Menu Haji dan Umrah

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran : 97)
Artikel Manasik Haji Manasik Umrah Fatwa Fiqh Download Video
BATU UNTUK MELONTAR

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dari mana batu untuk melontar di ambil ? Bagaimana sifat melontar ? Dan apa hukum mencuci batu yang akan digunakan melontar ?

Jawaban
Batu diambil di Mina. Tapi jika seseorang mengambil batu pada hari Id dari Muzdalifah, maka diperbolehkan. Dan tidak disyariatkan mencuci batu tetapi langsung mengambilnya dari Mina atau Muzdalifah atau dari tanah haram yang lain. Sedangkan ukuran batu adalah kira-kira sebesar kotoran kambing dan tidak berbentuk runcing seperti pelor. Demikianlah yang dikatakan ulama fiqih. Adapun cara melontar adalah sebanyak tujuh batu pada hari Id, yaitu Jumrah Aqabah saja. Sedangkan pada hari-hari tasyriq maka sebanyak 21 batu setiap hari, masing-masing tujuh lontaran untuk Jumrah Ula, tujuh lontaran untuk Jumrah Wustha, dan tujuh lontaran untuk Jumrah 'Aqabah.

MELONTAR DENGAN BATU YANG TERDAPAT DI SEKITAR TEMPAT MELONTAR

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah boleh bagi orang haji melontar jumrah dengan batu yang terdapat di sekitar tempat melontar ?

Jawaban
Boleh. Sebab pada asalnya batu di sekitar tempat melontar tidak digunakan melontar. Adapun batu-batu yang terdapat dalam bak tempat melontar, maka tidak boleh digunakan untuk melontar.

WAKTU, CARA, DAN JUMLAH LONTARAN

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan jama'ah haji memulai melontar ? Bagaimana caranya dan berapa kali melontar ? Dan di tempat manakah dia memulai dan mengakhiri melontar ?

Jawaban
Melontar pertama kali adalah melontar Jumrah 'Aqabah pada hari Ied. Tetapi jika seseorang melakukannya pada tengah malam bagian kedua dari malam Ied, maka demikian itu cukup baginya. Sedangkan yang utama adalah melontar Jumrah 'Aqabah antara waktu dhuha sampai terbenam matahari pada hari Ied.Tapi jika terlewatkan dari waktu itu, maka dapat melontar setelah terbenamnya matahari pada hari Ied. Caranya adalah dengan tujuh kali melontar dengan membaca takbir setiap kali melontar.

Adapun melontar pada hari-hari tasyriq adalah dilakukan setelah matahari condong ke barat (setelah dzuhur). Yaitu memulai dengan melontar Jumrah Ula yang dekat dengan masjid Al-Khaif sebanyak tujuh kali lontaran disertai takbir setiap melontar. Lalu Jumrah Wustha dengan tujuh kali melontar disertai takbir setiap kali melontar. Kemudian melontar di Jumrah 'Aqabah sebanyak tujuh kali lontaran disertai takbir setiap kali melontar. Dan demikian itu dilakukan pada tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah bagi orang yang tidak mempercepat pulang dari Mina. Tapi bagi orang yang ingin mempercepat pulang dari Mina, maka hanya sampai tanggal 12 Dzulhijjah.

Dan disunnahkan setelah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berhenti di samping tempat melontar. Di mana setelah melontar Jumrah Ula disunahkan berdiri di arah kanan tempat melontar dengan menghadap kiblat seraya berdo'a panjang kepada Allah. Sedang sehabis melontar Jumrah Wustha disunnahkan berdiri disamping kiri tempat melontar dengan menghadap kiblat seraya berdo'a panjang kepada Allah. Tapi sehabis melontar Jumrah 'Aqabah tidak disunnahkan berdiri di sampingnya karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah melontar Jumrah Aqabah tidak berdiri disampingnya.

MELONTAR DENGAN BATU BEKAS LONTARAN ORANG LAIN

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Sebagian orang mengatakan tidak boleh melontar dengan batu yang telah digunakan melontar. Apakah demikian itu benar, dan apa dalilnya ?

Jawaban
Itu tidak benar. Sebab orang-orang yang berdalil bahwa batu yang telah digunakan melontar tidak boleh digunakan melontar lagi adalah dengan tiga alasan.

Pertama, Bahwa batu yang telah digunakan melontar seperti air yang telah digunakan untuk bersuci yang wajib. Kata mereka bahwa air yang telah digunakan bersuci yang wajib, maka hukumnya menjadi suci tetapi tidak mensucikan.

Kedua, Seperti hamba sahaya yang telah dimerdekakan maka tidak boleh dimerdekakan lagi untuk membayar kifarat atau lainnya.

Ketiga, Dengan mengatakan boleh menggunakan batu yang telah digunakan berarti memungkinkan semua orang yang haji melontar dengan satu batu. Di mana seseorang melontar dengan satu batu kemudian mengambilnya lagi dan melontar dengannya, lalu mengambilnya lagi dan melontar dengannya hingga sampai tujuh kali. Kemudian datang orang kedua dan mengambil batu tersebut lalu melontar dengannya, kemudian di ambil lagi untuk melontar hingga sampai tujuh kali.

Sesungguhnya ketiga alasan tersebut jika dianalisa, maka kita dapatkan memiliki kelemahan sekali.

Adapun terhadap alasan pertama, maka kami mengatakan tidak adanya koreksi dengan hukum asal. Bahwa mengatakan air yang telah digunakan untuk bersuci yang wajib menjadi "suci tidak mensucikan", maka sesungguhnya tidak ada dalil atas demikian itu. Sebab tidak memungkinkan memindahkan air dari sifanya yang asli, yaitu suci, melainkan dengan dalil. Atas dasar ini maka air yang telah digunakan untuk bersuci yang wajib, maka dia tetap "suci dan mensucikan". Jika tiada hukum asal yang menjadi sandaran maka batal hukum cabang yang diqiyaskannya. Sedang alasan kedua, yakni mengqiyaskan batu yang dilontarkan dengan hamba sahaya yang dimerdekakan, maka demikian itu mengqiyaskan kepada sesuatu yang tidak ada kesamaan. Sebab jika hamba sahaya telah dimerdekakan maka dia menjadi merdeka dan bukan hamba sahaya sehingga tidak ada tempat untuk memerdekakkan diri lagi. Tetapi tidak demikian dengan batu. Sebab ketika batu dilontarkan, maka dia juga masih tetap batu setelah dilontarkan. Sehingga tidak hilang arti karenanya dia layak untuk digunakan melontar. Karena itu jika hamba sahaya yang dimerdekakan menjadi budak lagi sebab alasan syar'i, maka dia boleh dimerdekakan untuk kedua kalinya. Lalu tentang alasan ketiga, yaitu mengharuskan dari yang demikian untuk mencukupkan melontar dengan satu batu, maka kami mengatakan, jika memungkinkan demikian itu maka akan ada.

Tapi hal ini tidak mungkin dan tidak akan ada seseorang pun yang condong kepadanya karena banyaknya batu. Atas dasar itu maka jika jatuh dari tanganmu satu batu atau lebih banyak disekitar tempat-tempat melontar, maka ambillah gantinya dari batu yang ada di sampingmu dan gunakanlah untuk melontar, walaupun kuat diduga bahwa batu itu telah digunakan untuk melontar maupun tidak.

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal 201 - 204, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]

Kajian Haji dan Umrah