Kategori Fiqh

Pemahaman muslimin mengenai praktik-praktik ibadah berdasarkan Syariat
Kajian Bertema Fiqh
Apakah uang yang dimiliki oleh seorang muslim/muslimah dikenai kewajiban zakat? Dan bagaimana menghitung zakatnya?

Dijawab oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad As-Sarbini Al-Makassari:

Alhamdulillah wabihi nasta’in ‘ala umur ad-dunya waddin, wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulihi al-amin wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajma’in.

Para ulama telah berbicara dalam masalah ini dan terjadi perbedaan ijtihad di antara mereka. Ada dua pendapat dalam hal ini:
  1. Tidak ada kewajiban zakat pada uang yang dimiliki oleh seseorang kecuali jika diniatkan untuk modal dagang. Jika diperuntukkan sebagai uang nafkah atau disiapkan untuk pernikahan, atau yang semisalnya maka tidak ada zakatnya.
  2. Zakat uang wajib hukumnya pada setiap uang yang dikumpulkan oleh seseorang dari hasil keuntungan usaha dagang atau hasil sewa rumah atau hasil gaji atau yang semacamnya, dengan syarat uang itu mencapai nishab1) dan sempurna haul 2) yang harus dilewatinya. Tidak ada bedanya dalam hal ini apakah uang yang dikumpulkan itu diniatkan untuk modal usaha dagang atau untuk nafkah atau untuk pernikahan, atau tujuan lainnya. Dalilnya adalah keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ

“Hendaklah engkau (wahai Muhammad) mengambil zakat dari harta-harta mereka yang dengannya engkau membersihkan mereka dari dosa dan memperbaiki keadaan mereka, serta bershalawatlah untuk mereka.” (At-Taubah: 103)

Demikian pula keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu saat beliau mengutusnya ke negeri Yaman:

أَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِيْ أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

“Ajarkan kepada mereka bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan atas mereka zakat pada harta-harta yang mereka miliki yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka.” (HR. Al-Bukhari no. 1458 dan Muslim no. 19 dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma)

uangUang termasuk dalam keumuman harta benda yang terkena kewajiban zakat, karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada pada masa ini dan mendominasi muamalah kaum muslimin, menggantikan posisi emas (dinar) dan perak (dirham) yang dipungut zakatnya pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Uang sebagai pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) menjadi tolok ukur dalam menilai harga suatu barang sebagaimana halnya dinar dan dirham pada masa itu.

Yang benar adalah pendapat kedua berdasarkan dalil-dalil yang telah disebutkan. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Al-Imam Al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz dalam Fatawa Al-Lajnah (9/254, 257), Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/98-99, 101), guru besar kami Al-Imam Al-’Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dan guru kami Al-Faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni.

Oleh karena uang dengan berbagai jenis mata uang yang ada merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham), maka dipersyaratkan tercapainya nishab yang harus melewati haul untuk kemudian dikeluarkan zakatnya di akhir tahun sebagaimana halnya zakat emas (dinar) dan perak (dirham). Nishabnya adalah salah satu dari nishab emas (dinar) dan perak (dirham). Nishab emas (dinar) adalah 20 dinar yang beratnya 20 mitsqal3), yaitu 85 gram emas murni.4) Nishab perak (dirham) adalah 200 dirham yang beratnya 140 mitsqal5), yaitu 595 gram perak murni. Jika seseorang memiliki sejumlah uang dengan mata uang yang sama atau sejumlah uang dengan mata uang yang berbeda6) yang nilainya mencapai harga salah satu dari dua nishab tersebut, berarti uang yang dimilikinya mencapai nishab. Seandainya harga emas lebih rendah dari harga perak sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 85 gram emas murni dan tidak senilai dengan harga 595 gram perak murni, maka nishabnya adalah nishab emas. Bila harga perak lebih rendah sehingga nilai uang yang dimilikinya mencapai harga 595 gram perak murni dan tidak senilai dengan harga 85 gram emas murni, maka nishabnya adalah nishab perak. Ketika seseorang memiliki uang yang jumlahnya senilai dengan salah satu dari dua nishab tersebut, maka sejak itu dia mulai menghitung haul yang harus dilewati oleh nishab tersebut sampai akhir tahun yang merupakan waktu wajibnya zakat.

Al-Lajnah Ad-Da’imah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah (9/254, 257) bahwa uang yang terkena kewajiban zakat adalah uang yang nilainya mencapai nishab emas (senilai dengan harga 20 mitsqal emas) atau nilainya mencapai nishab perak (senilai dengan140 mitsqal perak) hingga akhir haul. Yang diperhitungkan dari dua nishab tersebut adalah yang terbaik bagi kalangan fakir miskin7). Perhitungan nishab ini mengacu adanya perbedaan harga antara satu waktu dengan waktu yang lain dan antara satu negeri dengan negeri yang lain.

Guru kami Asy-Syaikh Al-Faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni hafizhahullah menerangkan bahwa zakat uang nishabnya adalah senilai dengan harga nishab perak.

Jika seseorang memiliki uang senilai dengan harga 595 gram perak berarti uangnya mencapai nishab8). Uang yang dimiliki terkena kewajiban zakat di akhir haulnya dengan syarat jumlah uang yang merupakan nishab di awal haul tetap utuh jumlahnya dan tidak pernah berkurang dari nishab sampai akhir haul.

Namun perlu diketahui bahwa penetapan nishab uang yang mengikuti harga nishab perak bukan sesuatu yang bersifat pasti dan baku, karena harga perak sendiri bukan sesuatu yang sifatnya baku. Terjadi perbedaan harga perak di pasaran dan terdapat jenis perak berkualitas tinggi, ada yang berkualitas sedang dan ada yang berkualitas rendah. Jadi tidak ada harga nishab perak yang disepakati bersama oleh kaum muslimin untuk dijadikan sebagai standar yang baku. Dengan demikian penetapan harga nishab perak sebagai nishab uang sifatnya pendekatan dan bukan sesuatu yang pasti.

Setelah seseorang melakukan penjajakan harga perak dengan memperhitungkan berbagai kualitas yang ada hendaklah dia berijtihad (berusaha semaksimal mungkin untuk mendekati kebenaran) dalam menetapkan nishab uang yang dimilikinya. Mungkin Fulan menyatakan bahwa nishabnya sekian, yang lain menyatakan sekian dan yang lain menyatakan sekian, sesuai dengan hasil ijtihad masing-masing. Maka ada harga yang sifatnya di atas rata-rata, jika harga itu tercapai tidak diragukan lagi bahwa itu merupakan nishab. Ada pula harga di bawahnya yang diragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka menganggap harga itu mencapai nishab lebih hati-hati bagi agama seseorang. Kemudian harga yang lebih rendah dari itu tidak dianggap mencapai nishab.

Dengan demikian apabila terjadi kenaikan harga di tengah perputaran haul (tahun berjalan) yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, maka haulnya terputus. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga kemerosotan nilainya tidak begitu besar dan masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka semestinya hal itu diabaikan dan tetap dianggap mencapai nishab dalam rangka berhati-hati.

Kemudian di akhir haul yang merupakan waktu wajibnya zakat, nilai uang tersebut dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), apakah nilainya tetap mencapai nishab atau tidak. Apabila harga perak di akhir haul mengalami kenaikan yang terpaut jauh dengan harga di awal haul sehingga menjatuhkan nilai uang tersebut sampai pada batas yang tidak diragukan lagi bahwa tidak mencapai nishab, maka berarti tidak terkena zakat. Adapun jika kenaikannya tidak terpaut jauh sehingga nilai uang tersebut masih pada batas yang meragukan apakah mencapai nishab atau tidak, maka untuk kehati-hatian semestinya tetap dianggap mencapai nishab untuk kemudian dikeluarkan zakatnya.

Apabila uang tersebut mencapai nishab dan telah sempurna haulnya, maka di akhir tahun wajib dikeluarkan zakatnya. Jika jumlah uang tersebut nilainya melebihi nishab, maka kelebihannya juga terkena zakat, berapapun jumlahnya. Besar zakat yang harus dikeluarkan dari uang yang jumlahnya mencapai nishab atau melebihi nishab dan telah sempurna haulnya adalah 1/40 (seperempat puluh) atau 2,5% (dua setengah persen) darinya, sebagaimana halnya pada zakat emas dan perak9). Jika uang tersebut mengalami pertambahan jumlah di tengah perputaran haul maka hendaklah dia mencatat setiap tambahannya beserta waktunya secara tersendiri agar dapat mengeluarkan zakat setiap tambahan itu di akhir haulnya masing-masing.

Namun jika seseorang memilih untuk mengeluarkan zakat dari total uang yang ada di akhir haul nishab yang pertama kali dimilikinya, dengan alasan bahwa dia kesulitan dan merasa berat untuk menghitung jumlah setiap tambahan tersebut dan haulnya masing-masing, berarti dia telah memajukan waktu pengeluaran zakatnya setahun sebelum waktunya tiba. Dan hal itu boleh menurut jumhur (mayoritas) ulama. Hal ini boleh berdasarkan hadits ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْـمُطَّلِبِ سَأَلَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فِيْ تَعْجِيْلِ صَدَقَتِهِ قَبْلَ أَنْ تَحِلَّ، فَرَخَّصَ لَهُ فِيْ ذَلِكَ

“Bahwasanya Al-’Abbas bin Abdil Muththalib bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang maksudnya untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum waktunya tiba. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi kelonggaran kepadanya untuk melakukan hal itu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi dan yang lainnya)

Abu Dawud, Ad-Daraquthni, Al-Baihaqi, dan Al-Albani merajihkan bahwa hadits ini mursal. Namun Al-Albani menghasankannya dalam Irwa’ Al-Ghalil (no. 857) dengan syawahid (penguat-penguat) yang ada10).

Demikianlah terus berulang setiap tahun. Setiap kali pada uang yang dimiliki terpenuhi persyaratan nishab dan haul, ketika itu pula wajib dikeluarkan zakatnya di akhir tahunnya.11)

Al-Lajnah berfatwa bahwa nilai/harga harta perdagangan ikut digabung dengan uang yang dimiliki dalam perhitungan nishab12), karena maksud yang diinginkan dari barang perdagangan bukan barang itu sendiri, melainkan untuk menghasilkan uang (yang merupakan pengganti emas (dinar) dan perak (dirham) pada masa ini sehingga memiliki makna yang sama dengannya. Oleh karena itu zakat harta perdagangan wajib pada nilai/harganya dan dikeluarkan zakatnya dalam bentuk uang.

Sistem perhitungan nishab dan haul serta kadar yang wajib dikeluarkan pada zakat harta perdagangan sama dengan sistem perhitungan zakat uang.

Perhitungan haul dimulai dari hari seseorang memiliki harta yang diniatkan untuk perdagangan yang nilainya/harganya mencapai salah satu dari nishab emas atau perak13). Kemudian di akhir tahun saat sempurna haulnya nilai/harganya dihitung kembali menurut harga saat itu (hari sempurnanya haul), karena itulah saat wajibnya zakat. Jika nilai/harganya mencapai nishab menurut harga saat itu berarti terkena zakat sebesar 1/40 atau 2,5% dari nilai/harga tersebut dan dikeluarkan dalam bentuk uang.

Namun apakah sepanjang perputaran haul hingga akhir tahun dipersyaratkan bahwa nishab tersebut tetap bertahan dan tidak pernah berkurang? Ada dua pendapat di kalangan ulama:
Hal itu dipersyaratkan, sebagaimana halnya pada zakat harta lainnya yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul. Jika nilainya berkurang dari nishab di tengah perputaran haul maka haulnya terputus. Ini adalah mazhab Al-Imam Ahmad.

Hal itu tidak dipersyaratkan mengingat bahwa yang diperhitungkan pada zakat harta perdagangan adalah nilai/harganya, sedangkan untuk menghitung nilai/harganya setiap waktu sepanjang haul berjalan adalah sesuatu yang memberatkan. Ini adalah mazhab Al-Imam Abu Hanifah dan Al-Imam Asy-Syafi’i.
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata dalam Al-Mughni membantah pendapat yang kedua:
“Alasan mereka bahwa hal itu memberatkan tidak benar. Karena harta perdagangan yang kadarnya memang jauh dari nishab tidak perlu dihitung nilai/harganya, karena jelas-jelas tidak mencapai nishab. Adapun yang kadarnya mendekati nishab, jika mudah baginya untuk menghitung nilai/harganya (untuk mengetahui apakah tetap mencapai nishab atau tidak) hendaklah dia melakukannya. Jika sulit dan berat baginya untuk melakukan hal itu hendaklah dia berhati-hati, yaitu menganggapnya tetap mencapai nishab dan menunaikan zakatnya di akhir tahun.”14)

Perlu diingat bahwa haul uang atau barang yang merupakan hasil keuntungan perdagangan mengikuti haul modalnya yang merupakan nishab15). Adapun harta lain yang ditambahkan pada modal awal memiliki perhitungan haul tersendiri. Namun jika dia mengeluarkan zakatnya pada akhir haul modal pertama yang merupakan nishab berarti dia menyegerakan pengeluaran harta zakat yang belum sempurna haulnya setahun sebelumnya dan hal itu boleh menurut jumhur ulama.

Apabila seseorang memiliki uang yang jumlahnya tidak senilai dengan nishab perak dan harta perdagangan yang nilai/harganya tidak senilai dengan nishab tersebut, namun jika jumlah keduanya digabungkan akan senilai dengan nishab tersebut, maka wajib atasnya untuk mengeluarkan zakatnya sebesar 1/40 atau 2,5% dari keseluruhan hartanya tersebut yang telah sempurna haulnya dalam bentuk uang.16) Wallahu a’lam bish-shawab.


1). Nishab adalah kadar/nilai tertentu yang ditetapkan dalam syariat apabila harta yang dimiliki oleh seseorang mencapai nilai tersebut. Maka harta itu terkena kewajiban zakat. (pen)
2). Haul adalah masa satu tahun yang harus dilewati oleh nishab harta tertentu tanpa berkurang sedikitpun dari nishab sampai akhir tahun. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ اسْتَفَادَ مَالاً فَلاَ زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُوْلَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
“Barangsiapa menghasilkan harta maka tidak ada kewajiban zakat pada harta itu hingga berlalu atasnya waktu satu tahun.”
Hadits ini diriwayatkan oleh beberapa sahabat dan pada setiap riwayat tersebut ada kelemahan, namun gabungan seluruh riwayat tersebut saling menguatkan sehingga merupakan hujjah. Bahkan Al-Albani menyatakan bahwa ada satu jalan riwayat yang shahih sehingga beliau menshahihkan hadits ini. Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata dalam Al-Mughni (2/392): “Kami tidak mengetahui adanya khilaf dalam hal ini.”
Lihat pula: Majmu’ Fatawa (25/14). (pen)
Perhitungan haul ini menurut tahun Hijriah dan bulan Qamariah yang jumlahnya 12 (duabelas) bulan, dari Muharram sampai Dzulhijjah. Bukan menurut tahun Masehi dan bulan-bulan selain bulan Qamariah. Lihat Al-Muhalla (no. 670), Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (9/200). (pen)
3). Dalam hal ini ada beberapa hadits yang saling menguatkan antara satu dengan yang lainnya. Lihat Irwa` Al-Ghalil no. 813. (pen)
4). Para ulama menyatakan bahwa jika ada campuran logamnya sedikit untuk menguatkan dan mengeraskannya, maka hal itu tidak berpengaruh dan memiliki hukum yang sama dengan emas murni. Karena emas itu lembek sehingga untuk menguatkan dan mengeraskannya butuh campuran sedikit logam. Jadi ibaratnya seperti garam yang ditambahkan pada makanan untuk penyedap rasa, karena suatu makanan tanpa garam akan terasa hambar dan kurang sedap. Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (6/103-104). (pen)
5). Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih dan hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Muslim bersama hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Al-Bukhari tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (pen)
6). Seluruh jenis mata uang yang ada digabung dalam perhitungan nishab, karena seluruhnya memiliki makna dan maksud yang sama. Demikian pernyataan Al-Lajnah Ad-Da’imah dalam Fatawa Al-Lajnah (9/272-276) dan Asy-Syaikh Abdurrahman Mar’i. (pen)
7). Artinya apabila mencapai salah satu dari dua nishab tersebut dan tidak mencapai nishab yang lainnya, maka dianggap mencapai nishab sehingga kaum fakir miskin mendapatkan zakat dari harta itu. Karena hal itulah yang terbaik bagi mereka. Lihat Fatawa Al-Lajnah (9/254). (pen)
8). Penetapan beliau ini berdasarkan realita yang ada sekarang bahwa harga nishab perak lebih murah daripada harga nishab emas. Wallahu a’lam. (pen)
9). Terjadi kesepakatan di kalangan ulama bahwa zakat emas dan perak adalah 1/40 atau 2,5% berdasarkan hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu dalam Shahih Al-Bukhari tentang kitab zakat yang ditulis oleh Abu Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lihat Bidayatul Mujtahid (2/17) dan Al-Mughni (3/6). (pen)
10). Adapun memajukan pengeluaran zakat harta yang belum mencapai nishab, maka hal ini tidak boleh berdasarkan kesepakatan ulama. Karena nishab merupakan sebab (faktor) sehingga suatu harta terkena kewajiban zakat, jika sebab (faktor) tersebut belum ada maka pada asalnya harta itu tidak terkena kewajiban zakat. (Al-Mughni, 2/395-396, Al-Majmu’ 6/113-114, Asy-Syarhul Mumti’, 6/213-217).
11). Inilah hukum setiap harta zakat yang dipersyaratkan padanya nishab dan haul. (pen)
12). Hal ini dibenarkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman Mar’i menurut pendapat yang menyatakan adanya zakat harta perdagangan, karena alat transaksi jual belinya adalah uang. Namun beliau sendiri merajihkan tidak adanya zakat harta perdagangan. (pen)
13). Hal ini menurut mazhab Al-Imam Ahmad yang difatwakan oleh Al-Lajnah, dan inilah yang rajih. Lihat Al-Mughni (3/24), Fatawa Al-Lajnah (9/318).(pen)
14). Lihat Al-Mughni (3/24-25), Al-Majmu’ (6/14).
15). Bidayatul Mujtahid (2/36), Al-Mughni (2/393, 3/28-29), Majmu’ Al-Fatawa (25/15), Asy-Syarhul Mumti’ (6/23, 147-148), Fatawa Al-Lajnah (9/321).
16). Sengaja kami menerangkan di sini sistem perhitungan zakat harta perdagangan sebagai pedoman bagi yang mengikuti pendapat Asy-Syaikh Ibnu Baz, Ibnu ‘Utsaimin, dan jumhur (mayoritas) ulama tentang wajibnya zakat harta perdagangan, karena kuatnya pendapat ini. Namun kami sendiri ragu dengan pendapat ini dan lebih condong kepada pendapat Dawud Azh-Zhahiri dan muridnya Ibnu Hazm Azh-Zhahiri yang dirajihkan oleh Asy-Syaukani, Al-Albani, guru besar kami Muqbil Al-Wadi’i dan muridnya yang faqih Abdurrahman Mar’i Al-’Adni bahwa tidak ada zakat harta perdagangan, dengan hujjah bahwa pada asalnya tidak ada kewajiban zakat pada suatu harta kecuali ada dalil yang menetapkan. Sedangkan hadits Samurah bin Jundub dan hadits Abu Dzar yang merupakan nash dalam permasalahan ini adalah dha’if (lemah) sehingga bukan hujjah. Adapun qiyas (persamaan makna) dengan zakat dinar (emas) dan dirham (perak) melihat maksud yang diinginkan darinya untuk menghasilkan dinar dan dirham (yang digantikan posisinya pada masa ini oleh berbagai mata uang yang ada) sehingga masuk dalam keumuman dalil-dalil yang mewajibkan zakat pada harta emas (dinar) dan perak (dirham), maka hal ini butuh ditinjau ulang untuk menjadikannya sebagai hujjah dalam permasalahan ini. Karena, meskipun benar demikian maknanya namun harta perdagangan itu sendiri wujudnya masih berupa barang yang maknanya bisa saja berubah jika diniatkan untuk tujuan yang lain. Wallahu a’lam bish-shawab. Lihat Al-Muhalla no (641), Bidayatul Mujtahid (2/16), Al-Mughni (3/23), Al-Majmu’ (6/3-5), As-Sailul Jarar (2/26-27), Tamamul Minnah (hal. 363-368), Fatawa Al-Lajnah (9/308-313), Asy-Syarhul Mumthi’ (6/140-141), Ijabatus Sa’il hal (119-120). (pen)


  • Media
    Sarana belajar Agama Islam melalui video dan audio kajian dari Asatidz Indonesia yang bermanhaj salaf...
    Ebook
    Bahan bacaan penambah wawasan berupa artikel online maupun e-book yang bisa diunduh. Ebook Islami sebagai bahan referensi dalam beberapa topik yang insyaAllah bermanfaat.
  • image
    Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
    image
    ‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]

Share Some Ideas

Punya artikel menarik untuk dipublikasikan? atau ada ide yang perlu diungkapkan?
Kirim di Sini