بِسْـمِ اللَّهِ الرحمن الرحيم
📚┃ Materi : Panduan Amal Sehari Semalam | Memaknai Setiap Detik Kehidupan Dengan Beramal Shalih
Penulis : Ummu Ihsan & Abu Ihsan al-Atsari Hafizhahumallah 
🎙┃ Pemateri : Ustadz Nurul Affandi, Lc hafizhahullah (Pengasuh Ponpes Imam Bukhari Solo). 
🗓┃ Hari/ Tanggal :Kamis, 30 Oktober 2025 M / 8 Jumadil Awwal 1447
🕌┃ Tempat : Masjid Ibaadurrahmaan Goro Assalaam Solo
Bab 15: Shalat Sunnah Sehari Semalam
15-3. Macam Sholat Sunnah Sehari Semalam
2. Shalat sunnah dua rakaat sesudah shalat Ashar
Salah satu shalat sunnah mutlak yang dikerjakan Nabi ﷺ adalah shalat sunnah sesudah Ashar.
Dalil yang Melarang
Memang ada hadits shahih yang lahirnya berisi larangan mengerjakan shalat sunnah sesudah shalat Ashar, misalnya hadits marfu’ dari Abu Sa’id al-Khudri dengan lafazh:
لاَ صَلاَة َبَعْدَ العَصْرِ حَتىَّ تَغْرُبَ الشَّمْسُ
“Tidaklah ada shalat sesudah shalat Ashar hingga matahari sudah terbenam.” (Muttafaq ‘alaih: Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri).
Alasan-alasan yang tidak membolehkan:
- Dalil yang melarang, seperti hadits marfu’ dari Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu’anhu di atas.
- Umar memukul orang-orang yang melakukan shalat sunnah setelah Ashar.
- Hanya kekhususan untuk Nabi ﷺ.
Ketiganya dibantah dalam penjelasan yang cukup panjang oleh Syaikh Al-Albani:
Tetapi, sabda Nabi tersebut masih bersifat mutlaq (umum), dibatasi dan dikhususkan maknanya dengan hadits yang membatasi larangan itu apabila matahari sudah menguning. Artinya, jika matahari masih putih, shalat sunnah sesudah Ashar masih boleh dilakukan.
Syaikh al-Albani menjelaskan: “Hadits ini dikhususkan jika matahari sudah menguning. Adapun jika matahari masih putih dan terang, maka shalat pada waktu ini dikecualikan dari yang dilarang. Demikian berdasarkan hadits Ali secara marfu’: ‘Rasulullah melarang shalat sesudah Ashar kecuali matahan masih tinggi.’ (Irwa-ul Ghalil (11/237).
Hadits itu diritwayatkan oleh Abu Dawud, an-Nasai’, dan Ahmad dari Ali bin Abu Thalib secara marfu’ (bersambung sanadnya hingga ke Nabi):
نهَىَ عَنِ الصَّلاَةِ بَعْدَ العَصْرِ إِلاَّ وَ الشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
“Rasulullah melarang shalat sesudah Ashar kecuali apabila matahari masih tinggi.” (Sunan Abu Dawud (1/200). Sunan an-Nasai (1/97). Musnad Ahmad (1/129).
Dan, ia dishahihkan oleh Ibnu Hazm dan Ibnu Hajar. (Al-Muhalla (1/271). Fathul Bari (1/50)).
Penulis membawakan 14 Dalil yang membolehkan
- 11 dalil yang membolehkan tersebut telah dibacakan pada pertemuan sebelumnya.
- Ditambah 3 dalil menjadi 14 dalil yang disebutkan pada penjelasan panjang di bawah ini.
Atsar Sahabat Umar bin Khathab Radhiyallahu’anhu
Diantara yang menjadi argumen orang yang menolak dan melarang shalat sunat setelah shalat ‘Ashar adalah pemukulan yang dilakukan oleh Umar bin khattab Radhiyallahu anhu terhadap orang yang melakukannya.
- Untuk saddu adz-dzari'ah (Menutup Jalan kepada Hal yang dilarang), yaitu shalat disaat langit menguning.
- Beberapa kaum mengerjakan shalat antara Ashar dan maghrib, sedangkan beberapa waktu sebelum maghrib (langit menguning), maka untuk menjaga agar sahabat tidak membiasakannya, beliau memberi peringatan keras dengan memukul.
- Beliau khawatir mereka akan kebablasan, menikmati shalat sunnah setelah Ashar hingga langit menguning. (Seperti kebiasaan orang-orang Ahli Kitab).
Syaikh al-Albâni rahimahullah menjelaskan masalah ini, “Hukuman Umar Radhiyallahu anhu terhadap orang yang mengerjakannya itu dianggap sebagai salah satu ijtihad Umar Radhiyallahu anhu yang dibangun di atas dasar kaidah sadduz dzara’i (menutup celah yang berpotensi menjerumuskan pelakunya kepada yang terlarang). Sebagaimana diisyaratkan dalam dua riwayat yang disebutkan oleh al-hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri (II/65).
Syaikh al-Albâni menasehati, “Di sini perlu kami ingatkan Ahlus Sunnah yang bersemangat untuk menghidupkan sunnah dan mematikan bid’ah agar mengerjakan dua raka’at ini sesudah shalat ‘Ashar pada waktu yang telah disyari’atkan. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
مَنْ سَنَّ فِي الإسْلاَمِ سُنَّة ًحَسَنَةً
Barangsiapa mencontohkan sunnah yang baik dalam Islam… [Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah, VI/1012-1014 (no. 2920)]
Dalam riwayat yang lain pula masih dari ‘Aisyah Radhiyallahu anha disebutkan bahwa ‘Aisyah Radhiyallahu anha ditanya tentang shalat yang dikerjakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia menjawab,
كَانَ يُصَلِِّّي الهََجِِيرَ ثُُمَّ يُصَلِِّّي بَعْدَهَا رَكْعَتَيْنِِ، ثُمَّ يُصَلِِّّي العَصْرَ، ثُمَّ يُصَلِِّّي بَعْدَهَا رَكْْْعَتَيْنِِ
Beliau mengerjakan shalat Zhuhur lalu mengerjakan shalat dua rakaat sesudahnya. Kemudian beliau mengerjakan shalat ‘Ashar kemudian mengerjakan shalat dua raka’at sesudahnya.” [Hadits ini juga dishahihkan oleh al-Albâni dalam Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah, VII/1426, no. 3488].
Syaikh al-Albâni rahimahullah berkata, “Dalam riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ahmad[Al-Musnad VI/145] diriwayatkan dari al-Miqdam, ia berkata, “Aku bertanya kepada ‘Aisyah Radhiyallahu anha tentang shalat sesudah ‘Ashar?, ia menjawab, “Kerjakanlah, sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kaummu dari penduduk Yaman mengerjakan shalat apabila matahari sedang terbit.”
Syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Pada perkataan ‘Aisyah Radhiyallahu anha yang mauqûf ini terdapat beberapa faidah yang tidak disebutkan oleh al-Hâfizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bâri, yaitu, Umar Radhiyallahu anhu tidak melarang dua raka’at sesudah shalat ‘Ashar karena mengingkari pensyariatannya. Namun beliau melarangnya semata-mata untuk menutup celah kepada sesuatu yang dilarang, yaitu beliau Radhiyallahu anhu khawatir mereka akan mengerjakannya pada waktu yang diharamkan shalat, yaitu ketika matahari akan terbenam. Ada beberapa bukti yang menguatkannya dari riwayat Tamîm ad-Dâri dan Zaid bin Khalid al-Juhani. al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah tidak mengomentari sanad kedua riwayat ini dalam Fathul Bâri (II/65). Sedangkan sanad riwayat Zaid dihasankan oleh al-Haitsami.
Catatan faedah:
- Hadits Marfu': Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah ﷺ baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya.
- Hadits Mauquf: hadis yang disandarkan kepada sahabat Nabi Muhammad ﷺ , baik berupa perkataan, perbuatan, maupun ketetapan (taqrir) mereka, dengan sanad yang terhenti pada tingkatan sahabat dan tidak sampai kepada Nabi. Kata "mauquf" berasal dari bahasa Arab yang artinya "berhenti", karena sanadnya berhenti pada sahabat.
Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa Umar tidak Melarang Pensyariatan Shalat Dua Raka’at setelah Ashar
1. Hadits Tamîm ad-Dâri Radhiyallahu anhu
Hadits Tamiim diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya, ia berkata, “Umar Radhiyallahu anhu keluar menemui manusia dan memukul mereka karena mengerjakan dua rakaat sesudah shalat ‘Ashar. Hingga beliau Radhiyallahu anhu bertemu dengan Tamîm ad-Dâri Radhiyallahu'anhu. Tamîm Radhiyallahu anhu berkata, “Aku tidak akan meninggalkan dua raka’at ini. Sungguh aku telah mengerjakannya bersama orang yang lebih baik darimu ! Yakni Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Maka Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Sungguh, seandainya semua orang seperti dirimu niscaya aku tidak ambil peduli.”
Diriwayatkan oleh Ahmad (IV/101) dengan sanad yang perawinya tsiqah, perawi al-Bukhâri dan Muslim, akan tetapi al-Haitsami berkata (II/222), “Urwah belum mendengar dari Umar Radhiyallahu anhu .”
Akan tetapi Abdullah bin Shalih telah meriwayatkannya, ia berkata, al-Laits telah menceritakan kepadaku dari Abul Aswad dari ‘Urwah bin az-Zubeir, ia berkata, “Tamim ad-Dâri telah mengabarkan kepadaku bahwa Tamîm ad-Dâri mengerjakan dua raka’at tersebut setelah Umar Radhiyallahu anhu melarang shalat sesudah ‘Ashar. Lalu Umar Radhiyallahu anhu mendatanginya dan hendak memukulnya dengan cambuk. Akan tetapi Tamim berisyarat kepadanya agar duduk, karena saat itu ia sedang shalat. Maka Umar Radhiyallahu anhu duduk hingga Tamîm selesai shalat. Tamîm berkata kepada Umar Radhiyallahu anhu , “Mengapa engkau hendak memukulku ?” Umar Radhiyallahu anhu menjawab, “Karena engkau mengerjakan dua raka’at yang telah aku larang ini.”
Lalu Tamîm Radhiyallahu anhu mengatakan seperti yang telah disebutkan di atas tadi, kemudian ditambahkan, “Umar berkata, “Sesungguhnya sasaranku bukanlah kalian wahai kaum ! Akan tetapi aku khawatir akan datang sesudah kalian satu kaum yang mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar sampai waktu Maghrib. Hingga mereka melewati atau memasuki waktu yang terlarang bagi mereka untuk mengerjakan shalat, sebagaimana mereka mengerjakannya antara shalat Zhuhur dan shalat ‘Ashar. Kemudian mereka beralasan, ‘Kami telah melihat si Fulan dan si Fulan mengerjakan shalat sesudah shalat ‘Ashar.”
Diriwayatkan oleh ath-Thabrâni dalam al-Mu’jamul Kabîr (II/48/1281) dan dalam al-Ausath (VIII/296/8684). (Lihat Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah, VII/1426-1428, no. 3488). 
 
2. Hadits Zaid bin Khalid al-Juhani Radhiyallahu’anhu
Kemudian syaikh al-Albâni rahimahullah mengatakan, “Adapun hadits Zaid bin Khalid al-Juhani, diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-A’mâ dari seorang lelaki yang bernama as-Sâib Maula al-Farisiyyin dari Zaid, bahwa Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu -saat itu beliau menjadi khalifah- melihatnya mengerjakan dua rakaat sesudah ‘Ashar. Maka Umar Radhiyallahu anhu mendekatinya dan memukulnya dengan cambuk, sementara Zaid Radhiyallahu anhu terus melanjutkan shalatnya. Selesai shalat, Zaid berkata, “Pukullah wahai Amirul Mukminin ! demi Allâh aku tidak akan meninggalkannya selama-lamanya karena aku telah melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.”
Umar Radhiyallahu anhu duduk di dekatnya lalu berkata, “Hai Zaid Radhiyallahu anhu , kalaulah bukan karena aku khawatir orang-orang akan menjadikannya jalan untuk mengerjakan shalat sampai malam hari niscaya aku tidak akan memukul karenanya.”
Diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf (II/431-432) –redaksi di atas adalah riwayatnya-, hadits ini diriwayatkan juga dari jalurnya dan dari jalur lainnya oleh Ahmad (IV/115), ath-Thabraani dalam al-Mu’jamul Kabîr (V/260/5166 dan 5167), setelah menisbatkannya kepada Ahmad dan ath-Thabrâni, al-Haitsami berkata, “Sanadnya hasan.” al-Albâni berkata, “Abu Sa’ad al-A’mâ tidak ada yang menyebutnya tsiqah kecuali Ibnu Hibbân, oleh karena itu al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan dalam kitab at-Taqrîb, “Majhûl!” Barangkali yang dimaksud oleh al-Haitsami adalah hasan lighairihi dilihat dari riwayat terdahulu, wallahu a’lam.
Catatan Faedah:
- Hadits Hasan Lighairihi: hadits yang dilihat dari sanadnya dha’if namun dikuatkan dari jalur lainnya, tetap tidak mengandung syadz dan ‘illah.
- Hasan lidzatihi adalah hadits yang dilihat dari jalur periwayatannya sendiri hasan.
3. Riwayat Aisyah Lain yang Membolehkan
Syaikh al-Albâni rahimahullah juga menyebutkan riwayat ‘Aisyah yang lain tanpa menyebutkan persetujuan ‘Aisyah terhadap apa yang dilakukan oleh Umar. Diriwayatkan oleh al-Mughiirah dari Ibrahim dari al-Aswad dari ‘Aisyah bahwa ia berkata, “Apakah engkau memukul orang karena mengerjakan dua rakaat tersebut ? Sungguh Rasûlullâh tidak menemui melainkan beliau mengerjakan dua raka’at tersebut.”
Lalu syaikh rahimahullah menyebutkan riwayat Jarir dari al-Mughirah tanpa menyebutkan perihal pemukulan yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu anhu . Setelah itu, syaikh al-Albâni menyimpulkan, “Inilah riwayat yang shahih dari ‘Aisyah (yaitu riwayat –red) tanpa ada penyebutan perihal pemukulan yang dilakukan oleh Umar Radhiyallahu anhu .” [Silsilatul Ahâdîts as-Shahîhah, VI/1012-1014 (no. 2920)].
Ada pula riwayat lain yang menguatkan pendapat ini. Diriwayatkan dari Abdullah bin Rabbâh dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat ‘Ashar, seusai shalat bangkitlah seorang lelaki untuk mengerjakan shalat. Umar melihat hal itu. Ia berkata kepada lelaki itu, “Duduklah, sesungguhnya Ahli Kitab itu binasa karena tidak ada pemisah di antara shalat-shalat yang mereka lakukan.” Maka Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,
أَحْسَنَ ابْنُ الخَطَّابِ
Benar apa yang dikatakan oleh Ibnul Khahthab. [Ahmad (V/368) dan dishahihkan oleh al-Albâni dalam Silsilatul AHâdîtsis Shahîhah, no. 2549].
Syeikh al-Albâni menjelaskan salah satu faidah dari hadits ini, “Dalam hadits ini terdapat faidah penting lainnya, yaitu:
- Bolehnya mengerjakan shalat sunnat sesudah ‘Ashar. Sebab kalaulah tidak dibolehkan tentu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingkari perbuatan lelaki itu sebagaimana yang tampak nyata. Dan ini selaras dengan hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau mengerjakan shalat dua rakaat sesudah ‘Ashar.
- Dan ini juga menunjukkan bahwa hal itu bukanlah khushushiyyah (kekhususan) bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam saja.
- Adapun sabda beliau “Tidak ada shalat sesudah ‘Ashar hingga matahari terbenam.” dibawakan kepada kondisi apabila matahari sudah menguning, berdasarkan hadits-hadits shahih yang membatasi maknanya.”
Kesimpulannya, dibolehkan mengerjakan shalat sunnat dua rakaat sesudah ‘Ashar selama matahari masih tinggi dan cahayanya masih putih belum menguning, berdasarkan beberapa hadits yang menyatakan hal tersebut.
Adapun hadits-hadits yang melarang mengerjakan shalat sesudah ‘Ashar sampai matahari terbenam dibatasi maknanya dan dikhususkan kandungannya kepada kondisi apabila matahari sudah menguning, wallahu a’lam bis shawaab.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
 
             
     
  
  
		