Kategori Fiqh

Pemahaman muslimin mengenai praktik-praktik ibadah berdasarkan Syariat
Kajian Bertema Fiqh

travellingPENGERTIAN SAFAR

1. Apakah yang dimaksud dengan safar?

Jawab: Safar adalah perjalanan meninggalkan daerah tempat tinggal untuk keperluan tertentu.

Apakah hukum safar dan bagaimana pembagiannya (haram, makruh, mubah, mustahab, wajib)?

Jawab: Berdasarkan hukumnya, safar terbagi menjadi:

a). Haram, safar untuk kemaksiatan atau hal-hal yang dilarang Allah. Termasuk di antaranya adalah safar seorang wanita sendirian tanpa didampingi mahram.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ‏‎ ‎اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ‏‎ ‎النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا‎ ‎تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ إِلَّا‎ ‎مَعَ ذِي مَحْرَمٍ

“Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Janganlah seorang wanita safar kecuali bersama seorang mahram…”(H.R al Bukhari dan Muslim).

b) Makruh, seperti seorang yang safar sendirian.


عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ‏‎ ‎النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ‏‎ ‎الْوَحْدَةِ أَنْ يَبِيتَ‏‎ ‎الرَّجُلُ وَحْدَهُ أَوْ‏‎ ‎يُسَافِرَ وَحْدَهُ

Dari Ibnu Umar bahwasanya Rasulullah shollallaahu‘alaihi wasallam melarang dari bersendirian, yaitu seorang bermalam sendirian atau safar sendirian (H.R Ahmad)

c). Mubah, seperti berdagang dengan cara yang halal.
d). Mustahab (disukai), seperti bersilaturrahmi.
e) Wajib, seperti safar untuk tujuan berhaji yang pertama bagi yang mampu.

2. Berapakah jarak minimum safar?

Jawab: Terdapat perbedaan pendapat yang sangat banyak dari para Ulama’, sampai-sampai Ibnul Mundzir menyatakan bahwa dalam masalah ini (penentuan jarak minimum safar) terdapat hampir 20 pendapat. Namun, beberapa pendapat yang masyhur di antaranya:

a). Sejauh jarak perjalanan 3 hari.
Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Sa’id bin Jubair, Sufyan atTsaury dan Abu Hanifah. Dalilnya:

 

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ‏‎ ‎تُؤْمِنُ بِاللَّهِ‏‎ ‎وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ‏‎ ‎تُسَافِرَ سَفَرًا يَكُونُ‏‎ ‎ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ فَصَاعِدًا‎ ‎إِلَّا وَمَعَهَا أَبُوهَا‎ ‎أَوْ ابْنُهَا أَوْ زَوْجُهَا‎ ‎أَوْ أَخُوهَا أَوْ ذُو‎ ‎مَحْرَمٍ مِنْهَا

“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir safar 3 hari atau lebih kecuali bersama ayah, anaknya, suaminya, saudara laki-lakinya, atau mahramnya” (H.R Muslim)


عَنْ شُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ‏‎ ‎قَالَ أَتَيْتُ عَائِشَةَ‏‎ ‎أَسْأَلُهَا عَنْ الْمَسْحِ‏‎ ‎عَلَى الْخُفَّيْنِ فَقَالَتْ‏‎ ‎عَلَيْكَ بِابْنِ أَبِي‎ ‎طَالِبٍ فَسَلْهُ فَإِنَّهُ‏‎ ‎كَانَ يُسَافِرُ مَعَ رَسُولِ‏‎ ‎اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ‏‎ ‎عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎فَسَأَلْنَاهُ فَقَالَ جَعَلَ‏‎ ‎رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏‎ ‎ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ‏‎ ‎وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ

Dari Syuraih bin Hani’ beliau berkata: Aku mendatangi Aisyah bertanya tentang mengusap 2 khuf. Aisyah berkata: Tanyakanlah kepada Ali bin Abi Thalib karena ia pernah safar bersama Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, maka kamipun menanyakan kepada beliau. Ali berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan batas pengusapan (khuf) 3 hari 3 malam bagi musafir…”(H.R Muslim)

Sebagian Ulama’ menjelaskan bahwa jarak perjalanan 1 hari adalah setara 2 barid = 24 mil = sekitar 43,2 km, sehingga jarak perjalanan 3 hari adalah sekitar 129,6 km.

b) Sejauh jarak perjalanan 2 hari ( 4 barid).

Ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Umar (dalam sebagian riwayat), Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad. Sedangkan dari Ulama’ abad ini yang berpendapat demikian adalah Syaikh Bin Baz, Lajnah ad-Daaimah, Syaikh Sholih alFauzan, dan Syaikh Abdullah Ar-Rajihi, Dalilnya:

لَا تُسَافِرْ الْمَرْأَةُ‏‎ ‎مَسِيرَةَ يَوْمَيْنِ إِلَّا‎ ‎وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو‎ ‎مَحْرَمٍ

Janganlah seorang wanita melakukan safar sejarak perjalanan 2 hari kecuali bersama suami atau mahramnya (H.R al Bukhari).

Al-Bukhari menyatakan:

وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ‏‎ ‎عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ‏‎ ‎عَنْهُمْ يَقْصُرَانِ‏‎ ‎وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ‏‎ ‎بُرُدٍ وَهِيَ سِتَّةَ عَشَرَ‏‎ ‎فَرْسَخًا

Ibnu Umar dan Ibnu Abbas – semoga Allah meridlai keduanya- melakukan qoshor dan berbuka (tidak berpuasa) pada perjalanan 4 barid yaitu 16 farsakh (Shahih al-Bukhari juz 4 halaman 231).

c) Tidak ada batasan jarak, selama sudah bermakna ‘safar’ maka terhitung safar.

Hal-hal yang membedakan safar dengan perjalanan biasa bisa terlihat dari beberapa indikasi, di antaranya: perlunya membawa bekal yang cukup, adanya hal-hal yang dipersiapkan secara khusus sebelum keberangkatan (misal pengecekan kondisi kendaraan yang lebih intensif dibandingkan jika dalam penggunaan yang biasa/normal), adanya kesulitan/kepayahan menempuh perjalanan yang tidak didapati pada perjalanan biasa, dan hal-hal lain semisalnya.

Pendapat tanpa batasan jarak minimum ini adalah pendapat Umar bin al-Khottob, Ibnu Umar dalam sebagian riwayat, Anas bin Malik, Sa’id bin al-Musayyib, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaukani, As-Shon’aani, Abdurrahman as-Sa’di, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Dalilnya adalah keumuman ayat:

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ‏فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ‏تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ

“Jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor sholat….(Q.S AnNisaa’:101).

Tidak terdapat hadits shohih maupun hasan yang secara tegas membatasi jarak minimum safar.

عَنْ يَحْيَى بْنِ يَزِيدَ‏الْهُنَائِيِّ قَالَ سَأَلْتُ‏أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ عَنْ‏قَصْرِ الصَّلَاةِ فَقَالَ‏كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ‏إِذَا خَرَجَ مَسِيرَةَ‏ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ‏ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ شُعْبَةُ‏الشَّاكُّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ

Dari Yahya bin Yazid al-Hanaa-i beliau berkata: Aku bertanya kepada Anas bin Malik tentang mengqoshor dalam sholat. Beliau berkata: Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam jika keluar sejarak 3 mil atau 3 farsakh – keraguan pada perawi bernama Syu’bah- beliau sholat 2 rokaat” (H.R Muslim)

1 mil = sekitar 1,6 km, sehingga 3 mil sekitar 4,8 km. Sedangkan 1 farsakh = 3 mil = sekitar 14,4 km.

عَنِ اللَّجْلاَجِ ، قَالَ : كُنَّا‎نُسَافِرُ مَعَ عُمَرَ بْنِ‏الْخَطَّابِ فَيَسِيرُ ثَلاَثَةَ‏أَمْيَالٍ فَيَتَجَوَّزُ فِي‎الصَّلاَة وَيَفْطُرُ

Dari al-Lajlaaj beliau berkata: Kami pernah safar bersama Umar bin al-Khottob. Beliau melakukan perjalanan sejauh 3 mil mengqoshor sholat dan berbuka” (riwayat Ibnu Abi Syaibah no 8221 juz 2 halaman 445).

Sebagian Ulama’ menyatakan bahwa jarak di bawah 3 farsakh yang disebutkan dalam hadits Anas maupun perbuatan Umar adalah jarak minimum permulaan boleh mengqoshor sholat dan berbuka (tidak berpuasa), bukan jarak total dari tempat asal ke tujuan. Sebagai contoh, ketika Nabi melakukan perjalanan dari Madinah akan ke Mekkah, pada saat di Dzulhulaifah beliau sudah mengqoshor sholat (riwayat AlBukhari dan Muslim). Padahal jarak Madinah ke Dzulhulaifah adalah sekitar 6 mil atau sekitar 9,6 km.
Dari 3 pendapat tentang jarak minimum safar, pendapat yang rajih (lebih mendekati kebenaran) adalah pendapat ke-3 ini yang menyatakan bahwa tidak ada jarak minimum batasan suatu perjalanan dikatakan safar. Wallaahu a’lam.

3. Berapa lama waktu minimum seorang dikatakan safar?

Jawab: Para Ulama juga berbeda pendapat dalam hal berapa lama masa tinggal seseorang di suatu tempat sehingga dianggap tetap dalam keadaan safar. Beberapa pendapat yang masyhur dalam hal ini:

1. 4 hari.
Jika berniat tinggal di suatu tempat lebih dari 4 hari, maka ia bukan musafir lagi. Ini adalah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal.

2. Sama dengan pendapat pertama, namun hari keberangkatan dan hari kepulangan juga
dihitung, sehingga total 6 hari.

Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Asy-Syafi ’i. Dalil pendapat pertama dan kedua adalah:

يُقِيمُ الْمُهَاجِرُ بِمَكَّةَ‏بَعْدَ قَضَاءِ نُسُكِهِ ثَلَاثًا

“Orang-orang yang berhijrah tinggal di Makkah setelah menyelesaikan manasik hajinya selama 3 hari” (H.R Muslim)

3. 15 hari, sebagaimana pendapat Ibnu Umar dan Imam Abu Hanifah.
4. 19 hari, pendapat dari Ibnu Abbas.

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ‏‎رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا‎قَالَ أَقَامَ النَّبِيُّ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏وَسَلَّمَ تِسْعَةَ‏عَشَرَ يَقْصُرُ فَنَحْنُ‏إِذَا سَافَرْنَا
تِسْعَةَ عَشَرَ‏قَصَرْنَا وَإِنْ زِدْنَا‎أَتْمَمْنَا

Dari Ibnu Abbas radliyallaahu ‘anhumaa beliau berkata: Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam tinggal (di suatu tempat) selama 19 hari mengqoshor sholat, maka kami jika safar selama 19 hari mengqoshor sholat jika lebih dari itu kami sempurnakan sholat “ (H.R AlBukhari)

5. Tidak ada batasan minimum masa tinggal.

Pendapat yang rajih (lebih dekat pada kebenaran), Wallaahu a’lam, pendapat Ulama yang menyatakan tidak ada batasan waktu minimum. Selama seseorang tidak berniat untuk menetap di tempat tersebut, maka ia tetap dalam kondisi safar. Hal ini dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan didukung oleh Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin. Karena memang tidak ada nash yang shohih dan shorih (tegas) yang membatasinya. Jika disebutkan bahwa Ibnu Abbas melihat batasan 19 hari karena pernah menyaksikan Nabi melakukan hal itu, bagaimana dengan hadits dari Jabir bin Abdillah yang pernah menyaksikan Nabi mengqoshor sholat selama berada di Tabuk 20 hari?

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ‏اللَّهِ قَالَ أَقَامَ رَسُولُ‏اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ‏عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِتَبُوكَ‏عِشْرِينَ يَوْمًا يَقْصُرُ‏الصَّلَاةَ

Dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: “Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam tinggal di Tabuk selama 20 hari mengqoshor sholat” (H.R Ahmad, Abu Dawud).
Demikian juga dengan yang terjadi pada Ibnu Umar yang terkurung salju di Azerbaijan selama 6 bulan, senantiasa mengqoshor sholat.

4. Apa yang dimaksud dengan sholat qoshor?

Jawab: Sholat qoshor adalah sholat wajib di saat safar berjumlah 2 rokaat untuk sholat- sholat yang berjumlah 4 rokaat di waktu mukim (Dzhuhur, Ashar, Isya’).

5. Masihkah pelaksanaan sholat qoshor relevan diterapkan di masa modern ini di saat banyak kemudahan bagi musafir dan perjalanan tidak berat mereka rasakan?

Jawab: Ya, masih relevan. Karena 2 hal yang utama:

a). Firman Allah Ta’ala dalam surat Maryam ayat 64 “Dan sama sekali Tuhanmu tidak lupa…” (Q.S Maryam:64)
Sebagian Ulama menjelaskan bahwa Allah Subhaanahu Wa Ta’ala tidak lupa bahwa umat manusia diciptakan melalui zaman yang bermacam-macam. Ada yang diciptakan pada saat keadaan teknologi masih minim, adapula yang hidup di masa sebaliknya, saat sarana transportasi dan segenap fasilitas yang ada memudahkan ia melakukan perjalanan jauh, sehingga tidak merasa capek, lelah, dan berat. Namun Allah tidaklah mewahyukan kepada Nabinya untuk menghapus rukhsah (kemudahan) bagi seseorang selama ia berstatus sebagai musafir.

b) Firman Allah Ta’ala dalam surat AnNisaa’: 101

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ‏‎ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ‏تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ‏خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ‏الَّذِينَ كَفَرُوا

“Dan jika kalian melakukan perjalanan di muka bumi, tidak ada dosa bagi kalian untuk mengqoshor sholat jika kalian khawatir diserang orang-orang kafir…” (Q.S AnNisaa’:101).
Secara tekstual, nampak jelas bahwa alasan awal seorang boleh mengqoshor sholat adalah jika dia dalam keadaan safar dan khawatir diserang orang kafir. Bagaimana jika kekhawatiran diserang orang kafir itu telah hilang? Pertanyaan semacam ini pernah ditanyakan oleh Ya’la bin Umayyah kepada Umar bin alKhottob, Umarpun berkata bahwa ia juga pernah bertanya demikian kepada Nabi tentang ayat itu, namun justru Nabi bersabda:

صَدَقَةٌ تَصَدَّقَ اللَّهُ بِهَا‎عَلَيْكُمْ فَاقْبَلُوا صَدَقَتَهُ

“Itu adalah shodaqoh Allah atas kalian, terimalah shodaqohNya” (H.R Muslim).

Maka, sebagaimana keadaan safar saat ini sudah tidak dicekam perasaan takut, ataupun keadaannya lebih mudah dan ringan, tidak memberatkan, mengqoshor sholat pada saat safar adalah shodaqoh Allah kepada kita yang diperintahkan Nabi untuk diambil.

6. Apakah sholat qoshor boleh dilakukan dalam safar yang bukan untuk ketaatan?

Jawab: Ya, untuk segala jenis safar, sebagaimana pendapat Abu Hanifah, karena keumuman dalil yang ada. Kata Ibnu Taimiyyah, karena secara asal memang sholat adalah 2 rokaat. Aisyah – radliyallahu ‘anha menyatakan:

أَنَّ الصَّلَاةَ أَوَّلَ مَا‎فُرِضَتْ رَكْعَتَيْنِ‏فَأُقِرَّتْ صَلَاةُ السَّفَرِ‏وَأُتِمَّتْ صَلَاةُ الْحَضَرِ

“Sesungguhnya permulaan diwajibkan sholat adalah 2 rokaat, kemudian ditetapkan pada sholat safar dan disempurnakan (ditambah) pada sholat hadir (tidak safar) (H.R AlBukhari dan Muslim, lafadz Muslim).

7. Apa hukum mengqoshor sholat dalam safar?

Jawab: Sunnah, dan jika dia menyempurnakan sholat (bukan karena sebagai makmum yang mengikuti Imam mukim), hukumnya makruh. Hal ini dikarenakan Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengqoshor sholat dalam safar.

مَا سَافَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا‎إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ‏رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ

“Tidaklah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan safar kecuali beliau sholat 2 rokaat 2 rokaat sampai kembali” (H.R Ahmad dari Imron bin Hushain, dihasankan oleh alBaihaqy).

8. Apakah dipersyaratkan niat safar untuk mengqoshor sholat?

Jawab : Tidak dipersyaratkan niat safar untuk mengqoshor sholat sebagaimana tidak dipersyaratkan niat untuk mukim. Sehingga, seseorang yang sudah masuk dalam suatu sholat, misalkan sholat Dzhuhur dalam keadaan safar, karena dia biasa sholat 4 rokaat dan lupa sedang safar, di tengah sholat saat belum menyelesaikan 2 rokaat dia teringat bahwa ia adalah musafir, maka hendaknya ia menyelesaikan sholatnya dalam 2 rokaat saja. Tidak dipersyaratkan sebelum masuk dalam sholat ia harus berniat sebagai seorang musafir yang mengqoshor sholat (disarikan dari penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’).

9. Bolehkah mengqoshor sebelum meninggalkan daerah tempat tinggalnya?

Jawab: Jika seseorang akan melakukan safar, dia tidak boleh mengqoshor ketika masih berada di wilayah tempat tinggalnya. Sebagaimana Nabi belum mulai mengqoshor sholat ketika masih berada di Madinah. Beliau sudah mulai mengqoshor sholat setelah berada di Dzulhulaifah (berjarak sekitar 6 mil = sekitar 9,6 km). Boleh pula seseorang mulai mengqoshor di tengah perjalanan saat masih menempuh 3 mil, sekitar 4,8 km dari rumahnya sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin alKhottob.

10. Bagaimana jumlah rokaat seorang musafir yang sholat di belakang seorang mukim?

Jawab: Sama dengan jumlah rokaat Imam (disempurnakan).‎

عَنْ مُوسَى بْنِ سَلَمَةَ قَالَ‏‎كُنَّا مَعَ ابْنِ عَبَّاسٍ‏بِمَكَّةَ فَقُلْتُ إِنَّا إِذَا‎كُنَّا مَعَكُمْ صَلَّيْنَا‎أَرْبَعًا وَإِذَا رَجَعْنَا إِلَى‎رِحَالِنَا صَلَّيْنَا رَكْعَتَيْنِ‏قَالَ تِلْكَ سُنَّةُ أَبِي‎الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏وَسَلَّمَ

Dari Musa bin Salamah beliau berkata: Kami pernah bersama Ibnu Abbas di Makkah, kemudian aku berkata kepada beliau: Sesungguhnya kami (musafir) jika sholat bersama kalian sholat 4 rokaat, namun jika kami kembali ke tempat (perkemahan) kami, kami sholat 2 rokaat. Ibnu Abbas berkata: Itu adalah Sunnah Abul Qosim (Nabi Muhammad) shollallaahu ‘alaihi wasallam (riwayat Ahmad).

11. Apakah seorang musafir masbuq juga harus menyempurnakan jumlah rokaatnya sama dengan imam?

Jawab: Ya, jika ia masih sempat mendapati paling tidak 1 rokaat bersama Imam, maka nanti ia sempurnakan sejumlah total rokaat yang sama dengan Imam. Namun, jika ia mendapati kurang dari 1 rokaat, ia tambahi kekurangan rokaat menjadi total rokaat yang dilakukan musafir. Contoh, seorang masbuq mendapati Imam mukim sholat dzhuhur 4 rokaat. Jika ia bisa mendapati minimal 1 rokaat, maka nanti setelah Imam salam ia sempurnakan menjadi 4 rokaat. Namun, jika ia mendapati kurang dari 1 rokaat, maka ia hanya menambah kekurangannya menjadi total 2 rokaat. Seseorang masih mendapati 1 rokaat jika ia masih sempat mandapati rukuk Imam. Sehingga, seseorang musafir yang mendapati Imam setelah ruku’ di rokaat terakhir, maka nanti ia sempurnakan sholatnya sebagaimana sholat musafir, tidak terhitung tergabung bersama jama’ah.

مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ‏‎ ‎الصَّلَاةِ مَعَ الْإِمَامِ فَقَدْ‏‎ ‎أَدْرَكَ الصَّلَاةَ

Barangsiapa yang mendapati 1 rokaat bersama Imam, maka ia telah mendapati sholat tersebut (H.R Muslim dari Abu Hurairah).

12. Bagaimana jika seorang musafir menjadi Imam, sedangkan makmumnya adalah orang mukim?

Jawab: Makmum menambah kekurangan sholatnya. Contoh, jika Imam yang musafir sholat Isya’ 2 rokaat, maka saat Imam salam, makmum mukim menambah 2 rokaat lagi sholatnya.

مَا سَافَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى‎ ‎اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَفَرًا‎ ‎إِلَّا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ‏‎ ‎رَكْعَتَيْنِ حَتَّى يَرْجِعَ‏‎وَإِنَّهُ أَقَامَ بِمَكَّةَ‏زَمَانَ الْفَتْحِ ثَمَانِيَ‏عَشْرَةَ لَيْلَةً يُصَلِّي‎بِالنَّاسِ رَكْعَتَيْنِ‏رَكْعَتَيْنِ…‏إِلَّا الْمَغْرِبَ ثُمَّ يَقُولُ‏يَا أَهْلَ مَكَّةَ قُومُوا‎فَصَلُّوا رَكْعَتَيْنِ‏أُخْرَيَيْنِ فَإِنَّا سَفْرٌ

Tidaklah Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam melakukan safar kecuali sholat 2 rokaat 2 rokaat sampai kembali. Beliau tinggal di Makkah pada Fathu Makkah 18 malam sholat bersama manusia 2 rokaat – 2 rokaat…kecuali Maghrib, kemudian (selesai salam) beliau berkata: Wahai penduduk Makkah bangkitlah dan sholatlah 2 rokaat yang tersisa karena kami adalah musafir” (HR Ahmad dari Imran bin Hushain).

13. Bagaimana cara mengganti sholat mukim di waktu safar atau sebaliknya?

Jawab: Dikerjakan sebagaimana keadaan saat yang terlewatkan. Jika lupa di waktu safar, maka mengganti di waktu mukim dengan qoshor. Sebaliknya jika lupa di waktu mukim, maka mengganti di waktu safar dengan disempurnakan jumlah rokaatnya. Contoh, seseorang yang telah merasa dengan yakin melakukan sholat Dzhuhur tanpa berwudlu’.

Dalam hal ini:

  1. Jika sholat yang telah dilakukan dilakukan waktu mukim, kemudian dia safar, dan dalam safar ia teringat hal itu dan menggantinya di saat safar, maka di saat safar ia melakukan penggantian sholat tersebut 4 rokaat sebagaimana sholat mukim.
  2. Jika sholat yang telah dilakukan dilakukan waktu safar, kemudian dia kembali pulang sampai tempat tinggal, ketika itu ia teringat dan menggantinya di saat mukim, maka ia melakukan penggantian sholat tersebut 2 rokaat sebagaimana sholat musafir.

(disarikan dari penjelasan Syaikh AlUtsaimin dalam Syarhul Mumti’)

14. Bagaimana melaksanakan sholat-sholat sunnah di waktu safar?

Jawab: Di antara Sunnah Nabi adalah meninggalkan sholat- sholat sunnah rowatib (sebelum dan setelah sholat fardlu) di waktu safar. Sholat-sholat nafilah yang tetap dikerjakan Nabi pada saat mukim maupun safar adalah sholat malam dan sholat 2 rokaat sebelum Subuh. Ibnu Umar menyatakan:

صَحِبْتُ رَسُولَ اللَّهِ‏صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ‏وَسَلَّمَ فِي السَّفَرِ فَمَا‎رَأَيْتُهُ يُسَبِّحُ وَلَوْ‏كُنْتُ مُسَبِّحًا‎لَأَتْمَمْتُ وَقَدْ قَالَ‏اللَّهُ تَعَالَى } لَقَدْ‏كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ‏اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ }

“Aku menyertai Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam dalam safar, aku tidak pernah melihat beliau melakukan sholat sunnah. Kalau seandainya aku melakukan sholat sunnah, niscaya aku akan menyempurnakan sholatku (tidak safar)(riwayat Muslim)

15. Apakah yang dimaksud dengan sholat jamak?

Jawab: Menggabungkan 2 sholat dalam satu waktu karena keadaan tertentu.

16. Sholat apa saja yang diperbolehkan dijamak?

Jawab: Maghrib dengan Isya’ dan Dzhuhur dengan Ashar.

17. Manakah yang lebih baik, jamak ta ’khir atau taqdim?

Jawab: Sesuai keadaan, mana yang lebih mudah (penjelasan Syaikh Muhammad Amin Asy- Syinqithy terhadap Zaadul Mustqni’).

18. Apakah sholat jamak diharuskan bersambung tanpa terpisah waktu yang lama?

Jawab: Tidak harus, menurut pendapat Ibnu Taimiyyah. Karena pada hakekatnya, sholat jamak adalah penggabungan satu waktu. Sehingga, tidak mengapa bagi seseorang melakukan sholat jamak yang masing-masing sholat terpisah jeda waktu yang cukup lama. Karena memang tidak ada nash shohih dan shorih (tegas) yang membatasi waktu jeda antar 2 sholat yang dijamak. Selama antara 2 sholat tersebut tidak diselingi oleh sholat yang lain, maka tidak mengapa. Contoh, seorang yang telah sholat dzhuhur tanpa berniat jamak, kemudian selang satu jam kemudian pada saat ia masih berada di waktu dzhuhur, ia teringat harus melakukan safar, dan ia melihat akan kesulitan dan memberatkan jika tidak dijamak, maka ia boleh melakukan sholat ashar di waktu dzhuhur tersebut (sebagai bentuk jamak) selama tadi selepas melakukan sholat dzhuhur ia tidak melakukan sholat-sholat yang lain (misal: sholat sunnah setelah dzhuhur).

19. Apakah sholat jamak diharuskan berurutan?

Jawab: Ya, sholat Jamak harus berurutan. Maghrib dulu kemudian Isya’, demikian juga Dzhuhur dulu kemudian Ashar. Tidak boleh Isya’ dulu kemudian Maghrib atau Ashar dulu kemudian Dzhuhur. Jika seseorang sebelumnya berniat melakukan jamak ta’khir maghrib dan Isya’ di waktu Isya’ ternyata ia mendapati jamaah sholat Isya’ kemudian bergabung melakukan sholat Isya’ padahal ia belum sholat maghrib, maka nantinya ia harus melakukan sholat Maghrib dan Isya’ lagi. Sholatnya bersama jamaah terhitung sholat sunnah, bukan sholat yang menggugurkan kewajiban (Penjelasan Syaikh al-Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’).

20. Apakah diperbolehkan sholat jamak pada waktu safar di saat lebih banyak berdiam diri di suatu tempat/ tidak terus menerus dalam perjalanan?

Jawab: Boleh, namun yang lebih utama tidak dijamak. Dikatakan boleh, karena Nabi menjamak sholat pada peperangan Tabuk pada saat beliau lebih banyak berdiam diri tidak selalu melakukan perpindahan tempat sebagaimana riwayat Ahmad.

21. Bolehkah menjamak sholat Jumat dengan sholat Ashar?

Jawab: Sholat Jumat tidak sama dengan sholat Dzhuhur, karena itu ia tidak bisa dijamak dengan sholat Ashar. Nash-nash hadits yang ada adalah jamak antara Dzhuhur dengan Ashar, bukan Jumat dengan Ashar. Jika seseorang dalam perjalanan pada waktu Jumat hendak menjamak sholat, maka hendaknya ia melakukan sholat dzhuhur – bukan Jumat- yang dijamak dengan sholat Ashar. Namun, jika ia memilih sholat Dzhuhur bukan sholat Jumat, ia telah melewatkan keutamaan yang besar, karena sholat Jumat lebih utama dibandingkan sholat Dzhuhur (Asy-Syarhul Mumti’)

22. Apakah jamak ta’khir mempersyaratkan niat sebelum berakhirnya waktu sholat yang pertama?

Jawab: Ya, menurut pendapat Syaikh Asy-Syinqithy dan al- Utsaimin. Contoh, seseorang yang akan menjamak ta’khir pada waktu Ashar, ia sudah harus berniat sebelum berakhirnya waktu Dzhuhur. Seseorang yang akan menjamak ta’khir pada waktu Isya’ harus sudah berniat sebelum waktu Maghrib berakhir. Karena jika tidak demikian, ia melewatkan suatu waktu sholat tanpa berniat apapun untuk melakukan sholat.

23. Apakah seorang yang sakit boleh menjamak sholat? Apakah ia juga boleh mengqoshor sholat?

Jawab: Seorang yang sakit boleh menjamak, namun tidak boleh mengqoshor. Karena qoshor hanya berlaku bagi musafir

(Abu Utsman Kharisman)

Sumber: http://itishom.web.id.

  • Media
    Sarana belajar Agama Islam melalui video dan audio kajian dari Asatidz Indonesia yang bermanhaj salaf...
    Ebook
    Bahan bacaan penambah wawasan berupa artikel online maupun e-book yang bisa diunduh. Ebook Islami sebagai bahan referensi dalam beberapa topik yang insyaAllah bermanfaat.
  • image
    Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
    image
    ‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]

Share Some Ideas

Punya artikel menarik untuk dipublikasikan? atau ada ide yang perlu diungkapkan?
Kirim di Sini