Menu Haji dan Umrah

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran : 97)
Artikel Manasik Haji Manasik Umrah Fatwa Fiqh Download Video
PEMALSUAN PASPORT TIDAK MEMPENGARUHI KESHAHAN IBADAH HAJI

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum ibadah haji orang yang pergi haji dengan menggunakan passport palsu?

Jawaban
Ibadah hajinya sah, sebab pemalsuan passport itu sama sekali tidak mempengaruhi ke-sah-an ibadah haji, namun ia berdosa, wajib bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengganti nama palsunya (di passport) dengan nama aslinya agar tidak terjadi pengelabuan terhadap para petugas dan supaya kewajiban-kewajibannya yang harus ia tunaikan dengan nama aslinya tidak terabaikan lantaran nama kedua berbeda dengan nama pertamanya. Dengan cara seperti itu berarti ia telah memakan harta secara tidak benar (batil) yang dibarengi dengan kedustaan di dalam pemalsuan nama.

Pada kesempatan yang baik ini, saya nasehatkan kepada saudara-saudaraku, bahwa masalah ini bukan masalah yang sederhana bagi mereka yang melakukan pemalsuan nama (pada passport) dan menggunakan nama lain demi mendapatkan kemudahan dari negara atau kemudahan lainnya. Sebab itu adalah tindakan pengelabuan di dalam bermu’amalah, kedustaan dan kecurangan, penipuan terhadap para petugas dan penguasa. Hendaklah mereka ketahui bahwa barangsiapa yang bertaqwa (takut) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah memberikan jalan keluar baginya dan memberikannya rizki dari arah yang tidak ia duga, barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah memudahkan urusannya, dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mengatakan yang benar niscaya Allah memperbaiki amalannya dan mengampuni dosa-dosanya.

[Syaikh Ibnu Utsaimin, Fatwa seputar rukun Islam, hal.572]

BOLEHKAH PEREMPUAN DALAM MASA IDDAH SUAMINYA MENINGGAL MELAKUKAN IBADAH HAJI

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan.
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Apakah boleh bagi seorang perempuan melakukan kewajiban haji, sedangkan ia masih dalam masa iddah setelah suaminya meninggal atau dalam masa iddah thalak. Yang jelas, dalam masa iddah secara umum, biak iddah thalak atau cerai?

Jawaban
Bagi wanita yang masih dalam keadaan iddah karena suaminya meninggal, maka ia tidak boleh keluar rumah atau melakukan perjalanan jauh untuk beribadah haji sebelum masa iddahnya habis. Sebab, ia wajib menunggu di rumah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Artinya : Orang-orang yang meninggal dunia di antara kamu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah istri itu) menangguhkan dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari” [Al-Baqarah ; 234]

Oleh karena itu ia wajib menunggu di rumahnya hingga masa iddahnya berakhir.

Adapun wanita yang beriddah disebabkan selain kematian suami, maka hukumnya sebagai berikut.

[1]. Karena talak raj’i (suami boleh merujuk), status hukumnya adalah status sebagai istri, maka ia tidak boleh melakukan safar kecuali se-izin suami, dan suami tidak apa-apa memberikan izin kepadanya untuk menunaikan ibadah haji, akan tetapi ia harus didampingi oleh seorang mahrom.

[2]. Karena thalak ba’in (thalak selama-lamanya), hukumnya pun sama, ia harus tinggal di rumah. Akan tetapi ia boleh menunaikan ibadah haji apabila suami menyetujuinya, karena sang suami masih mempunyai hak dalam masa iddah itu. Maka apabila sang suami mengizinkannya keluar, hal itu tidak mengapa.

Kesimpulannya, wanita yang masih dalam masa iddah karena suaminya meninggal wajib tinggal di rumah dan tidak boleh keluar. Sedangkan wanita yang ber’iddah karena talak raj’i maka masalahnya tergantung kepada suami, karena setatusnya masih sebagai istri. Sedangkan wanita yang ber’iddah karena thalak ba’in, ia mempunyai hak lebih banyak daripada wanita yang dithalak raj’i, namun sekalipun demikian sang suami mempunyai hak demi melarangnya untuk menjaga kehormatan iddahnya.

[Fawa’id wa fatawa tahummul mar’ah al-Muslimah, hal.89, oleh Ibnu Jibrin]

MENGGUNAKAN PIL PENCEGAH HAID UNTUK IBADAH HAJI


Oleh
Al-Lajnah Da’imah lil Buhuts Al-Imiah wal Ifta

Pertanyaan

Al-Lajnah Da’imah lil Buhuts Al-Imiah wal Ifta ditanya : Apakah boleh bagi wanita meminum pil penecegah haid atau yang dapat menunda kedatangannya di waktu haji?

Jawaban
Boleh bagi wanita menggunakan pil pencegah haid di waktu haji bila mengkhawatirkan kedatangannya. Tentu hal itu dilakukan setelah konsultasi dengan dokter spesialis untuk menjaga keselamatan si pengguna dan demikian pula di bulan suci Ramadhan kalau ia ingin berpuasa bersama-sama (hingga tuntas).

[Fatawa mar’ah oleh Al-Lajnah Al-Daimah, hal.89]

Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini dkk, Penerbit Darul Haq]

Kajian Haji dan Umrah