As-Shahihah Daftar Isi >
KETENTUAN ORANG YANG MENINGGALKAN SHALAT
PreviousNext

KETENTUAN ORANG

YANG MENINGGALKAN SHALAT

 

 

            Hadits itu juga mengandung ketentuan hukum fiqh yang penting yaitu bahwa syahadat dapat menyelamatkan pengucapnya dari keabadian di neraka kelak di hari kiamat. Sekalipun ia tidak menjalankan rukun Islam lainnya seperti shalat, puasa, dan lain-lain. Dan memang tentang orang yang meninggalkan shalat ini ada silang pendapat di kalangan ulama, walaupun orang itu mengakui bahwa shalat itu diwajibkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang itu tidak kafir, tetapi hanya fasik. Imam Ahmad cenderung berpendapat bahwa orang itu kafir dan bisa dibunuh karena kemurtadannya, bukan karena hukuman (had). Ada riwayat shahih yang berasal dari sahabat, bahwa mereka tidak pernah berpendapat bahwa orang yang meninggalkan amal wajib dianggap kafir secuali shalat. Hal itu diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim. Saya menilai bahwa yang benar adalah apa yang dikemukakan oleh jumhur (mayoritas ulamat). Dan pendapat yang dikemukakan sahabat tentang pengkafiran itu bukanlah kafir yang menjadikannya kekal di neraka yang tidak mungkin diampuni oleh Allah I. Mengapa begitu? Sebab Sillat bin Zufat yang pemahamannya hamper sama dengan yang dikemukakan oleh Imam Ahmad ketika bertanya, “Apa yang membuat mereka mencukupkan diri dengan laa ilaaha illallah tanpa mengetahui apa itu shalat…” Lalu Hudzaifah menjawabnya, “Wahai Sillat, syahadat itu dapat menyelamatkan mereka dari neraka.” Perkataan ini diucapkannya tiga kali.

 

            Inilah pernyataan Hudzaifah bahwa orang yang meninggalkan shalat, juga orang yang meninggalkan rukun Islam lainnya, tidak dianggap kafir. Ia tetap seorang Muslim yang selamat dari kekekalan di neraka. Maka ingatlah pernyataan ini, sebab jarang ditemukan di buku-buku lain. Ada juga hadits marfu’ yang mendukung pernyataan itu.

 

            Kemudian saya melihat tulisan di dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyyah (2/84) karya Al-Hafizh As-Sakhawi setelah ia mengemukakan beberapa hadits masyhur (hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih namun belum mencapai derajat mutawatir) dan ma’ruf (hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah) tentang kaffarat bagi orang yang meniggalkan shalat. As-Sakhawi berkomentar:

 

            “Hal ini secara lahir diartikan bagi orang yang meninggalkan karena mengingkari keberadaan shalat Isebagai kewaiban), padahal ia hidup di lingkungan kaum muslimin. Sebab dengan demikian orang itu bisa dikatagorikan sebagai orang murtad lagi kafir, sebagaimana disepakati oleh para ulama. Namun apabila ia kembali kepada Islam (dengan melakukan kewajibannya) maka ia diterima, jika tidak maka harus dibunuh. Sedangkan orang yang meninggalkan shalat tanpa udzur (alasan) akan tetapi karena kemalasan semata, dan ia masih mengakui kewajiban shalat, maka menurut pendapat yang shahih menurut jumhur ulama orang itu tidak dikatakan kafir, Orang ini, menurut pendapat yang shahih juga, setelah meninggalkan shalat ketika waktu dharuri (sempit), misalnya tidak melakukan shalat Subuh padahal matahari telah terbit, maka ia harus diminta bertaubat. Namun bila meninggal ia tetap harus dishalati dan dimakamkan di pemakaman kaum muslimin, pendeknya diperlakukan sebagaimana orang Islam lainnya yang meninggal. Kemutlakan kekafiran yang diberikan kepadanya diartikan sebagai orang yang mirip dengan orang musyrik, sebagai langkah kompromi antara nash-nash ini dengan apa yang disabdakan oleh Nabi r : (Lima shalat yang diwajibkan oleh Allah…) Di dalam hadits ini ada dinyatakan bahwa Allah I bisa mengampuninya dan bisa menyiksanya. Nabi r juga bersabda: “Laa Ilaaha Illallah, maka ia akan masuk surga. Oleh karena itu kaum muslimin dapat mewarisi orang tersebut, ia pun dapat mewarisi mereka kaum muslimin, sebab seandainya orang itu dihukumi kafir tentu Allah tidak akan mengampuninya, sehingga tidak ada hubungan waris dengan kaum muslimin.”

 

            Pernyataan senada dikemiukakan oleh Syaikh Sulaiman bin Syaikh Abdullah di dalam bukunya HasyiyahAlal Muqni (1/95-96), yaitu:

 

            “Karena pernyataan itu merupakan kesepakatan (consensus) kaum muslimin, maka kita tidak pernah melihat seorang pun di antara mereka yang meninggalkan shalat lalu tidak dimandikan, dishalati, atau tidak diberlakukan kepadanya hukum-hukum lainnya seperti hukum waris dan lain sebagainya. Seandainya orang itu dihukumi kafir maka orang itu tidak akan mendapatkan perlakuan seperti itu. Sedangkan hadits-hadits di atas (tentang pengkafiran orang yang meninggalkan shalat) hanya merupakan pemberatan atau penyerupaan terhadap orang-orang kafir, bukan penyamaan dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Nabi r :

 

            “Memaki orang Islam adalah kefasikan dan memeranginya adalah kekafiran.”

 

            Demikian pula sabda Nabi r :

 

            “Orang yang bersumpah tidak dengan nama Allah, maka ia telah menyekutukan-Nya.”

 

            Dan masih banyak hadits Nabi yang senada. Al-Muwaffiq berkata: “Inilah pendapat yang paling tepat.”

 

            Saya mengutip pendapat ini dari Al-Hasyiyah di atas, dengan maksud supaya orang-orang yang terlalu fanartik dengan madzhab Hambali mengetahui bahwa pendapat itu tidak berasal dari kami, tapi justeru dari kalangan mereka sendiri, yakni mayoritas ulama mereka dan bahkan dari golongan muhaqqiq  (peneliti) mereka seperti Al-Muwaffiq ini. Dia adalah putera Qudamah Al-Maqdisy, Hal ini diharapkan dapat mengurangi fanatisme mereka yang ekstrim, sehingga bisa menelorkan hukum dengan landasan pemikiran yang moderat.

 

            Namun di sini ada satu masalah pelik yang jarang diketahui dan diperhatikan. Oleh karena itu dalam kesempatan ini pula saya akan mengungkapkan hal itu:

 

            “Orang yang meninggalkan shalat karena keengganan atau kemalasan semata, masih dihukumi Islam, selama tidak diketahui apa yang terjadi setelahnya dan apa yang sebenarnya tersimpan di hatinya atau katakanlah misalnya ia mati dalam keadaan tidak mempercayai keberadaan shalat sebagai suatu kewajiban. Seandainya orang seperti itu mati dalam keadaan masih meninggalkan shalat, namun belum (tidak) diketahui apakah  ia mengingkari keberadaannya (kewajibannya), maka ia tetap diperlakukan sebagaimana muslim lainnya, seperti yang kita lihat sekarang ini. Tetapi seandainya ia telah disuruh memilih antara dibunuh atau bertaubat dengan kembali melaksanakan shalat, lalu ia memilih dibunuh, hingga akhirnya benar-benar dibunuh, maka berarti ia telah mati dalam keadaan kafir. Ia tidak boleh dikubur di pekuburan kaum muslimin, dan tidak boleh diperlakukan seperti kaum muslimin lainnya dalam hal apapun. Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh As-Sakhawi, yang berpendapat bahwa orang tersebut tidak mungkin berpikir – seandainya ia bukanlah orang  yang mengingkari kewajiban shalat di dalam hatinya – untuk memilih dibunuh. Ini suatu hal yang mustahil terjadi pada orang yang masih normal, yakni memilih kesengsaraan degnan dibunuh.”

 

            Sementara itu Ibnu Taimiyah di dalam bukunya Majma’atul Fatawa (2/48) dalam hal ini memberikan ulasannya:

 

            “Seandainya ada orang yang meninggalkan shalat sampai ia dibunuh, maka di dalam hatinya tidak mungkin mengakuinya sebagai kewajiban, atau ada keinginan untuk menjalankannya. Orang ini secara aklamasi diakui sebagai orang kafir, yang dipertegas pula dengan pernyataan para sahabat, dan pernyataan-pertanyaan itu berasal dari mereka secara shahih. Orang yang senantiasa meninggalkan shalat sampai ia mati, tak pernah bersujud kepada Allah jelas bukan muslim dalam arti yang sesungguhnya, yakni mengakui kewajiban yang dibebankan kepadanya. Meyakini kewajiban dan meyakini bahwa orang yang meninggalkan shalat akan dibunuh merupakan penolong (motivator) terkuat untuk melaksanakan shalat. Adanya pendorong (kedua keyakinan itu) menunjukkan (membuktikan) adanya hal yang didorong (yakni wujud melakukan shalat). Jika orang itu sebenarnya mamapu mengerjakannya, tetapi ternyata ia tidak mengerjakannya, maka bisa dipastikan bahwa motivator itu jelas tidak ada pada dirinya.

 

 

****

 

 


As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com