#Kajian 3: Bahjah Quluubil Abror
بسم الله الرحمن الرحيم
📘 | Materi : Kitab Bahjatu Qulūbil abrār wa Quratu ‘uyūnil Akhyār fī Syarhi Jawāmi’ al Akhbār - Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa'di Rahimahumullah
🎙| Bersama: Ustadz Abu Faza Ridwan Lc., M.H Hafidzahullah
🗓 | Hari : Rabu, 12 Jumadil Akhir 1447 / 03 Desember 2025
🕰 | Waktu: Ba'da Maghrib - Isya'
🕌 | Tempat: Masjid Al-Ikhlas Adi Sucipto.
📖 | Daftar Isi:
Melanjutkan pembahasan hadits pertama dan kedua pada pertemuan yang lalu
Hadits pertama: Barometer Amalan Bathin
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولْ : إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ . متفق علیه.
Dari ‘Umar bin Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.”
- Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Bab Permulaan Wahyu no. (1), dalam Bab Iman (54), dalam Bab Keutamaan (3898), dalam Bab Nikah (5070), dalam Bab Sumpah dan Nazarnya (6689), dalam Bab Tipu Daya (6953), dan Muslim dalam Bab Kepemimpinan (1907).
- Dan diriwayatkan oleh Tirmidzi dalam Bab Keutamaan Jihad (1647), Nasa'i dalam Bab Thaharah (75), dalam Bab Talak (3437), dalam Bab Sumpah dan Nazarnya (3794), Abu Dawud dalam Bab Talak (2201), Ibn Majah dalam Bab Zuhud (4227), dan Ahmad dalam Musnad (169, 302).
******
Hadits kedua: Barometer Amalan Dzahir
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ :( (مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ- وَفِي رِوَايَةٍ: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا- فَهُوَ رَدٌّ ». مُتَّفَقٌ عَلَىْهِ.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya - dan dalam riwayat lain: Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami - maka itu tertolak". (Muttafaq 'alaih).
- Riwayat pertama dari al-Bukhari dalam al-Sulh (2697), dan Muslim dalam al-Aqdiya (1718), dan Abu Dawud dalam as-Sunnah (4606), dan Ibn Majah dalam al-Muqaddimah (14), dan Ahmad dalam al-Musnad (25502, 25797).
- Sedangkan riwayat: ( Hadits Barangsiapa melakukan suatu amal... ) terdapat dalam Muslim di al-Aqdiya (1718), dan diriwayatkan oleh Ahmad dalam al-Musnad (22929, 24604, 42944, 25159). Bukhari menyinggungnya dalam al-Buyu’, bab an-Najsy dan siapa yang berkata jual beli itu tidak diperbolehkan ... dan dalam al-I’tisam bi al-Kitab wa as-Sunnah, bab jika pekerja berijtihad atau melakukan kesalahan.
Kedua hadits yang agung ini mencakup seluruh agama, baik pokok maupun cabangnya, yang zahir maupun batin.
- Hadis Umar menjadi tolok ukur untuk amalan Batin.
- Hadist Aisyah menjadi tolok ukur untuk amalan zahir.
****
Agar Niat Berbuah Pahala
1. Secara umum niatkan segala amalan karena Allah ﷻ, seperti halnya membaca dzikir pagi dan petang :
رَضِيْتُ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا
Rodhiitu billaahi robbaa wa bil-islaami diinaa, wa bi-muhammadin shallallaahu ‘alaihi wa sallama nabiyya.
“Aku ridha Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai nabi.” (Dibaca 3 x)
2. Memperbaharui keikhlasan pada setiap perkataan dan perbuatan.
Yang termasuk dalam hal ini: Niat dalam beramal dan niat untuk siapa atau apa amal itu dilakukan.
3. Bersungguh-sungguh untuk terus merealisasikan keikhlasan dan melawan hal-hal yang bertentangan dengannya, seperti ujub dan riya. Yaitu sebelum, selama dan sesudah beramal.
Hal tersebut adalah sangat berat, seperti perkataan Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Tidak ada sesuatu yang paling berat yang aku hadapi daripada niat, karena niat selalu berubah-ubah.” (Kitab Jami’ Al ‘Ulum Wa Al Hikam I/34. Lihat juga kitab Tadzkirah As Sami’ karya Al-Kittani hal. 681).
Syaikh berkata: Kemudian ia membawa niat ini dalam setiap bagian dari amal perbuatannya dan ucapannya, serta semua keadaannya, berhati-hati untuk mewujudkan ketulusan dan menyempurnakannya, serta menolak semua yang bertentangan dengannya: dari riya, mencari pujian, bermaksud untuk menerima pengagungan dari orang lain, bahkan jika hal itu terjadi sedikit pun, hamba tidak menjadikannya tujuan utama atau fokusnya, melainkan tujuan hakiki adalah wajah Allah, dan mencari pahala-Nya tanpa melihat orang lain atau berharap manfaat atau pujian dari mereka.
Jenis-jenis Riya'
Riya ada tiga macam:
1. Riya secara total, yaitu riyanya orang-orang munafik. Hal ini membatalkan amal karena beribadah kepada Allah ﷻ dan selain Allah ﷻ. Seperti disebutkan dalam Surat An-Nisa Ayat 142:
إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.
2. Riyaul 'Aarid: tiba-tiba datang dalam hati dan tidak dibiarkan, maka amalannya selamat.
3. Riyaul 'Aarid: tiba-tiba datang dalam hati tetapi dibiarkan. Maka amalannya batal.
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «قَالَ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ، مَنْ عَمِلَ عَمَلًا أَشْرَكَ فِيهِ مَعِي غَيْرِي تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ».
[صحيح] - [رواه مسلم] - [صحيح مسلم: 2985]
Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda, Allah berfirman, "Aku adalah Zat yang paling tidak butuh kepada sekutu. Siapa yang mengerjakan amalan yang di dalamnya dia menyekutukan-Ku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan ia bersama perbuatan syiriknya itu." [Sahih] - [HR. Muslim] - [Sahih Muslim - 2985]
Cara menjaga niat: Mengingat-ingat Firman-Nya dalam surat Insan Ayat 9.
اِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللّٰهِ لَا نُرِيْدُ مِنْكُمْ جَزَاۤءً وَّلَا شُكُوْرًا ٩
Innamâ nuth'imukum liwaj-hillâhi lâ nurîdu mingkum jazâ'aw wa lâ syukûrâ.
"Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanya demi rida Allah. Kami tidak mengharap balasan dan terima kasih darimu.".
Kabar gembira yang disegerakan
Jika sesuatu dari itu terjadi tanpa niat dari hamba, tidak akan membahayakannya, bahkan bisa menjadi berita gembira yang mendahului bagi orang beriman.
عن أبي ذر رضي الله عنه قال: قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم : أرأيت الرَّجل الذي يعمل العمل من الخَير، ويَحمدُه الناس عليه؟ قال: «تلك عاجِل بُشْرَى المؤمن».
[صحيح] - [رواه مسلم]
Dan dari Abu Żarr -raḍiyallāhu 'anhu-, ia berkata, Ditanyakan kepada Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Bagaimana pandangan Anda tentang seorang yang mengerjakan kebaikan lalu manusia memujinya karena itu?" Beliau menjawab, "Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk seorang Mukmin." [Hadis sahih] - [Diriwayatkan oleh Muslim]
Larangan memuji berlebihan
Pujian yang mengada-ada inilah yang menurut penjelasan ulama merupakan maksud dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِذَا رَأَيْتُمُ الْمَدَّاحِينَ، فَاحْثُوا فِي وُجُوهِهِمِ التُّرَابَ
“Jika Engkau melihat orang yang memuji, maka taburkanlah debu di wajahnya.” (HR. Muslim no. 3002)
Do'a Tatkala Dipuji
اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِي بِمَا يَقُوْلُوْنَ ، وَاغْفِرْ لِي مَالاَ يَعْلَمُوْنَ. وَاجْعَلْنِي خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ
Wahai Allâh, janganlah Engkau siksa hamba-Mu ini dengan sebab pujian yang mereka ucapkan, ampunilah hamba-Mu ini dari perbuatan dosa yang tidak mereka ketahui dan jadikanlah hamba lebih baik dari perkiraan mereka.
[HR Bukhâri dalam al-Adabul Mufrad, no. 761 dan dalam Shahihul Adabil Mufrad, no. 585, Syaikh al-Albani rahimahullah menilai sanad hadits ini shahih. Potongan terakhir dari atsar ini merupakan tambahan dalam riwayat Baihaqiy dalam Syu’abul Iman, 4/228]
Syaikh Berkata: (إِنما الأعمال بالنيات) ((Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya)) artinya: amal tidak akan terjadi atau berlaku kecuali dengan niat; amal itu berpusat pada niat.
Kemudian beliau berkata: وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى (Dan untuk setiap orang hanyalah apa yang dia niatkan) artinya: amal itu dinilai sesuai dengan niat seorang hamba, baik sah atau batil, sempurna atau kurang. Barangsiapa berniat berbuat kebaikan dan menargetkan tujuan yang mulia – yaitu yang mendekatkan diri kepada Allah – maka dia akan mendapatkan pahala dan balasan penuh yang sempurna.
Dan barangsiapa niat dan tujuannya kurang, maka pahalanya pun berkurang. Dan barangsiapa niatnya tertuju pada tujuan yang tidak mulia, maka kebaikan akan terlewat darinya, dan ia hanya mendapatkan apa yang ia niatkan dari tujuan yang rendah dan tidak sempurna.
Oleh karena itu, Nabi ﷺ memberikan contoh untuk diikuti dalam semua urusan, beliau berkata: فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُولِهِ فهِجْرَتُهُ إلى اللهِ ورَسُوْلِهِ (Barangsiapa hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya), artinya: dia mendapatkan apa yang ia niatkan, dan pahalanya ada pada Allah. ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُها أو امرأةٍ يَنْكِحُهَا فهِجْرَتُهُ إلى ما هَاجَرَ إليهِ (Dan barangsiapa hijrahnya untuk dunia yang ingin diperolehnya atau untuk seorang wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ia hijrahkan) beliau khususkan wanita yang dinikahi setelah menyinggung semua urusan dunia untuk menunjukkan bahwa semua itu tujuan duniawi dan niat yang tidak bermanfaat (remeh).
*****
Makna hijrah ada tiga:
1. Hijartul makan: Perpindahan fisik dari satu tempat ke tempat lain.
2. Hijartul amal: Perubahan spiritual dan batin, meninggalkan sifat-sifat buruk menuju kebaikan, dan memiliki semangat atau cita-cita yang lebih baik.
3. Hijartul 'amil (hajr): Meninggalkan teman-teman yang buruk yang dapat mempengaruhinya.
*****
Demikian juga ketika dia ditanya tentang seorang lelaki yang berperang karena keberanian, atau fanatisme, atau untuk dilihat orang.
Kedudukannya di barisan pertempuran ((apakah itu untuk jalan Allah?)) dia berkata:
عَنْ أَبِي مُوسَى رضي الله عنه قَالَ: سُئِلَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الرَّجُلِ يُقَاتِلُ شَجَاعَةً، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ رِيَاءً، أَيُّ ذَلِكَ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ الْعُلْيَا، فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ». [متفق عليه] - [صحيح مسلم: 1904]
Abu Musa -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Rasulullah ﷺ pernah ditanya tentang seseorang yang berperang untuk menunjukkan ketangkasan, berperang untuk menunjukkan sikap fanatisme, dan berperang untuk diberi pujian; manakah di antara itu yang berperang di jalan Allah?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Orang yang berperang agar kalimat Allah menjadi yang tertinggi, dialah yang berperang di jalan Allah."
- Diriwayatkan oleh Bukhari dalam ilmu (123), dalam jihad dan perjalanan (2810), dalam kewajiban khums (3126), dalam tauhid (7458), dan Muslim dalam kepemimpinan (1904), Tirmidzi dalam keutamaan jihad (1646), An-Nasa’i dalam jihad (3136), Abu Dawud dalam jihad (2517), Ibn Majah dalam hal itu (2783), dan Ahmad dalam Al-Manaqib (18999, 69049, 19099, 19134, 19240). Semuanya dari hadits Abu Musa Al-Asy'ari Radhiyallahu 'Anhu.
Allah Ta'ala berfirman tentang perbedaan infak menurut niat:
وَمَثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمُ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ وَتَثْبِيتًا مِّنْ أَنفُسِهِمْ كَمَثَلِ جَنَّةٍۭ بِرَبْوَةٍ
Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi... [Al-Baqarah: 265],
Dan Dia berfirman:
وَٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمْوَٰلَهُمْ رِئَآءَ ٱلنَّاسِ وَلَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۗ
Dan (juga) orang-orang yang menafkahkan harta-harta mereka karena riya kepada manusia, dan orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan kepada hari kemudian. [An-Nisa: 38].
Demikian pula semua amalan. Amalan itu akan berbeda dan pahalanya akan bertambah besar sesuai dengan keimanan dan keikhlasan yang ada dalam hati pelakunya, sehingga pemilik niat yang tulus—terutama jika disertai dengan perbuatan yang mampu dilakukannya—akan disandingkan pahala dengan pelakunya. Allah berfirman:
وَمَن يَخْرُجْ مِنۢ بَيْتِهِۦ مُهَاجِرًا إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ثُمَّ يُدْرِكْهُ ٱلْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِ ۗ
Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. [An-Nisa: 100].
Dalam shahih diriwayatkan secara marfu’: Dari Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ ، كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا
“Jika seorang hamba sakit atau melakukan safar (perjalanan jauh), maka dicatat baginya pahala sebagaimana kebiasaan dia ketika mukim dan ketika sehat.”
[Diriwayatkan oleh Bukhari dalam jihad dan perjalanan (2996), Abu Dawud dalam jenazah nomor (3091), dan Ahmad dalam Al-Mund (19180, 19254)].
(Di Madinah terdapat beberapa orang, tidak ada perjalanan yang kalian tempuh, dan tidak ada sungai yang kalian lewati, kecuali mereka turut serta dengan kalian - maksudnya: dalam niat, hati, dan pahala mereka - cinta mereka adalah alasan)
- Diriwayatkan oleh Bukhari dalam jihad dan perjalanan (2839), dalam al-Maghazi (4423), dan Ibn Majah dalam jihad (2764) dari hadits Anas Radhiyallahu 'Anhu.
- Dan diriwayatkan oleh Muslim dalam kepemimpinan (1911), Ibn Majah dalam jihad (2765), dan Ahmad (14265) dari hadits Jabir Radhiyallahu 'Anhu.
Dan ketika mereka yang berbuat kebaikan tetapi tidak mampu melakukannya, maka niat dan tekadnya dicatat sebagai pahala yang sempurna. Berbuat baik kepada sesama dengan harta, perkataan, atau perbuatan adalah kebaikan serta mendapat pahala dan ganjaran di sisi Allah, namun pahala itu menjadi besar karena niat.
Allah Ta'ala berfirman:
لَّا خَيْرَ فِى كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَىٰهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَٰحٍۭ بَيْنَ ٱلنَّاسِ ۚ
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. [An-Nisa: 114], artinya itu adalah kebaikan.
Kemudian dalam lanjutan ayat, Dia berfirman:
وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ٱبْتِغَآءَ مَرْضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Dan barang siapa melakukan itu karena mengharap keridhaan Allah, maka Dia akan memberikan kepadanya pahala yang besar, sehingga pahala yang besar dijanjikan bagi perbuatan tersebut dengan niat mencari keridhaan-Nya.
Dan dalam kitab Bukhari disebutkan dalam hadits marfu’
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيْدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللهُ.
“Barangsiapa yang mengambil harta orang dengan maksud mengembalikannya, maka Allah akan (menolong) untuk mengembalikannya. Dan barangsiapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya, maka Allah akan merusaknya.”
- Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Bab Pinjaman dan Pelunasan Utang (2387), Ibnu Majah dalam Bab Hukum (2411), dan Ahmad dalam Musnad (8516), (9135), serta dijelaskan dalam bab zakat: Tidak ada sedekah kecuali dari harta yang berlebih …
Lihat bagaimana niat yang baik dijadikan sebagai sebab yang kuat untuk rezeki dan pengembalian atas namanya, dan niat buruk dijadikan sebagai sebab kerusakan dan kehancuran.
Do'a Berlindung dari syirik yang diketahui maupun tidak
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ
“Allaahumma innii a’uudzu bika an usyrika bika wa anaa a’lam, wa astagh-firuka limaa laa a’lam.”
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun terhadap apa yang tidak aku ketahui.” (HR. Bukhari, no. 716 dalam kitab Adab Al-Mufrad dan dishahihkan oleh Al-Albani).
Do'a yang Sering Dibaca Syaikh bin Baz
" اللهم أصلح قلبي وعملي " كان الشيخ عبدالعزيز بن باز - رحمه الله - يكثر من هذا الدعاء ويُوصي به ..
Ya Allah, perbaikilah hatiku dan amalku. Syekh Abdulaziz bin Baz rahimahullah sering membaca doa ini dan menganjurkannya.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم