilain yang sama juga dilakukan oleh Al-Mundziri,
Ibnu Daqiq Al’id, Ibnu Tarkumay dan Az-Zaila’i. Bahkan Imam Ahmad memberikan
isyarat penguatan terhadap hadits tersebut, sementara Al-Atsram di dalam kitab Sunan-nya
(nomor: 213/1) setelah menuturkan haditsnya menjelaskan: “Saya mendengar Abu
Abdillah ditanya tentang hadits itu: “Apakah kedua telinga termasuk kepala?”
Beliau menjawab: “Benar”.
Kedua: Dari Ja’far bin Zubair dari
Al-Qasin dari Abu Umamah secara marfu’.
Hadits ini
ditakhrij oleh Ad-Daruquthni (hal. 38-39). Ad-Daruquthni berkata: “Ja’far bin Zubair adalah matruk.”
Sedangkan saya melihat: Hadits ini
diperkuat oleh Abu Mu’adz Al-Alhani.
Imam lain yang juga mentakhrijnya
adalah Tamam Ar-Razi dalam Al-Fawa’id (246/1) dari jalur Utsman bin
Fa’id, dari Abu Mu’adz secara marfu’.
Al-Alhani ini,
saya tidak pernah melihat ada orang yang menyebutnya. Sedang Utsman bin Fa’id adalah
dha’if.
2. Hadits ini yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah memiliki
empat sanad.
Pertama: Ditakhrij oleh Ad-Daruquthni (37)
dan Abu Ya’la di dalam Musnad-nya (1/289) dari Ismail bin Muslim dari
Atha’ dari Abu Hurairah secara marfu’. Namun Ad-Daruquthni menilai “Hadits ini tidak
shahih.”
Menurut pengamatan
saya penilaian tersebut dikarenakan dalam sanad tersebut terapat Ismail. Ia
berkebangsaan Makkah dan dha’if. Hal ini bisa kita lihat
lebih jelas ketika terjadi perselisihan mengenai sanadnya pada hadits Ibnu
Abbas nanti.
Kedua: Dari Amer bin Al-Hashin dari
Muhammad bin Abdillah bin ‘Alatsah dari Abdul Karim Al-Jazary dari Sa’id bin
Musayyab dari Abu Hurairah.
Hadits dengan sanad ini diriwayatkan
oleh Ibnu Majah (hadits nomor: 445) dan Ad-Daruquthni (hal. 38). Ibnu Majah
mengatakan: “Amer bin Al-Hashin dan Ibnu ‘Alatsah keduanya dha’if.”
Sementara menurut pengamatan saya:
Perawi pertamalah yang lebih dha’if.
Ketiga: Diriwayatkan dari Al-Bahktari bin
‘Ubaid dari ayahnya dari Abu Hurairah.
Hadtis dengan sanad ini diriwayatkan
oleh Ad-Daruquthni dengan memberikan catatan: “Al-Bakhtari bin Ubaid seorang
perawi yang dha’if, sedang ayahnya adalah majhul (tidak dikenal).”
Keempat: Diriwayatkan dari Ali bin ‘Ashim
dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Abu Hurairah.
Hadits dengan
sanad ini ditakhrij oleh Ad-Daruquthni (hal 37). Ibnul Jauzy juga
mengambil hadits ini darinya, dari kitab At-tahqiq (1/29/1).
Ad-Daruquthni memberikan
komentarnya: “Ali bin Al-‘Ashim telah melakukan kesalahan, karena di dalam
sanad itu ia mengatakan: “Dari Abu Hurairah dari Nabi e.” Dengan demikian
sanad sebelumnya lah yang lebih shahih, yakni dari Ibnu Juraij.
Yang dimaksud dengan sanad yang
lebih shahih tersebut adalah yang dari jalur Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa
secara mursal. Hal ini akan saya jelaskan pada halaman
selanjutnya. Kemudian Ibnul Jauzy membelanya dengan argument yang ringkasnya:
“Penambahan perawi tsiqah adalah diterima.”, maksudnya
penambahan perawi yang dilakukan oleh Ali bin Al-‘Ashim yaitu Abu Hurairah. Penambahan semacam ini diterima. Tetapi hal ini tidak
berlaku disinim sebab meskipun Ali bin Al-‘Asahim seorang perawi shaduq
(sangat jujur), dia sering melakukan kesalahan di dalam meriwayatkan hadits.
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar memiliki beberapa
sanad juga:
Pertama : Al-Mukhlis di dalam Al-Fawa’id
Al-Muntaqat pada sanad kedua dari enam sanad yang disebutkannya (nonor:
190/1) menuturkan: “Saya mendapatkan hadits ini dari Al-Jarah bin Mikhlad, ia
berkata: “Saya mendapatkan hadits ini dari Yahya bin ‘Uryan Al-Harawi, yang
memberitahukan: “Saya mendapatkan hadits ini dari Hatim bin Ismail dari Usamah
bin Zaid, dari Nafi dari Ibnu Umar.”
Dengan sanad
inilah Ad-Daruquthni mengambil jalur (hal. 36) yang kemudian diambil oleh Ibnul
Jauzy. Sementara
itu Al-Khathib di dalam kitabnya Al-Muwadhih (1/111) meriwayatkan dari
Ibnu Sha’id, dan di dalam At-Tarikh (juz XIV hal 161) ia
meriwayatkannya dari jalur yang berbeda, dari Al-Jarah bin Mikhlad.
Menurut saya,
sanad ini hasan, sebab perawi-perawinya tsiqah seta dikenal kecuali Al-Harawi. Perawi terakhir
ini biografinya ditulis oleh Al-Khathib, tanpa menyebutkan jarh
(cacat/kekurangan) dan ta’dil (penilaian positif) sedikitpun. Ia hanya menyebutkannya sebagai seorang muhaddits (pakar
hadits).
Sedangkan Ad-Daruquthni: ia ada kelemahan dalam sanad ini dengan perkataannya:
“Demikian yang dikatakan oleh Al-Mukhlis. Tetapi ini
mengandung kesalahan. Yang benar adalah dari Usamah bin Zaid, dari Hilal
bin Usamah Al-Fahri dari Ibnu Umar secara mauquf (hadits yang sanadnya
berhenti pada sahabat).
Ibnul Jauzy membatahnya dengan
mengatakan: “Saya katakana, bahwa yang menilainya sebagai hadits marfu’,
menyatakan adanya tambahan perawi tsiqah semacam ini bisa diterima menurut
kaidah ilmu hadits. Seorang sahabat memang kadang-kadang
meriwayatkan hadits secara marfu’, tetapi karena
Bagi saya yang
dikemukakan oleh Ibnul Jauzy adalah baik sekali, dengan catatan seluruh perawi
yang ada di dalam sanad tersebut adalah tsiqah. Akan tetapi seperti anda ketahui
bahwa di dalam sanad hadits itu terdapat Usamah bin Zaid, yang mempunyai
predikat agak dha’if. Kemudian dalam meriwayatkan hadits pun terdapat
perbedaan. Hatim bin Ismail meriwayatkannya secara maarfu’,
tetapi Waqi secara mauquf, dimana berhenti hanya kepada Umar.
Sementara itu Al-Khathib yang
mentakhrijnya di dalam Al-Muwandhih mengatakan:
“Inilah yang benar.”
Penilaian Al-Khathib tersebut
disebabkan karena ke-marfu’-an hadits ini diperkuat
dengan riwayat Ubaidillah yang disitir dari Nafi’.
Ad-Daruquthni dan Tamam juga
mentakhrijnya di dalam Al-Fawa’id (104/1) dari jalur Muhammad bin Ubai
As-Sirri dari Abu Razzaq dari Ubaidillah secara marfu’. Ad-Daruquthni berkata:
“Periwayatan secara marfu’ yang dilakukan itu adalah wahm (sangkaan yang
kecil kebenarannya).
Menurut saya
penilaian semacam itu karena terdapat illat, yaitu pada Ubai As-Sirri. Ia seorang
yang muttaham (disangsikan).
Sanad ini juga
diperkuat oleh Yahya bin Sa’ad yang disitir dari Nafi’ secara marfu’.
Hadit ini disitir oleh Ad-Daruqthni
dan Ibnu Addi di dalam Al-Kamil (1/1) dari Ismail bin ‘Iyasi dari Yahya
secara marfu’. Ibnu Addi memberikan catatannya: “Tidak ada orang meriwayatkan
hadits dari Yahya kecuali Ismail bin ‘Iyasi.”
Padahal menurut
penelitian saya, Ibnu ‘Iyasi dikenal dha’if di kalangan ulama Hijaz. Sedangkan hadits
ini termasuk riwayat darinya.
Jalur kedua dari Muhammad bin Fadhal
dari Zaid dari Mujahid dari Ibnu Umar secara marfu’.
Hadits dengan sanad kedua ini
ditakhrij oleh Ad-Daruquthni, namun ia berkata: “Muhammad bin Fadhal atau
dikenal dengan Ibnu ‘Athiyyah adalah seorang matruk;” Kemudian Ad-Daruquthni
juga meriwayatkannya lagi, demikian pula dengan Ad-Daulabi di dalam kitabnya Al-Kuna
(2/137), dari beberapa jalur yang bersumber dari Ibnu Umar secara mauquf
(beritanya hanya sampai kepada sahabat).
4. Hadits yang diriwayatkannya oleh Ibnu Abbas juga memiliki
beberapa sanad:
Pertama: Diriwayatkan dari Abu Kamil
Al-Jahdari dari Ghandar Muhammad bin Ja’far dari Ibnu Juraij dari ‘Atha’ dari
Ibnu Abbas secara marfu’. Hadits dengan sanad ini ditakhrij
oleh Ibnu Addi (218/1-2), Abdullah Al-Falaki di dalam Al-Fawa’id (91/1)
dan Ad-Daruquthni (hal. 36).
Ad-Daruquthni berkomentar: “Abu
Kamil hanya meriwayatkan seorang diri dari Ghandar. Ia
seorang mattaham (diragukan). Namun dikuatkan oleh Ar-Rabi bin Badar.
Tetapi orang terakhir ini adalah matruk, dan meriwayatkannya dari Ibnu Juraij
dari Sulaiman bin Musa, dari Nabi e secara mursal (perawinya gugur di sanad terakhir).
Ibnul Jauzy mengomentarinya di dalam
At-Tahqiq (1/29/1) dengan perkataannya:
“Saya katakana bahwa: Saya tidak
pernah meihat seorang pun mencatat Abu Kamil. Periwayatannya
secara marfu’ merupakan tambahan. Penambahan dengan perawi tsiqah
seperti itu dapat diterima, apalagi disetujui oleh yang lain. Kalaupun tidak terbiasa meriwayatkan hadits yang sesuai dengan yang
lainnya, maka haditsnya itu tetap bisa diterima. Adapun kebiasaan yang
dilakukan oleh para ahli hadits adalah, jika mereka meliha seorang perawi yang
me-mauquf-kan hadits di satu pihak dan seorang perawi lain me-marfu’kannya di
pihak lain, maka mereka akan memperhitungkan yang
mauquf, demi kehati-hatian. Namun hal ini tidak menjadi
kebiasaan para fuqaha’ dalam arti tidak begitu dipermasalahkan. Dengan demikian, kemungkinannya adalah bahwa Ibnu Juraij
mendengarnya dari ‘Atha’ dengan riwayat marfu’, dimana sebelumnya Sulaiman
telah meriwayatkan hadits itu kepadanya dari Rasulullah e tidak secara musnad
(disandarkan kepada Nabi dengan sanad yang bersambung).
Saya berpendapat,
bahwa yang benar, sanad ini shahih. Sebab Abu Kamil adalah soerang perawi
yang tsiqah dan hafidz, disamping juga dipakai oleh Imam Muslim. Karena
itu penambahannya dapat diterima, hanya saja Ibnu Juraij adalah seorang mudallis
(menyembunyikan kelemahan hadits) sedangkan disini ia
dilibatkan dalam silsilah perawi. Seandainya ia
mendengar langsung dari Sulaiman, maka tentu tidak ada halangan untuk
menilainya sebagai hadits shahih. Menurut Ad-Daruquthni, Abu Kamil yang
menjelaskan dengan haddatsana (bercerita kepada saya) di dalam
riwayatnya itu adalah mursal. Walaupun untuk sampai kepadanya disitu terdapat
Abbas bin Yazid Al-Bahrani, dimana ia memang seorang yang tsiqah, akan tetapi
oleh sebagian ahli hadits ia didha’ifkan, yaitu dengan memberi sifat yukhthi’
(melakukan kesalahan), sehingga dengan demikian penambahannya tidak bisa
dijadikan pendukung, apalagi seluruh rangkain perawi yang dipakai oleh Ibnu
Juraij disambungkan dengan kata an (mua’an’an). Kemudian saya melihat
Az-Zaila’I di dalam kitab Nashbur Rayah (19/1) dari Ibnul Qathan
menegaskan: “Sanadnya ini shahih karena ke-muttashil-annya dank area ke-tsiqah-an
perawinya.” Lalu ia menolak penilaian Ad-Daruquthni
dengan cara sebagimana yang dilakukan dalam kitab TAnqihut Tahqiq, karya
Ibnu Abdil Hadi (juz 1, hal. 241).
Selanjutnya di dalam biografi Ibnu
Juraij yang ditulis oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya At-Tahdzib, Ibnu
Hajar mengatakan: “Jika saya berkata Qala ‘Atha’… (Atha
berkata) maka berarti saya mendengar langsung darinya. Sekalipin saya tidak mengatakan sami’tu (saya mendengar).
Hal ini merupakan pernyataan yang penting artinya.
Akan tetapi disini Ibnu Juraij tidak berkata: Qala ‘Atha’ … (‘Atha’
berkata). Ia hanya berkata: ‘An ‘Atha’ (dari
‘Atha’). Dengan demikian, permasalahannya adalah: apakah pengungkapannnya itu
dihukumi sama ataukah berbeda? Saya sendiri
berpendapat bahwa itu dihukumi sama (artinya meskipun
ia memakai kata ‘an, tetapi yang dimaksud adalah mendengar langsung
–pent.)”.
Ibnu Abbas
memiliki sanad lain, dari ‘Atha yang diriwayatkan oleh Al-Qasim bin Ghushn dari
Ismail bin Muslim dari Ibnu Umar.
Hadits dengan sanad ini diriwayatkan
oleh Al-Khathib di dalam At-Tarikh (6/384) dan
juga oleh Ad-Daruquthni. Al=Khathib berkata: “Ismail bin Muslim adalah seorang
perawi dha’if. Demikian juga Muslim bin Ghushn. Namun Ali bin Hasyim
menentang kedha’ifan tersebut, sehingga ia juga
mengambil riwayat dari Ismail bin Muslim Al-Makki dari ‘Atha’ dari Abu
Hurairah. Tetapi sanad ini juga tidak shahih.
Sementara itu
Jabir Al-Jafi memperkuatnya denga riwayat dari ‘Atha’ dari Ibnu Abbas.
Sanad ini ditakhrij oleh Al-Mukhlis
di dalam kitab Ats-Tsani Minas-Sadis Minal Fawa’id Al-Muntaqat (1/190),
dan Ad-Daruquthni yang memberi komentar: “Jabir adalah seorang perawi yang dha’if.
Hadits yang diriwayatkan olehnya terkadang diperselisihkan.
Al-Hakam bin Abullah Abu Muthi’ memursalkan (menilai mursal(
haditsnya yang datang dari jalur Ibrahin bin Thuhman dari Jabir dari ‘Atha’. Inilah yang nampaknya lebih tepat.
Kedua: Diriwayatkan dari Muhammad bin
Ziyad Al-Yaskari dari Maimun bin Mihram dari Ibnu Abbas.
Hadits dengan
sanad ini diriwayatkan oleh Al-Uqaili di dalam kitab Adh-Dhu’afa (hal.
379). Hadits itu
juga diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni yang berkata: “Muhammad bin Ziyad adalah
seorang yang matruk (diabaikan haditsnya). Sedangkan Yusuf bin Mihram
meriwayatkannya dari Ibnu Abbas secara mauquf.”
Kemudian Muhammad bin Ziyad
meriwayatkannya dari Ali bin Zaid dari Ibnu Abbas. Sedang disini Ibnu Zaid
adalah dha’if
Ketiga: Diriwayatkan dari Qaridh bin
Syaibah dari Abu Ghathafan dari Ibnu Abbas.
Hadits dengan sanad ini diriwayatkan
oleh Ath-Thabrani di dalam Al-Mu’jam Al-Kabir (1/98/3) dari Abdullah bin
Ahmad bin Hambal yang menuturkan: “Saya diberi hadtis oleh ayah saya. Ia berkara: “Saya diberi hadits oleh Waki’ dari Ibnu Abi
Dhi’eb, dari Qaridh bin Syaibah secara mauquf.
Saya katakana: Sanad ini shahih,
sebab seluruh perawinya tsiqah. Saya tidak melihat
adanya illat di dalamnya. Tetapi anehnya sanad yang shahih ini lebih
dilupakan begitu saja oleh ulama muta’akhirin yang mentakhrij hadits,
seperti Az-Zaila’I dan Ibnu Hajar, dimana keduanya dan lain-lain adalah
orang-orang yang tidak menghkhususkan diri di bidang ilmu hadits (dalam hal ini
takhrij). Bahkan sanad ini juga dilupakan oleh Al-Hafizh
Al-Haitsami. Ia tidak memasukkannya di dalam kitabnya Majmu’az-Zawa’id , padahal
sanad ini sesuai dengan syarat yang ditentukan. Semua ini merupakan kebenaran
ungkapan: “Berapa banyak tokoh-tokoh terdaulu yang melupakan rawi-rawi terakhir
sebelum mereka.” Ungkapan tersebut dapat dijadikan dalil bagi
pentingnya merujuk pada kitab-kitab induk dalam melakukan kritik terhadap
hadits. Sebab hal ini menjadikan hasil penilaiannya
lebih objektif dan lebih mendekati ketetapan yang benar. Wallahu a’lam.
Jika anda memahami hal ini, maka
anda tidak akan terkecoh oleh perkataan Al-Hafizh Ibnu
Hajar di dalam Ad-Dirayah (hal 7) mengenai hadits Ibnu Abbas ini:
“Hadits ini
ditakhrij oleh Ad-Daruquthni, dan diperselihkan antara ke-mursal-an (perawinya
gugur di sanad terakhir) dank e-muthasil-annya (perawinya bersambung atau tidak
ada yang gugur), yang lebih kuat adalah kemursalan.”
Ibnu Hajar
bermaksud memilih jalur yang lebih utama. Anda sendiri mengetahui bahwa yang
benar adalah kemutthasilan hadits itu. Sesungguhnya hadits itu shahih
kalau saja tidak ada Ibnu Juraij (baca: keterlibatannya dalam silsilah perawi).
Mengapa bisa demikian? Anda tentu
tahu sendiri jawabannya (tentang Ibnu Juraij).
5. Hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ditakhrij oleh
Ad-Daruquthni (hal. 37) dari Muhammad bin Al-Azhar Al-Jauzajani. Muhammad
berkata: “Saya mendapatkan hadits dari Al-Fadhal bin Musa As-Sinani
dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah.
Lalu Ad-Daruquthni memberikan catatannya: Demikianlah ia
mengatakan. Dan kemursalan hadits itu lebih kuat.”
Yang dimaksudnya
adalah bahwa Ibnu Juraij meriwayatkan hadits ini secara mursal dari Sulaiman,
seperti telah saya sebutkan pada sanad pertama dari Ibnu Abbas. Mengenai Muhammad bin Azhar, Al-Hafizh Ibnu
Hajar di dalam At-Talkish (hal. 33) menjelaskan: “Ia dinilai dusta oleh
Imam Ahmad.”
6. Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa ditakhrij oleh
Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath (1/4/1 dari Zawaid), Ibnu Addi
(1/23) dan Ad-Daruquthni (hal.38) dari beberapa jalur yang berasal dari Asy’ats
dari Al-Hasan dari Abu Musa. Ath-Thabrani mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan
dari Abu Musa hanya dengan sanad ini.”
Al-Uqaili juga
meriwayatkannya di dalam Adh-Dhu’afa (hal. 9) dari Asy’ats denga sanad
tersebut. Ia berkata: “Hadits ini tidak memiliki penguat, sedang
sanad-sanadnya lentur (layyin). Adh-Daruquthni berkomentar: “Yang benar
adalah mauquf, sebab Al-Hasan tidak mendengarnya dari Abu Musa.”
7. Hadits yang diriwayatkan oleh Anas ditakhrij oleh Ibnu
Addi (1/24), Abul Hasan Al-Hamami di dalam Al-Fawa’id Al-Muntaqat (9/12)
dan Adh-Daruquthni (39) dari beberapa jalur beasal dari Abdul Hakam dari Anas.
Adh-Daruquthni mengingatkan: “Abdul
Hakam tidak bisa dibuat hujjah (haditsnya).”
8. Hadits yang diriwayatkan oleh Samurah bin Jundub, yang
diriwayatkan oleh Tamam Ar-Razi di dalam Musnadul Muqillin Minal Umara’
Ash-Shalatin (hal. 3) dan Ibnu Asakir di dalam Tarikh-nya
(14/387/1): Ali Muhammad bin Harun bin Syu’aib telah meriwayatkan kepada saya,
ia menurutkan: Muhammad bin Utsman Ibnu Abi Suwaid Al-Bashri memberitatahukan
bahwa Hadabah bin Khalid mengatakan: Hamman telah meriwayatkan hadits-hadits
kepada saya dari Sa’id bin Abu ‘Arubah yang mengisahkan: “Saya berada di
samping mimbar Al-Hajjaj bin Yusuf, kemudian saya mendengar ia berkata:
“Samurah bin Jundub telah menceritakan kepada saya, bahwa Rasulullah e telah bersabda: (kemudian ia
menyebutkan sabda Nabi e di atas).”
Abu Ali disini
adalah seorang sahabat Anshar. Ia adalah seorang perawi yang
sangat dha’if, tetapi tidak meriwayatkannya seorang diri (tafarrud).
Tamam juga mentakhrijnya (nomor: 4) dari jalur lain dari Ahmad bin Sa’id
Ath-Thabrani dari Hadabah bin Khalid.
Hadabah dan
perawi-perawi diatasnya adalah tsiqah kecuali Al-Hajjaj yang terkenal
sebagai penguasa yang zhalim.
9. Hadits yang diriwayatkan oleh Abullah bin Zaid yang
ditakhrij oleh Ibnu Majah (hadits no. 443): “Suwaid bin Sa’id meriwayatkan
kepada saya, ia menuturkan: “Yahya bin Zakariah bin Abi
Zaidah meriwayatkan kepada saya dari Syu’bah dari Hubaib bin Zaid dari Abbad
bin Tamim dari Abdullah bin Zaid secara marfu’.” Sedang Az-Zaila’I di dalam
kitabnya (1/19) berkata:
“Sanad inilah yang
paling representatif karena ke-mutthasil-an dank e-tsiqah-an perawi-perawinya. Ibnu Abi Zaidah, Syu’bah dan Abbad
dipakai sebagai hujjah oleh Bukhari-Muslim. Sedang Hubaib
oleh Ibnu Hibban di dalam At-Tsiqat dikategorikan termasuk dalam
kelompok Atba’ut-tabi’in (generasi sesudah tabi’in). Sementara
Suwaid bin Sa’id dipakai oleh Imam Muslim.”
Dalam hal ini
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkomentar di dalam Ad-Dirayah (hal. 7) bahwa
Suwaid telah melakukan kesalahan. Sedang dalam At-Taqrib disebutkan: “Suwaid
sebenarnya shaduq, hanya saja ia buta. Ia
mengakui hadits orang lain sebagai miliknya sendiri. Adapun
Ibnu Ma’im menilainya lebih buruk lagi.
Oleh karena itu Al-Bushairi di dalam
kitabnya Az-Zawaid (nomor: 33/2) menyimpulkan: “Sanad ini sebenarnya
hasan kalau saja Suwaid bisa menjaganya.”
Saya berpendapat: hal ini tidak
menghalangi hadits tersebut naik status menjadi hasan lighairih (hasan
dari sisis sanad lainnya) selama seluruh perawinya tsiqah dan tidak ada yang muttaham
(diragukan). Jika sanad ini digabungkan dengan sanad Ibnu Abbas yang shahih dan
sanad lain yang dinilai shahih oleh Ibnul Qathan, Ibnul Jauzy, Az-Zaila’I dan
lain-lain, maka tidak diragukan lagi bahwa hadits ini tsabit (baca:
mutlak tidak dapat dirubah) dan shahih. Dan jika sanad itu digabungkan dengan
jalur-jalur yang lian dari sahabat lainnya, maka ke-shahih-annya akan bertambah kuat. Bahkan bisa mecapai
derajat mutawatir menurut sebagian ulama.
Kandungan Hukumnya
Jika hadits ini
telah dinilai benar-benar shahih, maka setidak-tidaknya ada mengandung dua
masalah fiqh yang menjadi bahan perselisihan dikalangan ulama.
Pertama: Masalah mengusap telinga, apakah
termasuk wajib atau sunnah? Ulama
Hanabilah memilih pendapat pertama. Hujjah mereka
adalah hadits ini, dimana telah jelas memberikan pengertian, bahwa telinga
diusap bersama kepala.
Sedangkan jumhurul Ulama memilih
pendapat kedua yaitu, bahwa mengusap telinga hanya sunnah
hukumnya, sebagaimana bisa dilihat di dalam kitab Muzhahibul Arba’a (1/56).
Kita memang tidak melihat adanya hujjah yang bisa diandalkan
bagi mereka, kecuali perkataan Imam An-Nawawi di dalam kitab Al-Majmu’
(juz 1 hal 415) bahwa hadits itu dha’if dari sisi semua sanadnya.
Jika anda mengetahui bahwa sebenarnya tidak seperti itu
persoalannya, yakni bahwa sebagian sanadnya. Bahkan sebagian besarnya
adalah shahih, maka anda tentu tidak akan terpengaruh
oleh penilaian An-Nawawi, sebab sebagian sanad yang lain memang bernilai shahih
lighairihi (shahih dari sisi sanad yang lain). Dengan demikian anda bisa
lebih yakin, bahwa hujjah yang dipakai mereka sebenarnya adalah dha’if,
karena itu yang benar harus memegangi hadits yang menjelaskan kewajiban
mengusap telinga dengan cara yang sama dengan mengusap
kepala. Cukuplah bagi anda mengikuti pendapat dari Imam Ahmad bin Hambal dan
beberapa sahabat yang telah saya sebutkan nama-namanya ketika melakukan takhrij
hadits, sementara Imam Nawawi menisbatkan hadits itu di dalam kitabnya (1/423)
kepada mayoritas ulama terdahulu (al-aktsarin minas-salaf).
Kedua: Cukupkah mengusap telinga dengan
air yang diambil untuk mengusap kepala, ataukah harus dengan air yang baru?
Tiga Imam mahzab
memilih pendapat pertama, sebagaimana bisa dilihat di dalam Faidhul Qadir
karya Al-Manawi. Di dalam syarah-nya dijelaskan: “Kedua telinga termasuk
kepala, bukan dari wajah (muka) ataupun sebagai anggota tersediri. Karena itu cara mengusapnya tidak perlu mengambil air yang baru.
Artinya cukup dengan air yang dipakai untuk mengusap kepala, dengan kata lain
mengusap keduanya cukup dengan tetesan air dari kepala. Jika tidak demikian
maksud hadits itu, maka ia hanya menjelaskan
penciptaannya saja. Dan Nabi e tidak diutus untuk menegaskan
hal terakhir. Inilah pendapat yang dipakai oleh tiga Imam mazhab.”
Hal itu ditentang
oleh para pengikut Asy-Syafi’iyyah. Mereka berpendapat bahwa mengusap telinga
disunnahkan dari air yang baru. Dan cara
mengusapnya adalah berbeda dnegan cara mengusap kepala, artinya merupakan
anggota tersendiri. Tetapi tidak wajib melakukannya.
Imam Nawawi memakai hadits yang dirieayatkan oleh Abdullah bin Zaid bahwa
Rasulullah e mengambil air secara terpisah untuk
mengusap telinga. Maksudnya terpisah dari air yang beliau pergunakan untuk
mengusap kepala.6)
An-Nawawi menuturkan di dalam kitab Al-Majmu’
(1/412): “Hadits ini hasan dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan menilainya
memiliki sanad yang shahih.”
Pada kesempatan lain
(1/414) Imam Nawawi juga memberikan komentarnya:
“Hadits ini
shahih, seperti yang telah saya jelaskan. Hal ini jelas bahwa kedua telinga
bukan termasuk kepala. Sebab jika termasuk kepala,
tentu beliau tidak mengambil air yang baru untuk mengusap telinga seperti pada
anggota lainnya. Hadits ini jelas menunjukkan bahwa,
untuk mengusap telinga harus menggunakan air yang baru.”
Saya berpendapat: Hadits yang mereka
pakai sama sekali tidak beralasan. Sebab
maksud utama dari hadits yang mereka pakai itu adalah untuk mengajarkan
mengambil air yang baru bagi telinga. Hal ini tidak
bisa ditafsirkan bahwa membasuh telnga dengan air yang dipakai untuk mengusap
kepala tidak diperbolehkan. Jadi hadits itu sebenarnya
saling megnisi dan tidak ada pertentangan. Apa
yang saya sebutkan ini bisa diperkuat dengan riwayat yang shahih dari Nabi e: “Beliau mengusap telinga dengan
sisa air yang ada ditangannya.”
Hadits terakhir
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam kitab Sunan-nya dengan sanad
hasan, seperti telah saya jelaskan di dalam shahih sunan-nya (hadits no.
21). Hadits ini memiliki satu hadits penguat (syahid) yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas di dalam Al-Mustadrak (1/147) dengan sanad
hasan. Juga diriwayatkan oleh yang lain. Lihat Thalkishul Kabir
(hal. 33).
Semua ini saya jelaskan jika kita
masih menerima ke-shahih-an hadits Abullah bin Zaid di atas, padahal
kenyataannya hadits itu tidak tsabit, bahkan syad (tidak memenuhi
ketentuan yang ada) seperti saya jelaskan di Silsilatul-Ahadits-Dha’ifah,
pada hadits no. 997.
Kesimpulannya, bahwa diantara
keempat Imam yang paling mendekati kebenaran dalam hal
ini adalah Imam Ahmad bin Hambal. Sebab beliau telah
mengambil hadits yang menunukkan dua masalah di atas sekaligus. Ia tidak mengambil hadits yang hanya berisi satu masalah
seperti yang dilakukan oleh imam lainnya.
****
_______________________
6)
Di
sini semula terdapat kalimat teksnya adalah: Hadits itu shahih, seperti saya
sebutkan di dalam Shahih Abu Dawud (hadits no. 111). Ketika apa yang saya jelaskan itu ternyata matan lain dari hadits
Abdullah bin Zaid, maka saya segera membuang kalimat itu. Pembetulan
ini semula dilakukan oleh salah seorang mahasiswa saya, pada waktu saya
mengajarkan mata kuliah hadits. Semoga Allah I memberikan balasan yang setimpal.
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |