Cadar, Celana Cantung dan Jenggot bukan Ciri-ciri Teroris

Informasi Artikel ini:
Penulis: Al-Ustadz Sofyan Ruray
Dipublikasikan: 23 May 2010
Dibaca: 5999

terrorismeKetahuilah wahai kaum Muslimin, menggunakan cadar bagi wanita muslimah, mengangkat celana jangan sampai menutupi mata kaki dan membiarkan janggut tumbuh bagi seorang laki-laki Muslim adalah kewajiban agama dan tidak ada hubungannya sama sekali dengan terorisme, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti bukti-buktinya insya Allah dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta penjelasan para Ulama ummat.

Benar bahwa sebagian Teroris juga mengamalkan kewajiban-kewajiban di atas, namun apakah setiap yang mengamalkannya dituduh Teroris?! Kalau begitu bersiaplah menjadi bangsa yang teramat dangkal pemahamannya… Maka inilah keterangan ringkas yang insya Allah dapat meluruskan kesalah pahaman.

Dasar syari'at menggunakan cadar bagi Muslimah

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min:

“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)

Perhatikanlah, ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh mereka tanpa kecuali. Berkata As-Suyuthi rahimahullah, “Ayat hijab ini berlaku bagi seluruh wanita, di dalam ayat ini terdapat dalil kewajiban menutup kepala dan wajah bagi wanita.” (Lihat Hirasatul Fadhilah, hal. 51, karya Asy-Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid rahimahullah).

Selengkapnya: Cadar, Celana Cantung dan Jenggot bukan Ciri-ciri Teroris

Menshalati Mayit yang Dahulu Tidak Shalat

Informasi Artikel ini:
Penulis: admin-alquransunnah
Dipublikasikan: 18 May 2010
Dibaca: 5605

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ditanya tentang menyolati seorang mayit yang dahulunya (semasa hidupnya) tidak melakukan shalat. Apakah dengan itu seseorang mendapatkan pahala atau tidak? Apakah seseorang berdosa bila meninggalkannya, sementara dia tahu bahwa dahulu si mayit tidak shalat? Demikian pula mayit yang dahulunya meminum khamr dan tidak shalat, bolehkah bagi yang mengetahui keadaannya untuk menyolatinya?

Jawab:

Seseorang yang menampakkan keislaman maka berlaku padanya hukum-hukum Islam yang zhahir (tampak), semacam pernikahan, warisan, dimandikan dan dishalati, dan dikuburkan di pekuburan muslimin, dan yang semacamnya.

Adapun yang mengetahui adanya kemunafikan dan kezindiqan pada dirinya (mayit), dia tidak boleh menyolatinya, walaupun si mayit (dahulunya) menampakkan keislaman. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyolati orang-orang munafik. Firman-Nya:

وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

"Dan janganlah kamu sekali-kali menyolatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." (At-Taubah: 84)

سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللهُ لَهُمْ

"Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka." (Al-Munafiqun: 6)

Adapun yang menampakkan kefasikan bersamaan dengan adanya iman pada dirinya, seperti para pelaku dosa besar, maka sebagian muslimin tetap diharuskan menyolati (jenazah) mereka. Tapi (bila) seseorang tidak menyolatinya dalam rangka memperingatkan orang-orang yang semacamnya dari perbuatan seperti itu, sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyolati seseorang yang mati bunuh diri, orang yang mencuri harta rampasan perang sebelum dibagi, serta yang mati meninggalkan hutang dan tidak memiliki (sesuatu) untuk membayarnya, juga sebagaimana dahulu banyak dari kalangan salaf (pendahulu) berhalangan untuk menyolati ahli bid'ah, maka pengamalannya terhadap sunnah ini bagus.

Dahulu putra Jundub bin Abdillah Al-Bajali berkata kepada ayahnya: "Aku semalam tidak dapat tidur karena kekenyangan." Jundub radhiyallahu 'anhu mengatakan: "Seandainya kamu mati maka aku tidak mau menyolatimu." Seolah Jundub mengatakan: "Kamu bunuh dirimu dengan kebanyakan makan."

Yang semacam ini sejenis dengan pemboikotan terhadap orang-orang yang menampakkan dosa besar agar mereka mau bertaubat. Bila perlakuan semacam ini membuahkan maslahat yang besar maka sikap itu baik.

Selengkapnya: Menshalati Mayit yang Dahulu Tidak Shalat

Berkenalan dengan 4 (Empat) Imam

Informasi Artikel ini:
Penulis: Redaksi Majalah Fatawa
Dipublikasikan: 16 May 2010
Dibaca: 11958

unionKolom ini, insya Allah, akan berisi tentang pendapat imam yang empat (imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad). Tentu tidak semua perkataan mereka akan dimunculkan. Disamping keterbatasan tempat, tidak semua pendapat mereka selalu benar.

Tujuan menampilkan pendapat mereka tentu bukan untuk membatasi bahwa imam dalam perjalanan kaum muslimin hanya terbatas pada 4 (empat) imam tersebut. Sebelum dan sesudah mereka ada banyak imam, baik yang masyhur maupun tidak. Tidak pula kolom ini bertujuan untuk menggiring pada sikap fanatik madzhab (pendapat/pandangan) tertentu.

Agama Islam adalah agama yang sempurna dengan kenabian Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga tak layak dibatasi oleh sekat pendapat satu atau dua imam. Kolom ini sekadar untuk sedikit mencoba menunjukkan sikap penghormatan kepada ulama besar. Tekad untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah sesuai pemahaman para sahabat tidaklah berarti kemudian diikuti sikap menyepelekan mereka. Hanya dengan ulama dari zaman-ke-zaman umat Islam bisa memahami agamanya dengan baik.

Sebelum menikmati nasihat dan pendapat mereka, ada baiknya diulas secara singkat tentang biografi mereka. Perjalanan hidup mereka sejak lahir hingga wafatnya, tentu secara singkat saja. Pemaparan ini diharapkan bisa memberikan gambaran secara lebih utuh.

Imam Abu Hanifah

Namanya Nu'man bin Tsabit bin Zhuthi' lahir tahun 80 H/699 M di Kufah, Iraq, sebuah kota yang sudah terkenal sebagai pusat ilmu pada zamannya. Ayahnya seorang pedagang besar, sempat hidup bersama 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Abu Hanifah kadang menyertai ayahnya saat berdagang, tetapi minatnya untuk membaca dan menghafal al-Qur'an lebih besar.

Abu Hanifah mulai belajar dengan mendalam ilmu qira'at dan bahasa Arab. Bidang ilmu yang paling diminati ialah hadits dan fikih. Abu Hanifah berguru kepada asy-Sya'bi dan ulama lain di Kufah. Jumlah gurunya di Kufah dikatakan mencapai 93 (sembilan puluh tiga) orang. Beliau kemudian berhijrah ke Basrah berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman, Qatadah, dan Syu'bah. Setelah belajar kepada Syu'bah, saat itu sebagai Amir al-Mukminin fi Hadits (pemimpin umat dalam bidang hadits), beliau diizinkan mulai mengajarkan hadits.

Di Makkah dan Madinah beliau berguru kepada 'Atha' bin Abi Rabah, Ikrimah, seorang tokoh di Makkah murid Abdullah ibn 'Abbas, 'Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan 'Abdullah ibn 'Umar radhiyallahu 'anhuma. Kehandalan Abu Hanifah dalam ilmu-ilmu hadits dan fikih dikenal Ikrimah sehingga disetujui menjadi guru penduduk Makkah.

Abu Hanifah kemudian meneruskan pengajiannya di Madinah bersama Baqir dan Ja'afar as-Shaddiq. Kemudian belajar juga kepada Malik bin Anas, tokoh di kota Madinah ketika itu.

Saat guru kesayangannya Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120 H/738 M, Abu Hanifah diminta menggantikannya sebagai guru dan tokoh agama di Basrah. Abu Hanifah juga berdagang. Beliau amat bijak dalam mengatur antara dua tanggung jawabnya ini, seperti dijelaskan oleh salah satu muridnya, al-Fudhail ibn 'Iyyad;

"Abu Hanifah seorang ahli hukum, terkenal dalam bidang fikih, kaya, suka bersedekah kepada yang memerlukannya, sangat sabar dalam pembelajaran baik malam atau siang hari, banyak beribadah pada malam hari, banyak berdiam diri, sedikit berbicara kecuali ditanya sesuatu masalah agama, pandai menunjuki manusia kepada kebenaran dan tidak mau menerima pemberian penguasa."

Pada zaman pemerintahan 'Abbasiyyah, Khalifah al-Mansur memintanya menjadi qadhi (hakim) kerajaan, tapi ditolak sehingga dipenjara. Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab 150 H/767 M dalam penjara karena keracunan. Shalat jenazahnya dilangsungkan 6 (enam) kali, tiap kalinya terdiri tidak kurang dari 50.000 (lima puluh ribu) orang.

Selengkapnya: Berkenalan dengan 4 (Empat) Imam

  • Nasihat Bagi Penuntut Ilmu
  • Menjadi Motor Penggerak dan Kunci Kebaikan
  • Dasar-dasar Memahami Tauhid
  • DAHSYATNYA SAKARATUL MAUT
  • Mengenal Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (2)
  • Mengenal Al-Fuqaha’ As-Sab’ah (Tujuh Tokoh Ulama dari Madinah) - 1
  • Hukum Wanita Haid Atau Junub Membaca Alquran
  • Bagaimana Sikap Terhadap Istri Yang Selingkuh?

Halaman 180 dari 211

  • 175
  • 176
  • 177
  • 178
  • 179
  • 180
  • 181
  • 182
  • 183
  • 184