بسم الله الرحمن الرحيم
𝗗𝗔𝗨𝗥𝗔𝗛 𝗤𝗔𝗧𝗔𝗥 𝗞𝗘-𝟮𝟲 & 𝗦𝗔𝗙𝗔𝗥𝗜 𝗗𝗔𝗞𝗪𝗔𝗛 𝗤𝗔𝗧𝗔𝗥
bersama : 𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗔𝗺𝗺𝗶 𝗡𝘂𝗿 𝗕𝗮𝗶𝘁𝘀, 𝗦𝗧., 𝗕𝗔 𝘏𝘢𝘧𝘪𝘻𝘩𝘢𝘩𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩
📚 Catatan tentang Masalah Ghaib
📆 Selasa Malam, 2 Rabi’ul Akhir 1447/ 23 September 2025
🕌 Masjid Amr bin Jundub Masjid#753 Doha Qatar
📖 Daftar Isi:
- Makna Ghaib
- Petama, Iman kepada yang Ghaib adalah Asas Iman
- Kedua, Tidak tahu hal ghaib itu anugrah
- Ketiga, Penyimpangan terhadap perkara ghaib
- Keempat, Macam-macam Ghaib
- [Kedua], pembagian hal ghaib dilihat dari waktu kejadiannya
- [1] Maryam – Radhiyallahu 'anha – melihat malaikat yang mendatanginya
- [2] Istrinya Ibrahim – Ummu Ishaq – bisa melihat malaikat yang bertamu di rumah Ibrahim
- [3] Kaum Luth melihat tamu Nabi Luth yang ganteng-ganteng
- [3] Hadis Jibril saat mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengajarkan islam, iman dan ihsan
- [4] Hadis tentang 3 orang Israil yang diuji oleh Allah
- [5] Kisah tentang orang yang didatangi Malaikat
Setelah memuji Allâh dan bershalawat atas Nabi-Nya, Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan hingga masih dipertemukan dalam majelis ilmu.
Bahasan tentang imam dalam masalah ghaib adalah bahasan inti dari iman (ashlul iman).
ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ
(yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib [QS. Al-Baqarah ayat 2].
Maka, beriman kepada yang ghaib adalah beriman kepada semua rukun iman. Karena semua rukun iman adalah ghaib, kalau sudah ditampakkan maka tiada lagi makna iman. Dan hal ghaib yang yang paling besar adalah Allah ﷻ.
Dalam hadis dari Abu Dzar, beliau pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, apakah Nabi melihat Allah ketika isra mi’raj? Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
نور أنى أراه
“Ada cahaya, bagaimana aku melihat-Nya.”
Dalam riwayat lain, “Aku melihat cahaya.” (HR. Muslim 178, Turmudzi 3282, Ahmad 21392, dan yang lainnya).
Maka diantara makna beriman kepada yang ghaib adalah mengimani adanya Allah ﷻ meskipun kita tidak melihat, atau mendengar-Nya.
Makna Ghaib
Ghaib [الغيب ] secara bahasa dari kata ghaba – yaghiibu [غاب - يغيب] yang artinya tidak kelihatan.
Ar-Raghib al-Asfahani menyebutkan,
الغَيْبُ: مصدر غَابَتِ الشّمسُ وغيرها: إذا استترت عن العین ... واستعمل في كلّ غَائِب عن الحاسة، وعما یغیبُ عن علم الإنسان بمعنی الغائِپ
Kata al-ghaib adalah kata dasar (bentuk masdar) dari kata ghabat [غَابَتِ] yang artinya tidak kelihatan. Ada ungkapan [ُغَابَتِ الشّمس] artinya matahari tenggelam, sehingga tidak kelihatan mata… kata ini digunakan untuk menyebut semua yang tidak bisa ditangkap indra. Dan semua yang tidak bisa dijangkau oleh ilmu manusia disebut ghaib. (al-Mufradat fi Gharib al-Quran, hlm. 616).
Lawan kata dari kata ghaib adalah hadir. Orang yang ada di tempat disebut : hadir.
Berikut beberapa catatan yang perlu kita ketahui berkenaan dengan hal-hal ghaib:
Petama, Iman kepada yang Ghaib adalah Asas Iman
Allah Ta’ala menyebutkan sifat orang yang bertaqwa adalah mereka yang beriman kepada hal ghaib. Allah berfirman,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَیْبَ فِیهِ هُدِّی لِلْمُئَّقِینَ ، الَّذِینَ یُؤمِنُونَ پالغَیپ
Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib (QS. Al-Baqarah: 2-3)
Dan inilah yang membedakan antara mukmin dengan orang yang tidak mau beriman.
Syaikhul Islam mengatakan,
وأصل الإيمان: هو الإيمان بالغيب، كما قال تعالى: (الم، ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَئْبَ فِيهِ هُدَّى لِلْمُثَّقِینَ، الَّذِینَ یُؤمِئُون بالغيب). والغيب الذي يؤمن به ما أخبرت به الرسل من الأمور العامة، ويدخل في ذلك الإیمان بالله وأسمائه وصفاته وملائکته والجنة والنار
Asas iman adalah iman kepada hal yang ghaib. Sebagaimana firman Allah di surat al-Baqarah ayat 2 dan 3. Hal ghaib yang diimani adalah aneka fenomena yang diberitakan para rasul. Termasuk di dalamnya adalah beriman kepada Allah, nama dan sifat-Nya, para malaikat, surga dan neraka. (Majmu’ al- Fatawa, 13/232)
Sebagian orang hanya percaya terhadap apa yang dia indera. Sementara segala hal yang tidak bisa dirasakan dengan indera, dianggap tidak ada. Ada juga yang memahami semua berdasarkan rasional, jika tidak rasional, dianggap tidak ada. Karena itu, mereka mengingkari keberadaan akhirat, surga, dan neraka, sebab mereka anggap itu tidak rasional.
Dulu, orang musyrik meyakini bahwa hidup ini hanya sekali. Tidak ada kehidupan kedua setelahnya. Allah berfirman,
وَقَالُوٓا۟ إِنْ هِىَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ.
Mereka akan mengatakan: "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan". (QS. Al-An’am: 29)
Untuk beriman kepada hal ghaib, hamba perlu menundukkan ego logikanya. Bagi mereka yang berprinsip, semua harus bisa dilogika, sangat sulit untuk menerima iman kepada hal ghaib. Kita bersyukur kepada Allah atas hidayah- Nya sehingga kita tidak menjadi kaum pemuja logika.
Kedua, Tidak tahu hal ghaib itu anugrah
Ada beberapa sifat keterbatasan bagi manusia yang itu merupakan anugrah baginya. Diantaranya sifat lupa. Dengan sifat lupa, manusia tidak terbebani aneka masalah yang pernah dia alami. Andaikan manusia tidak memiliki sifat lupa, akan selalu terngiang aneka masalah yang pernah dia alami, sehingga menumpuk dan menjadi beban pikirannya.
Termasuk diantaranya adalah tidak tahu hal ghaib. Kita tidak bisa melihat jin, tidak tahu rahasia orang lain, tidak tahu besok ada potensi bahaya yang menimpa penduduk bumi, dst., semua itu adalah anugrah.
Andaikan setiap orang bisa mengetahui rahasia orang lain, mereka tidak akan bisa berinteraksi dengan normal, karena semua akan diliputi dengan perasaan saling curiga. Bahkan mungkin kita akan ketakutan untuk keluar rumah, karena kita takut masyarakat akan mencela kita disebabkan mereka tahu maksiat apa yang kita perbuat di dalam rumah.
Demikian pula, andaikan kita bisa tahu aneka kejadian yang akan muncul besok, mungkin kita tidak akan bisa tidur. Karena selalu diiringi kekhawatiran akan munculnya bencana. Kita bisa hidup normal karena kita tidak tahu hal ghaib.
Tidak Bisa Lihat Jin itu Anugrah
Allah jadikan manusia tidak bisa melihat jin, sekalipun jin bisa melihat manusia.
Allah berfirman ketika membahasa tentang iblis,
إِنَّهُ یَرَاكُم هُوَ وَقبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَؤنَهُم
“Sesungguhnya dia (iblis) dan kabilahnya (semua jin) bisa melihat kalian dari suatu tempat yang kalian tidak bisa melihat mereka.” (QS. Al-A’raf: 27).
Andaikan manusia bisa melihat jin, hidupnya akan dihantui dengan ketakutan. Bayangkan, saat anda masuk ke toilet, ada banyak penampakan wajah menyeramkan di sekitar anda, mungkin anda tidak jadi buang air.
Kita bersyukur kepada Allah, ketika Allah jadikan hidup kita normal dengan tidak bisa mengetahui hal ghaib.
Ketiga, Penyimpangan terhadap perkara ghaib
Ada 2 bentuk penyimpangan terhadap hal ghaib,
- Tidak mau mengimani hal ghaib yang sudah disampaikan dalam al-Quran maupun hadis shahih.
- Mengklaim hal-hal ghaib yang tidak pernah disebutkan dari dalil yang shahih.
Orang musyrikin tidak beriman kepada hal ghaib pasca-kematian. Mereka menganggap mustahil makhluk yang sudah mati akan dibangkitkan kembali oleh Allah.
Usai perang Badar, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mendatangi lokasi perang dan beliau memerintahkan agar mayat-mayat orang kafir dimasukkan ke dalam lobang di Badar.
Umar bin Khatab menceritakan,
إنَّ رَسولَ اللهِ صَلَى اللهُ عليه وسلَّمَ قام على القلِیبِ يَوم بَدْرٍ، وفیهِ قثلی بَدْڕٍ مِن المشکین، فقال لهمْ: هل وجَدْتُمْ ما وعَدَ رَیُّكُمْ حَقًّا؟
Sesungguhnya Rasulullah ﷺ berdiri di atas lobang pada hari Badar, dan di dalamnya terdapat jasad orang-orang musyrik yang terbunuh di Badar. Lalu beliau bertanya kepada mereka: “Apakah kalian telah mendapati janji Rabb kalian itu benar?” Lalu ada yang berkata kepada beliau: “Apakah anda memanggil orang mati?”
Beliau ﷺ bersabda:
ما أنتُمْ بأَسْمع منهمْ، ولَكِنْ لا يُجِيبُونَ
“Kalian tidak lebih mendengar daripada mereka, hanya saja mereka tidak dapat menjawab.” (HR. Bukhari 1370)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hendak menunjukkan ke mayat orang musyrikin itu bahwa saat ini mereka telah menjumpai kebenaran terhadap apa yang selama ini mereka dustakan.
Penyimpangan kedua terhadap masalah ghaib adalah mengklaim hal ghaib. Seperti mengklaim tentang aneka kejadian di hari kiamat. Dulu sebagian orang musyrik mengklaim, kalaupun dia dibangkitkan Allah, dia akan memiliki harta dan anak yang banyak.
Allah berfirman,
أَفَرَءَيْتَ ٱلَّذِى كَفَرَ بِـَٔايَٰتِنَا وَقَالَ لَأُوتَيَنَّ مَالًا وَوَلَدًا
“Apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, lalu ia berkata: “Pasti aku akan diberi harta dan anak (keturunan).’ ( ) Apakah dia mengetahui yang gaib, ataukah dia telah mengambil perjanjian di sisi Tuhan Yang Maha Pengasih? (QS. Maryam: 77)
Ayat ini turun berkaitan dengan ucapan al-Ash bin Wail as-Sahmi. Dia pernah punya utang dari sahabat Khabbab bin al-Arat. Saat ditagih, al-Ash malah mengancam, ‘Aku tidak akan bayar, sampai kamu kufur kepada Muhammad.’ Khabbab langsung menyampaikan, ‘Demi Allah, tidak! (Aku tidak akan kufur) hingga engkau mati kemudian dibangkitkan kembali.’”
Al-Ash bertanya, “Apakah jika aku mati, aku akan dibangkitkan?” Jawab Khabbab, “Iya”
Lalu Al-Ash bin Wail mengatakan,
فإنه سیکون لي ثم مال وولد فأقضيك
“Sesungguhnya nanti aku akan mempunyai harta dan anak, kemudian aku akan melunasi (utangku) kepadamu.” (Muttafaq ‘alaih)
Al-Quran juga mengajarkan agar manusia tidak bicara tanpa ilmu, termasuk mengklaim hal ghaib tanpa dasar.
Allah berfirman,
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
Dan janganlah engkau mengikuti apa yang tidak engkau ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. (QS. Al-Isra : 36)
Keempat, Macam-macam Ghaib
Hal ghaib ada beberapa macam dilihat dari berbagai sudut pandang,
[Pertama], Pembagian hal ghaib dilihat dari kesempatan bagi manusia untuk mengetahuinya
Dilihat dari kesempatan manusia untuk mengetahuinya, hal ghaib dibagi menjadi dua :
[1] Ghaib mutlak
Itulah hal ghaib yang tidak diketahui siapapun kecuali Allah. sehebat apapun manusia, tidak akan mampu mengetahuinya.
Mengenai contoh ghaib mutlak, disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya,
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti)
apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Luqman: 34)
Perkara kapan terjadi kiamat, kapan turun hujan, bagaimana taqdir bayi saat di rahim, dst. adalah hal ghaib mutlak, siapapun tidak mengetahuinya kecuali Allah.
Demikian pula yang disebutkan dalam hadis dari Umar bin Khatab Radhiyallahu 'anhu, bahwa Jibril pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
أَخْبِرنِي عَنِ السَّاعَةِ. قالَ: "مَا المَسْؤُولُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ بِهَا مِنَ السّائِلِ
Jelaskan kepadaku kapan kiamat? Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari pada yang bertanya.” (HR. Bukhari 50 dan Muslim 9)
Artinya, baik Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam maupun Jibril ‘alaihis salam, keduanya sama-sama tidak tahu.
Jika manusia terbaik dan malaikat terbaik, keduanya tidak tahu, maka makhluk yang derajatnya di bawah mereka, tentu saja tidak mungkin tahu.
[2] Ghaib relatif (nisbi)
Itulah hal ghaib yang diketahui sebagian makhluk namun tidak diketahui makhluk yang lain.
Ada beberapa bentuk ghaib nisbi:
(a) Hal ghaib yang diketahui malaikat
Seperti takdir untuk janin saat di usia 120 hari. Takdir ini diketahui oleh Malaikat yang ditugaskan untuk meniupkan ruh dan menetapkan takdir tersebut. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan proses penciptaan manusia saat dalam rahim,
ثُمَّ یُرسَلُ المَلَكُ فَیَنفُخُ فِیهِ الرُّوحَ، وَیُؤمَرُ بأربَع کَلِمَاتٍ: بِکَتب رِزْقِهِ، وَأَجَلِهِ، وعَمَلِهِ، وشَقيّ أُوْ سعِیدٌ
Kemudian diutuslah seorang malaikat, lalu dia meniupkan ruh ke janin, dan diperintahkan untuk menetapkan 4 takdir: rizkinya, ajalnya, amalnya, apakah jadi orang celaka atau bahagia. (HR. Muslim 2643)
Tidak ada cara bagi manusia untuk bisa mengetahui hal ghaib ini. Karena tidak ada jalan bagi mereka untuk berkomunikasi dengan malaikat yang mencatat takdir tersebut.
(b) Hal ghaib yang diketahui jin
Seperti keberadaan jin itu sendiri atau kondisi yang ada di alam jin. Manusia bisa mengetahuinya jika ada komunikasi dengan jin yang mengetahuinya. Itupun jika ada jaminan bahwa informasi dari jin itu valid, sebab sangat rentan bagi mereka untuk berdusta.
Saat Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu menangkap jin yang mencuri makanan zakat, Abu Hurairah hendak membawa Jin itu untuk menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Namun dia terus memelas dan mengajarkan kepada beliau ayat kursi agar dibaca sebelum tidur, agar ada penjagaan dari godaan mereka sampai subuh. (HR. Bukhari 3275)
Dalam hadis ini, Jin memberi tahu kepada Abu Hurairah, bacaan yang membuat jin tidak bisa mengganggu manusia di kala tidur. Dan itu dibenarkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
(c) Hal ghaib yang diketahui sebagian manusia
Seperti kejadian yang diketahui oleh si A yang berada di kota Jakarta, yang tidak diketahui oleh si B yang berada di Jogjakarta. Dan masing-masing bisa mengetahui kejadian di kota lain, jika si A dan si B saling berkomunikasi dan bertukar informasi.
Ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berdakwah, ada beberapa konspirasi yang dilakukan orang kafir untuk membunuh beliau. Namun Allah mewahyukan kepada beliau sebelum mereka melaksanakan makar itu. Sehingga beliau tahu sebelum kejadian itu terjadi.
[Kedua], pembagian hal ghaib dilihat dari waktu kejadiannya
Dilihat dari waktu kejadiannya, hal ghaib ada dua:
[1] Hal ghaib yang sudah terjadi
Seperti kejadian masa silam, kejadian zaman azali, kisah para nabi dan aneka persitiwa tentang orang soleh di masa silam. Dalam al-Quran, Allah banyak bercerita tentang para nabi, dan kisah itu sinkron dengan kisah yang disebutkan di kitab suci sebelum al-Quran, seperti yang disebutkan dalam Taurat dan Injil. Dan tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mendapatkan cerita itu dari hasil mempelajari kitab sebelum al-Quran. Atau belajar dari para pendeta ahli kitab.
Semua kemungkinan itu tidak pernah terjadi, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak pernah mengenal kitab-kitab itu sebelumnya.
Allah berfirman,
وَكَذَٰلِكَ أَوْحَيْنَآ إِلَيْكَ رُوحًا مِّنْ أَمْرِنَا ۚ مَا كُنتَ تَدْرِى مَا ٱلْكِتَٰبُ وَلَا ٱلْإِيمَٰنُ
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu (QS. As-Syura: 52)
Dulu ada seorang pemuda Nasrani yang dianggap menjadi gurunya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Mereka menganggap Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam belajar dari pemuda itu sehingga berhasil menyusun al-Quran. Anehnya pemuda itu tidak bisa bahasa arab, sementara Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berbahasa arab dan al-Quran berisi bahasa arab yang sangat indah susunannya. Bagaimana mungkin orang yang tidak bisa berbahasa arab, bisa menyusun kalimat al-Quran yang demikian indah dan kaya muatan bahasa.
Allah berfirman menyebutkan kisah ini,
وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّهُمْ يَقُولُونَ إِنَّمَا يُعَلِّمُهُۥ بَشَرٌ ۗ لِّسَانُ ٱلَّذِى يُلْحِدُونَ إِلَيْهِ أَعْجَمِىٌّ وَهَٰذَا لِسَانٌ عَرَبِىٌّ مُّبِينٌ
Sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya al- Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam (non arab), sedang al-Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS. An-Nahl: 103)
Artinya, semua kisah masa silam yang diceritakan dalam al-Qur’an adalah murni wahyu Allah bukan buatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, apalagi diajari ahli kitab.
Allah berfirman,
لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ ٱلَّذِى بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang- orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (QS. Yusuf: 111)
[2] Hal ghaib yang belum terjadi
Seperti tanda-tanda hari kiamat, fenomena yang akan terjadi di masa mendatang, dan seterusnya.
Dalam al-Quran, Allah menceritakan sebagian tanda hari kiamat. Ada yang disebutkan dengan tegas, dan ada yang disebutkan dengan tidak tegas. Seperti keluarnya Ya’juj dan Ma’juj atau keluarnya Dabbah.
Allah berfirman,
حَتَّىٰٓ إِذَا فُتِحَتْ يَأْجُوجُ وَمَأْجُوجُ وَهُم مِّن كُلِّ حَدَبٍ يَنسِلُونَ
Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya'juj dan Ma'juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi. (QS. al-Anbiya:96)
Allah berfirman tentang Dabbah – binatang yang bisa bicara untuk menandai siapa yang mukmin dan siapa yang kafir –,
وَإِذَا وَقَعَ الْقَوْلُ عَلَيْهِمْ أَخْرَجْنَا لَهُمْ دَابَّةً مِّنَ الْأَرْضِ تُكَلِّمُهُمْ أَنَّ النَّاسَ كَانُوا بِآيَاتِنَا لَا يُوقِنُونَ
Apabila ketetapan telah diputuskan untuk mereka, Kami keluarkan sejenis binatang melata dari bumi yang akan berbicara kepada mereka, bahwa sesungguhnya manusia dahulu tidak yakin kepada ayat-ayat Kami. (QS. An- Naml: 82)
Ada juga tanda hari kiamat yang disebutkan secara tidak tegas, seperti Matahari terbit dari barat.
Allah berfirman,
هَلْ يَنظُرُونَ إِلَّآ أَن تَأْتِيَهُمُ ٱلْمَلَٰٓئِكَةُ أَوْ يَأْتِىَ رَبُّكَ أَوْ يَأْتِىَ بَعْضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَ ۗ يَوْمَ يَأْتِى بَعْضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَ لَا يَنفَعُ نَفْسًا إِيمَٰنُهَا لَمْ تَكُنْ ءَامَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِىٓ إِيمَٰنِهَا خَيْرًا
Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka) atau kedatangan (siksa) Tuhanmu atau kedatangan beberapa tanda kiamat Tuhanmu. Pada hari datangnya tanda dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat untuk dirinya iman seseorang yang belum beriman sebelumnya, atau dia (belum) beramal kebaikan dalam masa imannya. (QS. Al-An’am: 158)
Yang dimaksud “beberapa tanda kiamat Tuhanmu” adalah terbitnya matahari dari barat.
Kelima, Hanya Allah yang Tahu
Semua pengetahuan tentang hal ghaib hanya milik Allah.
Dalam al-Quran, Allah menegaskan hal ini melalui firman-Nya,
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ٱلْغَيْبَ إِلَّا ٱللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An-Naml: 65)
Al-Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan,
يقول تعالی آمرا رسوله صلى الله علیه وسلم أن يقول معلما لجمیع الخلق: أنه لا يعلم أحد من أهل السموات والأرض الغیب
Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk mengajarkan kepada semua makhluk, bahwa tidak ada satupun makhluk di langit dan di bumi yang mengetahui hal ghaib. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/207)
Karena itu, pada asalnya manusia tidak bisa mengetahui hal ghaib mutlak kecuali melalui jalur wahyu. Dan tidak ada yang mendapatkan wahyu kecuali para utusan Allah, baik utusan dari kalangan manusia maupun malaikat.
Allah berfirman,
عَلٰمُ الْغَيْبِ فَلَا يُظْهِرُ عَلٰى غَيْبِهٖۤ اَحَدً اِلَّا مَنِ ارْتٰضَى مِنْ رَّسُوْلٍ فَاِنَّهٗ يَسْلُكُ مِنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَ مِنْ خَلْفِهٖ رَصَدًا ۙ
(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. ( ) Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. (QS. Al-Jin: 26-27)
Dalam ayat di atas, Allah menegaskan bahwa Allah tidak pernah membocorkan hal ghaib itu kepada siapapun, kecuali kepada utusannya. Al- Hafidz Ibnu Katsir menegaskan,
إنه یعلم الغیب والشهادة، وانه لا يطلع أحد من خلقه علی شيء من علمه إلا مما أطلعه تعالی علیه؛ ولهذا قال: {فلا يظهر على غيبه أحدا إلا من ارتضى من رسول} وهذا يعم الرسول الملكي والبشري
Allah-lah yang mengetahui yang ghaib dan yang nampak, dan Allah tidak menunjukkan ilmunya kepada siapapun diantara makhluk-Nya kecuali apa yang Allah sampaikan kepadanya. Karena itu, Allah berfirman,
فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا () إِلّا مَنِ ازْتَصی مِنْ رَسُولٍ
Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. ( ) kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya Dan ini mencakup rasul dari kalangan malaikat dan manusia. (Tafsir Ibnu Katsir, 8/247)
Jika ada manusia biasa yang mengklaim tahu hal ghaib, seperti tahu kondisi di alam kubur, tahu nasib seseorang, tahu tentang kondisi akhirat, dst., bisa kita pastikan bahwa dia pendusta.
Keenam, Kunci Ilmu Ghaib
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam juga menegaskan mengenai kunci hal ghaib ada 5, dimana hanya Allah tang tahu.
Dalam hadis riwayat Bukhari (4697) dari Ibnu Umar Radhiyallahu 'anhu bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
مفَاتِحُ الغیپِ خمسٌ
“Kunci hal ghaib ada lima”
lalu beliau membaca firman Allah,
إِنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا ۖ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dialah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Lukman: 34)
Hal ghaib sangat banyak sekali, tidak hanya terbatas pada 5 perkara di atas. Dalam hadis di atas ditegaskan 5 hal ghaib, mengingat 5 hal inilah yang paling sering diklaim oleh manusia.
Catatan:
Ada yang mempertanyakan, bukankah dengan adanya teknologi, manusia bisa mengetahui sebagian dari 5 hal ghaib di atas, seperti tahu isi rahim dan tahu prakiraan cuaca?
Jawab:
Kita tidak mengingkari bahwa dengan teknologi, manusia bisa mengetahui isi rahim. Bahkan bisa merekam gerakan bayi hingga denyut jantungnya. Manusia juga bisa memprediksi jenis kelamin bayi. Namun yang diketahui manusia dengan teknologi itu belum semuanya. Teknologi USG tidak bisa mengetahui takdir sang janin, berapa jatah umur dan berapa jatah rizkinya?, termasuk bagaimana akhir dari hidupnya?, USG tidak bisa menjangkau itu.
Sementara prakiraan cuaca hanya perkiraan. Dan terbukti, cukup sering meleset dari kenyataannya.
Ketujuh, Mengakui Hanya Allah yang Tahu Hal Ghaib Konsekuensi Mengakui
Keesaan Allah
- Saat kita mengakui keesaan Allah, kita juga harus mengakui semua sifat yang menjadi turunan keesaan Allah.
- Seperti, Mengakui Dialah satu-satunya yang menciptakan dan mengatur alam semesta.
- Mengakui Dialah satu-satunya yang menghidupkan dan mematikan para makhlu
- Mengakui Dialah satu-satunya yang memberi rizki semua hamba-Nya. Mengakui Dialah satu-satunya yang bisa mengampuni dosa para hamba-Nya Termasuk, Mengakui Dialah satu-satunya yang mengetahui hal ghaib.
Allah berfirman,
قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِى ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ ٱلْغَيْبَ إِلَّا ٱللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. An-Naml: 65)
Al-Hafidz Ibnu Katsir menjelaskan,
يقول تعالى آمرا رسوله صلی الله علیه وسلم أن یقول معلما لجمیع الخلق: أنه لا یعلم أحد من أهل السموات والأرض الغیب
Allah Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk mengajarkan kepada semua makhluk, bahwa tidak ada satupun makhluk di langit dan di bumi yang mengetahui hal ghaib. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/207)
Allah juga menegaskan bahwa manusia tidak akan bisa mengetahui ilmu, tanpa diberi tahu oleh Allah.
Allah berfirman,
وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءً
“Mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 255)
Manusia tahu ilmu, karena diberi tahu oleh Allah. Allah berfirman,
عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ یَعْلَمْ
“Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak mereka ketahui.” (QS. Al-Alaq: 5)
Karena itu, orang yang mengklaim tahu hal ghaib adalah cacat dalam masalah tauhid dan menciderai iman kepada Allah.
Kedelapan, Tahu Hal Ghaib Merupakan Bagian dari Tanda Kenabian
Manusia bisa terpukau dengan orang yang berbicara hal ghaib, apalagi ketika tebakannya ternyata terbukti.
Bagian dari mukjizat Nabi Isa ‘alaihis salam yang Allah sebutkan dalam al-Quran adalah mengetahui hal ghaib. Beliau tahu harta yang disimpan masyarakat dan makanan yang dikonsumsi mereka.
Allah berfirman menyebutkan aneka Mukjizat Nabi Isa,
وَأُبْرِئُ ٱلْأَكْمَهَ وَٱلْأَبْرَصَ وَأُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ بِإِذْنِ ٱللَّهِ ۖ وَأُنَبِّئُكُم بِمَا تَأْكُلُونَ وَمَا تَدَّخِرُونَ فِى بُيُوتِكُمْ ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَةً لَّكُمْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“…aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang
berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (QS. Ali Imran: 49)
Beberapa orang kafir masuk islam, setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menyebutkan kepada mereka makar yang mereka sembunyikan. Mereka merasa yakin, bahwa tidak mungkin manusia biasa bisa mengetahui hal itu, kecuali jika mendapat wahyu.
Urwah bin Zubair bercerita, Saat perang Badar, Wahb bin Umair tertangkap dan dijadikan tawanan oleh kaum muslimin. Si Umair sebagai ayah, sangat ingin balas dendam dengan cara membunuh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Hingga suatu ketika dia ketemu dengan Shafwan bin Umayah di dekat Ka’bah.
Merekapun mengenang kekalahan yang mereka alami saat peristiwa perang
Badar, dan para tokoh mereka yang terbunuh di medan perang. Lalu Umair menyampaikan ke Shafwan,
أما والله لولا دین علي لیس عندي قضاؤه وعیال أخشی علیهم الضیعة بعدي ، لرکبت إلی محمد حتی أقتله ، فإن لي فیهم علیه ، ابني أسير في أيديهم
Demi Allah, andai bukan karena utang yang sementara ini aku belum bisa melunasinya atau karena keluarga yang aku khawatir akan terabaikan jika aku mati, maka aku akan mendatangi Muhammad untuk membunuhnya. Karena aku punya tugas, anakku ditawan mereka.
Niat jahat Umair inipun dimanfaatkan oleh Shafwan bin Umayah. Lalu dia menyampaikan ke Umair,
علي دينك أنا أقضيه عنك، وعيالك مع عيالي أواسيهم ما بقوا، لا يسعني شيء ويعجز عنهم
Utangmu akan aku lunasi. Keluargamu akan aku tanggung, aku akan nafkahi keluargamu sebagaimana keluargaku seumur hidup mereka. Aku tidak pernah merasa tenang selama tidak bisa mengalahkan umat muslim.
Umair-pun berpesan, ‘Tolong jaga rahasia ini!’ Jawab Shafwan, ‘Siap’.
Umairpun menyiapkan senjatanya dan berangkat menuju Madinah. Ketika dia sampai di Madinah, Umar bin Khatab dan beberapa kaum muslimin sedang membicarakan peristiwa saat perang Badar. Saat Umar melihat Umair datang, beliau langsung memperingatkan sahabat yang lain untuk waspada.
Umarpun menyampaikan kehadiran Umair bin Wahb kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dan minta izin untuk menemui beliau. Saat Umair menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau bertanya, “Apa tujuan kamu datang ke sini wahai Umair?”
“Aku datang untuk mengingatkan tentang para tawanan, agar kamu menyikapi mereka dengan baik.” Jawab Umair.
“Apakah aku akan membenarkan ucapanmu terkait tujuanmu?” tanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam ulang.
“Aku tidak punya niat selain itu…” jawab Umair.
lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mulai menjelaskan konspirasi Umair dengan Shafwan bin Umayah, “Bukankah kamu duduk bersama Shafwan bin Umayah di Hijr, lalu kalian bercerita tentang korban perang Badar di kalangan Quraisy, kemudian kamu bilang ke dia, ‘Andaikan bukan karena utang dan keluargaku, aku akan berangkat untuk membunuh Muhammad.’
Lalu Shafwan bersedia untuk menanggung utangmu dan nafkah keluargamu, dengan syarat kau membunuhku. Namun Allah menghalangi rencanamu.”
Mendengar penjelasan ini, Umair langsung menyatakan diri masuk islam,
أشهد أنك رسول الله ، قد کنا یا رسول الله نکذبك بما کنت تأتینا به من خبر السماء وما ینزل عليك من الوحي ، وهذا أمر لم يحضره إلا أنا وصفوان ، فوالله إني لأعلم ما أتاك به إلا الله
Aku bersaksi bahwa anda adalah utusan Allah. Ya Rasulullah, dulu kami mendustakan anda, ketika anda menyampaikan berita langit dan wahyu yang turun kepada anda. Sementara kejadian ini tidak ada yang tahu selain saya dan Shafwan. Demi Allah, aku mengakui tidak ada yang memberi tahu hal ini kecuali Allah. (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 118)
Kesembilan, Kisah dalam al-Quran adalah Bukti Kebenaran al-Quran
Kisah dalam al-Quran tentang kejadian masa silam merupakan bukti kebenaran al-Quran. Karena saat kejadian itu berlangsung, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam belum ada di muka bumi. Beliau tidak hadir ketika kejadian itu, namun beliau bisa bercerita dengan detail, dan sinkron dengan kisah yang disebutkan dalam kitab-kitab sebelumnya.
Setelah Allah menceritakan kisah Nabi Nuh, Allah berfirman,
تِلْكَ مِنْ أَنۢبَآءِ ٱلْغَيْبِ نُوحِيهَآ إِلَيْكَ ۖ مَا كُنتَ تَعْلَمُهَآ أَنتَ وَلَا قَوْمُكَ مِن قَبْلِ هَٰذَا ۖ
Itu adalah di antara berita-berita penting tentang yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); tidak pernah kamu mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini. (QS. Hud: 49)
Setelah Allah menyebutkan kisah Yusuf dengan sangat detail, Allah berfirman,
ذَٰلِكَ مِنْ أَنۢبَآءِ ٱلْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ ۖ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ أَجْمَعُوٓا۟ أَمْرَهُمْ وَهُمْ يَمْكُرُونَ
Demikian itu (adalah) diantara berita-berita yang ghaib yang Kami wahyukan kepadamu (Muhammad); padahal kamu tidak berada pada sisi mereka, ketika mereka memutuskan rencananya (untuk memasukkan Yusuf ke dalam sumur) dan mereka sedang mengatur tipu daya. (QS. Yusuf: 102)
Ketika Allah menceritakan tentang Nabi Musa1, Allah berfirman,
وَمَا كُنتَ بِجَانِبِ ٱلْغَرْبِىِّ إِذْ قَضَيْنَآ إِلَىٰ مُوسَى ٱلْأَمْرَ وَمَا كُنتَ مِنَ ٱلشَّٰهِدِينَ
Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada pula kamu termasuk orang-orang yang menyaksikan. (QS. Al-Qashas: 44)
----------------------------
1. Catatan:
Ada pelajaran berharga mengenai bagaimana cara Allah memuliakan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa Sallam: Allah menyebutkan bahwa Nabi Musa mendapatkan wahyu di gunung Thur di posisi sebelah kanan. Dan ini disebutkan di beberapa ayat, diantaranya,
[1] Firman Allah, Dan Kami telah memanggilnya dari sebelah kanan gunung Thur dan Kami telah mendekatkannya kepada Kami di waktu dia munajat (kepada Kami). (QS. Maryam: 52)
[2] Firman Allah, Hai Bani Israil, sesungguhnya Kami telah menyelamatkan kamu sekalian dari musuhmu, dan Kami telah mengadakan perjanjian dengan kamu sekalian (untuk munajat) di sebelah kanan gunung itu… (QS. Thaha: 80)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bisa menceritakan semua kejadian itu dengan detail, padahal saat itu beliau belum lahir. Yang ini menjadi bukti bahwa apa yang beliau sampaikan adalah wahyu. Karena itu, di beberapa ayat, Allah menegaskan setelah kisah bahwa “kamu tidak ada di sana wahai Muhammad..” untuk menunjukkan, apa yang beliau sampaikan itu dari Allah.
Hal menariknya adalah ketika Allah menegaskan bahwa peristiwa yang dialami Musa terjadi di sebelah kanan gunung, namun saat Allah menyebutkan bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak ada dalam peristiwa itu, Allah tidak berfirman, “kamu tidak ada di sebelah kanan gunung itu”
Namun yang Allah firmankan adalah “Dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang sebelah barat ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa,…” (QS. Al-Qashas: 44)
Nuansa dua kalimat ini berbeda.
- Kalimat I : ‘Kamu tidak berada di sebelah kanan gunung itu…’
- Kalimat II : ‘Kamu tidak berada di sebelah barat gunung itu…’
Walaupun tujuannya sama, untuk menyatakan bahwa kamu tidak ada di sana saat kejadian itu, namun kalimat pertama lebih memberi kesan negatif: ‘Kamu tidak ada di sebelah kanan gunung itu’ akan memberi kesan berarti kamu di sebelah kirinya. Sementara kanan lebih mulia dibandingkan kiri.
Berbeda dengan kalimat kedua: ‘Kamu tidak berada di sebelah barat gunung itu…’ kalimat ini sama sekali tidak memberikan kesan buruk. Karena arah barat, timur, utara, maupun selatan, semua nilainya sama. masyaaAllah… demikianlah cara Allah mengajarkan adab saat bersikap kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
-----------------------
Ketika Allah menceritakan tentang Nabi Zakariya, Allah berfirman,
ذَٰلِكَ مِنْ أَنۢبَآءِ ٱلْغَيْبِ نُوحِيهِ إِلَيْكَ ۚ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يُلْقُونَ أَقْلَٰمَهُمْ أَيُّهُمْ يَكْفُلُ مَرْيَمَ وَمَا كُنتَ لَدَيْهِمْ إِذْ يَخْتَصِمُونَ
Yang demikian itu adalah sebagian dari berita-berita ghaib yang Kami wahyukan kepada kamu (ya Muhammad); padahal kamu tidak hadir beserta mereka, ketika mereka melemparkan anak-anak panah mereka (untuk mengundi) siapa di antara mereka yang akan memelihara Maryam. Dan kamu tidak hadir di sisi mereka ketika mereka bersengketa. (QS. Ali Imran: 44)
Allah juga menegaskan bahwa semua diceritakan dalam al-Qur’an, sesuai dengan kisah yang disebutkan pada kitab-kitab sebelumnya. Allah berfirman,
لَقَدْ كَانَ فِى قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَٰبِ ۗ مَا كَانَ حَدِيثًا يُفْتَرَىٰ وَلَٰكِن تَصْدِيقَ ٱلَّذِى بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ كُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pelajaran bagi orang- orang yang mempunyai akal. Al Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya... (QS. Yusuf: 111)
Yahudi Ingin Membuktikan
Ibnu Abbas bercerita,
Suatu hari, sekelompok orang yahudi mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, Mereka mengatakan, ‘Wahai Abul Qasim, tolong jelaskan kepada kami beberapa hal, kami akan tanyakan kepada anda, tidak ada yang tahu jawabannya kecuali seorang nabi.’
Beliaupun bersabda,
سَلوني عمَّا شِئتُم، ولكنِ اجعلوا لي ذِمَّةً اللهِ وما أخَذَ یَعقوبُ علیه السَّلامُ علی بَنیه: لَئن حَدَّثتُکم شَیئا فعرفتموه، لتتاپعني علی الإسلامِ
Silahkan kalian bertanya kepadaku apapun yang kalian inginkan, namun kalian harus memberikan jaminan dengan sumpah kepada Allah dan seperti janji yang diambil Ya’kub kepada anak-anaknya, bahwa jika saya bisa menjawab dengan benar, kalian harus mengikutiku untuk masuk islam.
Merekapun menyanggupi. Lalu orang yahudi itu bertanya 4 hal kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
- [1] Makanan apa yang diharamkan Israil untuk dirinya sendiri sebelum diturunkan at-Taurat?
- [2] Seperti apa mani lelaki dan mani perempuan? Dan bagaimana bisa menjadi anak laki-laki?
- [3] Bagaimana kondisi nabi yang ummi ketika tidur?
- [4] Siapa yang menjadi wali anda di kalangan Malaikat ?
Dan semua bisa dijawab oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, namun yahudi tetap tidak mau masuk islam setelah mendengar bahwa wali Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjawab pertanyaan yang keempat. Bahwa wali beliau di kalangan Malaikat adalah Jibril. Para yahudi anti Jibril dan itu dijadikan alasan untuk tidak masuk islam. (HR. Ahmad 2483, an-Nasai dalam sunan al-Kubro 9072 dan dishahihkan Ahmad Syakir)
Kesepuluh, Tanpa Wahyu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak Tahu Hal Ghaib
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak mengetahui hal ghaib selama Allah tidak memberikan wahyu kepada beliau.
Rubayi’ bintu Mu’awidz menceritakan ketika beliau bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam, ada gadis-gadis kecil Madinah yang menyenandungkan lagu Bu’ats, mengenang peristiwa perang saudara antara suku Aus dan Khazraj. Tiba-tiba salah satu diantara mereka mengucapkan,
وفينا نَِيٌّ یَعلَمُ ما في غَدٍ
Di tengah kami ada seorang nabi yang mengetahui kejadian yang akan muncul besok.
Mendengar ini, spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam melarangnya dan mengatakan,
لا تَقُولي هَكذا، وقُولي ماکُئْتِ تَقُولِین
Jangan ucapkan kalimat itu, tapi ucapkanlah kalimat sebelumnya. (HR. Bukhari 4001 dan Abu Daud 4922)
Bahkan Allah perintahkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk menegaskan di hadapan umatnya, bahwa beliau tidak tahu hal ghaib.
Allah berfirman,
قُل لَّآ أَمْلِكُ لِنَفْسِى نَفْعًا وَلَا ضَرًّا إِلَّا مَا شَآءَ ٱللَّهُ ۚ وَلَوْ كُنتُ أَعْلَمُ ٱلْغَيْبَ لَٱسْتَكْثَرْتُ مِنَ ٱلْخَيْرِ وَمَا مَسَّنِىَ ٱلسُّوٓءُ ۚ إِنْ أَنَا۠ إِلَّا نَذِيرٌ وَبَشِيرٌ لِّقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Katakanlah: "Aku tidak berkuasa mendatangkan kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. al-A’raf: 188)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bahkan tidak tahu hal ghaib yang ada pada diri setiap manusia. Itulah ruh. Ketika beliau ditanya tentang hakekat dari Ruh, beliau tidak bisa menjawabnya.
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu 'anhu bercerita Aku pernah membersamai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam di salah satu kebun di Madinah. Tiba-tiba datang sekelompok orang yahudi, lalu diantara mereka ada yang ngomong ke temannya, ‘Coba kalian tanya ke Muhammad tentang ruh.’
Teman yang lain bilang, ‘Jangan… jangan kalian tanya itu ke beliau.’ Akhirnya mereka nekat tanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tentang ruh.
Mendapat pertanyaan itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hanya terdiam. Kami merasa beliau sedang mendapatkan wahyu. Sesaat setelah itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam membaca ayat,
وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ ۖ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى وَمَآ أُوتِيتُم مِّنَ ٱلْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلً
Mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit". (QS. Al-Isra: 85)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak diberi pengetahuan tentang ruh kecuali sedikit, dan itu sudah disampaikan ke kita, sebagai penjelasan ruh yang tekmaktub dalam al-Quran maupun yang dijelaskan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dalam hadis beliau.
Beliau juga pernah ditanya oleh Jibril tentang kapan kiamat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tidak tahu dan beliau memberi jawaban,
أَخْبِرنِي عَنِ السَّاعَةِ. قالَ: " مَا المَسؤُولُ عَنْھَا بِأَعْلَمَ بِھَا مِنَ السَّائِلِ
Jelaskan kepadaku kapan kiamat? Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, “Yang ditanya tidak lebih tahu dari pada yang bertanya.” (HR. Bukhari 50 dan Muslim 9)
Ketika Nabi dan Jibril menjawab, “Saya tidak tahu”
Dari Jubair bin Muth’im Radhiyallahu 'anhu, beliau bercerita, Seorang lelaki datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan bertanya, "Wahai Rasulullah, tempat apakah yang paling buruk?" Beliau menjawab: "Aku tidak tahu." Kemudian, ketika Jibril datang, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bertanya kepadanya: "Wahai Jibril, tempat apakah yang paling buruk?" Jibril menjawab: "Aku tidak tahu, nanti aku tanyakan kepada Rabbku." Lalu Jibril pergi dan menghilang selama waktu yang Allah kehendaki. Setelah itu, ia kembali dan berkata,
يَا مُحَمَّدُ، إِنَّكَ سَأَلتَنِي أَيُّ الْبُلْدَانِ شرٌّ، فَقُلْتُ: لَا أَدْرِي، وَإنِّي سَأَلَتُ رَبِي عَزَّ وَجَلَّ: أيُّ لْبُلْدَانِ شرّ؟ فقالَ: أسْواڤھا
"Wahai Muhammad, engkau bertanya kepadaku tentang tempat yang paling buruk, dan aku mengatakan ‘Aku tidak tahu.’ Maka aku pun bertanya kepada Rabbku: ‘Tempat manakah yang paling buruk?’
Lalu Dia berfirman: ‘Pasar.’” (HR. Ahmad 16744)
Kesebelas, Tidak Boleh Kepo dengan Hal Ghaib
Ada banyak berita yang tidak Allah ceritakan dengan detail. Allah hanya ceritakan sebagian, namun Allah rahasiakan rinciannya. Allah bercerita tentang raja Dzulqornain, namun Allah rahasiakan zamannya dan nama aslinya.
- Allah bercerita tentang ashabul kahfi, namun Allah rahasiakan siapa saja namanya, bahkan jumlahnya.
- Allah bercerita tentang yakjuj makjuj yang dibenteng oleh raja Dzulqornain, namun Allah rahasiakan di mana tempatnya.
- Demikian pula para nabi, jumlah mereka sangat banyak, namun banyak diantara mereka yang tidak Allah ceritakan.
Allah berfirman,
وَرُسُلًا قَدْ قَصَصْنَٰهُمْ عَلَيْكَ مِن قَبْلُ وَرُسُلًا لَّمْ نَقْصُصْهُمْ عَلَيْكَ ۚ وَكَلَّمَ ٱللَّهُ مُوسَىٰ تَكْلِيمًا
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. (QS. An-Nisa: 164)
Artinya, ada banyak hal yang Allah jadikan sebagai perkara ghaib untuk para hamba-Nya. Karena itu, Biarkan hal ghaib itu sebagai hal ghaib, dan jangan dipertanyakan apalagi sampai melakukan penelitian untuk mencari tahu detailnya. Sehingga, banyak mencari tahu detail tentang hal ghaib adalah tindakan tercela.
Disamping itu, bagian yang tidak Allah ceritakan, antara tahu dan tidak tahu mengenai hal itu, tidak mempengaruhi penambahan iman.
Ibrahim Al-Harbi pernah bertanya kepada Imam Ahmad, apakah Nabi Khidir dan Nabi Ilyas masih hidup, keduanya masih ada dan melihat kita serta kita bisa mendapatkan riwayat dari mereka berdua. Kemudian Imam Ahmad menjawab:
من أحال على غائب لم ينصف منه، وما ألقى هذا إلا الشيطان
“Siapa yang menekuni masalah ghaib (klenik), dia tidak akan bisa bersikap proporsional dalam masalah ini. Tidak ada yang membisikkan berita ini kecuali setan.”
Beberapa kali al-Hafidz Ibnu Katsir mengingkari sikap mereka yang terlalu kepo dengan hal ghaib yang tidak Allah jelaskan dalam al-Quran. Diantaranya, Allah menyebutkan kisah tentang ashabul kahfi. Allah menyebutkan peristiwa itu, namun Allah tidak pernah menjelaskan di mana posisi gua itu berada.
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan perbedaan pendapat ulama mengenai posisi gua itu. Ada yang mengatakan di dekat Ailah, ada yang menyebutkan di kota Nineve, ada juga yang mengatakan di daerah Balqa. Lalu beliau menegaskan,
وقد أخبر الله تعالى بذلك وأراد منا فهمه وتدبره، ولم يخبرنا بمكان هذا الكهف في أي البلاد من
الأرض؛ إذ لا فائدة لنا فيه ولا قصد شرعي وقد تكلف بعض المفسرين فذكروا فيه أقوالا ...
Allah menyampaikan kepada kita kisah itu, dan Dia menghendaki agar kita memahami dan mentadaburinya. Namun Allah tidak memberi tahu posisi gua itu ada di negara mana, karena tidak ada manfaatnya bagi kita juga bukan hal esensi dalam syariat. Sebagian ahli tafsir terlalu memaksakan diri dengan menyebutkan beberapa pendapat mengenai posisi gua itu…
Lalu Ibnu Katsir menegaskan,
والله أعلم بأي بلاد الله هو . ولو كان لنا فیه مصلحة دینیة لأرشدنا الله ورسوله إلیه
Allah Maha Tahu di daerah mana gua itu berada. Andaikan ada kemaslahatan agama untuk kita ketahui, tentu Allah dan Rasul-Nya akan memberikan arahan untuk itu. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/143)
Ketika al-Hafidz Ibnu Katsir membahas masalah anjing ashabul kahfi, beliau menyebutkan adanya perbedaan pendapat mengenai warnanya. Beliau mengatakan,
واختلفوا في لونه علی أقوال لاحاصل لها ، ولا طائل تحتها ولا دلیل علیها ، ولا حاجة إلیها ، بل ھي مما ینهی عنه ، فإن مستندها رجم بالغیب
Mereka beda pendapat mengenai warna anjing itu, ada banyak pendapat yang tidak manfaatnya untuk dibahas dan tidak ada dalil yang mendukungnya, serta tidak ada kebutuhan untuk diperpanjang. Bahkan termasuk diantara tindakan yang dilarang, karena landasannya adalah menebak-nebak hal ghaib. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/144)
Demikianlah sikap yang tepat dalam membaca kisah dalam al-Quran. Info yang disebutkan di dalamnya, kita yakini kebenarannya, namun seperti apa detailnya, kita serahkan kepada ilmu Allah.
Biarkan hal ghaib itu sebagai hal ghaib, artinya kita tidak perlu kepo dengan mencari tahu lebih detail. Karena semua itu tidak ada manfaatnya. Allah berhak untuk membuka berita mengenai fenomena tertentu dan Allah berhak untuk tidak memberi tahu rinciannya. Allah membuka sebagian pengetahuan bagi hamba dan menyembunyikan sebagian. Muslim yang baik seharusnya qana’ah dengan apa yang Allah berikan. Baik dalam urusan rizki maupun dalam urusan berita.
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pernah bercerita tentang proses kematian Musa hingga posisi beliau dimakamkan. Beliau menyampaikan kepada para sahabat bahwa beliau tahu di mana posisi makam Musa ‘alaihis salam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
فلو کنتُ ثَمَّ لأریثکم قبره إلی جانپ الطریق تحت الکثیپِ الأحمرِ
Andai aku ada di sana, akan kutunjukkan kepada kalian kuburan Musa. Posisinya ada di pinggir jalan di bawah gundukan tanah merah. (HR. Bukhari 1339 & Muslim 2372)
Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menyampaikan bahwa beliau tahu posisi kuburan Musa, beliau tidak memerintahkan para sahabat untuk menelusurinya guna memastikan keberadaannya. Karena mengetahui kuburan seorang nabi, bukan hal yang menjadi esensi iman.
Kedua belas, Jangan Memperdebatkan Hal Ghaib Terlalu Dalam
Dulu ada beberapa orang yang memperdebatkan mengenai berapa jumlah orang ashabul kahfi. Allah sebutkan perdebatan itu dalam al-Quran. Allah berfirman,
سَيَقُولُونَ ثَلَٰثَةٌ رَّابِعُهُمْ كَلْبُهُمْ وَيَقُولُونَ خَمْسَةٌ سَادِسُهُمْ كَلْبُهُمْ رَجْمًۢا بِٱلْغَيْبِ ۖ وَيَقُولُونَ سَبْعَةٌ وَثَامِنُهُمْ كَلْبُهُمْ ۚ قُل رَّبِّىٓ أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِم مَّا يَعْلَمُهُمْ إِلَّا قَلِيلٌ ۗ فَلَا تُمَارِ فِيهِمْ إِلَّا مِرَآءً ظَٰهِرًا وَلَا تَسْتَفْتِ فِيهِم مِّنْهُمْ أَحَدًا
Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: "(jumlah mereka) adalah lima orang yang keenam adalah anjing nya", sebagai menebak-nebak hal yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: "(jumlah mereka) tujuh orang, yang ke delapan adalah anjingnya". Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit". Karena itu janganlah kamu (Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorangpun di antara mereka. (QS. al-Kahfi: 22)
Dalam perdebatan mengenai ashabul kahfi, mereka sepakat bahwa orang yang tinggal di dalam gua itu jumlahnya ganjil. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai angka pastinya. Ada yang mengatakan 3, 5 dan 7. Namun semuanya tidak memiliki dasar yang cukup untuk diyakini. Sehingga Allah mengomentari dengan kalimat,
قُلْ رَبِّ أَعْلَمُ بِعِدَّتِهِمْ
“Menebak-nebak hal yang ghaib.”
Artinya disampaikan tanda dasar. Bisa jadi benar, bisa jadi salah. Kalaupun tebakannya benar, itupun tidak sengaja. Lalu Allah arahkan bagaimana sikap yang benar ketika kita tidak tahu, Katakanlah, Tuhanku lebih tahu tentang jumlah mereka.
Ibnu Katsir menyebutkan,
وقوله: { قُلْ رَبِی أعلمُ پعِدَّتهم} إرشاد إلی أن الأحسن في مثل هذا المقام رد العلم إلی الله تعالی، إذ لا احتياج إلى الخوض في مثل ذلك بلا علم، لكن إذا أطلعنا على أمر قلنا به، وإلا وقفنا حيث وقفنا.
Firman Allah, [قُلْ رَبِی أعلمُ پعِدَّتهم] (Katakanlah, Tuhanku lebih tahu tentang jumlah mereka), Merupakan bimbingan untuk kasus semacam ini, yaitu mengembalikan ilmunya kepada Allah Ta’ala. Karena kita tidak punya kepentingan untuk memperdebatkan hal semacam ini tanpa ilmu. Ketika Allah memberai tahu, kita yakini. Namun jika Allah tidak memberi tahu, seharusnya kita berhenti di situ. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/148)
Ketiga belas, Setelah Hal Ghaib Dibuka, Iman Tidak Lagi Berlaku
Manusia diperintahkan untuk beriman kepada hal ghaib sebagai ujian bagi mereka. Tidak semua orang sanggup menerima ujian ini, sehingga banyak di antara mereka yang tidak mau beriman terhadap hal ghaib. Pada saat hal ghaib itu ditampakkan, barulah mereka sadar bahwa apa yang diberitakan dalam al-Quran dan hadis ternyata benar. Di saat itulah, mereka mau beriman, namun Allah tidak berkenan menerimanya.
Allah berfirman,
وَلَوْ تَرَىٰٓ إِذْ وُقِفُوا۟ عَلَى ٱلنَّارِ فَقَالُوا۟ يَٰلَيْتَنَا نُرَدُّ وَلَا نُكَذِّبَ بِـَٔايَٰتِ رَبِّنَا وَنَكُونَ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ. بَلْ بَدَا لَهُم مَّا كَانُوا۟ يُخْفُونَ مِن قَبْلُ ۖ وَلَوْ رُدُّوا۟ لَعَادُوا۟ لِمَا نُهُوا۟ عَنْهُ وَإِنَّهُمْ لَكَٰذِبُونَ. وَقَالُوٓا۟ إِنْ هِىَ إِلَّا حَيَاتُنَا ٱلدُّنْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ
Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke neraka, lalu mereka berkata: "Kiranya kami dikembalikan (ke dunia) dan tidak mendustakan ayat-ayat Tuhan kami, serta menjadi orang-orang yang beriman", (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan). Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka. Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): "Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan". (QS. Al- An’am: 27 – 29)
Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan,
يذكر تعالى حال الكفار إذا وقفوا يوم القيامة علی النار، وشاهدوا ما فيها من السلاسل والأغلال ... یتمنون أن یردوا إلی الدار الدنیا، لیعملوا عملا صالحا، ولا یکذبوا بآیات ربهم ویکونوا من المؤمنین
Allah menyebutkan kondisi orang kafir ketika mereka didatangkan di hadapan neraka saat hari kiamat, mereka menyaksikan rantai dan belenggunya… mereka berharap bisa kembali ke dunia agar bisa beramal soleh, tidak mendustakan ayat-ayat Allah dan menjadi mukmin. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/248)
Lanjut Ibnu Katsir,
فهم ما طلبوا العود إلى الدنيا رغبة ومحبة في الإیمان، بل خوفا من العذاب الذي عاینوه، جزاء ما کانوا علیه من الکفر، فسألوا الرجعة إلی الدنیا لیتخلصوا مما شاهدوا من النار
Mereka tidaklah minta kembali ke dunia karena ingin beriman namun karena takut terhadap adzab yang telah mereka lihat, sebagai balasan kekufuran mereka di masa silam. Merekapun meminta kembali ke dunia agar terbebas dari neraka yang telah mereka saksikan. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/249)
Karena itu, Allah membantah pernyataan mereka dengan mengatakan,
وَلَوْ رُدُّوا لَعَادُوا لِمَا نُهُوا عَنْهُ وَإنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ
Sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka telah dilarang mengerjakannya.
Artinya, ketika mereka dikembalikan ke dunia, mereka akan kembali kafir. Ibnu Katsir mengatakan,
إنهم لو ردوا إلى الدار الدنيا، لعادوا لما نهوا عنه من الكفر والمخالفة
Mereka itu, sekiranya dikembalikan ke dunia, mereka akan kembali lagi melakukan kekafiran dan penyimpangan. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/249)
Saat orang kafir dibangkitkan di hari kiamat, mereka jadi tersadar bahwa yang selama ini disampaikan nabi adalah benar. Namun mereka sudah tidak lagi memiliki kesempatan untuk beriman, karena saat hal ghaib itu ditampakkan, iman sudah tidak berlaku. Allah berfirman,
وَنُفِخَ فِى الصُّوْرِ فَاِذَا هُمْ مِّنَ الْاَجْدَاثِ اِلٰى رَبِّهِمْ يَنْسِلُوْنَ قَالُوْا يٰوَيْلَنَا مَنْۢ بَعَثَنَا مِنْ مَّرْقَدِنَا ۜهٰذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمٰنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُوْنَ
Ditiuplah sangkalala, maka tiba-tiba mereka keluar dengan segera dari kuburnya (menuju) kepada Tuhan mereka. ( ) Mereka berkata: "Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?". Inilah yang dijanjikan (Tuhan) Yang Maha Pemurah dan benarlah para rasul itu. (QS. Yasin: 51-52)
Allah juga menceritakan dialog penduduk surga dengan penduduk neraka. Yang menunjukkan pengakuan mereka untuk beriman, namun tidak diterima. Allah berfirman,
وَنَادَىٰٓ أَصْحَٰبُ ٱلْجَنَّةِ أَصْحَٰبَ ٱلنَّارِ أَن قَدْ وَجَدْنَا مَا وَعَدَنَا رَبُّنَا حَقًّا فَهَلْ وَجَدتُّم مَّا وَعَدَ رَبُّكُمْ حَقًّا ۖ قَالُوا۟ نَعَمْ ۚ فَأَذَّنَ مُؤَذِّنٌۢ بَيْنَهُمْ أَن لَّعْنَةُ ٱللَّهِ عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ
Para penghuni surga memanggil kepada para penghuni neraka (dengan mengatakan): "Sesungguhnya kami dengan sebenarnya telah memperoleh apa yang Tuhan kami menjanjikannya kepada kami. Maka apakah kamu telah memperoleh dengan sebenarnya apa (azab) yang Tuhan kamu menjanjikannya (kepadamu)?" Mereka (penduduk neraka) menjawab: "Betul". Kemudian seorang penyeru (malaikat) mengumumkan di antara kedua golongan itu: "Kutukan Allah ditimpakan kepada orang-orang yang zalim. (QS. al-A’raf: 44)
Keempat belas, Hal Ghaib Pertama yang Ditampakkan Menjelang Kiamat
Sebelum kiamat terjadi, Allah tampakkan satu hal ghaib yang itu menjadi titik awal iman seseorang tidak diterima. Hal ghaib itu adalah terbitnya matahari dari barat.
Allah berfirman,
يَوْمَ يَأْتِى بَعْضُ ءَايَٰتِ رَبِّكَ لَا يَنفَعُ نَفْسًا إِيمَٰنُهَا لَمْ تَكُنْ ءَامَنَتْ مِن قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِىٓ إِيمَٰنِهَا خَيْرًا ۗ
Pada hari datangnya ayat dari Tuhanmu, tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang untuk dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu.. (QS. Al- An’am: 158)
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjelaskan tafsir ayat ini dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
لا تَقُومُ السَّاعَةُ حتَّى تَطْلْعَ الشَّمْسُ مِن مَغْرِبها، فإذا طَلَعَتْ فَرَآها النَّاسُ آمَنُوا أجْمَعُونَ، فَذلكَ حِینَ: {لايَنفَعُ نَفْسًا إِیمَانُھَا لَمْ تَکنْ آمَنَتْ مِنْ قبلُ أُوکسَبَتْ فی إِیمَانِھَا
Tidak akan terjadi kiamat sampai matahari terbit dari barat. Ketika sudah terbit dari barat lalu dilihat semua orang, merekapun beriman semuanya. Dan itulah masa dimana tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang untuk dirinya sendiri atau yang belum beriman sebelum itu. (HR. Bukhari 6506 dan Muslim 157)
Karena hal ghaib sudah dibuka, maka orang yang baru beriman setelah matahari terbit dari barat, imannya tidak diterima.
Kelima belas, Mengklaim Tahu Hal Ghaib adalah Kriminal
Mengklaim bisa mengetahui hal ghaib termasuk pelanggaran besar dalam agama. Setidaknya ada 3 alasan mengapa itu termasuk kriminal :
- [1] Termasuk mengklaim sesuatu yang mustahil mampu dilakukan.
- [2] Mengklaim sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah semata.
- [3] Bisa dimanfaatkan untuk menipu masyarakat agar mengikutinya.
Sebagian orang menjadi beriman setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menyampaikan sebagian hal ghaib kepada mereka. Kisah masuk islamnya Umair bin Wahb adalah salah satu buktinya. Selain itu, ada juga kejadian lain, dimana orang masuk islam setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam membongkar rahasianya. Diantaranya tokoh yahudi, ada yang masuk islam setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menceritakan rahasianya. Diantaranya kisah masuk islamnya Al-Harits bin Abi Dhirar.
Dalam Sirah Ibnu Hisyam disebutkan, Setelah perang melawan yahudi Bani Musthaliq, kaum muslimin membawa tawanan, diantaranya Juwairiyah bintul Harits. Juwairiyah dititipkan kepada salah seorang Anshar dan diperintahkan untuk menjaganya.
Saat Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tiba di Madinah, ayahnya al-Harits bin Dhirar datang untuk menebus putrinya. Ketika sampai di al-Aqiq, beliau memperhatikan onta-onta yang hendak dijadikan tebusan. Namun dia tertarik untuk mengambil 2 ekor onta, dan dia sembunyikan kedua onta itu di sebuah lembah di al-Aqiq. Sisa ontanya lalu diantarkan ke Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Saat dia datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, dia mengatakan, Wahai Muhammad, kalian telah menawan putriku, dan ini onta sebagai tebusannya. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bali bertanya,
فأين البعيران اللذان غيبتهما بالعقیق في شعب کذا وکذا
Dimana 2 onta yang kamu sembunyikan di lembah Aqiq itu?
Al-Harits merasa terheran, dari mana Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bisa tahu onta yang disembunyikan itu. Spontan al-Harits bersyahadat,
أشهد أن لا إله إلا الله، وأنك محمد رسول الله، فوالله ما أطلع على ذلك إلا الله
Saya bersaksi : laa ilaaha illallah dan bahwa anda adalah Muhammad utusan Allah. Demi Allah, tidak mungkin ada yang memberi anda tentang onta itu kecuali Allah.
Akhirnya al-Harits menyerahkan 2 ekor onta itu, sementara putrinya Juwairiyah dibebaskan dan dinikahi oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dengan mahar 400 dirham. (Sirah Ibnu Hisyam, 2/295)
Sebagian sahabat juga semakin kuat imannya, pasca-mendengar hal ghaib yang diceritakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Aktsam bin Abil Jaun bercerita, Dalam sebuah kegiatan jihad, ada seorang pasukan yang sangat pemberani dan berjuang dengan gigih. Namun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam menyebutnya masuk neraka. Akhirnya membuat orang ini penasaran dan ingin melihat penyebabnya. Akhirnya Aktsam membututi pasukan itu, hingga si pasukan ini terluka. Namun dia tidak kuat menahan sakit lukanya. Diapun meletakkan pegangan pedang di tanah dan merobohkan dirinya, dengan menusukkan pedang ke dadanya.
Aktsam lalu kembali menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan mengatakan,
أَشْهَدُ أنَّكَ رَسُولُ اللهِ
Aku bersaksi bahwa anda adalah utusan Allah. (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, 872)
Syariat menetapkan hukuman bagi orang yang mengakui ada manusia tahu hal yang ghaib dengan hukuman status imannya hilang. Itulah orang yang percaya kepada ramalan para dukun.
Dari Abu Hurairah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ أَتَى كاهِنَا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا یَقُولُ، فَقَدْ گفَّرَ پِمَا أُنْزِلَ عَلَی مُحمَّدٍ
Siapa yang mendatangi dukun atau peramal, lalu dia membenarkan apa yang dia ucapkan, berarti dia telah kafir dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam. (HR. Ahmad 9536 dan dihasankan Syuaib al-Arnauth)
Jika posisi pasien dukun dinyatakan ‘kafir dengan apa yang diturunkan kepada nabi’ bagaimana dengan dukunnya? Mereka adalah para makhluk yang hendak ‘merampas’ apa yang bukan tidak dia miliki.
Keenam belas, Jangan Bersikap Selama Belum Jelas
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, beliau menceritakan bahwa Umar pernah pergi bersama Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan beberapa orang lainnya menuju ke tempat tinggal Ibnu Sayyad.
Setibanya di tempat Ibnu Shayyad, mereka menjumpainya sedang bermain dengan anak-anak di dekat benteng Bani Maghalah. Kala itu Ibnu Sayyad sudah mendekati usia pubertas. Dia tidak sadar dengan kedatangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hingga Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam menyentuhnya dengan tangan beliau.
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata kepada Ibnu Sayyad,
تَشْهَدُ أَنَّي رَسُولُ اللهِ
"Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?"
Ibnu Sayyad memandangnya lalu menjawab,
أشْهَدُ أنَّكَ رَسُولُ الأُمَّيِّين
"Aku bersaksi bahwa kamu adalah utusan kaum ummiyin."
Lalu Ibnu Sayyad bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
أَتَشْهَدُ أَنِّي رَسُولُ اللهِ
"Apakah kamu bersaksi bahwa aku adalah utusan Allah?"
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menolaknya lalu berkata,
آمَنْتُ باللهِ وَپِرُسُلِهِ
"Aku beriman kepada Allah dan kepada rasul-rasul-Nya."
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bertanya, "Apa yang kamu lihat?" Ibnu Sayyad menjawab,
یأتیني صَادِقٌ وَگَاذِبٌ
"Terkadang datang kepada saya yang benar dan yang salah."
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata, "Masalahmu sudah tercampur." Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengatakan, "Aku sudah menyembunyikan sesuatu untukmu. (coba tebak!)"
Ibnu Sayyad menjawab, "Itu adalah dukh." Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berkata, "Diamlah! Kamu tidak akan melewati batasmu." Umar radhiyallahu anhu berkata,
دَعْنِي يَا رَسُولَ اللهِ أَضْرِبْ عُنُقَهُ
"Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal lehernya!"
Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menjawab,
إِنْ يَكُنْهُ فَلَنْ تُسَلَّطَ عَلَيْهِ وَإنْ لَمْ یَكُنْهُ فَلا خَیْرَلَكَ فِی قَتلِهِ
"Jika dia benar-benar Dajjal, kamu tidak akan bisa mengalahkannya. Namun, jika dia bukan Dajjal, maka tidak ada baiknya bagimu untuk membunuhnya." (HR. Bukhari 1354 & Muslim 2930)
Ibnu Shayyad adalah sosok yang memiliki kemampuan di luar normal yang pernah hidup di zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Hingga dia dianggap calon Dajjal. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam hendak membuktikan itu, dalam posisi beliau tidak yakin apakah benar dia itu calon Dajjal atau bukan. Saat Umar mengusulkan diri untuk membunuhnya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam melarangnya. Karena tidak ada bukti yang jelas tentang itu.
Ketujuh belas, Ibrahim Minta Ditampakkan Hal Ghaib
Yakin itu ada 3 tingkatan:
- [1] Yakin berdasarkan percaya kepada informasi, disebut ilmul yakin [علم اليقين]
- [2] Yakin karena telah menyaksikan kejadian secara langsung, disebut ‘ainul yakin [عين اليقين]
- [3] Yakin karena sudah mengalami, disebut haqul yakin [حق اليقين]
Saat si A mendapatkan informasi bahwa Ka’bah ada di Mekah, dia yakin dengan kebenaran itu. Kondisi ini disebut ilmul yakin. Lalu dia melakukan perjalanan menuju Mekah, dan di perjalanan dia melihat Ka’bah dari kejauhan. Membuat dia semakin yakin tentang keberadaan Ka’bah. Itulah fase, ainul yaqin. Saat dia thawaf, dia mengalami langsung bahkan menyentuh Ka’bah. Kondisi ini disebut haqqul yakin.
Nabi Ibrahim ‘alahis salam pernah meminta kepada Allah agar ditampakkan kepada beliau bagaimana Allah menghidupkan makhluk yang sudah mati. Saat Allah bertanya, ‘Apakah kamu belum beriman?’ Jawab Ibrahim, ‘Bukan demikian, namun agar hatiku semakin yakin.’ Dalam kejadian ini, Ibrahim meminta tambahan yakin, dari ilmul yakin menjadi ainul yakin.
Allah berfirman,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَٰهِۦمُ رَبِّ أَرِنِى كَيْفَ تُحْىِ ٱلْمَوْتَىٰ ۖ قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِن ۖ قَالَ بَلَىٰ وَلَٰكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِى ۖ قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِّنَ ٱلطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ ٱجْعَلْ عَلَىٰ كُلِّ جَبَلٍ مِّنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ٱدْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا ۚ وَٱعْلَمْ أَنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Ingatlah ketika Ibrahim berkata: "Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati". Allah berfirman: "Belum yakinkah kamu?" Ibrahim menjawab: "Aku telah meyakinkannya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan imanku) Allah berfirman: "(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. (Allah berfirman): "Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera". Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Baqarah: 260)
Ibrahim bukannya ragu bahwa Allah kuasa untuk menghidupkan kembali makhluk yang sudah mati. Namun yang diharapkan Ibrahim dengan melihat kejadian itu adalah agar dia semakin yakin. Lalu Allah perintahkan agar Ibrahim mengambil 4 burung. Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan keterangan sebagian ahli tafsir, bahwa 4 burung itu adalah ayam, bangau, burung dara, dan merak. Ibnu Katsir juga menyebutkan keterangan ahli tafsir yang lain, dengan jenis burung yang berbeda.
Lalu beliau menyembelih keempat burung itu dan mencacah semua dagingnya, hingga dicabut semua bulu-bulunya. Kemudian dicampur antara satu dengan yang lainnya. Lalu beliau bagi 4 dan ditaruh di beberapa bukit. Ada yang menyebutkan 4 bukit dan ada yang menyebutkan 7 bukit. Namun kepala masing-masing burung itu, dibawa oleh Ibrahim.
Ibrahim-pun memanggil burung-burung itu sesuai yang Allah perintahkan. Beliau melihat bulu terbang ke bulu yang lain, daging menyatu dengan daging yang lain, demikian pula darah yang tercecer, kembali menyatu dengan jasadnya. Lalu semua mendatangi Ibrahim untuk mengambil kepalanya. Saat diberi kepala yang bukan pasangannya, jasad itu menolak. Saat diberi kepala yang sesuai, kepala itu langsung terpasang di jasadnya. Semua terjadi dengan kuasa Allah. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/690)
Kedelapan belas, Permintaan Musa untuk Melihat Allah
Nabi Musa ‘alaihis salam pernah meminta kepada Allah agar bisa melihat Dzat Allah. Namun Allah tidak mengabulkan permohonan ini. Dan Allah tunjukkan kepada Musa keajaiban yang lain, sehingga membuat Musa pingsan.
Allah berfirman,
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَٰتِنَا وَكَلَّمَهُۥ رَبُّهُۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرْ إِلَيْكَ ۚ قَالَ لَن تَرَىٰنِى وَلَٰكِنِ ٱنظُرْ إِلَى ٱلْجَبَلِ فَإِنِ ٱسْتَقَرَّ مَكَانَهُۥ فَسَوْفَ تَرَىٰنِى ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُۥ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُۥ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقًا ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبْحَٰنَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا۠ أَوَّلُ ٱلْمُؤْمِنِينَ
Tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (QS. Al-A'raf: 143)
Setelah Musa diajak bicara langsung oleh Allah, Musa mendengar suara Allah, lalu Musa ingin bisa berhadapan langsung dengan Allah. Beliaupun meminta untuk bisa melihat wajah Allah. Namun Allah tidak mengabulkan permintaan ini. Namun Allah perintahkan Musa untuk melihat ke arah gunung, dan Allah menampakkan diri ke gunung. Jika gunung itu tetap bertahan di tempatnya, Musa akan bisa melihat Allah.
Saat Allah menampakkan diri-Nya ke gunung, dia langsung hancur.
Ibnu Katsir menyebutkan keterangan Ibnu Jarir bahwa Allah hanya menampakkan sekilas dan seluas ujung jari kelingking. Seketika gunung itu hancur jadi debu sebagaimana keterangan Ibnu Abbas. Sementara saat Musa melihat kejadian itu, beliau langsung tersungkur jatuh pingsan. (Tafsir Ibnu Katsir, 3/470)
Manusia tidak bisa melihat Dzat Allah secara langsung saat dia masih hidup. Mereka bisa melihat Tuhannya, saat mereka sudah mati. Dari Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, Ketahuilah bahwa kalian tidak akan bisa melihat Rab kalian sampai kalian mati. (HR. Ibnu Majah 4077 dan disahihkan al-Albani)
Kejadian ini menunjukkan bahwa tidak semua hal ghaib, ditampakkan oleh Allah kepada para nabi-Nya. Meskipun itu melalui permintaan. Jika Allah tidak tampakkan maka selamanya tidak akan pernah diketahui oleh hamba.
Catatan:
Musa meminta untuk melihat wajah Allah, namun tidak dikabulkan. Karena melihat wajah Allah adalah kenikmatan puncak bagi penghuni surga, sehingga tidak Allah berikan di dunia, walaupun atas permintaan seorang nabi.
Dalam hadis dari Shuhaib bin Sinan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bercerita,
إذا دَخَلَ أهْلُ الجَنَّةِ الجَنَّةَ، قالَ: يقولُ اللهُ تبارَكَ وتعالى: تُرِيدُونَ شيئًا أزِيدُكُمْ؟ فيَقولونَ: ألَمْ تُبَيَّضْ وُجُوهَنا؟ ألَمْ تُدْخِلْنا الجَنَّةَ، وتُنَجِّنا مِنَ النَّارِ؟ قالَ: فَيَكْشِفُ الحِجابَ، فَما أُعْطُوا شيئًا أحبَّ إليهِم مِنَ النَّظرِ إلى رَبِّهِم عزَّ وجلَّ. ثُمَّ تلا هذِه الآیَةَ: {لِلَّذِینَ أحْسَنُوا الحُسئی وزِیادَةٌ} [یونس: 26]
Apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman: “Apakah kalian menginginkan sesuatu agar Aku tambahkan untuk kalian?” Mereka menjawab: “Bukankah Engkau telah membuat wajah kami bercahaya? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari neraka?” Maka Allah pun menyingkap hijab (tabir), dan tidak ada sesuatu yang diberikan kepada mereka yang lebih mereka cintai dibandingkan dengan melihat Rabb mereka Yang Maha Mulia. Kemudian Rasulullah ﷺ membaca ayat (yang artinya): “Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala kebaikan (surga) dan tambahan (yaitu melihat Allah).” (QS. Yunus: 26). (HR. Muslim 181)
Kesembilan belas, Apakah Manusia Bisa Melihat Malaikat?
Terdapat banyak dalil bahwa manusia biasa bisa melihat malaikat namun tidak dalam rupa aslinya. Manusia bisa melihat malaikat ketika berubah wujud dalam bentuk yang lain. Berikut beberapa dalilnya,
[1] Maryam – Radhiyallahu 'anha – melihat malaikat yang mendatanginya
Allah berfirman menceritakan kondisi Maryam daat di Mihrab,
فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سويًّا. قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بالرَّحْمَنِ مِنْكَ إِنْ کُنْتَ تَقِیًّا. قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لكِ غُلاما زکیًّا
lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna. ( ) Maryam berkata: "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa". ( ) Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci". (QS. Maryam: 17 – 19)
[2] Istrinya Ibrahim – Ummu Ishaq – bisa melihat malaikat yang bertamu di rumah Ibrahim
Allah berfirman menceritakan tentang kehadiran malaikat yang menjadi tamu Ibrahim,
هَلْ أَتَىٰكَ حَدِيثُ ضَيْفِ إِبْرَٰهِيمَ ٱلْمُكْرَمِينَ إِذْ دَخَلُوا۟ عَلَيْهِ فَقَالُوا۟ سَلَٰمًا ۖ قَالَ سَلَٰمٌ قَوْمٌ مُّنكَرُونَ. فَرَاغَ إِلَىٰٓ أَهْلِهِۦ فَجَآءَ بِعِجْلٍ سَمِينٍ فَقَرَّبَهُۥٓ إِلَيْهِمْ قَالَ أَلَا تَأْكُلُونَ فَأَوْجَسَ مِنْهُمْ خِيفَةً ۖ قَالُوا۟ لَا تَخَفْ ۖ وَبَشَّرُوهُ بِغُلَٰمٍ عَلِيمٍ
Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tentang tamu Ibrahim (yaitu malaikat-malaikat) yang dimuliakan? ( ) (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan: "Salaamun". Ibrahim menjawab: "Salaamun (kamu) adalah orang-orang yang tidak dikenal". ( ) Maka dia pergi dengan diam-diam menemui keluarganya, kemudian dibawanya daging anak sapi gemuk. ( ) Lalu dihidangkannya kepada mereka. Ibrahim lalu berkata: "Silahkan anda makan". ( ) (Tetapi mereka tidak mau makan), karena itu Ibrahim merasa takut terhadap mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu takut", dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang alim (Ishak). (QS. Ad-Dzariyat: 24 – 28)
[3] Kaum Luth melihat tamu Nabi Luth yang ganteng-ganteng
Malaikat mendatangi Nabi Luth ‘alaihis salam dalam rupa yang menawan, sehingga mereka sangat tertarik dan ingin melakukan homo dengan tamunya Luth.
Allah berfirman,
وَلَمَّا جَآءَتْ رُسُلُنَا لُوطًا سِىٓءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَٰذَا يَوْمٌ عَصِيبٌ وَجَآءَهُۥ قَوْمُهُۥ يُهْرَعُونَ إِلَيْهِ وَمِن قَبْلُ كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ قَالَ يَٰقَوْمِ هَٰٓؤُلَآءِ بَنَاتِى هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِى ضَيْفِىٓ ۖ أَلَيْسَ مِنكُمْ رَجُلٌ رَّشِيدٌ قَالُوا۟ لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِى بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيدُ
Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: "Ini adalah hari yang amat sulit". ( ) Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji. Luth berkata: "Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?" ( ) Mereka menjawab: "Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri- puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki". (QS. Hud: 77 – 79)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang kafir juga memungkinkan untuk melihat malaikat dalam bentuk selain rupa aslinya.
[3] Hadis Jibril saat mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengajarkan islam, iman dan ihsan
Jibril datang dalam rupa manusia yang tidak dikenal satupun sahabat. Seusai Jibril menjelaskan, beliau pergi lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam mengatakan,
فإِنَّهُ جِبْرِیلُ أَتاڭُم يُعلِّمُگُم دِینگُم
Itu adalah Jibril, mendatangi kalian untuk mengajarkan agama kepada kalian. (HR. Bukhari 8).
[4] Hadis tentang 3 orang Israil yang diuji oleh Allah
Ada 3 orang di kalangan Bani Israil yang diuji oleh mereka. Orang pertama buta matanya, orang kedua botak kepalanya, dan orang ketiga punya penyakit kulit. Mereka didatangi oleh Malaikat dalam rupa manusia dan mengabulkan permohonan yang mereka harapkan. Mereka sembuh dari penyakitnya dan diberi binatang ternak sesuai yang diinginkan. (HR. Bukhari 3277 & Muslim 2964)
[5] Kisah tentang orang yang didatangi Malaikat
Ada orang soleh yang melakukan perjalanan untuk berkunjung ke temannya sesama muslim di daerah yang lain. Lalu Allah mengutus malaikat dalam rupa manusia untuk mendatanginya. Saat orang itu ditanya oleh Malaikat, apa tujuan kamu datang ke temanmu? Dia menjawab, “Aku tidak punya tujuan yang lain selain karena aku mencintainya karena Allah.”
Lalu malaikat itu mengatakan,
فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ فَدْ أَحَبَّكَ كُمَا أَحْبَبْتَهُ فِیهِ
Sesungguhnya aku adalah utusan Allah, yang diutus untuk menemuimu, guna menyampaikan pesan bahwa Allah mencintaimu sebagaimana kamu mencintai temanmu karena-Nya. (HR. Muslim 2567)
Dan masih banyak riwayat lainnya yang menunjukkan bahwa manusia biasa bisa melihat malaikat dalam rupa selain rupa aslinya. Akan tetapi malaikat dalam rupa asli, manusia biasa tidak mungkin mampu melihatnya. Karena itu, ketika orang musyrik menantang, mengapa utusan Allah bukan dari Malaikat, Allah membalas ucapan mereka dengan berfirman,
قُل لَّوْ كَانَ فِى ٱلْأَرْضِ مَلَٰٓئِكَةٌ يَمْشُونَ مُطْمَئِنِّينَ لَنَزَّلْنَا عَلَيْهِم مِّنَ ٱلسَّمَآءِ مَلَكًا رَّسُولًا
Katakanlah: "Kalau seandainya ada malaikat-malaikat yang berjalan-jalan sebagai penghuni di bumi, niscaya Kami turunkan dari langit kepada mereka seorang malaikat menjadi rasul". (QS. al-Isra: 95)
Allah juga berfirman,
وَقَالُوا۟ لَوْلَآ أُنزِلَ عَلَيْهِ مَلَكٌ ۖ وَلَوْ أَنزَلْنَا مَلَكًا لَّقُضِىَ ٱلْأَمْرُ ثُمَّ لَا يُنظَرُونَ وَلَوْ جَعَلْنَٰهُ مَلَكًا لَّجَعَلْنَٰهُ رَجُلًا وَلَلَبَسْنَا عَلَيْهِم مَّا يَلْبِسُونَ
mereka berkata: "Mengapa tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) malaikat?" dan kalau Kami turunkan (kepadanya) malaikat, tentulah selesai urusan itu, kemudian mereka tidak diberi tangguh (sedikitpun). ( ) Dan kalau Kami jadikan rasul itu malaikat, tentulah Kami jadikan dia seorang laki-laki dan (kalau Kami jadikan ia seorang laki-laki), tentulah Kami meragu-ragukan atas mereka apa yang mereka ragu-ragukan atas diri mereka sendiri. (QS. Al- An’am: 8 – 9)
Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar mengatakan,
ولما كانت الملائكة أجساماً نورانيَّة لطيفة؛ فإن العباد لا يستطيعون رؤيتهم، خاصة أن الله لم يُعطِ أبصارنا القدرة على هذه الرؤية ، ولم يرَ الملائكةَ في صُوّرهم الحقيقية من هذه الأمَّة إلا الرسول صلى الله علیه وسلم ؛ فإنه رأی جبریل مرتین في صورته التي خلقه الله علیھا
Mengingat malaikat merupakan makhluk dari cahaya yang lembut, manusia tidak bisa malihat mereka. Terlebih tidak memberikan indra penglihatan mereka kekuatan untuk melihatnya. Dan tidak ada yang bisa melihat malaikat dalam rupa asli di tengah umat ini selain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam. Beliau melihat Jibril 2 kali dalam rupa aslinya seperti yang Allah ciptakan. (Alam al-Malaikah al-Abrar, hlm. 11)
Kedua puluh, Bukti Bahwa Jin tidak Tahu Hal Ghaib
Jin tidak tahu hal ghaib, mereka seperti manusia yang hanya bisa mengetahui apa yang mereka indera. Hanya saja, mereka bisa melihat alam manusia, namun manusia tidak bisa melihat alam jin.
Allah berfirman,
إِنَّهُۥ يَرَىٰكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُۥ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا ٱلشَّيَٰطِينَ أَوْلِيَآءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
Sesungguhnya Iblis dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan sebagai wali bagi orang-orang yang tidak beriman. (QS. Al-A’raf: 27)
Selain yang mereka indera, mereka tidak bisa mengetahuinya. Karena pada asalnya kemampuan mereka sama seperti kemampuan manusia.
Di zaman Nabi Sulaiman ‘alaihis salam, jin bekerja di bawah kekuasaan beliau. Sementara mereka yang membangkang dan tidak mau bekerja, dibelenggu dan tidak bisa bebas beraktifitas.
Allah berfirman,
وَٱلشَّيَٰطِينَ كُلَّ بَنَّآءٍ وَغَوَّاصٍ. وَءَاخَرِينَ مُقَرَّنِينَ فِى ٱلْأَصْفَادِ
dan (Kami tundukkan pula kepadanya) syaitan-syaitan semuanya ahli bangunan dan penyelam, ( ) dan syaitan yang lain yang terikat dalam belenggu. (QS. Shad: 37–38)
Mereka tidak berani untuk membangkang, selama Nabi Sulaiman masih hidup. Bahkan pada saat Nabi Sulaiman meninggal, mereka masih tetap seperti itu, karena mereka tidak tahu, bahwa ternyata selama ini beliau sudah meninggal.
Allah ceritakan bagaimana meninggalnya Sulaiman, Allah berfirman,
فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ ٱلْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَىٰ مَوْتِهِۦٓ إِلَّا دَآبَّةُ ٱلْأَرْضِ تَأْكُلُ مِنسَأَتَهُۥ ۖ فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ ٱلْجِنُّ أَن لَّوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ ٱلْغَيْبَ مَا لَبِثُوا۟ فِى ٱلْعَذَابِ ٱلْمُهِينِ
tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka tatkala ia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. (QS. Saba’: 14)
Nabi Sulaiman ‘alaihis salam mati dalam kondisi berdiri sambil bersandar dengan tongkatnya. Tidak ada yang tahu bahwa beliau telah meninggal, bahkan para Jin juga merasa bahwa Sulaiman masih hidup. Mereka terus bekerja karena takut disiksa jika tidak taat kepada Nabi Sulaiman. Dan ini berlangsung cukup lama. Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan bahwa rentangnya sekitar satu tahun. (Tafsir Ibnu Katsir, 6/501)
Kemudian sekerumunan rayap memakan tongkatnya Sulaiman. Hingga saat jasad Sulaiman terjatuh, semua baru sadar bahwa ternyata selama ini Nabi Sulaiman telah meninggal dunia.
Dan ini menjadi bukti bahwa Jin tidak tahu hal ghaib sebagaimana layaknya manusia.
Allah tegaskan hal ini di akhir ayat,
فَلَمَّا خَرَّ تَبَيَّنَتِ ٱلْجِنُّ أَن لَّوْ كَانُوا۟ يَعْلَمُونَ ٱلْغَيْبَ مَا لَبِثُوا۟ فِى ٱلْعَذَابِ ٱلْمُهِينِ
Tatkala dia telah tersungkur, tahulah jin itu bahwa kalau sekiranya mereka mengetahui yang ghaib tentulah mereka tidak akan tetap dalam siksa yang menghinakan. (QS. Saba’: 14)
Keduapuluh satu, Setan Mencuri Berita dari Langit
Allah berfirman menceritakan tentang perbuatan Jin,
وَأَنَّا كُنَّا نَقْعُدُ مِنْهَا مَقَٰعِدَ لِلسَّمْعِ ۖ فَمَن يَسْتَمِعِ ٱلْءَانَ يَجِدْ لَهُۥ شِهَابًا رَّصَدًا
Sesungguhnya kami dahulu dapat menduduki beberapa tempat di langit itu untuk mendengar-dengarkan (berita-beritanya). Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). (QS. Al-Jin: 9)
Sebelum al-Quran diturunkan, Jin diizinkan untuk duduk di langit dunia untuk mendengarkan obrolan Malaikat tentang ketetapan yang Allah firmankan kepada mereka sebelum diwujudkan di muka bumi. Perbuatan ini dilakukan jin-jin jahat, lalu dia sampaikan berita hasil curian itu ke para dukun yang ada di bumi. (Tafsir al-Qurthubi, 12/19)
Setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam diutus dan al-Quran diturunkan, mereka tidak lagi diizinkan untuk duduk di langit. Bagi jin yang nekat ingin duduk di langit, dia akan dilepar dengan api. Allah berfirman,
فَمَن يَسْتَمِعِ ٱلْءَانَ يَجِدْ لَهُۥ شِهَابًا رَّصَدًا
Tetapi sekarang barangsiapa yang (mencoba) mendengar-dengarkan (seperti itu) tentu akan menjumpai panah api yang mengintai (untuk membakarnya). (QS. Al-Jin: 9)
Dalam hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
إذا قَضِى اللهُ الأمرَ في السَّماءِ ضَرَبَتِ المَلائِكةُ بأجنِحَتِها خُضعانًا لقَولِه، كأنَّه سِلسِلةٌ علی صَفْوانٍ، فإذا فُرَّعَ عَن قُلوبِهم قالوا: ماذا قال رَبُّكُم؟ قالوا للَّذي قال: الحَقُّ، وهوَ العليُّ الكبيرُ، فيَسمَعُها مُستَرِقُ السَّمعِ، ومُستَرِقُ السَّمعِ هَكَذا بَعضُه فوقَ بَعضٍ فيَسمَعُ الكَلِمةَ فيُلقيها إلى من تَحتَه، ثُمَّ يُلقيها الآخَرُ إلى من تَحثه، حَتَّى يُلقِيَها على لسانِ السَّاحِرِ أوِ الكاهِنِ، فرُبَّما أدرَكَ الشَّهابُ قبلَ أن يُلقِیَها، ورُبَّما ألقاها قَبلَ أن يُدرِكَه، فيَكذِبُ مَعَها مِائةً کَذْبةٍ، فیُقالُ: ألیسَ قد قال لنا یَومَ کذا: کذا وكَذا؟! فيُصَدَّقُ بتِلكَ الكلِمةِ الَّتي سَمِعَ مِنَ السَّماءِ
Apabila Allah menetapkan takdir di atas langit, para malaikat mengepakkan sayapnya karena tunduk dengan firman-Nya. Seperti suara rantai yang digesek di atas batu licin. Ketika rasa takut sudah dicabut dari hati mereka, mereka saling bertanya, ‘Apa yang difirmankan oleh Rab kalian?’ Malaikat yang mendengar berkata, ‘Dia berfirman kebenaran.’ Ucapan merekapun didengar oleh pencuri berita langit. Para jin pencuri berita langit itu saling bertumpuk antara satu dengan yang lain. Jin paling atas mendengar dan menyampaikan kepada jin di bawahnya, hingga jin paling bawah menyampaikan kepada penyihir atau dukun.
Terkadang jin yang bertumpuk tadi terkena lemparan api bintang sebelum sempat menyampaikan kepada jin yang di bawahnya. Terkadang dia berhasil menyampaikan kepada yang di bawahnya sebelum terkena lemparan api. Lalu oleh si dukun, berita itu dicampur dengan 100 kedustaan. Lalu masyarakatpun komentar: “Bukankah Pak dukun pernah bilang seperti ini?” ucapan dukun itupun dibenarkan dengan satu keterangan yang dia dengar dari berita langit. (HR. Bukhari 4800)
Dalam riwayat lain dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
إنَّ المَلائِكةَ تَنزِلُ في العنانِ: وهوَ السَّحابُ، فتَذكُرُ الأَمرَ قُضِيَ في السَّماءِ، فتَستَرِقُ الشَّياطينُ السَّمعَ فئَسمغه، فتوحیهِ إلی الگُهَّانِ، فیكذِبونَ مَعها مِائۀً گذبةٍ من عِندِ أنفسِهم
Para malaikat turun ke awan, lalu mereka menyebutkan keputusan takdir yang ditetapkan di langit. Lalu setan mencuri dengar, kemudian dia sampaikan ke para dukun. Lalu mereka campuri dengan 100 kedustaan buatan sendiri. (HR. Bukhari 3210 dan Muslim 2228)
Dari fenomena inilah dukun bisa mengetahui sebagian informasi tentang takdir, yang sudah Allah sampaikan ke para Malaikat dan berhasil dicuri jin yang nakal.
Keduapuluh dua, Macam-Macam Berita dari Jin
Berita yang disampaikan jin kepada manusia ada 2:
[1] Informasi yang tidak bisa dijangkau oleh manusia
Untuk informasi yang tidak bisa dijangkau manusia, bisa kita bagi menjadi 2:
(a) Informasi ghaib yang tidak pernah dibocorkan oleh Allah kepada siapapun.
Informasi semacam ini tidak ada satupun makhluk yang tahu, baik malaikat, apalagi jin dan manusia.
Seperti takdir masa depan, kapan terjadi kiamat, dan aneka fenomena yang tidak pernah Allah beritahukan kepada makhluk-Nya. Apabila ada orang yang mengklaim bisa mengetahuinya maka kita pastikan dia dusta dan klaim dia bisa merusak iman.
(b) Hal ghaib yang bentuknya ketetapan takdir yang sudah Allah putuskan Allah menetapkan takdir dan Allah sampaikan ke Jibril, lalu Jibril menyampaikannya kepada para Malaikat. Di saat itulah, jin berusaha mencuri dengar berita langit. Apabila mereka berhasil mencurinya, mereka segera sampaikan ke jin di bawahnya, hingga sampai ke telinga dukun.
Karena Allah sudah sampaikan takdir itu kepada para Malaikat maka informasi ini tidak disebut hal ghaib mutlak, sebab banyak makhluk yang tahu.
Meyakini bahwa ada dukun yang memiliki pembisik seorang jin yang mencuri berita dari langit, tidak termasuk kekufuran. Hanya saja, perbuatan ini tetap dilarang, sehingga pelakunya dihukum dengan tidak diterima shalatnya selama 40 hari.
[2] Informasi yang bisa dijangkau oleh manusia
Seperti peristiwa yang terjadi di tempat lain yang jauh atau peristiwa masa silam yang pernah dialami jin, namun karena usianya yang panjang sehingga dia bisa ketemu dengan manusia generasi setelahnya dengan jarak ratusan tahun. (Majmu’ Fatawa, 11/283)
Para ulama juga mengakui bahwa jin punya kemampuan berpindah sangat cepat dan dengan jangkauan yang jauh. Sehingga mungkin saja dia menyaksikan kejadian di tempat lain, yang tidak diketahui manusia di daerah yang berbeda. (at-Tafsir al-Qur’ani, al-Khathib, 11/794)
Dalam an-Nubuwat, Syaikhul Islam pernah mengatakan,
وأمَّا ما يَعلَمُه بَعضُ المَخلوقين فهوَ غَيبٌ عَمَّن لَم يَعلَمْه، وهوَ شَهادةٌ لِمن عَلِمَه
Adapun yang diketahui sebagian makhluk, statusnya ghaib bagi sebagian yang lain, dan tidak ghaib bagi yang mengetahuinya. (an-Nubuwat, 2/1022)
Bahkan Syaikhul Islam menyebutkan bahwa meminta bantuan jin dalam hal mubah, hukumnya sama seperti meminta bantuan sesama manusia dalam hal mubah. Beliau menyebutkan,
ومن كان يستعمل الجن في أمور مباحة له، فهو كمن استعمل الإنس في أمور مباحة له، وهذا كأن يأمرهم بما يجب عليهم وينهاهم عما حرم عليهم ويستعملهم في مباحات له
Orang yang minta bantuan jin dalam perkara mubah, seperti mempekerjakan manusia dalam hal mubah. Misalnya memerintahkan jin untuk melakukan kewajibannya atau melarang jin untuk melakukan yang diharamkan bagi mereka, atau menyuruh mereka melakukan hal mubah lainnya. (Majmu’ al- Fatawa, 11/307)
Beliau juga menyebutkan contoh praktek orang masa silam yang menyuruh jin untuk mencari hartanya.
ومنهم من يستخدمهم - أي الجن - في أمور مباحة إما إحضار ماله
Diantara mereka ada yang menyuruh jin untuk hal mubah, seperti mendatangkan hartanya. (Majmu’ al-Fatawa, 13/87)
Mempercayai berita dari jin dalam urusan duniawi, tidak sampai pada derajat mengklaim hal ghaib. Sehingga bukan praktek kesyirikan. Hanya saja para ulama melarang, karena mereka tidak bisa dipercaya. Selain itu, praktek semacam ini bisa membuka peluang praktek perdukunan.
Syaikh Dr. Soleh al-Fauzan mengatakan,
لا یستعان بالجان، لا المسلم منهم ولا الذي یقول إنه مسلم؛ لأنه قد یقول مسلم وهو کذاب من أجل أن يتدخل مع الإنس، فيُسد هذا الباب من أصله
Tidak boleh minta bantuan dari jin, baik yang muslim maupun yang mengaku muslim. Karena bisa jadi dia mengaku muslim sementara dia pendusta, agar bisa ikut campur urusan manusia. Sehingga perlu ditutup celah ini sedari awal. (as-Sihr was Sya’wadzah, hlm. 86)
Keduapuluh tiga, Rincian Hukum Mendatangi Dukun
Ada beberapa ancaman dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk orang yang mendatangi dukun dan bertanya-tanya ke dukun. Berikut beberapa redaksi hadis tersebut,
[1] Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
مَنْ أَنتی عَرَافًا أَوْ گَاهِنَا فَصَدَّقَهُ بِمَا یَقُولُ فَقَدْ کَفَرَ بِمَا أُنزِلَ عَلی مُحمَّدٍ صلی الله علیه وسلم.
“Barangsiapa yang mendatangi peramal atau dukun, lalu membenarkan ucapannya maka sungguh telah kufur (ingkar) dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Daud 3904, Tirmidzi 135 dan dishahihkan al-Albani)
[2] Dari salah satu istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَني لمْ تُقْبَل لهُ صَلاةٌ أَرْبَعيْن لیلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi peramal lalu bertanya kepadanya tentang sesuatu niscaya shalatnya tidak diterima selama 40 hari.” (HR. Muslim 2230)
[3] Hadis dari Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
لَئْسَ مِنَّا مَنْ تَطَیَّر أوْ تُطْیِّر لَه, أوْتَکھَّنَ أَوتُکُھّنَ لَهُ,أَوْ سَحَرَ أَوْ سُجِرَلَهُ. وَمَنْ أَنَی کاهِنا فَصَدَّقهُ پما یَقُولُ فَقَدْ کفَرَ پمَا أُنْزِلَ عَلَی مُحَمَّدٍ صلی الله علیه وسلم.
“Bukan termasuk golongan kami orang yang melakukan thiyarah atau meminta tathayyur (dicarikan ramalan sialnya), atau meramal atau meminta diramal, atau menyihir atau meminta dibantu dengan sihir, dan barangsiapa yang mendatangi dukun lalu membenarkan ucapannya, maka sungguh ia telah kafir dengan wahyu yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bazzar 3578 dan sanadnya Jayyid)
Selanjutnya, ulama memberikan rincian mengenai status orang yang mendatangi dukun dengan aneka tujuan dan latar belakang:
- [Pertama] Mendatangi dukun atau peramal dengan keyakinan bahwa dukun dan peramal itu mengetahuinya hal ghaib. Untuk kondisi ini, pelakunya dinilai telah keluar dari islam. Karena dia telah menyekutukan Allah dengan makhluk dalam hal mengetahui hal ghaib. Padahal tidak ada yang tahu hal ghaib kecuali Allah.
Al-Munawi mengatakan,
إن مصدق الكاهن إن اعتقد أنه يعلم الغيب كفر وإن اعتقد أن الجن تلقي إلیه ما سمعته من الملائکة وأنه بالهام فصدقه من هذه الجھة لا یکفر
“Orang yang membenarkan dukun, jika dia meyakini bahwa dukun itu mengetahui perkara ghaib (dengan sendirinya), maka dia kafir. Jika meyakini bahwa ada jin yang menyampaikan berita kepadanya yang mereka dengar dari malaikat atau dia tahu dari ilham yang dia peroleh, lantas dibenarkan karena alasan itu, ini tidak sampai kafir.” (Faidhul Qadir, 6/23)
- [Kedua] Mendatangi dukun dengan keyakinan bahwa dia tahu hal ghaib karena dapat bisikan dari jin yang mencuri dengar dari langit, atau dari ilham yang dibisikkan makhluk ghaib atau dia bisa mengetahui barang hilang, maka statusnya tidak sampai kafir. Hanya saja ada dua hukuman untuknya,
(a) Tidak diterima shalatnya selama 40 hari, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
مَنْ أَنَى عَرَّافا فسأَلهُ عَنْ شَئءٍ لم تُقْبَلْ لَهُ صلاةٌ أَرْبَعِین لیلَةً
“Barangsiapa yang mendatangi dukun, lalu dia bertanya sesuatu maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim 2230)
Imam Nawawi menjelaskan: “Maksud tidak diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat yang dia kerjakan tetap dianggap menggugurkan kewajibannya dan dia tidak butuh untuk mengulangi shalatnya.” (Syarh Shahih Muslim, 14/227)
(b) Dinilai melakukan perbuatan kufur asghar (kecil), sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis,
مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ کَفَّرَ بِمَا أُنزِلَ عَلَی مُحمَّدٍ
“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau peramal, lalu dia membenarkannya, berarti dia telah kufur pada al-Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad 9532 dan dihasankan Syu’aib al-Arnauth)
Dalam hadis dari Aisyah bahwa ada beberapa orang yang bercerita kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam tentang dukun, beliaupun bersabda, “Mereka gak bisa apa-apa.”
Penanya itu menyampaikan, ‘Ya Rasulullah, terkadang mereka menceritakan sesuatu dan itu benar.’ Jawab Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
تِلْكَ الْكَلِمَةُ مِنَ الْحَقِّ، يخْطَفُهَا الْجِبِّيُّ، فَيَقُرُّهَا في أُذُنِ وَلِيِّهِ قَرَّ الدَّجَاجَةِ، فَيَخْلِطُونَ فِيهَا أَكْثَرَ مِنْ مِائةٍ گَذْبة
Itulah berita benar yang dicuri oleh jin, lalu dibisikkan di telinga teman dekatnya seperti ayam mematuk. Lalu mereka campur dengan lebih dari 100 kedustaan. (HR. Bukhari 6213 & Muslim 2228)
- [Ketiga] Mendatangi tukang ramal, namun tidak untuk membenarkan ucapannya. Misalnya hanya iseng atau penasaran. Termasuk juga orang yang punya hobi membaca ramalan bintang, dengan maksud untuk iseng. Perbuatan semacam ini hukumnya terlarang.
Dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami Radhiyallahu 'anhu, beliau pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam,
وَإنَّ مِنَّا رِجَالاً يَأتُونَ الْكُهَّانَ. قَالَ: فَلا تَأْتِهِمْ
“Di antara kami ada yang mendatangi para tukang ramal”. Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menyampaikan, “Jangan datangi tukang ramal itu.” (HR. Muslim 537).
- [Keempat] Mendatangi tukang ramal untuk bertanya dengan maksud membuktikan kebohongannya, sehingga ada upaya amar makruf nahi munkar. Praktek semacam ini pernah dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Tersebutlah seorang dukun yang terkenal hebat bernama Ibnu Shoyyad. Nabi shalallahu alaihi wa sallam mendatangi orang ini dan mengujinya,
إني خبات لك خبئا
“Sesungguhnya aku menyembunyikan sesuatu, coba tebak.”
Ibnu Shoyyad berusaha menebak, lalu dia mengucapkan,
هو الڈُّخ
“Yang Anda sembunyikan adalah dukh.” Beliau bersabda,
اخسا؛ فلن تغدو قدرك
“Terhina kau, kau tidak akan mampu melampaui batas kemampuanmu.“
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam membacakan ayat,
فارْئقِبْ یَوْم تأْتِی آلسّمَاءُ پدخان مُپین
Maka tunggulah pada hari ketika langit membawa kabut yang tampak jelas. (QS. Ad-Dukhan: 10) (Muttafaqun ‘alaihi).
Apa yang dilakukan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam ketika itu bertujuan untuk membuktikan bahwa Ibnu Shoyyad itu mampu mengetahui hal ghaib. Buktinya, dia tidak bisa menebak isi perasaan seseorang.
Astrologi & Astronomi
Astrologi dan astronomi keduanya membicarakan tentang benda langit dan peredarannya. Hanya saja, hukumnya berbeda, karena hakekat keduanya berbeda.
[1] Astrologi mempelajari gerakan benda-benda langit lalu dikaitkan dengan ramalan kejadian di bumi.
Sehingga Ilmu astrologi sangat kental dengan unsur mistis, dan ditunggangi dengan ideologi. Karena itu, ilmu astrologi yang tersebar di masyarakat, pendekatannya berbeda-beda, tergantung dari ideologi dan mitos yang melatar belakanginya. Ada astrologi barat, astrologi tiongkok, astrologi weda (Jyotish), dan masih banyak yang lainnya. Semuanya tidak lepas dari mitos paganisme.
Ilmu semacam ini haram untuk dipelajari, bahkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menyebutnya sebagai bagian dari sihir. Dari Ibnu Abbas, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
منِ اقتبسَ عِلمًا منَ النُّجوم، اقتبسَ شعبةً منَ السحر زادَ ما زادَ
Siapa yang mempelajari sebagian dari ilmu nujum, berarti dia mempelajari salah satu cabang ilmu sihir. Makin dalam dia pelajari, makin dalam terjerumus ke dalam sihir. (HR. Ahmad 2840, Abu Daud 3905 dan dihasankan al-Albani)
Diantara contoh penggunaan astrologi adalah tentang ramalan zodiak (ramalan rasi bintang berdasarkan tanggal lahir).
[2] Astronomi adalah ilmu yang mempelajari benda langit dan fenomena alam yang terjadi di luar bumi, termasuk fenomena di atmosfer atas bumi yang berasal dari luar angkasa.
Ilmu astronomi juga digunakan untuk membantu perhitungan waktu, seperti penentuan kalender. Termasuk juga untuk menentukan arah. Ilmu semacam ini dibolehkan untuk dipelajari.
Allah berfirman,
إِذْ يَغْشَى ٱلسِّدْرَةَ مَا يَغْشَىٰ
dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petunjuk. (QS. An-Najm: 16)
Allah jadikan matahari dan bulan beredar sesuai perhitungan. Allah berfirman,
ٱلشَّمْسُ وَٱلْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ
Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan. (QS. Ar-Rahman: 5)
Keduapuluh tiga, Apakah Manusia bisa Melihat Jin?
Allah jadikan manusia tidak bisa melihat jin, sekalipun jin bisa melihat manusia.
Allah berfirman,
إِنَّهُۥ يَرَىٰكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُۥ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ
Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. (QS. al-A’raf: 27)
Inilah sifat asli jin, mereka bisa melihat manusia namun mereka tidak bisa dilihat oleh manusia. Akan tetapi jin bisa menjelma menjadi makhluk yang lain, sehingga bisa terindera oleh manusia. Baik dengan dilihat, didengar, atau diraba oleh manusia. Menurut jumhur ulama, kondisi tidak normal itu adalah ketika jin berubah wujud dalam bentuk yang lain, bukan rupa aslinya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan,
وأنه قد یتصور ببعض الصور فتمکن رؤیته وأن قوله تعالی إنه یراکم هو وقبیله من حیث لا ترونهم مخصوص بما إذا کان علی صورته التي خلق علیها
“Bahwa jin itu bisa menampakkan diri dalam bentuk lain sehingga memungkinkan untuk dilihat manusia. Adapun firman Allah Ta‘ala “Sesungguhnya ia (setan) dan golongannya melihat kalian dari tempat yang kalian tidak bisa melihat mereka” dimaknai khusus untuk keadaan ketika ia berada dalam bentuk asalnya yang diciptakan oleh Allah.” (Fathul Bari, 4/489).
Syaikh Muhammad Rasyid Ridha juga menjelaskan semisal,
فإذا تمثل الملك أو الجان في صورة کثیفة کصورة البشر أو غیرهم أمکن للبشر أن یروه، ولکنهم لا یرونه علی صورته وخلقته الأصلیة بحسب العادة
Ketika malaikat atau jin berubah wujud menjadi bentuk fisik, seperti bentuk manusia atau makhluk yang lainnya, memungkinkan bagi manusia untuk melihatnya. Namun manusia tidak bisa melihat dalam bentuk dan rupa aslinya, sebagaimana kondisi normal. (Tafsir al-Manar, 7/264)
Ada beberapa dalil yang menunjukkan bahwa manusia biasa bisa melihat jin ketika mereka berubah wujud menjadi rupa yang lain. Diantaranya:
[1] Pengalaman Abu Hurairah ketika menangkap jin
Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bercerita bahwa beliau pernah ditugaskan Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam untuk menjaga zakat ramadhan. Pada suatu malam ada pencuri, lalu berhasil menangkapnya. “Akan aku laporkan kamu ke Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam.” Kata Abu Hurairah.
Namun pencuri itu memelas, ‘Aku orang yang tidak mampu, aku punya keluarga, dan aku sangat membutuhkannya.’ Akhirnya dilepaskan oleh Abu Hurairah.
Di malam kedua, dia datang lagi dan mencuri makanan. Lalu berhasil ditangkap Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, diapun memelas dan beralasan yang sama. Kali ini dia berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Namun ternyata dia datang untuk yang ketiga kalinya. Diapun ditangkap Abu Hurairah, dan kali ini tidak ada ampun. Akan dilaporkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam.
Akan tetapi dia meminta Abu Hurairah untuk melepaskannya, karena akan diajari bacaan yang bermanfaat untuknya. Pencuri itu mengatakan,
إذَا أوَيْتَ إلى فِرَاشِكَ، فَاقْرأْ آيَةً الكُرْسِيِّ، حتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ؛ فإنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللهِ حافِظ، ولا یقرَبنّك شیطانٌ حتّی تُصْبحَ
Jika kamu mau tidur, bacalah ayat kursi sampai selesai. Maka akan selalu ada penjaga dari Allah untukmu, dan kamu tidak akan didekati setan sampai subuh.
Keesokan harinya, saat Abu Hurairah ketemu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam, beliau bertanya, “Semalam, apa yang kamu lakukan terhadap tawananmu?” Jawab Abu Hurairah, ‘Ya Rasulullah, dia mengajariku bacaan yang dengan itu, Allah akan memberikan manfaat kepadaku. Akhirnya aku lepas.’ Lalu Abu Hurairah menyebutkan keutamaan membaca ayat kursi sebelum tidur.
Kemudian Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
أَمَا إنَّه قدْ صَدَفَكَ، وهو كَذُوبٌ، تَعلَمُ مَن تُخَاطِبُ مُئذُ ثَلَاثٍ لَيَالٍ يا أبَا هُرَيْرَةً؟ قَالَ: لَا، فَالَ: ذَاكَ شیطانٌ
Kali ini dia benar, walaupun sejatinya dia pendusta. Kamu tahu siapa yang bermasalah dengan kamu selama 3 malam itu, wahai Abu Hurairah? ‘Tidak tahu..’ jawab Abu Hurairah. Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda, “Itu adalah setan.” (HR. Bukhari 2311 dan yang lainnya)
[2] Ibnu Mas’ud melihat jin
Suatu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menyampaikan ke para sahabat,
أُمِرتُ أَن أَتلُوَ القُرآنَ عَلَى الجِنّ فَمَن یَذهَبُ مَعِي؟
Aku diperintahkan untuk membacakan al-Quran kepada jin. Siapa yang sanggup menemaniku?
Semua sahabat terdiam, hingga beliau ulangi tiga kali. Lalu sahabat Ibnu Mas’ud mengatakan, ‘Aku siap menemani anda, ya Rasulullah.’ Hingga ketika kami berangkat menuju bukit al-Hajun di dekat lembah Abu Dubb, beliau membuat garis dan mengatakan kepadaku, “Jangan melintasi garis ini!”
Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam menuju bukit al-Hajun, tiba-tiba ada yang turun ke arah beliau seperti burung yang menggulingkan batu dengan kaki mereka. Mereka berjalan sambil menghentakkan kaki mereka seperti wanita yang menghentakkan kakinya, hingga mereka mengerumuni Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam dan aku tidak melihat beliau.
Akupun mencoba berdiri, namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam berisyarat dengan tangannya agar aku duduk. Lalu beliau membaca al-Quran sambil mengeraskan suaranya, lalu makhluk-makhluk itu menempel di tanah hingga aku tidak bisa melihat mereka.
Ketika beliau berbalik ke arahku, beliau bertanya: “Kamu ingin menghampiriku?” ‘Betul ya Rasulullah…’ jawabku. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam bersabda,
ما کان ذلك لك ، هؤلاء الجن أتوا یستمعون القرآن ، ثم ولوا إلی قومهم منذرین
Kamu tidak boleh melakukan itu. Mereka adalah jin yang datang untuk menyimak al-Quran. Kemudian mereka pulang menjadi da’i bagi kaumnya.
[3] kisah Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu bersama jin,
Suatu ketika Ubay pernah menangkap jin yang mencuri makanannya. Ubay bin Ka’ab berkata kepada Jin, “Julurkan tanganmu.” Ubay bin Ka’ab mengatakan,
فنَاوَلهُ یَدَهُ، فَإِذا يَدُهُ یَدُ کلب، وَشَغرُهُ شَغرُ كلب، قالَ: هَكَذَا خَلقُ الجِنِّ، قالَ: قَدْ عَلِمَتِ الجِنُّ أَنَّ ما فِیهِمْ رجُل أشدُّ مئّی
“Makhluk itupun menjulurkan tangannya, ternyata tangannya seperti tangan anjing dan bulunya seperti bulu anjing. Ia berkata, “Beginilah bentuk ciptaan jin.” Lalu ia berkata lagi, “Sesungguhnya para jin mengetahui bahwa di antara mereka tidak ada seorang pun yang lebih kuat dariku.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir 541 dan Dhiya’ al-Maqdisi dalam Ahadits al-Mukhtarah 1260)
Hadis ini merupakan dalil bahwa manusia biasa (bukan nabi) memungkinkan untuk melihat jin, namun dalam wujud yang bukan rupa aslinya. Pada kondisi ketika jin berubah wujud menjadi rupa yang lain.
Fenomena Anak Indigo
Terkadang ada anak indigo yang bisa melihat aneka penampakan yang menakutkan. Terkait fenomena indigo, sejatinya yang terjadi adalah jin menampakkan diri kepada anak itu, bukan karena kemampuan anak itu untuk melihat jin. Karena itu, sejatinya kondisi anak yang indigo adalah tidak normal. Dengan sebab tidak normal, seharusnya mereka diobati bukan dianggap sebagai kelebihan, apalagi dianggap wali.
Demikian. Allahu a’lam
✍ Artikel ini disampaikan dalam rangkaian daurah di Qatar tanggal 22 – 27 Oktober 2025 oleh 𝗨𝘀𝘁𝗮𝗱𝘇 𝗔𝗺𝗺𝗶 𝗡𝘂𝗿 𝗕𝗮𝗶𝘁𝘀, 𝗦𝗧., 𝗕𝗔 𝘏𝘢𝘧𝘪𝘻𝘩𝘢𝘩𝘶𝘭𝘭𝘢𝘩.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم