TENTANG SHALAT FAJAR
DAN SHALAT ASHAR
٦٦ - ÇöÐóÇ ÇóÏúÑóßó
ÇóÍóÏõßõãú [Çóæøóáó] ÓóÌúÏóÉò ãöäú ÕøóáÇóÉö ÇáÚóÓúÑö ÞóÈúáó ÇóäúÊóÛúÑõÈó
ÇáÔøóãúÓõ ÝóáúíõÊöãøó ÕóáÇóÊóå ¡ æóÇöÐóÇ ÇóÐúÑóßó [Çóæøóáó] ÓóÌúÏóÉò ãöäú
ÕóáÇóÉö ÇáÕøõÈúÍö ÞóÈúáó Çóäú ÊóØúáóÚó ÇáÔøóãúÓõ ÝóáúíõÊöãóø ÕóáÇóÊóåõ .
“Jika
salah seorang diantara kamu mendapatkan (satu) sujud dari shalat Ashar sebelum
matahari terbenam, maka hendaknya ia menyempurnakan shalatnya. Dan jika ia mendapatkan (satu) sujud dari shalat Subuh, maka
hendaknya ia juga menyempurnakan shalatnya.”
Hadits ini
ditakhrij oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya (1/148), ia mengungkapkan: “Abu Na’im menyampaikan kepada kami, ia
berkata: “Syaiban meriwayatkan kepada kami dari Yahya dari Abu Salamah dari Abu
Hurairah secara marfu’ tanpa tambahan (yang ada di dalam kurung). Sedang tambahan itu milik An-Nasa’i. Selanjutnya An-Nasa’I
memberitahukan: “Amer bin Manshur memberi khabar kepada kami: “Al Fadl bin
Dakin meriwayatkan hadits itu kepada kami.”
Sanad
ini shahih, sebab Amer di dalam At-Taqrib dinilai tsiqah tsabat
(kukuh ke-tsiqah-annya) sedangkan perawi lainnya sudah dikenal. Al-Fadhl
bin Dakin adalah Abu Na’im, guru Imam Bukhari di dalam
hadits itu. Hadits yang diriwayatkan itu bisa dijadikan
penguat, dan orang-orang yang meriwayatkan hadits tersebut darinya, juga selalu
menggunakan dua tambahan di atas.
Sedangkan
Amer, menurut Al-Baihaqi dikuatkan oleh Muhammad bin Al-Husain bin Abu Hunain
(1/368). Selanjutnya Al-Baihaqi berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Imam
Bukhari di dalam kitab Shahih Bukhari. Anda bisa
mengeceknya.”
Adapun Abu
Na’im dikuatkan oleh Husain bin Muhammad Abu Ahmad Al-Marwarudzi, yang berkata:
“Syaiban meriwayatkan hadits itu kepada kami.”
Perawi
dengan nama Husain ini adalah puterra Baram At-Tamimi.
Ia seorang perawi tsiqah dan dipakai oleh
Bukhari-Muslim.
Hadits
ini, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah memiliki enam sanad. Saya telah mentakhrij semuanya di dalam kitab Irwa’ul Ghalil fi
Takhriji Ahadtisi Manaris Sabil, yang sedang saya susun. Semoga Allah memberikan kemudahan untuk menyelesaikan dan
mencetaknya (lihat hadits no. 250).
Saya
memilih hadtis yang mengandung tambahan ini karena dapat memperjelas arti bahwa
dengan adanya kata ar-raka’ah pada sanad-sanad lain, yang dimaksud
adalah mendapatkan ruku’ dan sujud pertama pada raka’at pertama. Sebab
orang yang tidak mendapatkan sujud, maka tidak akan
mendapatkan satu raka’at. Dan orang yang belum mendapatkan satu raka’at, maka
tidak dianggap mendapatkan sholatnya secara penuh (jadi shalatnya dianggap qadha’ bukan ada).
Kandungan Hadits
Dari
penjelasan di atas, dapat kita tarik beberapa hukum yang ada di dalam hadits
tersebut, yaitu:
Pertama:
Membatalkan pendapat orang-orang yang menyatakan bahwa jika matahari terbit,
padahal seseorang baru mendapatkan raka’at kedua, maka shalatnya batal. Mereka
juga mengatakan bahwa jika matahari terbenam dan ia
masih berada di raka’at terakhir shalat Asharnya, maka shalatnya tidak sah.
Pendapat itu jelas tidak benar, sebab bertentangan dengan hadits Nabi r di atas
seperti dijelaskan oleh Imam Nawawi dan Imam yang
lain. Hadits ini tidak boleh ditentang dengan hadits yang
melarang melakukan shalat pada saat matahari terbit atau terbenam. Sebab
hadits itu bersifat umum (‘am) sedangkan hadits ini bersifat khusus (khash).
Padahal menurut kaidah ilmu Ushul, hadits ‘am tidak
boleh dipakai jika ada hadits yang khash.
Anehnya
di antara mereka yang berpendapat seperti itu, memakai hadits ini untuk
kepentingan madzhabnya di dalam satu masalah. Sedangkan di dalam masalah ini (yang kita bahas disini) mereka
menentangnya, bahkan sebagian ada yang mengaburkan arti hadits ini. Maka kepada Allah-lah kita kembalikan sifat fanatik madzhab yang
sampai memutarbalikkan hadits ini. Az-Zaila’I di dalam kitabnya Nasbhur
Rayah (1/229) setelah menyebutkan hadits ini dari Abu Hurairah dan hadits lain yang senada berkomentar:
“Hadits-hadits
ini juga menimbulkan polemik di antara kami yang semadzhab, terutama mengenai
batalnya shalat Subuh ketika matahari terbit. Penyusun sendiri dengan hadits itu berpendapat bahwa akhir waktu
shalat Ashar adalah selama matahari belum terbenam.”
Kedua: Penolakan
terhadap orang yang berpendapat, bahwa untuk mendapatkan shalat, cukup dengan
melaksanakan sebagian rukunnya, sekalipun hanya takhbiratul ihram. Pendapat ini jelas bertentangan dengan teks hadits itu. Pendapat ini disebutkan di dalam Manarus-Sabil sebagai
pendapat Imam Syafi’i. Sebenarnya hal ini hanya sebagian pendapat yang
berkembang di kalangan madzhabnya, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi di
dalam Al-Majmu’ (3/63) dan sebenarnya adalah madzhab Hambali, sedang
mereka hanya mengutipnya dari Imam Ahmad yang berkata: “Shalat tidak bisa
ditemukan kecuali mendapatkan satu raka’at.” Dengan demikian
Imam Ahmad lebih sesuai dengan hadits itu. Wallahu a’lam
Imam
Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Masa’il-nya (hal. 46) menceritakan:
“Saya
mengajukan pertanyaan kepada ayah saya tentang orang yang melakukan shalat di
pagi hari. Ketika ia mendapatkan satu raka’at dan
berdiri untuk raka’at kedua, matahari terbit, bagaimana hukumnya?”
Beliau menjawab: “Hendaknya ia menyempurnakan shalatnya, dan shalatnya tetap
sah.” Saya bertanya lagi: “Bagaimana dengan orang yang menyangka bahwa shalat
itu tidak sah?” Beliau menjawab: “Rasulullah r bersabda:
“Orang yang telah mendapatkan satu raka’at shalat Subuh sebelum matahari
terbit, maka ia telah mendapatkaqn shalatnya (artinya tetap dianggap ada’).”
Kemudian
saya melihat suatu hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar di dalam kitab
haditsnya (nomor: 11/1) dengan sanad shahih dari Sa’id bin Musayyab, ia berkata: “Jika seseorang mengangkat kepalanya (bangun)
dari sujud terakhirnya, maka shalatnya sempurna.” Dan
kemungkinan besar yang dimaksudnya adalah sujud terakhir (kedua) dari raka’at
pertama. Dengan demikian pendapat ini merupakan
pendapat baru mengenai masalah ini. Wallahu a’lam.
Ketiga: Perlu
diketahui bahwa yang dimaksudkan oleh hadits ini adalah orang yang sengaja mengakhirkan
shalatnya sampai waktiu yang sempit. Meskipun shalatnya sah, ia tetap berdosa,
sesuai dengan sabda Nabi r :
Êöáúßó ÕóáÇóÉõ ãõäóÝöÞö íóÌúáöÓõ íõÑóÞöÈõ ÇáÔøóãúÓó ÍóÊøóì ÇöÐóÇÈóíúäó
ÞóÑú äóì ÇõáÔøóíúØóÇäö ÞóÇãó ÊóäúÝöÑõåóÇ ÇóÑúÈóÚð áÇöíóÐúßõÑõ ÇﷲóÈöåóÇ
ÇöáÇøó Þóáöíúáó .
“Begitulah
shalat orang munafiq. Ia duduk mengintip matahari,
sehingga tatkala matahari berada di antara dua tanduk syaithan, maka ia berdiri mematuknya empat kali. Ia tidak menyebut nama Allah, kecuali sedikit sekali.”
Hadits
ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (2/110), dan Imam lainnya,
dari hadits Anas ra. Adapun orang yang tidak sengaja (hanya
orang yang lupa dan orang yang tidur) mempunyai ketentuan yang berbeda. Ia harus melakukan shalat yang ditinggalkannya tatkala ia
ingat atau bangun, meskipun matahari sedang terbit atau terbenam. Hal ini
berdasar pada hadits Nabi r :
ãóäú äóÓöíó ÕóáÇóÉó (ÇóæúãóÇäó ÇóäúåóÇ) ÝóáúíõÕóáøöåóÇ ÇöÐóÇ ÐóßóÑóåóÇ
áÇóßóÝøóÇÑóÉó áóåóÇ ÇöáÇøó Ðٰáóßó ( ÝóÇöäøó Çﷲó ÊóÚóÇáìٰ
íóÞõÇáõ : ÇóÞöãö ÇáÕøáÇóÉó áöÐößúÑöìú ) .
“Orang
yang lupa melakukan shalat (atau tertidur) maka shalatlah ketika ia ingat. Tidak ada
kaffarat baginya kecuali hal itu, sebab (Allah I berfirman:
‘Tegakkanlah shalat karena mengingat-Ku).”
Hadits ini juga ditakhrij oleh Imam Muslim (2/142) dari
Anas t. Demikian pula Imam Bukhari di dalam kitab shahihnya.
Dengan demikian ada dua hal dalam masalah ini, yaitu
menentukan shalat dan dosa. Hal pertama
itulah yang dimaksudkan dalam hadits di atas, namun jangan dikira seseorang
terlepas dari hal yang kedua, yakni tidak mendapatkan dosa karena mengakhirkan
shalat sampai lepas waktunya. Bukan seperti itu, bagaimanapun ia tetap berdosa, baik menemukan shalatnya maupun tidak.
Jika ia dinilai menemukan shalatnya, maka shalatnya
sah, namun masih mendapatkan dosa. Tetapi jika tidak dianggap
menemukan shalat, maka selain shalatnya tidak sah juga tetap mendapatkan dosa.
Keempat: Arti
sabda Nabi r, “Hendaklah ia
menyempurnakan shalatnya”, adalah bahwa ia
menemukan shalat pada waktunya, shalatnya sah dan tidak berkewajiban meng-qadha’-nya.
Namun jika ia tidak mendapatkan satu raka’at maka
tidak perlu menyempurnakan shalatnya, karena shalatnya tidak sah sebab telah
keluar dari waktu yang telah ditentukan. Namun ia
masih mempunyai tanggungan. Semua itu semata-mata dimaksudkan agar selanjutnya ia berhati-hati dalam menjaga waktu shalat. Oleh karena itu orang yang sengaja mengakhirkan shalatnya, seperti
dijelaskan hadits kedua itu, “Tidak ada kaffarat selain itu.”
Dari
sini jelaslah bagi mereka yang memiliki ketajaman pemahaman tentang hukum
Islam, adanya kekeliruan orang yang berpendapat: “Jika orang yang lupa atau orang
yang tertidur saja diperintahkan untuk meng-qadha’ shalatnya, maka orang yang
sengaja mengakhirkannya lebih diwajibkan. Qiyas semacam ini
salah. Karena termasuk mengqiyaskan dua hal yang
kontradiksi. Mungkinkah mengqyiaskan orang yang
berhalangan dengan orang yang tidak berhalangan, orang yang sengaja dan orang
yang tidak sengaja, dan antara orang yang diwajibkan membayar kaffarat oleh
Allah dengan orang yang tidak diwajibkan membayarnya? Pada
dasarnya hal ini dikarenakan kurangnya pemahaman terhadap hadits ini. Dengan pertolongan Allah saya telah menjelaskannya.”
Al-Allamah Ibnul Qayyim telah membahas hal ini secara
terperinci dan tuntas, dan saya kira sampai saat ini belum ada penjelasan yang
menyamainya. Pada kesempatan ini saya akan
mengutipkan dua bahasan saja, yaitu tentang pembatalan qiyas dan tentang
sanggahan terhadap orang yang menggunakan hadits di atas untuk menentang apa
yang telah saya jelaskan. Setelah menyebutkan masalah-masalah itu, beliau
menanggapinya dari berbagai segi:
Pertama: Diperbolehkannya (disahkannya)
melakukan shalat qadha’ bagi orang yang berhalangan – yang taat kepada Allah
dan Rasul-Nya serta tidak meremehkan perintah-perintah itu – tidak berarti
diperbolehkannya melakukan hal itu (shalat qadha’) bagi orang yang
mengerjakannya di luar waktu yang ditentukan. Menganalogkan dua hal ini jelas meruapkan analog yang paling kacau.
Kedua: Orang
yang berhalangan karena lupa atau tertidur sebenarnya tidak melakukan shalat di
luar waktunya, akan tetapi tetap melakukakan pada
waktunya. Sebab waktu shalat bagi orang seperti itu adalah ketika ingat atau
telah bangun, sebagaimana sabda Nabi r: “Orang
yang lupa tidak melakukan shalat, maka waktunya adalah ketika dia ingat.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni. (Hadits dengan
redaksi ini nilainya dha’if, namun demikian ada hadits lain yang semakna, yaitu
hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra).
Dengan
demikian waktu shalat ada dua macam: waktu ikhtiar dan waktu udzur. Yang pertama adalah waktu biasa, sedangkan yang kedua adalah waktu
yang diberikan kepada orang yang berhalangan (tertidur atau lupa). Jadi
waktu shalat kepada orang yang berhalangan adalah ketika ia
ingat atau bangun. Dengan demikian orang seprti ini masih
dikatakan melakukan shalat pada waktunya. Maka bagaimana mungkin hal ini
bisa dianlogikan dengan orang yang sengaja mengerjakan shalat di luar waktunya!
Ketiga: Syari’at
memberikan konsekuensi yang berbeda antara orang yang sengaja dan orang yang
lupa, antara orang-orang yang berhalangan dan orang-orang yang tidak
berhalangan. Hal ini sudah jelas sekali. Dengan demikian, menyamakan keduanya merupakan kesalahan, bahkan
sangat ditentang.
Keempat: Kami
tidak menggugurkan kewajiban shalat itu bagi orang-orang yang sengaja melakukan
shalat diluar waktunya dan mewajibkannya bagi orang yang berhalangan. Karena
itu apa yang kalian sampaikan menjadi cambuk bagi
kami. Kami hanya mewajibkan kepada mereka yang sengaja mengerjakan shalat di
luar waktunya, dan tidak dapat menemukan raka’at sama
sekali. Itu kami maksdukan untuk memperberat mereka, sebagai
pelajaran agar di lain waktu, mereka benar-benar memperhatkan waktu shalat
dengan baik. Sedangkan bagi orang yang berhalangan dan
tidak berlebih-lebihan, kami memperbolehkannya melakukan hal itu.
(Masalah :) Adapun argumentasi kalian dengan
sabda Nabi r: “Orang yang menemukan
satu raka’at shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka ia telah
menemukannya,” maka saya katakan bahwa
tidak ada hadits lain yang menguatkannya. Di samping itu,
nampaknya hadits itu tidak tepat jika kalian jadikan sebagai argument.
Sebab kalian mengatakan: “I a telah mendapatkan shalat Ashar, meskipun belum
mendapatkan raka’at sedikitpun pada waktunya. Maksudnya shalatnya dianggap sah
dan terlepas dari kewajibannya menggantinya di waktu lain.” Seandainya shalat
yang dilaksanakan di luar waktunya diterima, maka tentu tidak ada kaitan sama sekali dengan menemukan satu raka’at. Padahal kita ketahui bahwa hadits itu bermaksud menjelaskan bahwa
orang yang menemukan satu raka’at shalat Ashar (sebelum matahari terbenam) maka
shalatnya tanpa terkena dosa. Akan tetapi sebenarnya ia
tetap dosa karena sengaja mengerjakannya di luar waktu yang ditentukan, sedang
ia diperintahkan untuk mengerjakan shalat secara sempurna pada waktunya. Dengan demikian, menemukan shalat tidak berarti terlepas dari dosa.
Seandainya shalatnya sah dilakukan di luar waktunya (setelah matahari
terbenam), maka tentu tidak ada perbedaan antara menemukan satu raka’at pada
waktunya dan tidak menemukannya sama sekali.
Jika
kalian berkata: “Kalau demikian, jika ia mengakhirkan shalatnya sampai matahari
benar-benar terbenam, maka dosanya tentu lebih besar.”
Kami
akan berakata: Nabi r di dalam
haditsnya tidak menjelaskan perbedaan dosa (besar kecilnya) antara orang yang
menemukan satu raka’at dan orang yang tidak menemukannya sama sekali. Beliau hanya membedakan yang dapat menemukannya dan yang tidak.
Namun tidak diragukan lagi, bahwa orang yang tidak menemukan
seluruh raka’at shalat pada waktunya lebih besar dosanya dibanding dengan orang
yang tidak menemukan sebagian raka’atnya. Dan orang
yang tidak menemukan sebagian besar raka’atnya lebih besar dosanya dibanding
dengan orang yang hanya tidak menemukan satu raka’at.
Sekarang
kami akan bertanya kepada kalian: “Apa sebenarnya yang
dimaksud dengan menemukan raka’at disini?” Apakah hal itu
berarti menemukan shalat tanpa terkena dosa? Kalau demikian yang kalian
maksudkan, maka tak seorang pun Imam mengatakan hal
itu. Ataukah menemukan shalat yang menjadikan sahnya shalat?
Kalau demikian, maka tidak ada perbedaan antara orang yang
menemukan seluruh raka’at dan orang yang tidak menemukan sebagiannya.
* * *
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |