 
        بسم الله الرحمن الرحيم
📚 Kajian Kitab Al-Manhaj As-Salafi ┃Karya Prof. Dr. Muhammad bin Umar Bazmul Hafidzahullah
🎙┃ Ustadz Mohammad Alif, Lc. حفظه الله تعالى
🗓┃Jum'at, 13 Juni 2025 /17 Dzulhijjah 1446 H
🕰┃ Ba'da Maghrib
🕌┃ Masjid Al-Qomar - Jl. Slamet Riyadi No. 414 Rel Bengkong Purwosari, Solo, Jawa Tengah 57142
Ciri Kedua Manhaj Salaf: Syiar yang selalu Didakwahkan adalah Ittibâ kepada Nabi ﷺ
Imam Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani (Imam madzhab Maliki) berkata Perkara yang disepakati oleh Ahlussunnah adalah berserah diri terhadap Sunnah ajaran Nabi ﷺ tidak ditentang dengan pendapat akal pribadi dan kias-kias manusia.
Tidak ada ijtihad jika sudah ada nash (dalil) yang shahih. Apa yang ditafsirkan para Shalafush Shalih, maka kita menerimanya, apa yang mereka kerjakan kita lakukan, demikian juga apa yang ditinggalkan, maka kita pun meninggalkannya.
Merekalah yang paling semangat untuk beramal. Kita mengikuti apa yang mereka fatwakan, dan Ahlus Sunnah tidak boleh keluar dari Jama’ah baik apa yang mereka sepakati atau apa saja yang mereka perselisihkan.
Jika ada dua pendapat yang berselisih, maka kita tidak boleh menambah perselisihan yang ketiga. Cukup memilih yang ada, berdasarkan petunjuk para ulama.
Para ulama berkata,
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”
Dan kita hendaknya menjaga apa yang mereka jaga, kita ikuti apa yang telah mereka fatwakan, kita tidak boleh keluar dari jamaah mereka. Apa yang kami (Abu Zaid) jelaskan di atas, adalah pendapat para ulama Ahlus Sunnah dan Imam malik Rahimahumullah.
Abu Abdallah Muhammad ibn Abdillah bin Abi Zamanin (Kitab Ushul Sunnah Ibnu Abi Zamanin) berkata sunnah adalah dalil bagi Al-Qur’an dan tidak bisa didapatkan dengan qiyas. Maka, sumber hukum adalah Al-Qur’an dan sunnah. Dab landasan akidah adalah wahyu, bukan dari akal. Seseorang ketika berpegang pada tafsir Al-Qur'an harus berpegang pada jumhur ulama Ahlussunnah.
Selengkapnya: Ciri Manhaj Salaf: Syiar yang selalu Didakwahkan adalah Ittibâ kepada Nabi ﷺ
 
        بسم الله الرحمن الرحيم
Hati adalah Bejana
Dari sahabat Abu Inabah Al-Khaulani Radhiyallahu ‘Anhu yang sampai kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda:
إِنَّ لِلَّهِ آنِيَةً مِنْ أَهْلِ الأَرْضِ ، وَآنِيَةُ رَبِّكُمْ قُلُوبُ عِبَادِهِ الصَّالِحِينَ , وَأَحَبُّهَا إِلَيْهِ أَلْيَنُهَا وَأَرَقُّهَا
“Sesungguhnya Allah mempunyai bejana-bejana di atas muka bumi, dan bejana-bejana Tuhan kalian adalah hati-hati hamba-hambaNya yang shalih, dan yang paling dicintai oleh Allah adalah yang paling halus dan yang paling lembut.” (HR. At-Thabrani no. 840)
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memberi perumpamaan hati-hati manusia dengan bejana-bejana. Dan kondisi setiap bejana adalah sesuai apa yang dijadikan di dalamnya dari kebaikan atau keburukan.
Sebagaimana dikatakan كل إناء بالذي فيه ينضح (semua bejana akan mengeluarkan apa yang ada di dalamnya). Maka hati-hati orang yang beriman penuh dengan pikiran kebaikan dan ketaatan. Adapun hati-hati orang yang fasik penuh dengan pikiran dosa dan maksiat.
Berkata Malik bin Dinar Rahimahullahu Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang beriman hatinya penuh dengan kebaikan dan ketaatan. Adapun orang-orang fasik maka hatinya penuh dengan amalan-amalan dosa. Sesungguhnya Allah melihat pikiran-pikiran kaalian, maka perhatikanlah apa yang kalian pikirkan. Semoga Allah merahmati kalian".
 
        بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Masjid Jami' Babussalam
🎙 Bersama Ustadz Abu Haidar As-Sundawy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱 
🗓 Cimanggis, 16 Dzulhijjah 1446 / 12 Juni 2025
Pengantar - Misteri Kematian
Mati dalam bahasa Arab adalah maut, secara bahasa As-Sakan bermakna diam, dalam Lisanul Arab - Ibnu Mandzur menjelaskan secara bahasa makna asal maut adalah sukun (tenang), segala sesuatu yang tenang disebut mati.
Orang Arab mengatakan api itu telah mati apabila baranya telah dingin dan tidak menyala, demikian juga telah mati angin jika tidak ada lagi hembusan yang bertiup.
Maka, lawannya adalah Al-hayat (Hidup) yaitu bergerak. Maka, sesuatu yang tetap bergerak berarti hidup.
Mati secara istilah menurut imam Al-Qurthubi dalam At-Tadzkirah, maut adalah berpisahnya ruh dari badan, putus hubungan antara ruh dan badan, berubah keadaannya dan berpindah alam. Jadi, Kematian secara syariat harus memenuhi 4 keadaan agar dikatakan maut.
Kematian disebut juga dengan wafat, ada dua jenis wafat:
Wafat kubra adalah kematian sesungguhnya yang memenuhi empat Keadaan di atas, dan kematian kecil (wafat Sughra) ada tiga kasus: tidur, pingsan atau koma. Karena, hanya ruh yang berpisah dari badan secara sementara.
Allah ﷻ menjelaskan dalam Al-Qur’an :
وَهُوَ ٱلَّذِى يَتَوَفَّىٰكُم بِٱلَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُم بِٱلنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَىٰٓ أَجَلٌ مُّسَمًّى ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan. (Al-An'am ayat 60).
Imam al-Qurtubi menjelaskan bahwa ketika tidur, ruh-ruh dari hamba dicabut, siapa yang dikehendaki ruhnya ditahan maka Allah akan tahan, siapa yang Allah ﷻ kehendaki untuk tetap hidup, Ruhnya dikembalikan untuk waktu tertentu hingga dia bangun lagi.
Halaman 84 dari 279