Kategori Dakwah
MANHAJ PARA RASUL DALAM BERDAKWAH KEPADA ALLAH
Oleh
Syaikh DR. Muhammad bin Musa Alu Nashr
Saya jelaskan beberapa point penting diantaranya.
[1]. Diantara Tanda Manhaj Dakwah Para Nabi Yang Jelas Adalah Ikhlas
Mereka ikhlas berdakwah dengan hanya mencari wajah Allah. Ikhlas merupakan ruh amal shalih, sedangkan dakwah kepada Allah merupakan amal shalih dan ketaatan yang paling utama yang bisa mendekatkan seorang da’i kepada Allah. Demikian Allah memerintahkan kita berbuat ikhlas.
Ikhlas merupakan syarat diterima dan selamatnya suatu amalan. Allah tidak akan menerima satu perbuatanpun kecuali dengan keikhlasan mencari wajah Allah.
Allah berfirman dalam sebuah hadits qudsi :
“Artinya : Saya adalah dzat yang paling tidak butuh kepada sekutu (teman). Barangsiapa melakukan satu perbuatan, dia sekutukan aku dengan yang lain pada amal itu, maka aku tinggalkan (biarkan) ia dengan sekutunya”.
Allah tidak akan menerima satu amalanpun, kecuali dengan ikhlas dan sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah maksud dari firman Allah.
“Artinya : Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadah kepada Rabbnya” [Al-Kahfi : 110]
Oleh karena itu para ulama berkata : Syarat diterima sebuah amal shalih ada dua : Pertama, amal perbuatan tersebut diikhlaskan untuk mencari wajah Allah, dan syarat Kedua, amal tersebut harus sesuai petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah bersabda.
“Artinya : Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru (yang tidak ada petunjuk dari Rasul) dalam agama kita ini, maka ia tertolak”.
“Artinya : Barangsiapa yang melakukan satu amalan yang tidak ada perintah kami, maka amalan itu tertolak”.
Wahai saudara-saudaraku ….
Perhatikanlah ! Bagaimana tanpa keikhlasan bisa menyebabkan sebuah amal tertolak dan kebinasaan si pelaku. Na.udzubillah.
Dalam sebuah hadits shahih, yang maknanya :
“Tiga orang yang pertama menjadi bahan bakar neraka adalah : orang berilmu, orang yang mati syahid dan orang yang dermawan. Orang alim yang Allah berikan ilmu dan hikmat. Dia dibawa dihadapan Allah. Allah menyebutkan nikmat-nikmat lalu dia mengakuinya. Allah berkata kepada orang itu “Hai hambaku, Aku telah memberikan ilmu kepadamu. Apa yang dilakukan dengannya ? Orang itu menjawab : “Wahai Rabbku, aku telah mempelajari dan mengajarkan!”. Lalu Allah berfirman : “Engkau bohong ! Engkau belajar dan mengajarkannya agar engkau disebut orang berilmu dan ucapan tersebut sudah terucap”. Lalu Allah mengambil wajah orang tersebut dan mencampakkannya di neraka Jahannam. Demikian juga yang Allah lakukan kepada orang yang mati syahid berjuang bukan untuk mencari wajah Allah dan tidak untuk meninggikan kalimat Allah. Dia berjuang supaya disebut pemberani. Demikian juga Allah memperlakukan orang yang dermawan namun dia dermawan bukan karena Allah, dia berbuat demikian supaya disebut dermawan”.
Wahai saudaraku …
Keikhlasan itu harus ada pada diri seorang da’i. Jika seorang da’i tidak jujur dan tidak ikhlas, maka dia tidak mendapat taufik dari Allah dalam dakwahnya dan tidak mendapatkan pertolongan, pemeliharaan serta Allah tidak akan memperdulikannya. Bertolak dari ini Allah berfirman tentang hak Yusuf ‘Alaihis Salam seorang pemuda yang mempunyai kleikhlasan.
“Artinya : Demikianlah, agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba kami yang terpilih” [Yusuf : 24]
Dalam sebuah qira’ah yang mutawatir “mukhlis” adalah orang yang ikhlas beramal. Sedangkan mukhlas adalah orang yang Allah berikan keikhlasan dalam beribadah, ketaatan dan pembuktian penghambaannya di muka bumi.
Perhatikanlah tiga orang yang terpaksa menginap di gua. Lalu batu pegunungan jatuh menutupi pintu gua. Apa yang telah menyelamatkan mereka dari musibah tersebut ? Tiada lain adalah kejujuran dan keikhlasan mereka.
Masing-masing mereka berdo’a kepada Allah dengan perantara amalan mereka yang diikhlaskan kepada Allah. Salah seorang diantara mereka berkata : “Tidak ada yang bisa menyelamatkan kalian dari batu besar ini, kecuali pemohonan kalian kepada Allah dengan perantara amal shalih kalian”. Maksudnya amalan yang paling ikhlas. Inilah satu jenis tawassul yang diperbolehkan, dengan menjadikan amal shalih sebagai perantara kepada Allah. Kemudian masing-masing berdo’a kepada Allah dengan amal shalihnya.
Orang pertama berdo’a kepada Allah dengan perantara bakti kepada kedua orang tuanya. Orang kedua berdo’a dengan perantara kemampuan menjaga kesuciannya dan meninggalkan zina pada saat dia mampu. Orang ketiga berdo’a dengan sifat amanahnya. Kemudian batu besar tersebut bergerak dan bergeser. Akhirnya mereka bisa keluar. Inilah balasan ikhlas bagi pelakunya.
Seorang da’i harus ikhlas supaya mendapatkan taufik dalam berdakwah dan diterima masyarakat. Orang ikhlas dicintai Allah dan dicintai manusia. Jika Allah suka kepada seorang hamba, dia akan memanggil Malaikat Jibril : ‘Ya Jibril saya suka kepada si fulan, hendaklah kalian mencintainya!” kemudian Jibril memanggil para malaikat : “Sesungguhnya Allah suka kepada si fulan, maka cintailah dia !” Kemudian ia diterima di muka bumi. Orang ikhlas diterima hati banyak orang. Dengan sebab mereka dan dakwah mereka ini, Allah berkenan membuka hati yang tertutup, telinga yang tuli dan mata yang buta.
[2]. Ilmu Dan Bashirah
Allah berfirman : “Katakanlah, ‘Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik” [Yusuf : 108]
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan jalan dakwah kepada Allah merupakan jalannya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru dengan bashirah dari Allah dan mengajak dengan ilmu dan kepada ilmu, karena ilmu adalah pondasi perbaikan agama.
Ketika penduduk Makkah berada dalam kerusakan (aqidah dan akhlaq) mereka memakan bangkai, mengubur anak perempuan hidup-hidup, meminum khamer, melakukan perbuatan yang membinasakan dan membuat patung-patung dari kurma dan lainnya. Jika lapar mereka memakan patung tersebut.
Ayat-ayat yang turun mengajak kepada ilmu, mengajak membaca dan menyuruh dengan perintah yang banyak, karena ilmu merupakan asas perbaikan. Lima ayat yang pertama kali turun, mengajak membaca, belajar dan mengajar. Allah berfirman.
“Artinya : Bacalah dengan (menyebut) nama Rabbmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Rabbmulah Yang Paling Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantraan kalam. Apa yang tidak diketahuinya” [Al-‘Alaq : 1 -5]
Ayat-ayat permulaan ini tidak mengajak nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memecahkan wadah khamer, menghancurkan patung, ataupun yang lain. Akan tetapi mengajak kepada ilmu. Allah telah mengajar manusia apa yang belum ia ketahui. Mengeluarkan manusia dari perut ibunya dalam keadaan tidak mengetahui apapun. Lalu memberikan kalian pendengaran, penglihatan dan hati. Setiap kali manusia itu belajar dan memahami agamanya, dia akan semakin dekat kepada Rabbnya. Setiap kali mereka mengetahui tipu daya syaithan, manusia dan jin, maka semakin mengenal kebenaran dan mengikutinya, mengenal keburukan dan menjauhinya.
Demikianlah seharusnya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim para da’i dan tenaga pengajar, beliau mengirim Mush’ab bin Umair ke Madinah. Mengutusnya dalam keadaan mengerti tugas sebagai pengajar dan mengerti materi yang diserukan. Demikian juga Rasulullah mengirim Abu Musa Al-Asy’ari dan Mu’adz bin Jabal ke Yaman. Mereka itu mengerti apa yang akan didakwahkan. Ketika Rasulullah mengutus Muadz ke Yaman, beliau berkata :
“Sesungguhnya Engkau akan mendatangi satu kaum dari ahli kitab, maka hendaklah yang pertama kali kau dakwahkan adalah ‘Syahadatu an Laailaha Ila Allah wa anna Muhammadan Rasulullah’ –persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak di sembah kecuali Allah dan persaksian bahwa Muhammad Rasulullahj- jika mereka mentaatimu maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu…”
Rasul tidak pernah mengirim orang awam atau orang bodoh untuk mengajak manusia kepada agama ini. Akan tetapi mengutus para da’i dan ulama. Dari sini kita dapat mengetahui bahaya dan mudlaratnya sebagian jama’ah-jama’ah dakwah yang mengumpulkan orang dari pasar, lalu mengarahkan mereka dan mengutus mereka sebagai khatib dan pemberi peringatan. Mereka menasehati dan mengingatkan manusia, sementara mereka tidak memiliki ilmu. Sehingga mereka mengangap jelek sesuatu yang baik dan menganggap benar sesuatu yang salah.
Mereka menyebarkan hadits-hadits palsu dan cerita-cerita bohong mengenai Rasulullah. Mereka menyangka telah berbuat baik padahal tidak. Oleh karena itu, seorang da’i harus mengetahui keadaan obyek dakwah, subyek dan materi dakwahnya serta memiliki kemampuan mematahkan hujjah dengan hujjah, dalil dengan dalil. Demikian juga mampu mengalahkan kebathilan dengan kebenaran. Sebagaimana firman Allah.
“Artinya : Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang bathil lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang bathil itu lenyap. Dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tak layak bagiNya)” [Al-Anbiyaa : 18]
Oleh karena itu berdakwah kepada Allah harus berdasarkan ilmu, bukan berdasarkan kebodohan ataupun kebutaan. Seorang da’i harus mempersenjatai diri dengan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih. Dia mesti menumpahkan perhatian kepada ilmu dan membuat program pengajaran untuk semua orang dan juga membuat program praktek lapangan dakwah kepada Allah. Adapun dakwah yang tegak diatas kebodohan dan taqlid (ikut-ikutan), memusuhi ilmu dan ulama, maka itu bukan dakwah para Nabi dan tidak berada diatas manhaj para Nabi sedikitpun.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya]
[3]. Termasuk Manhaj Dakwah Para Nabi Adalah Mendahulukan Yang Terpenting, Kemudian Yang Penting (Membuat Skala Prioritas).
Berdasarkan hal ini, kita melihat para nabi memulai dakwah mereka dengan tauhid. Mereka memulai dengan hal-hal yang mendasar, tidak memulai dari atap, karena orang yang memulai membangun dari atap sebelum fondasi, maka atap itu akan menjatuhi mereka.
Semua para Nabi mengucapkan perkataan seorang Nabi,
“Artinya : Wahai kaumku, sembahlah Allah, kalian tidak memiliki tuhan selain Dia” [Al-A’raf : 64]
Dalam hadits Mu’adz yang telah lewat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarai Mu’adz agar memulai dari yang terpenting. Jika seandainya ada seorang dokter yang hendak mengobati orang sakit dari penyakit yang sangat berbahaya, kemudian mengetahui penyakit lain pada diri si pasien, seperti pilek atau penyakit ringan yang lain, lalu si dokter sibuk menangani penyakit ringan tersebut, sebelum menangani penyakit yang berbahaya, jadilah dokter tersebut menipu pasien. Dokter tersebut membantu proses kematian pasien. Jika ada pasein menderita kekurangan darah, kemudian dokter memulai dengan mengobati luka yang ada pada jari jemari kaki pasien, maka jadilah dokter ini orang jahat dan berperan dalam kematian si pasien, jika sampai pasien itu mati. Karena kewajiban seorang dokter mengobati penyakit yang paling berbahaya serta mengancam kehidupan si pasien.
Orang-orang yang sibuk dengan perkara cabang sebelum perkara tauhid (perkara mendasar yang lain) ibarat dokter yang ingin mengobati orang mati. Atau ibarat orang yang ingin menghidupkan orang mati, atau seperti orang yang membangun atap sebelum pondasai. Alangkah gampangnya ata itu menimpa kepala mereka.
Bagaimanapun lamanya seorang da’i yang menyeru kepada tauhid, tidak boleh merasa bosan dan lelah. Tidak boleh merubah dan mengganti manhajnya, sehingga orang khusus dan awam meridhainya. Akan tetapi wajib baginya untuk tetap konsisten diatas aqidah tauhid dan berdakwah kepada tauhid diatas ilmu dan komitmen padanya sampai mati.
Lihatlah Nabi Nuh selama 950 tahun hanya berdakwah kepada tauhid, menasehati dengan tauhid dan hanya memperingatkan umatnya dari kesyirikan. Selama 950 tahun dan tidak menegakkan panji, tidak merasa lelah dan bosan, hingga sedemikian rupa, tidak beriman kepadanya kecuali sedikit. Demikian juga para Nabi lainnya. Mereka menyeru kepada tauhid bertahun-tahun dan berhari-hari. Tidak mengikuti mereka kecuali seorang atau dua orang. Sebagian mereka datang tanpa seorang pengikutpun. Apakah mereka meninggalkan dakwah tauhid ? Jawabanya : “Tidak”.
Lihatlah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama 23 tahun menyeru : “Wahai manusia katakanlah la ilaha ilaa Allah niscaya kalian beruntung”. Sedangkan sebagian da’i berputus asa dan berkata : “Kami telah berdakwah kepada mereka berkali-kali dan mereka tidak mau menerimanya. Kita mesti menyeru mereka kepada politik, demonstrasi dan unjuk rasa”. Lalu meninggalkan manhaj para Nabi dalam berdakwah kepada Allah, sehingga mereka tidak menuai kecuali penyesalan dan penghancuran umat. Mereka menyibukkan umat dalam perkara yang bukan bidangnya. Menyibukkan dengan perkara yang khusus dimiliki para raja dan penguasa, menyibukkan pada selain tujuan penciptaan mereka. Allah berfirman tentang tujuan penciptaan manusia :
“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [Adz-Dzaariyaat : 56]
Mereka telah menyibukkan manusia dengan politik internasional yang kotor dan tidak menegakkan peribadatan mereka. Tidak menjadikan mereka sebagai hamba Rabb, tidak mengajarkan mereka tauhid, sholat dengan rukun, kewajiban, khusus dan sunnahnya. Tidak mengajarkan manusia sesuatu yang berguna bagi mereka dalam agama dan dunianya.
[4]. Seorang Da’i Harus Mejadi Contoh Teladan Yang Baik Bagi Obyek Dakwahnya Dan Menjadi Teladan Pada Dirinya, Karena Jika Tidak Demikian Maka Dakwahnya Akan Menjadi Bencana Baginya Dan Tidak Mendapatkan Orang Yang Mau Mendengarnya.
Jika mereka melihatnya memerintah manusia untuk ikhlas, didapati ia seorang yang berbuat riya’. Jika menyeru manusia untuk tawadlu, didapati dia seorang yang sombong sekali. Jika menyeru manusia untuk sederhana, didapati dia seorang yang paling kikir. Jika menyeru orang untuk berpegang teguh kepada syari’at Islam, tidak memakan riba dan meninggalkan kemaksiatan, mereka melihatnya selalu bermaksiat. Menyeru orang untuk memberikan penutup aurat istri mereka dan memaksa anak-anaknya berjilbab, lalu mereka melihat anak, saudara perempuan dan istrinya berpakaian minim. Bagaimana orang akan berbaik sangka dengan dakwahnya ? Bagaimana mereka mau mendengarkan dan melihat serta mengambil ilmu darinya ? Oleh karena itu teladan yang baik harus dimiliki seorang da’i dalam dakwahnya, jika tidak terdapat hal ini, maka dia tidak akan memiliki pengaruh pada para mad’u, bahkan mereka akan lari dan meninggalkannya.
Dari sini Allah menjadikan para Nabi orang yang paling baik nasab, akhlak dan bentuk tubuhnya. Allah menyelamatkan tubuh mereka dari penyakit yang tidak disukai manusia, seperti penyakit kusta, dan yang lainnya dari penyakit yang menular. Demikian juga Allah memberikan mereka akhlak yang mulia dan memberikan penutup mereka nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam akhlak yang paling mulia, Allah khabarkan dalam firmanNya.
“Artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” [Al-Qalam : 4]
Ditanya Ummul Mukminin Aisyah tentang akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu menjawab kepada penanya : “Wahai anak saudaraku, apakah kamu telah membaca Al-Qur’an ?” dia jawab : “Ya”. Lalu beliau berkata : “Akhlaknya Rasulullah Al-Qur’an”.
Perkataan Aisyah disini telah mencakup semua sifat dan sejarah hidup Rasulllah.
Telah disusun satu kitab tentang kemuliaan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berjumlah 12 jilid dengan judul Nadhratun Na’iim Fi Makaarim Akhlaqir Rasulil Kariim, (telah diterjemahkan kedalam beberapa bahasa). Akan tetapi inipun masih sedikit dari semestinya. Demikian juga seorang penulis barat menulis sebuah buku yang diberi nama : “Seratus Tokoh Dunia Yang Telah Merubah Sejarah”. Dia menjadikan Rasulullah sebagai orang pertama dalam buku tersebut. Sungguh ini adalah persaksian yang benar dari musuh Islam, walaupun sedikit sekali mereka berbuat adil. Akan tetapi dua telah berbuat adil dalam bukunya, karena Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam orang yang berjalan dimuka bumi ini dan makhluk terbaik yang Allah ciptakan. Allah mengutusnya untuk menyempurnakan akhlak manusia sebagaimana sabda beliau.
“Artinya : Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para da’i agar menjadi teladan yang baik bagi manusia, Allah berfirman.
“Artinya : Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan” [Ash-Shaff : 2-3]
Sekarang kalian duduk dalam ceramah ini, lalu datang penceramah dan mengatakan : “rokok haram dan makruh, berbahaya, dapat mengakibatkan penyakit ini dan itu”. Kalin serius sekali mendengarkannya. Ketika kalian mendengarkannya dengan sangat serius, tiba-tiba dia mengeluarkan rokok kreteknya di depan kalian dan mengisapnya. Apa yang akan kalian katakan ? Apakah kalian akan mendengarkan dan memperhatikannya setelah itu ? Niscaya kalian akan mengatakan : “orang ini lebih butuh nasehat dari kita”.
Berapa banyak kemudharatan dakwah mereka ini. Mereka menyeru kepada sunnah, padahal mereka orang yang paling jauh, bahkan melakukan kebid’ahan. Menyeru untuk taat, padahal mereka setiap hari bermaksiat. Merekalah orang yang menyeru kepada sunnah, sekaligus menyembelihnya.
Adapun pakaian mereka, pakaian ala Eropa mengenakan pantaloon yang sempit yang menampakkan auratnya. Kemudian melaknat Amerika dan mengatakan : “Kami memboikot Amerika”, sedangkan kalian mengenakan dasi dan memasang satelit (parabola) di rumah kalian.
Kalau begitu, wahai saudara-saudaraku…
Seorang da’i harus menjadi teladan dalam dakwahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik generasi terbaik, generasi contoh dan teladan. Beliau mendidik para sahabat di atas akhlak yang mulia sehingga mereka lulus dari madrasah kenabian dan bertebaran dipermukaan bumi.
Bangsa Arab tidak masuk negeri kalian ini dengan peperangan, akan tetapi dengan perdagangan. Datang ke negeri ini para sahabat dan tabi’in sebagai pedagang yang membawa akhlak mulia, muamalah yang baik, amanah dan kejujuran. Sehingga penduduk Indonesia ini terpengaruh dan masuk ke dalam agama Islam. Maka sangat perlunya seorang da’i ila Allah untuk menjadi teladan.
“Artinya : Seorang dibawa pada hari kiamat dan dilemparkan ke neraka lalu terburai ususnya di neraka, lalu dia berkeliling seperti keledai, berkeliling pada batu penggilingan, lalu berkumpullah ahli neraka mengelilinginya dan berkata : ‘Wahai fulan, kenapa kamu demikian ? Bukankah kamu memerintahkan kamu kepada kema’rufan dan mencegah kami dari kemungkaran’. Dia menjawab : Memang saya dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan, saya tidak melaksanakannya dan melarang kalian dari kemungkaran dan saya melaksanakannya” [Hadits Riwayat Bukhari]
[5]. Berdakwah Kepada Allah Dengan Hikmah, Nasehat Yang Baik Dan Lemah Lembut Kepada Manusia, Karena Kekasaran, Kekerasan Dan Sikap Arogan Dapat Menjauhkan Manusia Dari Dakwah.
Oleh karena itu para Nabi adalah orang yang paling kasih kepada makhluk dan yang paling mengetahui kebenaran. Sifat ini berpindah kepada Ahlu Sunnah wal Jama’ah pemilik manhaj yang benar. Sebagaimana yang disampaikan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam ucapannya : “Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah orang yang paling kasih kepada makhluk dan paling mengetahui kebenaran”.
Allah telah menyampaikan kepada Nabi-Nya. Nabi yang dicintai sahabat dan umatnya sampai mereka menyerahkan kepadanya jiwa, harta dan anak-anak mereka.
“Artinya : Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah mebulatkan tekad, maka bertakwallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepadaNya” [Ali-Imran : 159]
Beliaulah yang memerintahkan untuk berlemah lembut dan melarang kekerasan, dalam sabdanya.
“Artinya : Kelemah lembutan tidaklah ada pada sesuatu, kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu kecuali merusaknya” [Hadits Riwayat Muslim]
Dan sabda beliau.
“Artinya : Siapa yang tidak memiliki kelembutan maka tidak mendapat kebaikan” [Hadits Riwayat Muslim]
Beliaupun berkata kepada salah seorang sahabatnya.
“Artinya : Sesungguhnya terdapat padamu dua sifat yang Allah dan RasulNya cintai; lemah lembut dan tidak tergesa-gesa” [Hadits Riwayat Muslim]
Demikian juga beliau memperingtakan kekerasan dalam sabdanya.
“Artinya : Sesungguhnya sejelek-jeleknya pengembala adalah yang kasr. Berhati-hatilah jangan sekali-kali kamu menjadi golongan mereka”.
“Artinya : Sebaik-baiknya pemimpin adalah yang kalian mendo’akan kebaikan padanya dan mereka mendo’akan kebaikan kepadamu. Dan sejelek-jeleknya pemimpin adalah yang kalian melaknatnya dan mereka melaknat kalian”.
Seorang da’i sepatutnya menjadi orang yang memiliki kasih sayang kepada obyek dakwahnya, berlemah lembut dan mengharapkan hihdayah mereka dan tidak mengharapkan kesulitannya.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M Rubrik Liputan Khusus yang diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Alu Nashr Tanggal 3-6 Muharram 1423H di Ma’had Ali Al-Irsyad Surabaya]
CHM Al-Manhaj Versi 3.8 Online melalui www.alquran-sunnah.com.