Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِت رصي الله عنه قاَلَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: ((نَضَّرَ اللهُ امْرَءاً سَمِعَ مِنَّا حَدِيْثاً فَحَفِظَهُ — وَفِيْ لَفْظٍ: فَوَعَاهَا وَحَفِظَهَا — حَتَّى يُبَلِّغَهُ

((فَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أَفْقَهُ مِنْهُ، وَرُبَّ حَامِلِ فِقْهٍ لَيْسَ بِفَقِيْهٍ

Dari Zaid bin Tsabit rodhiyallohu ‘anhu, dia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Semoga Allah mencerahkan (mengelokkan rupa) orang yang mendengar hadits dariku, lalu dia menghapalnya’ —dalam lafadz riwayat lain, ‘lalu dia memahami dan menghapalnya—, hingga (kemudian) dia menyampaikannya (kepada orang lain), terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya, dan terkadang orang yang membawa ilmu agama tidak memahaminya’.” (Hadits yang shahih dan mutawatir).


TAKHRIJ HADITS DAN DERAJATNYA
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud no. 3660, at-Tirmidzi no. 2656, Ibnu Majah no. 230, ad-Darimi no. 229, Ahmad 5/183, Ibnu Hibban no. 680, ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir no. 4890, dan imam-imam lainnya.

Hadits ini adalah hadits yang shahih dan mutawatir, karena diriwayatkan oleh lebih dari dua puluh orang sahabat rodhiyallohu ‘anhum Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, dan diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak sekali [1].

 

Imam Shalahuddin al-’Ala’i berkata, “Hadits ini diriwayatkan dari berbagai jalur yang banyak, dari sejumlah besar sahabat rodhiyallohu ‘anhum, di antaranya: Abdullah bin Mas’ud, Jubair bin Muth’im, Zaid bin Tsabit, Nu’man bin Basyir, Abu Sa’id al-Khudri, Abdullah bin ‘Umar, Anas bin Malik, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, Abu Hurairah, Ubay bin Ka’ab, Jabir bin Abdillah, Rabi’ah bin ‘Utsman, Abu Qarshafah, dan sahabat lainnya rodhiyallohu ‘anhum“. (Jaami’ut Tahshiil fi Ahkaamil Maraasiil hal. 52-53)

Imam Ibnu Hajar al-’Asqalani berkata, “Hadits ini sangat masyhur (dikenal), dikeluarkan dalam kitab-kitab “as-Sunan” atau dalam sebagiannya, dari hadits (riwayat) Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dan Jubair bin Muth’im. Hadits ini dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Dan (Imam) Abul Qasim Ibnu Mandah menyebutkan dalam kitabnya at-Tadzkirah bahwa hadits ini diriwayatkan dari Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam oleh dua puluh empat orang sahabat rodhiyallohu ‘anhum, kemudian beliau menyebutkan nama-nama sahabat tersebut…” (Faidhul Qadiir 6/283 oleh Imam al-Munawi)

Bahkan Imam as-Suyuthi dalam kitab Tadriibur Raawi (2/179) menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh sekitar tiga puluh orang sahabat rodhiyallohu ‘anhum.

Hadits ini dinyatakan shahih oleh sejumlah besar imam ahlul hadits, di antaranya: Imam Abdurrahman bin Abi Hatim [2], Ibnu Hibban [3], al-Mundziri [4], al-’Ala’i [5], Ibnul Qayyim [6], al-Bushiri, dan Syaikh al-Albani [7].


SYARAH HADITS
Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan dan kemuliaan orang yang mempelajari, memahami, kemudian menyampaikan petunjuk Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam dalam hadits-hadits beliau kepada umat manusia. Sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim ketika mengomentari hadits ini, beliau berkata, “Seandainya tidak ada keutamaan mempelajari ilmu (tentang hadits Rasululah shollallohu ‘alaihi wasallam) kecuali (keutamaan yang disebutkan dalam hadits) ini, maka cukuplah itu sebagai kemuliaan (yang agung), karena sungguh Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam mendoakan kebaikan bagi orang yang mendengar ucapan beliau shollallohu ‘alaihi wasallam, kemudian memahami, menghapal, dan menyampaikannya (kepada orang lain).” (Miftahu Daaris Sa’aadah 1/71)

Semakna dengan ucapan di atas, Mulla ‘Ali al-Qari berkata, “Hadits ini menunjukkan keagungan hadits (Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam), keutamaan dan kedudukan orang-orang yang mempelajarinya, karena Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam mengkhususkan/mengistimewakan mereka dengan doa (kebaikan) yang tidak ada seorangpun dari umat ini yang menyertai mereka dalam doa (kebaikan) tersebut. Seandainya tidak ada manfaat (keutamaan) dalam mempelajari, menghapal, dan menyampaikan hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, kecuali (hanya) mendapatkan berkah dari doa yang agung ini, maka cukuplah itu sebagai manfaat (yang agung), kemuliaan di dunia dan akhirat, serta bagian dan keutamaan (yang besar).” (Mirqaatul Mafaatiih Syarhu Misykaatil Mashaabiih 1/288)

Doa kebaikan yang berupa kecerahan dan keindahan (rupa), yang diucapkan Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam bagi orang-orang yang mempelajari dan menyampaikan petunjuk beliau shollallohu ‘alaihi wasallam kepada umat ini adalah sebagai al-Jaza’u min jinsil ‘amal (balasan yang sesuai dengan perbuatan baik mereka), karena mereka telah mengusahakan sebab sampainya petunjuk dan bimbingan kebaikan dalam hadits-hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam kepada manusia, di mana dengan mengamalkan ini semua, wajah manusia akan menjadi putih berseri pada hari kiamat nanti, sebagaimana yang digambarkan dalam firman Allah Jalla Jalaluhu:

١١. فَوَقَاهُمُ اللَّهُ شَرَّ ذَلِكَ الْيَوْمِ وَلَقَّاهُمْ نَضْرَةً وَسُرُوراً

Maka Allah menjaga mereka dari keburukan pada hari itu dan menganugerahkan kepada mereka kecerahan (pada wajah mereka) serta kegembiraan (dalam hati mereka). (QS. al-Insaan: 11)

Maka kecerahan (ada) pada wajah-wajah mereka dan kegembiraan/kebahagiaan (ada) pada hati mereka, (ini berarti) bahwa kesenangan dan kegembiraan (dalam) hati akan menampakkan (pengaruh baik berupa) kecerahan pada wajah. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala (tentang keadaan penduduk surga):

إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضًا…

Sesungguhnya perumpamaan bagi petunjuk dan ilmu yang Allah ‘Azza Wa Jalla wahyukan kepadaku adalah seperti air hujan (yang baik) yang Allah turunkan ke bumi… (HSR. Al-Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2282)

Imam Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Baari membawakan ucapan para ulama dalam menerangkan makna hadits ini, “Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam membuat perumpamaan bagi agama yang beliau bawa (dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala) seperti air hujan (yang baik) yang merata dan turun ketika manusia (sangat) membutuhkannya, seperti itu jugalah keadaan manusia sebelum diutusnya Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, maka sebagaimana air hujan tersebut memberi kehidupan (baru) bagi negeri/tanah yang mati (kering dan tandus), demikian pula ilmu agama akan memberi kehidupan bagi hati yang mati…” (Fathul Baari 1/177)

Imam Ibnul Jauzi berkata, “Ketahuilah bahwa hati manusia tidak (mungkin) terus (dalam keadaan) bersih, akan tetapi (suatu saat mesti) akan bernoda (karena dosa dan maksiat), maka (pada waktu itu) dibutuhkan pembersih (hati), dan pembersih hati itu adalah menelaah kitab-kitab ilmu (agama yang bersumber dari petunjuk al-Qur’an dan hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam).” (Talbisu Ibliis hal. 398)


MARAATIB (TINGKATAN/TAHAPAN) DALAM MENUNTUT ILMU AGAMA

Dalam hadits yang agung ini, Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam juga mengisyaratkan tentang maraatib (tahapan) yang harus ditempuh dalam menuntut ilmu agama, agar ilmu yang dipelajari benar-benar dapat dipahami dengan baik dan bermanfaat bagi orang yang mempelajarinya.
Tahapan-tahapan ilmu tersebut adalah:

  1. Mendengarkan/menyimak ilmu dari sumbernya, sumber ilmu yang utama adalah al-Qur’an dan hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam. Dan termasuk dalam hal ini membaca dan menelaah kitab-kitab ilmu agama yang bersumber dari wahyu Allah ‘Azza Wa Jalla tersebut.
  2. Berusaha memahami dan meresapi kandungan makna-nya, agar ilmu itu benar-benar menetap dalam hati dan tidak hilang.
  3. Berusaha menjaga dan menghapalnya, agar tidak dilupakan.
  4. Menyebarkan dan menyampaikannya kepada umat, supaya kebaikan dan petunjuk Allah Jalla Jalaluhu tersebar dan diamalkan dalam kehidupan manusia, karena ilmu agama itu ibaratnya seperti perbendaharaan harta yang terpendam dalam tanah, kalau tidak segera dikeluarkan maka harta itu terancam akan musnah. (Lihat keterangan Ibnul Qayyim dalam kitab Miftahu Saaris Sa’aadah 1/71-72).

    Dalam hal ini, Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Menyampaikan Sunnah (hadits) Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam kepada umat lebih utama daripada menyampaikan (melontarkan) anak panah ke leher musuh (berperang melawan musuh-musuh Islam). Karena menyampaikan (melontarkan) anak panah ke leher musuh mampu dilakukan oleh mayoritas manusia, adapun menyampaikan Sunnah (hadits) Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam (kepada umat) hanyalah bisa dilakukan oleh Waratsatul Anbiya’ (orang-orang yang mewarisi ilmu para Nabi ‘alaihi salam dengan tekun mempelajarinya) dan orang-orang yang menggantikan (tugas) mereka (dalam mempelajari, memahami, dan menyebarkan petunjuk Allah Y) di umat-umat mereka. Semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan kita termasuk (golongan) mereka, dengan anugerah dan kemurahanNya.” (Jala-ul Afhaam hal. 415)

    Kemudian, sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam di akhir hadits ini, “… Terkadang orang yang membawa ilmu agama menyampaikannya kepada orang yang lebih paham darinya…”, ini menunjukkan salah satu manfaat besar dari menyampaikan petunjuk Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam kepada umat.

    Imam Ibnul Qayyim berkata, “Sabda Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam (di akhir hadits) ini merupakan peringatan akan pentingnya menyampaikan (petunjuk Rasulullah n kepada umat). Karena terkadang orang yang disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam) lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang menyampaikannya, sehingga orang tersebut mendapatkan (manfaat besar) dari hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam (yang disampaikan kepadanya) melebihi yang didapatkan si penyampai. Atau (bisa juga) diartikan bahwa orang yang disampaikan kepadanya (hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam) lebih paham (makna hadits tersebut) daripada orang yang menyampaikannya, maka ketika dia mendengarkan hadits tersebut, dia akan mengartikannya dengan sebaik-baik kandungan makna, menarik kesimpulan (hukum-hukum) fikih, dan memahami kandungan (yang benar) dari hadits tersebut.” (Miftahu Daaris Sa’aadah 1/72)

FAWA’ID HADITS

  1. Besarnya perhatian dan semangat Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam untuk memberikan bimbingan kebaikan kepada umatnya, untuk kemuliaan mereka di dunia dan akhirat. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

    ١٠. وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ فِي شِيَعِ الأَوَّلِينَ

    Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an [10], dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (QS. al-Hijr: 9)

  2. Keutamaan dan kemuliaan mempelajari ilmu agama.
  3. Hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam yang shahih adalah sumber pengambilan hukum-hukum fikih.
  4. Keutamaan menggabungkan antara menghapal hadits Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam dan memahami kandungan maknanya. (Dirasatu Hadits: Nadhdharallahu Imraan Sami’a Maqaalati… 3/368-375)

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Referensi:

[1] Lihat kitab Dirasatu Hadits: Nadhdharallahu Imraan Sami’a Maqaalati… (3/315—Kutubu wa Rasa-il Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad).
[2] Dalam kitab al-Jarhu wat Ta’diil (2/10).
[3] Dalam kitab Shahih Ibni Hibban (2/454).
[4] Dalam kitab at-Targiibu wat Tarhiib (1/54).
[5] Dalam kitab Jaami’ut Tahshiil fi Ahkaamil Maraasiil (hal. 53).
[6] Dalam kitab Miftahu Daaris Sa’aadah (1/71).
[7] Dalam kitab Sislsilatul Ahaaditsish Shahiihah (1 bagian 2/761).
[8] Dinukil oleh Imam al-Khathib al-Baghdadi dalam kitab Syarafu Ashhaabil Hadits (hal. 27).
[9] Dinukil oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Istiqaamah (1/351) dan Ibnul Qayyim dalam kitab al-Waabilush Shayyib (hal. 43).
[10] Termasuk di dalamnya sunnah Rasulullah shollallohu ‘alaihi wasallam, karena Sunnah adalah penjelas makna al-Qur’an.

Dari: Majalah Islami, adz-Dzakhiirah al-Islamiyyah, edisi 64, tahun 1431 H / 2010, halaman 36-44.