KETENTUAN ORANG
YANG MENINGGALKAN SHALAT
Hadits itu juga mengandung ketentuan hukum fiqh yang penting yaitu bahwa syahadat dapat menyelamatkan pengucapnya dari keabadian di neraka kelak di hari kiamat. Sekalipun ia tidak
menjalankan rukun Islam lainnya seperti shalat, puasa, dan lain-lain. Dan memang tentang orang yang meninggalkan shalat ini ada silang
pendapat di kalangan ulama, walaupun orang itu mengakui bahwa shalat itu
diwajibkan. Mayoritas ulama berpendapat bahwa orang
itu tidak kafir, tetapi hanya fasik. Imam
Ahmad cenderung berpendapat bahwa orang itu kafir dan bisa dibunuh karena kemurtadannya, bukan karena hukuman (had).
Inilah pernyataan Hudzaifah bahwa orang yang meninggalkan shalat, juga orang
yang meninggalkan rukun Islam lainnya, tidak dianggap kafir. Ia tetap seorang Muslim yang selamat dari kekekalan di
neraka. Maka ingatlah pernyataan ini, sebab jarang ditemukan di buku-buku lain.
Kemudian saya melihat tulisan di
dalam Al-Fatawa Al-Haditsiyyah
(2/84) karya Al-Hafizh As-Sakhawi
setelah ia mengemukakan beberapa hadits masyhur (hadits yang diriwayatkan oleh
tiga orang atau lebih namun belum mencapai derajat mutawatir) dan ma’ruf (hadits yang diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah) tentang kaffarat bagi
orang yang meniggalkan shalat. As-Sakhawi
berkomentar:
“Hal ini secara lahir diartikan bagi
orang yang meninggalkan karena mengingkari keberadaan shalat Isebagai kewaiban), padahal ia hidup di lingkungan kaum muslimin.
Sebab dengan demikian orang itu bisa dikatagorikan
sebagai orang murtad lagi kafir, sebagaimana disepakati oleh para ulama.
Namun apabila ia kembali kepada Islam (dengan
melakukan kewajibannya) maka ia diterima, jika tidak maka harus dibunuh.
Sedangkan orang yang meninggalkan shalat tanpa udzur
(alasan) akan tetapi karena kemalasan semata, dan ia masih mengakui kewajiban
shalat, maka menurut pendapat yang shahih menurut jumhur
ulama orang itu tidak dikatakan kafir, Orang ini, menurut pendapat yang shahih
juga, setelah meninggalkan shalat ketika waktu dharuri
(sempit), misalnya tidak melakukan shalat Subuh padahal matahari telah terbit,
maka ia harus diminta bertaubat. Namun bila meninggal ia
tetap harus dishalati dan dimakamkan di pemakaman
kaum muslimin, pendeknya diperlakukan sebagaimana
orang Islam lainnya yang meninggal. Kemutlakan kekafiran yang diberikan
kepadanya diartikan sebagai orang yang mirip dengan orang musyrik, sebagai
langkah kompromi antara nash-nash ini dengan apa yang
disabdakan oleh Nabi r : (
Pernyataan senada dikemiukakan oleh Syaikh Sulaiman
bin Syaikh Abdullah di dalam bukunya Hasyiyah ‘Alal Muqni’ (1/95-96),
yaitu:
“Karena pernyataan
itu merupakan kesepakatan (consensus) kaum muslimin,
maka kita tidak pernah melihat seorang pun di antara mereka yang meninggalkan
shalat lalu tidak dimandikan, dishalati, atau tidak
diberlakukan kepadanya hukum-hukum lainnya seperti hukum waris dan lain
sebagainya. Seandainya orang itu dihukumi
kafir maka orang itu tidak akan mendapatkan perlakuan
seperti itu. Sedangkan hadits-hadits di atas (tentang pengkafiran orang yang meninggalkan shalat) hanya merupakan
pemberatan atau penyerupaan terhadap orang-orang kafir, bukan penyamaan dalam arti yang sesungguhnya. Hal ini
tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Nabi r :
“Memaki orang
Islam adalah kefasikan dan memeranginya
adalah kekafiran.”
Demikian pula sabda Nabi r :
“Orang yang bersumpah tidak dengan nama Allah, maka ia telah menyekutukan-Nya.”
Dan masih banyak
hadits Nabi yang senada. Al-Muwaffiq berkata:
“Inilah pendapat yang paling tepat.”
Saya mengutip pendapat ini dari Al-Hasyiyah di atas, dengan maksud supaya orang-orang yang
terlalu fanartik dengan madzhab
Hambali mengetahui bahwa pendapat itu tidak berasal
dari kami, tapi justeru dari kalangan mereka sendiri,
yakni mayoritas ulama mereka dan bahkan dari golongan muhaqqiq
(peneliti) mereka seperti Al-Muwaffiq ini. Dia adalah putera Qudamah Al-Maqdisy, Hal ini
diharapkan dapat mengurangi fanatisme mereka yang ekstrim, sehingga bisa menelorkan hukum dengan landasan pemikiran yang moderat.
Namun di sini ada
satu masalah pelik yang jarang diketahui dan diperhatikan. Oleh karena
itu dalam kesempatan ini pula saya akan mengungkapkan
hal itu:
“Orang yang
meninggalkan shalat karena keengganan atau kemalasan
semata, masih dihukumi Islam, selama tidak diketahui
apa yang terjadi setelahnya dan apa yang sebenarnya tersimpan di hatinya atau
katakanlah misalnya ia mati dalam keadaan tidak mempercayai keberadaan shalat
sebagai suatu kewajiban. Seandainya orang seperti itu mati dalam keadaan
masih meninggalkan shalat, namun belum (tidak) diketahui apakah ia mengingkari keberadaannya
(kewajibannya), maka ia tetap diperlakukan sebagaimana muslim lainnya, seperti
yang kita lihat sekarang ini. Tetapi seandainya ia telah
disuruh memilih antara dibunuh atau bertaubat dengan kembali melaksanakan
shalat, lalu ia memilih dibunuh, hingga akhirnya benar-benar dibunuh, maka
berarti ia telah mati dalam keadaan kafir. Ia tidak
boleh dikubur di pekuburan kaum muslimin, dan tidak
boleh diperlakukan seperti kaum muslimin lainnya
dalam hal apapun. Berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh As-Sakhawi, yang berpendapat bahwa orang tersebut tidak
mungkin berpikir – seandainya ia bukanlah orang yang mengingkari kewajiban shalat di
dalam hatinya – untuk memilih dibunuh. Ini suatu hal yang
mustahil terjadi pada orang yang masih normal, yakni memilih kesengsaraan degnan dibunuh.”
Sementara itu Ibnu Taimiyah di dalam bukunya Majma’atul
Fatawa (2/48)
dalam hal ini memberikan ulasannya:
“Seandainya ada
orang yang meninggalkan shalat sampai ia dibunuh, maka di dalam hatinya tidak
mungkin mengakuinya sebagai kewajiban, atau ada keinginan untuk menjalankannya. Orang ini secara
aklamasi diakui sebagai orang kafir, yang dipertegas pula dengan pernyataan
para sahabat, dan pernyataan-pertanyaan itu berasal dari mereka secara shahih.
Orang yang senantiasa meninggalkan shalat sampai ia
mati, tak pernah bersujud kepada Allah jelas bukan
muslim dalam arti yang sesungguhnya, yakni mengakui kewajiban yang dibebankan
kepadanya. Meyakini kewajiban dan meyakini bahwa orang yang meninggalkan shalat
akan dibunuh merupakan penolong (motivator) terkuat
untuk melaksanakan shalat. Adanya pendorong (kedua keyakinan
itu) menunjukkan (membuktikan) adanya hal yang didorong (yakni wujud melakukan
shalat). Jika orang itu sebenarnya mamapu
mengerjakannya, tetapi ternyata ia tidak
mengerjakannya, maka bisa dipastikan bahwa motivator itu jelas tidak ada pada
dirinya.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |