KOMPASIANA.com ~ Menjadi salafi berarti memilih sesuatu yang lain. Seorang peneliti antropologi, sayangnya, belum jeli melihat kenyataan ini. Sampai sekarang, belum ada kajian antropologi yang concern mengkaji kehidupan komunitas Salafi. Belum ada karya antropolog yang berwibawa, sewibawa karya-karya Clifford Geertz tentang masyarakat Jawa, mengangkat komunitas Salafi sebagai bahan penelitian.
Yang patut dicatat, Salafi bukan teroris. Selama ini, publik selalu saja menggambarkan bahwa teroris adalah Salafi dan Salafi adalah teroris. Padahal, yang sebenarnya, orang-orang yang melakukan aksi terorisme berkedok Islam dan jihad melawan pemerintah serta mengafirkan orang-orang banyak, termasuk juga meledakkan bom di sana-sini, adalah gerombolan pencatut label Salafi dalam landasan aksi-aksi mereka.
Kalau kita mau jeli, dan meneliti secara jujur dan berani, kita akan menemukan bahwa teroris adalah teroris dan Salafi adalah Salafi. Sepertinya, tahun-tahun sekarang bakal membutuhkan banyak tenaga antropolog untuk meneliti tentang subjek ini. Jika tidak, bias istilah akan semakin merajalela.
Mengapa antropolog? Justru karena mereka yang mau dan mampu melihat dari dalam. Salafi itu komunitas aneh, jauh berbeda dari orang-orang kebanyakan. Bahkan, dapat dikatakan, mereka ada sebagai sebuah subkultur yang eksis dan ada di tengah-tengah masyarakat kita. Hanya tinggal kita: apakah kita mau dan jeli melihatnya?
Sesungguhnya hal yang paling berhak diperhatikan ilmunya dan dicapai puncak ma'rifatnya, adalah ilmu yang diridhoi Alah dan yang menunjukkan jalan yang benar kepada pemiliknya. Yang itu semua terdapat dalam Kitabullah, yang tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Turun dari-Nya tanpa kebimbangan di dalamnya. Setiap pembacanya akan menemukan gudang yang berlimpah dan pahala yang agung. Tidak ada kebatilan di hadapan dan di belakangnya. Diturunkan oleh Yang Maha Bijaksana dan Maha Terpuji. Dialah Al-Qur'an yang merupakan tali Allah yang kokoh, peringatan yang penuh hikmah, halan yang lurus, tidak diselewengkan oleh hawa nafsu, tidak tercampur lisan- lisan manusia, tak usang walau diulang-ulang, tidak habis keajaibannya, tidak puas- puasnya para ulama mengambil kandungannya.
Barangsiapa yang berucap dengannya akan benar, barangsiapa yang mengamalkannya dijanjikan dengan pahala, barangsiapa yang berhukum dengannya akan adil, barangsiapa yang menyeru kepadanya akan ditunjukkan oleh Allah ke jalan yang lurus, barangisapa yang meninggalkannya karena kesombongan akan dibinasakan oleh Allah dan barangsiapa yang mencari petunjuk selainnya akan disesatkan oleh Allah. Allah ber firman,
"Maka jika datang kepadamu petunjuk daripada-Ku lalu barangsiapa yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang amat sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Berkatalah ia, "Ya Rabbku, mengapa Engkau menghimpunkan aku dalam keadaan buta, padahal aku dahulunya adalah orang yang melihat?". Allah ber rnan, "Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami, maka kamu melupakannya, dan begitu (pula) pada hari ini, kamupun dilupakan." (QS. Thoha: 123 - 126).(Majmu' Fatawa 13/330)
Allah Ta’ala berfirman,
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)” (QS Ali ‘Imran:14).
Bersamaan dengan itu, nikmat keberadaan istri dan anak ini sekaligus juga merupakan ujian yang bisa menjerumuskan seorang hamba dalam kebinasaan. Allah mengingatkan hal ini dalam firman-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka…” (QS At Taghaabun:14).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya … Seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang (perbuatan) mereka“[al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).].
“Dan (mereka adalah) orang-orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri dan keturunan kami sebagai penyejuk (pandangan) mata (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa” (QS al-Furqan:74).
SILAHKAN simak kajian kitab Ta’amul baina Zaujain karya Syaikh Musthofa Al Adawy Hafidzahulloh. Juga disertai tanya jawab langsung dengan pendengar Radio Suaraquran Solo. Semoga bermanfaat
Halaman 140 dari 200