PERINTAH MEMPELAJARI AL-QUR’AN
٨٧ – íóÏúÑõÓõ ÇúáÇöÓúáÇóãõ ßóãóÇ íóÏúÑõÓõ æóËúìõ ÇáËøóæúÈö . ÍóÊøٰٰì
áÇóíõÏúÑٰ ãóÇÕöíóÇãõ æóáÇóÕóáÇóÉñ æóáÇó äõÓúßñ æóáÇó ÕóÏóÞóÉñ ¡
æóáóíõÓúÑٰì Úóáٰì ßöÊóÈö Çááåö ÚóÒøóæóÌóáøó Ýöì áóíúáóÉò ÝóáÇó
íóÈúÞٰì Ýöì ÇúáÇóÑúÖö ãöäúåõ ÇٰíóÉñ æóíóÈúÞٰì ØóæóÇÁöÝõ ãöäó
ÇáäøóÇÓö : ÇóÔøóíúÎõ ÇáúßóÈöíúÑõ æóáúÚóÌõæúÒõ ¡ íóÞõÇáõæúäó : ÇóÏúÑóßúäóÇ ÇٰÈóÇÚóäóÇ
Úóáٰì åٰÐöåö ÇáúßóáöãóÉö : ¡¡ áÇóÇöáٰåó ÇöáÇøóÇááåõ ÝóäóÍúäõ
äóÞõæúáõåóÇ .
“(Kelak) Islam akan mengalami kelunturan seperti lunturnya batik baju, sehingga tidak
diketahui lagi apa itu shalat, puasa, ibadah dan sedekah. Dan Al-Qur’an sungguh
akan dibawa pergi, sehingga tak ada satupun yang tersisa di muka bumi ini.
Golongan manusia yang tersisa adalah Kakek dan Nenek. Mereka berkata: “Kami mendapatkan
kalimat seperti ini dari nenek moyang kami: Laa Ilaaha Illallah, oleh karena itu
kami mengucapkannya.”
Hadits ini ditakhrij oleh Ibnu Majah
(4049) dan Al-Hakim (4/473) melalui jalur Abu Mu’awiyah
dari Abu Malik Al-Asyja’i dan Rabi’i
bin Harsani dari Hudzaifah
bin Yaman secara marfu’, Ibnu Majah menambahkan:
“Sillah
bin Zufar berkata kepada Hudzaifah:
“Apa yang membuat mereka cukup dengan ‘Laa Ilaaha Illallahu’ tanpa
mengetahui arti shalat, puasa, ibadah dan sedekah? Hudzaifah
berpaling darinya. Oleh karena itu Sillah mengulangi
pertanyaan itu sampai tiga kali. Namun tetap tidak digubris oleh Hudzaifah. Dan pada pertanyaan ketiga, baru Hudzaifah memperhatikan seraya berkata: “Wahai Sillah, kalimat itu dapat menyelamatkan mereka dari siksa
api neraka.” Hudzaifah dengan kalimat seperti itu
sebanyak tiga kali.”
Al-Hakim menilai hadits ini: “Shahih
sesuai dengan criteria Imam Muslim.” Sedang Adz-Dzahabi
juga sependapat dengan penilaian itu.
Saya berpendapat: Apa yang
dikemukakan oleh keduanya (Al-Hakim dan Adz-Dzahabi)
adalah benar. Sedangkan Al-Bushairi di dalam Az-Zawa’id (nomor 247/1) berkata: “Sanadnya shahih dan
perawi-perawinya tsiqah.”
Kata yadrusu
berasal dari kata darasa ar-rasmu durusun, yang berarti hilang dan hancur.
Sedangkan wasyus
tsaub artinya batik baju.
Kandungan Hadits
Hadits ini
memuat kisah yang amat mendebarkan, yaitu terhapusnya
pengaruh Islam pada suatu saat. Juga berisi tentang dihapuskannya
Al-Qur’an sehingga tak satu pun ayatnya yang tersisa.
Hal itu terjadi tentunya setelah Islam mampu menguasai roda kehidupan dunia,
dan hanya agama itulah yang tertinggi, seperti dijelaskan oleh firman Allah:
åõæó ÇáóøÐöí ÃóÑúÓóáó ÑóÓõæáóåõ ÈöÇáúåõÏóì
æóÏöíäö ÇáúÍóÞöø áöíõÙúåöÑóåõ Úóáóì ÇáÏöøíäö ßõáöøåö æóáóæú ßóÑöåó
ÇáúãõÔúÑößõæäó
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas
segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (QS At-Taubah : 33)
Rasulullah r juga banyak menjelaskan hal itu di dalam hadits-haditsnya,
diantaranya apa yang telah saya sebutkan di dalam pembahasan pertama.
Sungguh Al-Qur’an di
akhir zaman akan dihapus untuk memberi peringatan bahwa kiamat telah dekat,
karena kerusakan moral telah merajalela. Manusia tidak lagi mengetahui Islam
sedikitpun, bahkan tauhidnya juga tidak mereka
ketahui!
Hal itu juga memberi
isyarat keagungan Al-Qur’an yang keberadaannya di antara kaum muslimin menjadi factor tegak dan langgengnya
agama mereka. Hal itu akan senantiasa terpelihara dengan catatan senantiasa
dipelajari, direnungkan dan dipahami secara mendalam.
Karena itulah Allah I menjanjikan kelangsungan Al-Qur’an sampai suatu
saat dimana Allah I menetapkan adanya penghapusan itu.
Sungguh sesat apa yang dikemukakan
sebagian orang yang bertaklid, yang mengatakan bahwa
agama Islam akan tetap terpelihara dengan adanya keempat madzhab.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada bahaya sama sekali menyia-nyiakan Al-Qur’an
seandainya penghapusan itu akan benar-benar terjadi. Inilah yang dengan jelas
dikemukakan oleh sebagian Mufit dari luar Arab saat
berdialog dengan saya seputar masalah ijtihad dan taqlid. Ia berpendapat – suatu hal yang banyak
diperselisihkan oleh para ulama – bahwa pintu ijtihad
telah tertutup sejak abad ke empat Hijriyah! Kemudian saya bertanya kepadanya,
“Apa yang kita lakukan untuk mengetahui hukup dari
berbagai peristiwa (permasalahan) baru dalam hidup ini? Ia menjawab, “Semua
kejadian itu bagaimanapun banyak dan beragamnya telah
dijawab (akan Anda temukan jawabannya) di dalam karya-karya ulama kita
terdahulu, baik secara jelas atau dengan persamaannya (analogi).” Saya kemudian
menimpali, “Dengan demikian anda telah mengakui
terbukanya pintu ijtihad bukan?” Ia balik bertanya,
“Mana buktinya?” Saya jawab, “Sebab Anda mengakui bahwa kadang-kadang dengan
masalah yang sepadan (semisal), bukan masalah yang persis. JIka
demikian maka merupakan suatu keharusan untuk mencari pemecahan hukum terhadap
permasalahan yang ada di zaman sekarang ini. Sehingga mau tidak mau harus
dipakai penalaran dan qyas yaitu sumber keempat dari
hukum syara’. Dan inilah hakekat ijtihad
bagi orang yang mampu melakukannya.”
Dengan demikian bagaimana kalian
bisa mengatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup?
Hal ini mengingatkan saya pada suatu dialog antara saya dengan seorang Mufti
dari Suriah. Saya bertanya. “Salahkah shalat di atas
pesawat terbang?” Ia menjawab, “Sah.” Saya bertanya, “Anda menjawab seperti itu
dengan taqlid atau ijtihad?”
Ia balik bertanya, “Apa yang Anda maksudkan?” Saya katakana, “Tidak asing lagi
bahwa menurut Anda dasar dalam memberikan fatwa tidak boleh dengan ijtihad, melainkan harus bertumpu pada pernyataan seorang
Imam di dalam kitabnya. Adakah di dalam kitab itu
yang menjelaskan sahnya shalat di dalam pesawat
terbang?: Ia menjawab, “Tidak.” Kembali saya bertanya, “Mengapa sekarang Anda
menyalahi aturan fatwa yang Anda gariskan? Yakni
dengan memberikan fatwa tanpa teks dari imam terdahulu?” Ia mengatakan,
“Jawabannya adalah dengan menganalogikan.” Saya
tanyakan, “Apa maqis alaihi-nya
(sandaran analogi)?” Ia menjawab, “Shalat di atas kapal.” Saya katakana, “Bagus
itu, tetapi Anda menyalahi aturan pokok atau hukum pokok atau hukum cabangnya.
Hukum pokoknya telah Anda sebutkan. Sedang hukum far’nya
adalah apa yang disebutkan Imam Rafi’ di dalam kitab syarahnya: “Orang yang shalat di atas bandulan
yang tidak digantungkannya dengan tanah, maka shalatnya batal.” Ia menjawab, “Saya tidak mengetahui hal
itu.” Saya katakana, “Periksalah apa yang dikemukakan Imam Rafi’
itu. Anda akan tahu secara detail. JIka Anda
mengikutinya, tentu Anda akan berpendapat bahwa shalat di atas pesawat tidak
sah. Karena seperti itulah yang sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Rafi’ dengan jelas, yang waktu itu dia hanya menghayalkan masalah semata. Sedangkan kami berpendapat
bahwa shalat di dalam pesawat tetap sah. Sebab pesawat juga terhubungkan
dengan bumi melalui udara (angina).”
Kemudian saya melanjutkan dialog
dengan mufti non Arab tadi. Saya bertanya, “Seandainya masalahnya benar seperti
yang Anda kemukakan, bahwa kaum muslimin tidak
membutuhkan mujtahid lagi, sebab mereka dapat
menemukan jawaban masalahnya dari kitab-kitab yang ada, baik mengenai masalah
yang benar-benar sama atau yang hanya sepadan. Apakah tidak membahayakan
seandainya terhapusnya Al-Qur’an akan benar-benar
terjadi?” Ia menjawab, “Itu tidak akan terjadi.” Saya katakana, “Seandainya hal
itu terjadi?” Ia menjawab, :Bila terhapusnya
Al-Qur’an benar-benar terjadi, tidak akan membahayakan.” Saya menimpali, “Kalau begitu apa arti penjagaan yang dilakukan
oleh Allah terhadap Al-Qur’an pada firman-Nya:
ÅöäøóÇ
äóÍúäõ äóÒøóáúäóÇ ÇáÐøößúÑó æóÅöäøóÇ áóåõ áóÍóÇÝöÙõæäó
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an, dan sesungghunya
Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al- Hijr
: 9)
Pemeliharaan itu tentu saja tidak
ada artinya seandainya pemeliharaan oleh kaum muslimin
tidak penting lagi setelah masa keempat madzhab itu.
Pada dasarnya jawaban yang saya
peroleh dari mufti dengan cara dialog itu merupakan jawaban mayoritas
orang-orang bertaklid. Hanya bedanya, ada juga yang
tidak berani mengemukakannya.
Akibat dari tindakan mereka yang
saya ceritakan itu perlu direnungkan. Mereka
sebenarnya telah membuat Al-Qur’an terhapus hukumnya, padahal tulisannya masih
terpampang jelas di hadapan kita. Lalu bagaimana sikap mereka apabila Al-Qur’an
benar-benar telah dibawa pergi, dan tidak ada lagi satu ayat pun yang
tertinggal? Semoga Allah senantiasa memberi petunjuk kepada kita. Amin.
****
As-Shahihah Online melalui www.alquran-sunnah.com |