Kategori Fiqh

Pemahaman muslimin mengenai praktik-praktik ibadah berdasarkan Syariat
Kajian Bertema Fiqh

ʙɪꜱᴍɪʟʟᴀʜ

📃 | Hujan: Faedah Hukum Terkait Aqidah dan Fiqih
🎙 | Bersama: Ustadz Mohammad Alif Lc., M.Pd Hafidzahullah
🗓 | Hari/Tanggal: Rabu, 30 Rabi’ul Akhir 1447 / 22 Oktober 2025
🕰 | Waktu: ba'da maghrib - isya
🕌 | Tempat: Al-Ikhlash Adi Sucipto Surakarta
🕌 | Daftar Isi:

 





Setelah memuji Allâh dan bershalawat atas Nabi-Nya, Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan.

Ikhwany Rahimakumullah...

Ketika hujan itu tidak turun kita mengeluh, ketika kemarau panjang, dimana-mana kekeringan, kita juga mengeluh... Semoga Allah Ta’ala karuniakan kita untuk selalu bersyukur.

Faedah-faedah Hujan

1. Sebagai alat untuk bersuci

Hujan adalah alat bersuci yang sah karena termasuk kategori air mutlak yang suci dan menyucikan, sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur'an surat Al-Anfal ayat 11:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ

dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu

Maka, air hujan yang turun ini adalah air yang suci. Dan kita ketahui, air yang terbaik adalah zam-zam yang berkah dan menyucikan. Setelahnya air hujan yang langsung turun dari langit.

2. Sebagai Air Minum

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Hijr Ayat 22:

وَأَرْسَلْنَا ٱلرِّيَٰحَ لَوَٰقِحَ فَأَنزَلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً فَأَسْقَيْنَٰكُمُوهُ وَمَآ أَنتُمْ لَهُۥ بِخَٰزِنِينَ

Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan air itu, dan sekali-kali bukanlah kamu yang menyimpannya.

Kalian -wahai manusia- bukan penyimpan air ini di dalam perut bumi sehingga ia menjadi mata air dan sumur, akan tetapi Allah yang menyimpannya untuk kalian.

3. Untuk Kehidupan Makhluk dan Tumbuhan

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Furqan ayat 48:

وَأَنزَلْنَا مِنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً طَهُورًا. لِّنُحْۦِىَ بِهِۦ بَلْدَةً مَّيْتًا وَنُسْقِيَهُۥ مِمَّا خَلَقْنَآ أَنْعَٰمًا وَأَنَاسِىَّ كَثِيرًا

dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih, Agar Kami menghidupkan dengan air itu negeri (tanah) yang mati, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk Kami, binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak.

Yaitu Agar dengan air hujan yang turun dari langit itu, Kami menghidupkan tanah tandus lagi mati, yang tidak memiliki tumbuhan, dengan tumbuhnya berbagai jenis tumbuhan dan penghijauan di atasnya, dan agar Kami memberi minum dengan air itu sebagian besar dari makhluk ciptaan Kami; binatang-binatang ternak dan manusia yang banyak. (Tafsir Mukhtashar).

4. Untuk Menguatkan Bumi

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Anfal ayat 11:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَآءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِۦ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ ٱلشَّيْطَٰنِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ ٱلْأَقْدَامَ

dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu).

Dalam ayat ini disebut : memperteguh dengannya telapak kaki(mu). Yang maknanya menguatkan pijakan kaki kita di bumi.

Begitu banyak faedah hujan bagi makhluk hidup, maka tatkala kekeringan manusia pun berdo'a agar Allah ﷻ turunkan hujan.

Suatu ketika Nabi Muhammad ﷺ sedang khutbah Jumat di Madinah. Kemudian, ada seorang Arab Badui yang mendatangi Rasulullah ﷺ. Orang Arab Badui itu meminta kepada Rasulullah ﷺ agar hujan diturunkan kepada mereka karena bumi telah kering. Maka Rasulullah ﷺ pun berdoa, kemudian hujan pun turun selama seminggu penuh tanpa henti.

Agar hujan membawa berkah, maka kita harus paham apa yang disunnahkan disaat hujan.

Adab dan Sunnah ketika Hujan

1.Berdo'a ketika Mendung dan gelap

Di antara kebiasaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat takut ketika melihat mendung yang sangat gelap. Karena kehadiran mendung gelap, merupakan mukadimah adzab yang Allah berikan kepada umat-umat di masa silam. Sebagaimana yang terjadi pada kaum ‘Ad.

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا رَأَى نَاشِئًا فِى أُفُقِ السَّمَاءِ تَرَكَ الْعَمَلَ وَإِنْ كَانَ فِى صَلاَةٍ ثُمَّ يَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا ». فَإِنْ مُطِرَ قَالَ « اللَّهُمَّ صَيِّبًا هَنِيئًا »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melihat awan gelap di ufuk langit, beliau meninggalkan aktivitasnya meskipun dalam shalat. Lalu beliau membaca, ‘Allahumma inni a’udzubika min syarriha’ [Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya].” Apabila turun hujan, beliau membaca ‘Allahumma Shayyiban Hani’aYa Allah jadikanlah hujan ini sebagai hujan yang bermanfaat.

Mengapa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan semua aktivitasnya?

Karena beliau takut, beliau keluar masuk rumah sambil berdoa memohon perlindungan kepada Allah dari keburukan awan itu.

2. Disaat ada petir

Berdasarkan hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Ibnu Umar, dia berkata bahwa Nabi ﷺ membaca doa ini ketika mendengar petir:

اّللَّهُمَّ لَا تَقْتُلْنَا بِغَضَبِكَ وَلاَ تُهْلِكْنَا بِعَذَابِكَ وَعَافِنَا قَبْلَ ذَلِكَ

Allahumma la taqtulna bi ghadhobika wala tuhlikna bi a’zabika wa a’fina qobla zalika

“Ya Allah, jangan bunuh kami dengan murkaMu, dan jangan binasakan kami dengan azab-Mu"

Disebutkan juga dalam kitab Almuwaththa’ dari sahabat Abdullah bin Zubair. Ketika mendengar petir beliau membaca doa berikut;

سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلَائِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ

Subhanalladzi yusabbihur ro’du bi hamdihi wal mala-ikatu min khifatihi

“Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya.”

3. Jika hujan terlalu besar

Sebagaimana disebutkan dalam hadits Anas bin Malik, ketika hujan tidak kunjung berhenti, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memohon pada Allah agar cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,

اللَّهُمّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا,اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ

“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari"

[Ya Allah, turunkanlah hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turukanlah hujan ke dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].” (HR. Bukhari no. 1014 dan Muslim no. 897)

4. Membuka penutup kepala atau sebagian pakaian

Sunnah saat hujan adalah membuka penutup kepala dan sebagian pakaian untuk membiarkan tubuh terkena air hujan pertama kali, bukan mandi hujan secara total.

Terdapat beberapa riwayat terkait hujan-hujanan ini. Di antaranya yang terekam dalam Sunan Ibn Hibban, dengan riwayat shahih, dikisahkan para sahabat kehujanan dan saat itu bersama Rasulullah shallallahu álaihi wa sallam.

Rasulullah kemudian membuka sebagian pakaiannya agar terbasahi oleh air hujan. Para Sahabat bertanya: “Mengapa kau lakukan ini wahai Rasulullah?”Maka bersabda nabi shallallahu álaihi wa sallam: “sesungguhnya dia (hujan) hadiits ahdin birobbihi (yang maksudnya, hujan merupakan rahmat Allah).”

Faedah Hukum Berkaitan dengan Aqidah

1. Tidak Sah Tauhid seorang Hamba sampai Menisbatkan turunnya hujan kepada Allah ﷻ

Zaid bin Khalid al Juhani berkata, "Kami keluar bersama Rasulullah pada tahun Hudaibiah, lalu kami ditimpa hujan pada suatu malam.

Kemudian Rasulullah menunaikan shalat subuh bersama kami di Hudaibiah pada bekas hujan yang turun semalam.

Ketika selesai, beliau menghadap orang banyak dengan wajahnya seraya bersabda, 'Apakah kalian tahu apa yang difirmankan Tuhan kalian?' Mereka berkata, 'Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.'

Beliau bersabda, 'Allah berfirman, 'Di antara hamba-hamba Ku ada orang yang beriman kepada Ku dan ada yang kafir kepada-Ku. Adapun orang yang berkata, 'Telah diturunkan hujan kepada kami sebab anugerah dan rezeki Allah serta rahmat Nya,' maka orang yang berkata demikian adalah orang yang beriman kepada-Ku dan mengkufuri bintang. Ada pun orang yang mengatakan, 'Telah diturunkan hujan kepada kami karena bintang ini dan ini,' maka orang yang berkata begini adalah kafir terhadap Aku, dan beriman kepada bintang.'" (HR. Bukhari : 545)

Orang yang menisbatkan hujan kepada bintang, pelakunya dianggap kafir sebagaimana disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Rabb-nya, di atas.

Jika ia percaya bahwa bintang adalah pelaku atau faktor yang mempengaruhi turunnya hujan, maka ia dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik besar. Dan jika ia percaya bahwa bintang menyertai turunnya hujan sehingga dapat dijadikan isyarat -walaupun dengan meyakini bahwa turunnya hujan itu dengan izin Allah Azza wa Jalla- maka perbuatan itu tetap haram dan pelakunya dinyatakan musyrik dengan tingkatan syirik kecil yang bertentangan dengan kesempurnaan tauhid.

2. Perkiraan Turunnya Hujan

Surah Luqman ayat 34 menyatakan bahwa hanya Allah yang mengetahui lima hal utama: kapan datangnya Hari Kiamat, kapan hujan akan turun, apa yang ada di dalam rahim (kandungan), apa yang akan dikerjakan seseorang esok hari, dan di bumi mana seseorang akan meninggal.

إِنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥ عِلْمُ ٱلسَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ ٱلْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِى ٱلْأَرْحَامِ ۖ

Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim.

Ayat ini menekankan bahwa pengetahuan tentang hal-hal gaib (tidak terlihat) dan masa depan hanya milik Allah, dan manusia tidak dapat mengetahuinya secara pasti.

Nabi ﷺ bersabda tentang 5 kunci ilmu ghaib:

”Kunci-kunci ilmu gaib ada lima, hanya Allah yang mengetahuinya: tidak ada yang tahu apa yang terjadi esok hari kecuali Allah, tidak ada yang tahu apa yang dikandung oleh rahim kecuali Allah, tidak ada yang tahu kapan turun hujan kecuali Allah, tidak ada seorang pun yang tahu di bumi mana dia akan meninggal, dan tidak ada yang tahu kapan terjadi hari kiamat kecuali Allah.” (HR Bukhori)

Maka, siapa yang mengaku tahu kapan turunnya hujan dan pasti, maka dia pendusta sekaligus batal Islamnya. Tetapi jika hanya perkiraan dan menisbatkan turunnya hujan dari Allah ﷻ, maka ini bukan pembatal Tauhid.

3. Air Hujan adalah Berkah

Ia mengandung kebaikan yang banyak karena baru diciptakan Allah ﷻ.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama Rasulullahshallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لأَنَّهُ حَدِيثُ عَهْدٍ بِرَبِّهِ تَعَالَى

“Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.” [HR. Muslim no. 898]

An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.” [Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobiy, cetakan kedua, 1392 H]

An Nawawi selanjutnya mengatakan, ”Dalam hadits ini terdapat dalil bagi ulama Syafi’iyyah tentang dianjurkannya menyingkap sebagian badan (selain aurat) pada awal turunnya hujan, agar terguyur air hujan tersebut. Dan mereka juga berdalil dari hadits ini bahwa seseorang yang tidak memiliki keutamaan, apabila melihat orang yang lebih berilmu melakukan sesuatu yang ia tidak ketahui, hendaknya ia menanyakannya untuk diajari lalu dia mengamalkannya dan mengajarkannya pada yang lain.” [Syarh Muslim, 6/196].

4. Jangan Mencela Angin dan Hujan

Sungguh sangat disayangkan sekali, setiap orang sudah mengetahui bahwa hujan merupakan nikmat dari Allah Ta’ala. Namun, ketika hujan dirasa mengganggu aktivitasnya, timbullah kata-kata celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan lagi”.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَسُبُّوا الرِّيحَ

”Janganlah kamu mencaci maki angin.” [HR Tirmidzi, shahih]. Termasuk di dalamnya hujan...

Allah yang mengatur waktu, cuaca dan seluruh alam semesta ini. Mencela dan memaki hal tersebut, berarti mencela Allah yang telah mengaturnya.

Angin dan Hujan adalah tentaranya Allah ﷻ. Angin kencang yang menjadi tentaraNya, sebagai tanda-tanda besarnya kekuasaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الطُّوْفَانَ … اٰيٰتٍ مُّفَصَّلٰتٍ ۗ فَاسْتَكْبَرُوْا وَكَانُوْا قَوْمًا مُّجْرِمِيْنَ

“Maka, Kami kirimkan kepada mereka topan… sebagai bukti-bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa.” (Qs. Al-A’raf 133)

Diantara umat terdahulu yang dibinasakan oleh tentaraNya adalah Kaum Nuh, 'Aad, Luth dan Saba'.

Faedah Hukum Berkaitan dengan Fiqih

1. Syahid karena Tenggelam

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ الْمَطْعُونُ وَالْمَبْطُونُ وَالْغَرِقُ وَصَاحِبُ الْهَدْمِ وَالشَّهِيدُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

“Orang yang mati syahid ada lima, yakni orang yang mati karena tho’un (wabah), orang yang mati karena menderita sakit perut, orang yang mati tenggelam, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan dan orang yang mati syahid di jalan Allah.” (HR. Bukhari, no. 2829 dan Muslim, no. 1914).

Dari ‘Abdullah bin Busr radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْقَتِيلُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ شَهِيدٌ وَالْمَطْعُونُ شَهِيدٌ وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ وَمَنْ مَاتَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ فَهُوَ شَهِيدٌ

“Orang yang terbunuh di jalan Allah (fii sabilillah) adalah syahid; orang yang mati karena wabah adalah syahid; orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid; dan wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid.” (HR. Ahmad, 2: 522. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dan ‘Adil Mursyid menyatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim).

Derajat syahidnya adalah Syahid dalam hal pahala namun tidak disikapi dengan hukum syahid di dunia. Mereka tetap dimandikan, dishalatkan, namun di akhirat mendapatkan pahala syahid.

2. Hukum Tanah Lumpur Karena Hujan

Tanahnya Suci dan tidak tidak najis, karena hukum asalnya suci.

Imam Abdurrazaq As-Shan'ani menjelaskan dalam Mushannafnya, dahulu di zaman tabi'in jika ada hujan mereka bermain dengan air hujan dan tanah. Kemudian mereka masuk masjid dan shalat.

3. Muadzin Saat Hujan

Saat hujan deras, muadzin disunnahkan setelah membaca seruan "Hayya 'alash shalah" (Marilah salat) dengan "Shallu fii rihaalikum" (Salatlah di rumah kalian) atau bisa juga setelah adzan selesai.

Tujuannya untuk memberi keringanan bagi jamaah untuk salat di tempat masing-masing demi menghindari kesulitan akibat jalan yang becek atau licin.

Dari Nafi’ dari Ibnu Umar

أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلاَةِ فِى لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ وَرِيحٍ وَمَطَرٍ فَقَالَ فِى آخِرِ نِدَائِهِ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ أَلاَ صَلُّوا فِى الرِّحَالِ. ثُمَّ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ أَوْ ذَاتُ مَطَرٍ فِى السَّفَرِ أَنْ يَقُولَ أَلاَ صَلُّوا فِى رِحَالِكُمْ.

Ibnu Umar pernah adzan untuk shalat di malam yang dingin, anginnya kencang dan hujan, kemudian dia mengatakan di akhir adzan,

Alaa shollu fi rihaalikum,

Alaa shollu fir rihaal’

[Shalatlah di rumah kalian, shalatlah di rumah kalian]’.

Kemudian beliau mengatakan,”Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menyuruh muadzin, apabila cuaca malam dingin dan berhujan ketika beliau safar untuk mengucapkan, ’Alaa shollu fi rihaalikum’ [Shalatlah di tempat kalian masing-masing]’. (HR. Muslim no. 1633 dan Abu Daud no. 1062)

4. Menjamak Shalat saat Hujan

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,

جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ

”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”

Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim no. 705)

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jamak shalat yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bukan karena sebab ini dan sebab itu. Oleh karenanya Imam Ahmad berdalil bolehnya menjamak shalat karena beberapa sebab tersebut karena jika dalam keadaan genting atau hujan atau safar saja dibolehkan jamak, maka lebih-lebih lagi ada sebab itu. Jadi, jamak karena sebab-sebab tadi lebih pantas ada karena sebab lainnya. Walaupun dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak disebutkan jamak karena hujan, namun jika dipahami jamak karena hujan lebih-lebih dibolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 76.

Bagaimana jika di Rumah?

Jumhur ulama tidak membolehkan menjamak saat hujan di rumah, dikuatkan oleh Imam an-Nawawi dan Fatwa Lajnah Daimah.

Tetapi sebagian membolehkan karena dalilnya bersifat umum.

Jika meskipun posisi kita di masjid misalnya dari maghrib hingga Isya, tetap disunnahkan untuk menjamak. Dan boleh witir meskipun belum masuk waktu Isya.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

  • Media
    Sarana belajar Agama Islam melalui video dan audio kajian dari Asatidz Indonesia yang bermanhaj salaf...
    Ebook
    Bahan bacaan penambah wawasan berupa artikel online maupun e-book yang bisa diunduh. Ebook Islami sebagai bahan referensi dalam beberapa topik yang insyaAllah bermanfaat.
  • image
    Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
    image
    ‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]

Share Some Ideas

Punya artikel menarik untuk dipublikasikan? atau ada ide yang perlu diungkapkan?
Kirim di Sini