Kategori Fiqh

Pemahaman muslimin mengenai praktik-praktik ibadah berdasarkan Syariat
Kajian Bertema Fiqh

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Kitab: خلاصة الكلام على عمدة الأحكام
Karya: Syaikh Abdullah Alu Bassam Rahimahullah
Hari/Tanggal: Selasa, 20 Dzulhijjah 1446 / 17 Juni 2025
Bersama Ustadz Mohammad Alif, Lc 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Staff Pengajar Ma'had Imam Bukhari Solo
Tempat: Masjid Al-Ikhlash Jl. Adi Sucipto - Kerten Solo


Video Kajian: Youtube Kajian ke-23


Bab: Menunggu Dingin untuk Shalat Dzuhur Ketika Cuaca Panas

Telah menjadi kebiasaan Nabi ﷺ shalat Zhuhur bersama para shahabatnya, saat musim panas, saat bumi menjadi sangat panas karena terik matahari, ketika para sahabat tidak mampu meletakkan dahi-dahi mereka di atas bumi yang sangat panas, maka mereka menghamparkan baju-bajunya dan sujud di atasnya untuk menghindari panasnya bumi.

Hadits ke-109:

عن عبد الله بن عُمَرَ وأبي هُرَيْرَةَ وأبي ذر رضي الله عنهم عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: «إذا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بالصلاة. فإن شدة الْحَرِّ من فَيْحِ جَهَنَّمَ».

[صحيح] - [متفق عليه عن أبي هريرة وأبي ذر -رضي الله عنهما-، ورواه البخاري عن ابن عمر -رضي الله عنهما]

Dari Abdullah bin Umar, Abu Hurairah dan Abi Dzar -raḍiyallāhu 'anhum-, dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, bahwasanya beliau bersabda, "Apabila cuaca sangat panas, maka akhirkan salat Zuhur sampai waktu dingin, karena panas yang sangat terik itu merupakan hembusan hawa panas neraka Jahanam."

[Hadis sahih] - [Diriwayatkan oleh Bukhari - Muttafaq 'alaih]

📃 Penjelasan:

Dua hal utama yang menjadi poin hadits ini:

  1. Dianjurkan mengakhirkan shalat dzuhur sampai keadaan dingin ini menunjukkan rahmat Allah ﷻ 
  2. Hendaknya disaat shalat menjauhi Perkara-perkara yang melalaikan agar shalatnya tenang dan khusyu. 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata, ahlul hadits lebih menyukai mengakhirkan shalat dzuhur secara mutlak baik Jama'ah atau sendirian. 

Ruh dan inti dari shalat adalah khusyuk dan hadirnya hati. Oleh sebab itu, disunnahkan bagi orang yang hendak melaksanakan shalat mengosongkan diri dari amalan-amalan lain yang menyibukkan, dan melakukan amalan yang dapat mengantarkan hadirnya hati. Maka Pembuat syariat memberikan keutamaan untuk mengakhirkan shalat Zhuhur ketika cuaca sangat panas sampai agak dingin, agar cuaca panas itu tidak mengganggu kekhusyukannya.

Dengan demikian, terdapat kemudahan dalam agama ini bagi mereka yang keluar (untuk shalat) di masjid-masjid di bawah terik matahari. Dari makna-makna yang mulia tersebut, disyariatkan mengakhirkan shalat dari awal waktunya. Sehingga hadits ini mengkhususkan (baca: mengecualikan) hadits-hadits yang menjelaskan keutamaan shalat di awal waktu.

Faedah lainya yang perlu diperhatikan:

1. Kebersihan lantai. Terutama karpet yang bau dan kotor. 
2. Kebersihan toilet. 
3. Keadaan fasilitas seperti AC atau kipas angin. 
4. Kondisi speakernya. 

🏷 Faedah yang dapat diambil dari hadits:

  1. Disunnahkan mengakhirkan shalat Zhuhur ketika cuaca sangat panas, sampai agak dingin dan tidak panas lagi. 
  2. Hikmahnya agar orang yang akan shalat beristirahat, sehingga hatinya semakin hadir dan jauh dari kekacauan (sesuatu yang mengganggu pikiran).
  3. Hikmah itu seiring dengan ilah (sebab)nya. Kapanpun didapati panas di satu negeri, maka di situ terdapat keutamaan untuk mengakhirkan shalat. Adapun untuk negeri yang dingin maka hilanglah ilah ini, sehingga tidak disunnahkan mengakhirkan waktu shalat.
  4. Sesuai dengan teksnya, dapat dipahami bahwa hikmah diakhirkannya waktu shalat dalam hadits ini, adalah umum bagi orang yang mengerjakan shalat berjamaah di masjid dan yang shalat sendirian di rumah. Karena mereka sama dalam hal kerisauan dan kegelisahan ketika panas.
  5. Disyariatkan bagi mushalli, untuk menjauhi hal-hal yang menyibukkan diri dan main-main ketika shalat.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

📖 Hadits ke-110:

Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, ia berkata,

كُنَّا نُصَلِّي مع رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ في شِدَّةِ الحَرِّ، فَإِذَا لَمْ يَسْتَطِعْ أَحَدُنَا أَنْ يُمَكِّنَ جَبْهَتَهُ مِنَ الأرْضِ، بَسَطَ ثَوْبَهُ، فَسَجَدَ عليه

“Dahulu kami pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam cuaca yang sangat panas. Jika kami tidak mampu menempelkan dahinya ke tanah, maka dibentangkan kain bajunya lalu sujud di atas kain tersebut“ (HR. Bukhari no.1208, Muslim no.620).

📃 Penjelasan 

“Telah menjadi kebiasaan Nabi ﷺ shalat Zhuhur bersama para shahabatnya, saat musim panas. Bumi pun menjadi panas sehingga orang-orang yang shalat tidak mampu meletakkan dahi-dahi mereka di atasnya. Mereka menghamparkan baju-bajunya dan sujud di atasnya untuk menghindari panasnya bumi.

🏷 Faedah yang dapat diambil dari hadits

  1. Waktu Shalat Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya ketika Dzuhur di musim panas, adalah setelah hilangnya terik matahari dan tersisanya panas di bumi.
  2. Bolehnya sujud di atas suatu alas baik berupa kain atau yang lain manakala ada keperluan, seperti panas, dingin, berduri, dan selain itu. Tentang sujud di atas alas, sebagian ulama merinci sebagai, berikut:
  • Apabila alasnya itu terpisah dari orang yang shalat seperti sajadah dan yang semisalnya maka boleh dan tidak makruh walaupun tanpa keperluan.
  • Sedangkan jika bersambung (menyatu) dengan orang yang shalat seperti ujung kain (baju)nya maka makruh hukumnya kecuali ada keperluan.

🔁 Penyatuan Dua Hadits (Tersebut)

Secara tekstual, dua hadits terdahulu adalah bertentangan. Maka para ulama berusaha menyatukan keduanya. Pendapat paling baik dalam masalah ini adalah pernyataan mayoritas ulama: "Saat cuaca sangat panas, yang paling utama adalah ditunggu sampai dingin, sebagaimana hadits Anas Radhiyallahu’anhu "Ketika shalat mereka menunggu dingin. Tetapi panasnya bumi masih tersisa karena dinginnya bumi lebih lambat sebab cuaca yang sangat panas. Maka mereka membutuhkan alas ketika sujud". Bukanlah yang diinginkan dengan dingin disini adalah dinginnnya bumi, tetapi yang diinginkan adalah hilangnya terik matahari dan dinginnya tubuh.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

Bab: Mengganti Shalat yang Tertinggal dan Menyegarkannya

Allah telah menetapkan kewajiban shalat bagi kaum muslimin dengan waktu yang telah ditetapkan awal-dan akhirnya. Tidak boleh mendahului sebelum waktu shalat masuk dan tidak boleh melampauinya bagi orang yang sengaja. Apabila dia tertidur atau lupa (belum) shalat sehingga terlewat waktunya, maka dia tidak berdosa karena udzur. Kewajiban bagi dia adalah segera menggantinya ketika ingat, dan tidak boleh berlambat-lambat. Karena tebusan bagi orang yang melampaui waktu shalat adalah segera menggantinya.

📖 Hadits ke-111:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لاَ كَفَّارَةَ لَهَا إِلاَّ ذَلِكَ وَ تَلاَقَوْلَهُ تَعَالَى (وَأَقِمِ الصًّلاَةََ لِذِكْرِي) وَلِمُسْلِمٍ : مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْ تَسامَ عَنْهَا فَكَفَرَ تُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِذَا ذَكَرَهَا

“Dari Anas bin Malik Radhiyallahu ‘Anhu, dia berkata. ‘Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berrsabda, ‘Barangsiapa lupa shalat, hendaklah dia mengerjakannya ketika mengingatnya, tiada kafarat baginya kecuali yang demikian itu’. Lalu beliau membaca firman Allah. ‘Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku’. Dalam riwayat Muslim disebutkan. Barangsiapa lupa shalat atau tertidur sehingga tidak mengerjakannya, maka kafaratnya ialah mengerjakannya selagi mengingatnya“.

📃 Penjelasan 

Shalat memiliki waktu tertentu dan terbatas, awal dan akhirnya, tidak boleh memajukan shalat sebelum waktunya dan juga tidak boleh mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya.

Namun jika seseorang tertidur hingga tertinggal mengerjakannya atau dia lupa hingga keluar dari waktunya, maka dia tidak berdosa karena alasan itu. Dia harus langsung mengqadha’nya selagi sudah mengingatnya dan tidak boleh menundanya, karena kafarat pengakhiran ini ialah segera mengqadha’nya. Maka Allah berfirman.

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي

“Dan, dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” [Thaha/20 : 14]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini ketika menyebutkan hukum ini, mengandung pengertian bahwa pelaksanaan qadha’ shalat itu ialah ketika sudah mengingatnya.

Hadits ini menjadi landasan bahwasannya, tatkala berhujjah membaca ayat oleh Ahlil Ilmi disebut tidak perlu membaca Isti'anah. Dan menjadi hujjah bagi Ahlil bid'ah (Murjiah) bahwa shalat cukup hanya ingat. Na'udzubillahmindalik.

Perbedaan Pendapat Dikalangan Ulama

Para ulama saling berbeda pendapat, apakah boleh menundanya ketika sudah mengingatnya ataukah harus langsung mengerjakannya?.

Jumhur ulama mewajibkan pelaksanaannya secara langsung. Mereka yang berpendapat seperti ini ialah tiga imam, Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan para pengikut mereka. Sementara Asy-Syafi’i mensunatkan pelaksanaannya secara langsung dan boleh menundanya.

Asy-Syafi’i berhujjah bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat tertidur, mereka tidak melaksanakan qadha’ shalat di tempat mereka tidur. Tapi beliau memerintahkan agar mereka menghela hewan-hewan mereka ke tempat lain, lalu beliau shalat di tempat tersebut. Sekiranya qadha’ ini wajib dilaksanakan secara langsung seketika itu pula, tentunya mereka juga shalat di tempat mereka tertidur.

Adapun jumhur berhujjah dengan hadits dalam bab ini, yang langsung menyebutkan shalat secara langsung. Mereka menanggapi hujjah Asy-Syafi’i, bahwa makna langsung di sini bukan berarti tidak boleh menundanya barang sejenak, dengan tujuan untuk lebih menyempurnakan shalat dan memurnikannya. Boleh menunda dengan penundaan yang tidak seberapa lama untuk menunggu jama’ah atau memperbanyak orang yang berjama’ah atau lainnya.

📃 Faedah yang dapat diambil dari hadits:

  1. Kewajiban qadha’ shalat bagi orang yang lupa dan tertidur, yang dilaksanakan ketika mengingatnya.
  2. Kewajiban segera melaksanakannya, karena penundaannya setelah mengingatkannya sama dengan meremehkannya.
  3. Tidak ada dosa bagi orang yang menunda shalat bagi orang yang mempunyai alasan, seperti lupa dan tertidur, selagi dia tidak mengabaikannya, seperti tidur setelah masuk waktu atau menyadari dirinya tidak memperhatikan waktu, sehingga dia tidak mengambil sebab yang dapat membangunnkannya pada waktunya.
  4. Kafarat yang disebutkan di sini bukan karena dosa yang dilakukan, tapi makna kafarat ini, bahwa karena meninggalkan shalat itu dia tidak bisa mengerjakannya yang lainnya, seperti memberi makan, memerdekakan budak atau ketaatan lainnya. Berarti dia tetap harus mengerjakan shalat itu.
  • Jumhur ulama berpendapat orang yang sengaja meninggalkan shalat dengan sengaja untuk mengqadha shalat yang ditinggalkan, namun Ibnu Hazm menyelisihi pendapat Jumhur karena seseorang meninggalkan dengan sengaja.

Mengqadha Shalat Witir

Yaitu yang biasa shalat witir kemudian terlewat.

عليه وسلّم: «مَنْ نَامَ عَن الْوِتْرِ أَو نَسِيَهُ فَلْيُصَلِّ إذَا أَصْبَحَ أَوْ ذَكَرَ». رَوَاهُ الخَمْسَةُ إِلاَّ النَّسَائيَّ.

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa yang lupa shalat witir karena tertidur atau lupa, hendaknya ia mengqadha’nya ketika pagi atau ketika ia ingat.” (Diriwayatkan oleh yang lima kecuali An-Nasa’i). [HR. Abu Daud, no. 1431; Tirmidzi, no. 465; Ibnu Majah, no. 1188; Ahmad, 17:366-385. Hadits ini sahih menurut Imam Hakim sesuai syarat Bukhari dan Muslim, tetapi keduanya tidaklah mengeluarkannya].

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

Bab: Bolehnya Imam Shalat Sunnah Mengimami Makmum yang Shalat Fardhu (Bab dari Pensyarah Kitab)

Dalil yang menguatkan sahnya shalat orang yang shalat fardhu di belakang orang yang shalat sunnah: "Rasulullah ﷺ pernah shalat dua rakaat dengan satu kelompok dari para shahabatnya ketika shalat khauf kemudian beliau salam. Setelah itu shalat dengan kelompok lainnya kemudian salam". (HR. Abu Dawud)

📃Hadits ke-112:

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ كَانَ يُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ، ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى قَوْمِهِ، فَيُصَلِّي بِهِمْ تِلْكَ الصَّلَاة

Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu’anhu, "Muadz bin Jabal pernah shalat Isya' diakhirkan bersama Rasulullah ﷺ kemudian dia pulang menuju kaumnya dan shalat Isya" (sebagai imam -pent) bersama mereka".

📃 Penjelasan

Tempat Bani Salamah -kaum dari Muadz bin Jabal Al-Anshari Radhiyallahu’anhu - berada di luar Madinah. Muadz bin Jabal Radhiyallahu’anhu sangat menyukai kebaikan, dia semangat untuk shalat bersama Rasulullah ﷺ. Setelah melaksanakan shalat fardhu di belakang Rasulullah ﷺ, dia menuju kaumnya dan shalat Isya' bersama mereka, berarti shalat sunnah baginya dan shalat fardhu bagi kaumnya. Ini diketahui Nabi ﷺ dan Beliau Nabi ﷺ mendiamkannya.

Perbedaan Pendapat Dikalangan Ulama

Para ulama berselisih tentang sah (tidak)nya imam yang shalat sunnah mengimami makmum yang shalat fardhu.

Imam Az Zuhri, Malik, dan Hanifah berpendapat tidak sah. Ini terkenal dari Imam Ahmad dan didukung oleh kebanyakan murid-muridnya, dengan dalil sabda Rasulullah ﷺ: Sesungguhnya imam itu dijadikan untuk diikuti maka janganlah kalian menyelisihi imam". (HR. Bukhari dan Muslim).

Bedanya niat makmum dengan imam inilah yang menjadi perselisihan. Atha', Al-Auza'i, Syafi'i, Abu Tsur, dan merupakan riwayat yang kuat dari Imam Ahmad, menyatakan sah (shalatnya), didukung oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dengan dalil hadits Muadz yang bersama kita (Hadits ke-seratus dua belas). Dia shalat fardhu di belakang Rasulullah ﷺ di masjid Beliau kemudian menuju kaumnya dan shalat bersama mereka. Telah dimaklumi bahwa salah satu dari dua shalat tadi ada yang Sunnah. Semestinya, yang sunnah adalah yang terakhir karena beberapa segi. Diantaranya, shalat yang pertama berarti telah lepas dari tanggungan atau kewajiban, yaitu shalatnya bersama Nabi ﷺ. Dia tidak menjadikan shalat bersama Rasulullah ﷺ di masjidnya sebagai shalat sunnah, dan shalat bersama kaumnya di masjid mereka sebagai shalat fardhu.

Ibnu Hazm membahas panjang lebar untuk membela ini dan mematahkan hujjah-hujjah ash-haburra'yi yang pertama sehingga mereka tidak berkutik. Termasuk dalil yang menguatkan sahnya shalat orang yang shalat fardhu di belakang orang yang shalat sunnah.

Rasulullah ﷺ pernah shalat dua rakaat dengan satu kelompok dari para shahabatnya ketika shalat khauf kemudian beliau salam. Setelah itu shalat dengan kelompok lainnya, kemudian salam" (HR. Abu Dawud).

Shalatnya Beliau ﷺ yang kedua adalah sunnah. Dalam perkara ini, (makmum -pent) tidak menyelesihi imam. Karena, menyelisihi imam yang dilarang dalam hadits adalah tidak mengikuti gerakan imam serta bangkit dan turunnya imam karena Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya imam 'itu dijadikan untuk diikuti"

Beliau ﷺ juga bersabda: "Apabila imam bertakbir maka bertakbirlah kalian, janganlah kalian bertakbir sampai imam bertakbir...." Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah guru kami Abdurrahman bin Nashir bin Sa'diy rahimahullah.

🏷 Faedah yang dapat diambil dari hadits:

  1. Bolehnya seorang yang shalat sunnah mengimami makmum yang shalat fardhu, dan ini tidak termasuk penyelisiltan yang dilarang.
  2. Bolehnya seorang yang shalat fardhu mengimami makmum yang shalat sunnah.
  3. Bolehnya mengulang shalat fardhu, lebih-lebih tatkala ada kemashlahatannya. Seperti imam yang bacaannya rusak atau jelek, atau masuk ke masjid setelah dia shalat sendirian, kemudian mendapati jamaah. Lalu shalat bersama mereka untuk menyempurnakan kekurangan shalat pertamanya ketika sendirian.

Jama'ah kedua setelah Shalat

Dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ada seseorang yang datang sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah selesai dari shalat, lalu beliau mengatakan kepada para sahabat,

أَلاَ رَجُلٌ يَتَصَدَّقُ عَلَى هَذَا فَيُصَلِّىَ مَعَهُ

“Siapakah yang mau bersedekah untuk orang ini, yaitu melaksanakan shalat bersamanya?” (HR. Abu Daud, no. 574; Tirmidzi, no. 220. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.)

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

Bab: Menutup Pundak dalam Shalat

📃Hadits ke-113:

Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَا يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى عَاتِقَيْهِ مِنْهُ شَيْءٌ

“Janganlah salah seorang dari kalian shalat memakai satu kain, tanpa mengenakan suatu kain pun di atas pundaknya.” (HR. Bukhari no. 359 dan Muslim no. 516).

📃 Penjelasan

Larangan dalam hadits ini ketika seseorang tidak menutup pundaknya. Hukumnya menurut jumhur ulama adalah makruh, dianjurkan menutup keduanya atau salah satunya.

Allah ﷻ berfirman dalam Surat Al-A'raf ayat 31:

خُذُوا۟ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ

pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid

Ayat yang mulia ini adalah bantahan terhadap apa yang diklaim oleh orang-orang musyrik berupa melakukan thawaf di Ka’bah dengan keadaan telanjang bulat.

Karena orang kafir Quraisy berpendapat, tidak boleh memakai pakaian yang telah dipakai untuk berbuat maksiat disaat thawaf sehingga mereka menanggalkan pakaian mereka. Sementara, kaum muslimin zaman sekarang apapun yang dibawa saat haji atau umrah sebagian berasal dari hal-hal yang haram. Na'udzubillahmindalik.

📃 Faedah yang dapat diambil dari hadits:

  1. Kewajiban memakai pakaian yang menutup aurat. Bagi laki-laki auratnya dari pusar sampai lutut. Sebagian ulama menganggap paha bukan aurat dengan berhujjah pada salah satu hadits Nabi ﷺ.
  2. Yang lebih utama bagi laki-laki adalah memakai dua kain: izar (bagian bawah) dan ridha (bagian atas) seperti pakaian ihram.
  3. Menutup pundak dan bahu, wajib bagi hanabilah dan pendapat jumhur ulama menghukumi Sunnah karena pundak bukan aurat.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

  • Media
    Sarana belajar Agama Islam melalui video dan audio kajian dari Asatidz Indonesia yang bermanhaj salaf...
    Ebook
    Bahan bacaan penambah wawasan berupa artikel online maupun e-book yang bisa diunduh. Ebook Islami sebagai bahan referensi dalam beberapa topik yang insyaAllah bermanfaat.
  • image
    Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
    image
    ‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]

Share Some Ideas

Punya artikel menarik untuk dipublikasikan? atau ada ide yang perlu diungkapkan?
Kirim di Sini