Rajin Pengajian kok Sesat?

Informasi Artikel ini:
Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Dipublikasikan: 31 August 2009
Dibaca: 6854
qmApabila kita cermati munculnya fenomena aliran dan pemahaman yang menyimpang di kalangan umat Islam -seperti halnya kasus yang sedang banyak dibicarakan yaitu tentang terorisme berkedok jihad- boleh jadi akan banyak orang yang merasa heran bercampur kebingungan. Bagaimana bisa orang yang dikenal rajin beribadah, aktif mengikuti kegiatan keagamaan, dan menunjukkan semangat yang tinggi dalam berislam ikut terseret dalam pemahaman yang sesat?

Jawabannya tentu tidak sulit. Sebab bagaimana pun juga semangat keberagamaan yang tidak dilandasi dengan ilmu yang benar tidaklah mencukupi. Bahkan hal itu bisa membahayakan diri sendiri serta orang lain. Oleh sebab itu, sebagian ulama salaf memperingatkan, “Barang siapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang dirusaknya lebih banyak daripada yang diperbaiki.”

Nah, mungkin ada orang yang mengatakan, “Bukankah mereka itu juga mempelajari al-Qur’an dan hadits, bahkan sudah jadi ustadz. Lalu di mana letak kesalahannya?”

Saudaraku sekalian, semoga Allah menambahkan kepada kita curahan petunjuk dan bimbingan-Nya. Seringkali kita lihat bahwa ternyata orang-orang yang menyimpang itu juga membawakan dalil ayat ataupun hadits untuk membela kekeliruan mereka. Sehingga orang yang tidak paham bisa saja akan mengiyakan dan minimal ‘memaklumi’ apa yang mereka lakukan. Apalagi kalau yang berbicara adalah sosok yang dianggap sebagai kyai dan ditokohkan oleh banyak orang. Sederhana saja, dia cukup mengatakan bahwa itu ‘kan hasil ijtihad mereka, dan orang yang berijtihad itu meskipun salah ya tetap berpahala. Intinya mereka yang melakukan bom bunuh diri dan peledakan gedung itu tidak boleh disalahkan. Lha wong mereka itu mujahid kok, itulah inti yang dia maksudkan.

Mencomot ayat demi mendukung paham sesat

Sebenarnya perbuatan mencomot ayat atau hadits dan memelintirnya demi kepentingan membela pemikiran menyimpang bukanlah perkara baru. Kita masih ingat bagaimana dahulu di masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu orang-orang yang menganut paham Khawarij/pemberontak mengusung ayat inil hukmu illa lillah, artinya tidak ada hukum kecuali hukum Allah. Ayat itu mereka salah gunakan untuk mengkafirkan pemerintah yang berkuasa ketika itu yaitu Ali bin Abi Thalib karena mereka menganggap beliau tidak berhukum dengan hukum Allah.

Padahal apa yang beliau lakukan sama sekali tidak melanggar hukum Allah bahkan didukung oleh dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma ketika mendebat orang-orang Khawarij. Menghadapi tudingan itu, dengan cerdas Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu mengomentari sikap mereka yang tidak bisa memahami ayat secara utuh,

كَلِمَةُ حَقٍّ أُرِيدَ بِهَا بَاطِلٌ

“Itu adalah ucapan yang benar, namun maksudnya batil.” (HR. Muslim dari Ubaidullah bin Abi Rafi’ radhiyallahu’anhu)

Dari kejadian ini, kita bisa memetik pelajaran berharga bahwa semata-mata membawakan ayat atau hadits untuk mendukung suatu pendapat atau keyakinan tidaklah cukup apabila tidak diiringi dengan pemahaman serta metode penarikan kesimpulan hukum/istidlal dan istinbath yang benar.

Selengkapnya: Rajin Pengajian kok Sesat?

Rebutlah hati suamimu dengan bersegera menta’atinya

Informasi Artikel ini:
Penulis: admin-alquransunnah
Dipublikasikan: 23 August 2009
Dibaca: 5696
Istri yang bijak adalah istri yang dapat mengerti dan memahami kewajiban yang harus dilakukannya. Memahami bahwa mentaati suami merupakan salah satu kewajibannya. Dan bahwa mentaati suami dalam perkara yang bukan maksiat merupakan penyebab ia masuk ke dalam jannah.

Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam telah bersabda:

“Apabila seorang wanita telah mengerjakan sholat lima waktu, puasa bulan ramadhon, menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: “Masuklah jannah dari pintu manapun yang engkau suka”. (Shahih Al-Jami’ Al Kabir)

bungaKetahuilah, kewajiban utama seorang istri terhadap suaminya adalah mentaatinya dalam perkara-perkara yang bukan maksiat dan tidak menyeret kepada mudhorat. Ketaatan istri ini akan memberikan pengaruh yang amat besar dalam menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Dalam hadits tentang kisah delegasi kaum wanita, mereka menyebutkan tentang pahala yang diperoleh para lelaki dengan jihad, kemudian mereka bertanya, “Bagaimana kami dapat memperoleh keutamaan seperti demikian?”

Maka Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam bersabda:

“Sampaikan kepada para wanita yang kalian jumpai bahwa mentaati suami dan menunaikan hak-haknya dapat menyamai semua keutamaan itu…” (HR. Al-Bazaar dan Ath-Thobrani)

Kewajiban kepada suami bukan berarti menihilkan kepribadianmu sebagai wanita. Bukan berarti hegemoni kaum lelaki terhadap wanita dan bukan pula berarti kehidupan rumah tangga menjadi ajang pertempuran, penentangan dan membuat keras kepala. Namun, merupakan kehidupan yang mana kesantunan menjadi ciri utamanya.

Sesungguhnya ketaatan istri kepada suaminya secara ma’ruf dan kecintaannya kepada suaminya bisa mengangkat kedudukannya di sisi Allooh dan mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan baginya. Dan suaminya juga akan mentaatinya dan menuruti keinginannya yang syar’i. Dalam sebuah mutiara-mutiara hikmah, disebutkan: “Sebaik-baik istri adalah yang ta’at, mencintai, bijak, subur lagi penyayang, pendek lisan (tak cerewet) dan mudah diatur.”

Suami akan sangat gembira ketika mendapatkan istrinya segera mentaatinya, tidak bermalas-malasan dalam menunaikan apa yang dikehendakinya, bahkan terkadang sampai pada taraf kedua-duanya memahami apa yang diingini oleh pasangannya, ia tidak perlu memikirkannya sebelum menyebutkannya.

Itu berarti engkau benar-benar mengharapkan ridha suamimu dan berusaha untuk meraihnya. Dan juga berarti engkau mengetahui jalan menuju jannah.

Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam bersabda:

“siapa saja wanita yang meninggal sementara suaminya ridho terhadapnya maka ia pasti masuk jannah.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Dikutip dari Kuuni Zaujatan Naajihatan, DR. Najla’ As-Sayyid Nayil.
Sumber : http://jilbab.or.id

Hukum-hukum Dalam Bulan Ramadhan

Informasi Artikel ini:
Penulis: Abu Al-Jauzaa'
Dipublikasikan: 13 August 2009
Dibaca: 16362

Keutamaan-Keutamaan Puasa

Allah ta’ala telah berfirman :

إِنّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصّادِقِينَ وَالصّادِقَاتِ وَالصّابِرِينَ وَالصّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدّقِينَ وَالْمُتَصَدّقَاتِ والصّائِمِينَ والصّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِـظَاتِ وَالذّاكِـرِينَ اللّهَ كَثِيراً وَالذّاكِرَاتِ أَعَدّ اللّهُ لَهُم مّغْفِرَةً وَأَجْراً عَظِيماً

ramadhan“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar” (QS. Al-Ahzab : 35).

Dalam ayat lain Allah juga telah berfirman :

وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لّكُمْ إِن كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 184).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan dalam sunnahnya bahwasannya puasa merupakan benteng dari hawa nafsu syahwat, penangkal dari sambaran api neraka, dan Allah ta’ala telah mengkhususkannya sebagai nama salah satu pintu surga. Beberapa keutamaan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Puasa Sebagai Perisai

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada orang yang diliputi nafsu birahi untuk menikah. Jika dia tidak mampu untuk melaksanakannya, maka ia diperintahkan berpuasa untuk mengekang nafsu syahwatnya. Sebab puasa bisa menahan gejolak anggota tubuh dengan kelemahannya sehingga dapat mengekangnya dari tindakan yang menyimpang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء

“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu (ba’ah), maka hendaknya dia menikah, karena menikah itu dapat menjaga pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu untuk menikah, maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu bisa menjadi perisai baginya” (HR. Al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ; dan ini adalah lafadh Muslim).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam juga telah menjelaskan bahwa surga itu dikelilingi oleh hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi oleh berbagai kesenangan syahwat. Oleh sebab itu, jelaslah kiranya bagi kita bahwa puasa itu dapat mementahkan syahwat dan menumpulkan ketajamannya yang bisa mendekatkan kepada api neraka, dan puasa itu bisa menjadi penyekat antara orang yang berpuasa dengan neraka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

إنما الصيام جنة يستجن بها العبد من النار

“Puasa itu adalah perisai yang dapat melindungi diri seorang hamba dari api neraka” (HR. Ahmad 3/396; shahih bisyawaahidihi sebagaimana yang disimpulkan oleh Syaikh Al-Arna’uth).

Dan tentunya, hanya puasa yang ikhlash dan sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya sajalah yang dapat menjadi perisai dari api neraka.

Selengkapnya: Hukum-hukum Dalam Bulan Ramadhan

  • Madu, Si Manis yang Menyehatkan
  • Peristiwa Mata Air Raji'
  • Akidah dan Amalan Yahudi yang Ditiru oleh Sebagian Muslimin
  • Dajjal, Antara Kenyataan dan Kamuflase
  • Sepuluh Kesalahan Dalam Mendidik Anak
  • Turut Berduka Cita Atas Wafatnya Syaikh Ibnu Jibrin Rahimahullah Ta'ala
  • Menjadi Orang Asing di Dunia
  • Bersabar Dalam Menghadapi Takdir Allah 'Azza wajalla

Halaman 196 dari 211

  • 191
  • 192
  • 193
  • 194
  • 195
  • 196
  • 197
  • 198
  • 199
  • 200