Menu Haji dan Umrah

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. (QS. Ali Imran : 97)
Artikel Manasik Haji Manasik Umrah Fatwa Fiqh Download Video
HAIDH SEBELUM THAWAF IFADHAH DAN TIDAK DAPAT TETAP DI MEKKAH HINGGA SUCI

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Seorang wanita haidh sebelum thawaf ifadhah dan dia berasal dari luar Suadi Arabia, yang waktu kepulangannya telah tiba dan tidak dapat ditunda serta mustahil kembali lagi ke Saudi Arabia. Bagaimana hukum dalam hal yang demikian ini ?

Jawaban

Jika seorang wanita haidh sebelum thawaf ifadhah dan tidak dapat tinggal di Mekkah atau kembali lagi ke Mekkah kalau dia pulang sebelum thawaf ifadhah, maka dia boleh memilih salah satu dari dua hal, yaitu suntik untuk menghentikan darah haidh lalu dia thawaf, atau menyumbat darah haidh sehingga darahnya tidak menetes di masjid dan dia thawaf karena dharurat. Pendapat yang kami sebutkan ini adalah pendapat yang kuat dan dipilih oleh syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah.

Tapi juga ada pendapat lain yang berbeda dengan pendapat tersebut, yaitu dengan memberikan pilihan salah satu dari dua hal. Pertama, dia tetap dalam ihram. Tapi suaminya tidak boleh menggaulinya, dan dia sendiri tidak boleh melakukan akad nikah jika belum bersuami. Kedua, dinilai terlarang menyempurnakan haji, yang karena itu maka dia wajib menyembelih kurban dan dia tahallaul dari ihramnya. Dalam kondisi ini dia dinilai belum haji. Dan masing-masing kedua hal dari pendapat kedua ini sangat sulit.

Maka pendapat yang kuat adalah pendapat Syaikh Ibnu Taimiyah Rahinahullah. Sebab kondisi seperti itu dalam keadaan dharurat, sedangkan Allah telah berfirman.

"Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]

Adapun jika wanita tersebut memungkinkan kembali lagi ke Mekkah ketika dia telah suci, maka tiada mengapa bila dia pergi ke Mekkah untuk thawaf ifadhah. Tapi dalam masa menunggu tersebut suaminya tidak halal untuk menggaulinya karena dia belum tahallul kedua.

WANITA HAIDH DUDUK DI TEMPAT SA'I

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apakah wanita yang haidh boleh duduk di tempat sa'i ?

Jawaban
Ya. bagi wanita yang sedang haidh boleh duduk di tampat sa'i. Sebab tempat sa'i tidak termasuk Masjidil Haram. Maka jika seorang wanita haidh setelah thawaf dan sebelum sa'i, dia boleh sa'i. Sebab melakukan sa'i tidak disyari'atkan harus dalam keadaan suci seperti thawaf. Atas dasar ini, kami mengatakan bahwa wanita yang haidh jika duduk di tempat sa'i untuk menunggu keluarganya maka tiada dosa atas dia karena hal itu


HAIDH SEBELUM UMRAH DAN TIDAK MEMUNGKINKAN TINGGAL DI MEKKAH HINGGA SUCI


Oleh
Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta

Pertanyaan

Al-Lajnah Ad-Daimah Lil Ifta ditanya : Seorang wanita datang ke Mekkah dengan niat ihram umrah dan ketika sampai di Mekkah dia haidh dan suaminya harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai mahram di Mekkah. Apa hukumnya ?

Jawaban

Jika seorang wanita haidh ketika sudah ihram dan belum thawaf sedangkan suaminya harus segera meninggalkan Mekkah dan dia tidak mempunyai mahram di Mekkah, maka gugur darinya syarat suci dari haidh untuk masuk masjid dan thawaf karena darurat, maka dia menyumbat kemaluannya lalu thawaf dan sa'i untuk umrahnya. Kecuali dia dapat kembali lagi ke Mekkah bersama suami atau mahramnya karena dekatnya jarak dan murahnya biaya, maka dia kembali lagi langsung ketika suci dari haidhnya untuk thawaf dan sa'i dalam keadaan suci. Sebab Allah berfirman.

"Artinya : Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya" [Al-Baqarah : 286]

"Artinya : Dan Allah sekali-kali tidak menjadikan untuk kami dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Jika aku memerintahkan kamu suatu perkara maka lakukanlah dia menurut kemampuanmu" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Disamping itu ada dalil-dalil lain yang menekankan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Sesungguhnya apa yang kami sebutkan tersebut telah difatwakan sekelompok ulama, di antaranya Syaikh Ibnu Taimiyah dan muridnya, Al-Alammah Ibnul Qayyim semoga Allah meberikan rahmat kepada keduanya.

IHRAM HAJI DALAM KEADAAN HAIDH LALU PERGI KE JEDDAH

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang wanita ihram haji dari Assyal dan dia sedang haidh. Lalu ketika sampai di Mekkah di pergi ke Jeddah karena ada keperluan dan dia suci ketika di Jeddah. Maka dia mandi dan menyisir rambutnya kemudian menyempurnakan hajinya. Apakah hajinya sah, dan apakah dia wajib membayar kifarat ?

Jawaban
Tidak mengapa wanita yang sedang ihram dan haidh pergi ke Jeddah. Demikian itu tidak terpengaruh kepada hajinya dan dia tidak wajib membayar kifarat. Demikian pula dia menyisir rambut jika tidak disertai dengan parfum atau memotong rambut, atau ketika dia melakukan kedua hal tersebut karena lupa atau tidak tahu hukumnya. Tapi jika sengaja dan mengetahui hukum syar'i tentang kedua hal tersebut, maka dia wajib membayar kifarat, yaitu memberi makan enam orang miskin dari makanan pokok dengan setengah sha' untuk masing-masing orang miskin, atau menyembelih kambing, atau puasa tiga hari, untuk masing-masing dari memotong rambut dan memakai parfum.

HAIDH KETIKA THAWAF IFADHAH DAN MENYELESAIKAN HAJI KARENA MALU

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang wanita pergi haji dan dia haidh sejak lima hari dari bepergiannya, dan setelah di miqat dia mandi dan ihram padahal dia belum suci. Ketika di Mekkah dia selalu di luar Masjidil Haram dengan tidak melakukan manasik haji atau umrah. Kemudian ketika dia mabit di Mina dua hari, dia suci, maka dia mandi dan melaksanakan semua manasik umrah dalam keadaan suci. Lalu dia haidh lagi ketika sedang thawaf ifadhah, karena malu dia menyelesaikan manasik haji, dan tidak memberitahukan kepada walinya kecuali setelah sampai di negerinya. Apa hukum terhadap hal tersebut ?

Jawaban
Jika kejadiannya seperti disebutkan penanya, maka :

Pertama, dia wajib pergi ke Mekkah dan thawaf tujuh kali putaran dengan niat thawaf haji sebagai ganti thawaf ifadhah ketika dia haidh, lalu shalat dua rakaat di belakang maqam Ibrahim atau di tempat mana saja di Masjidil Haram. Dengan itu, maka sempurnalah hajinya.

Kedua, Bila dia bersuami maka dia wajib membayar dam dengan menyembelih kambing di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di Mekkah yaitu jika dia telah melakukan hubungan badan dengan suaminya setelah dia pulang haji, karena dia masih dalam dihram dan suaminya tidak halal menggaulinya melainkan setelah dia thawaf ifadhah dan melontar jumrah pada hari 'Idul Adha serta memotong rmabutnya.

Ketiga, Dia wajibn sa'i di anatara Shafa dan Marwah jika dia belum sa'i ketika mengambil haji tamattu, yakni dia umrah dulu sebelum haji. Tapi jika dia mengambil haji qiran atau haji ifrad maka dia tidak wajib sa'i lagi karena dia telah sa'i bersama thawaf qudum

Keempat, Dia wajib bertaubat kepada Allah karena thawaf dalam keadaan haidh, kaluar dari Mekkah sebelum thawaf ifadhah dan mengakhirkan thawaf dalam tempo yang lama. Semoag Allah menerima taubatnya.

WANITA NIFAS PADA HARI TARWIYAH DAN BARU SUCI SETELAH SEPULUH HARI


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang wanita nifas pada hari tarwiyah dan dia melaksanakan rukun-rukun haji selain thawaf dan sa'i, hanya saja dia mencermati bahwa dia baru akan suci setelah sepuluh hari. Apakah dia harus bersuci dan mandi lalu melaksanakan rukun haji yang selebihnya, yaitu thawaf haji..?

Jawaban

Jika seorang wanita nifas pada hari kedelapan Dzulhijjah, maka dia haji dan wukuf bersama manusia di Arafah dan Mudzdalifah, dan dia boleh melakukan apa yang dikerjakan orang-orang yang haji, seperti melontar jumrah, menyembeliah kurban dan lain-lain. Kemudian tersisa atas dia kewajiban thawaf dan sa'i yang harus ditunda hingga dia suci. Jika dia telah suci setelah sepuluh hari atau lebih atau lebih sedikit, dia mandi, dan karena itu dia boleh shalat, berpuasa, thawaf dan sa'i. Sebab tiada batas minimal waktu nifas, sedangkan dia telah suci setelah sepuluh hari atau kurang atau lebih banyak dari itu, tapi nifas paling lama adalah empat puluh hari. Maka jika telah sempurna empat puluh hari dan darah belum tuntas, dia menilai dirinya dalam hukum wanita yang suci sebab darah yang masih ada padanya menurut pendapat yang shahih adalah darah penyakit, maka dia shalat, berpuasa dan boleh bersenggama dengan suami. Tapi hendaknya dia berupaya keras menjaga darah dengan kapas dan yang sepertinya, dan dia berwudhu setiap waktu shalat, dan tidak mengapa dia melakukan shalat jama' dzhuhur dan ashar maghrib dan isya sebagaimana diwasiatkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Himnah binti Jahsyi.

MENGAKHIRKAN THAWAF IFADHAH BAGI WANITA YANG HAIDH ATAU NIFAS

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seorang wanita haidh sebelum thawaf ifadhah, tapi dia telah melakukan semua manasik haji dan haidhnya berlangsung hingga setelah hari-hari tasyriq. Bagaimana hukumnya ..?

Jawaban
Jika seorang wanita haidh atau nifas sebelum thawaf ifadhah maka dia tetap wajib thawaf ketika dia suci. Maka ketika dia suci, dia mandi dan thawaf untuk hajinya, walaupun setelah haji beberapa hari, bahkan walaupun dalam bulan Muharram atau bulan Shafar, sesuai kemudahan yang didapatkan, dan baginya tiada batasan waktu. Tapi sebagian ulama berpendapat tidak boleh mengakhirkan thawaf ifadhah melebihi bulan Dzulhijjah. Tapi pendapat ini tiada dalilnya. Bahkan yang benar adalah boleh mengakhirkannya. Tapi melakukan segera jika telah mampu adalah yang lebih utama. Namun jika diakhirkan sampai melebihi bulan Dzulhijjah maka sudah cukup baginya dan tidak wajib membayar dam. Sebab wanita yang haidh dan wanita yang nifas berhalangan untuk melakukan thawaf, maka tiada dosa atas keduanya. Haidh dan nifas bukan atas kehendak sendiri dan bukan sengaja untuk menunda thawaf ifadhah. Oleh karenanya hika keduanya telah suci, keduanya thawaf ifadhah, baik pada bulan Dzulhijjah atau bulan Muharram.

WANITA HAIDH PULANG KEPADA KELUARGA SEBELUM THAWAF IFADHAH

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Jika seorang wanita yang sedang haji haidh sebelum thawaf ifadhah, apakah dia boleh pulang kepada keluarganya kemudian kembali lagi untuk thawaf ifadhah, ataukah wajib menunggu hingga dia suci kemudian thawaf ?

Jawaban

Jika wanita haidh sebelum thawaf ifadhah maka mahramnya menunggu dia hingga suci. Tapi jika demikian itu tidak memungkinkan, maka dia boleh pergi. Lalu jika dia telah suci, maka dia harus merampungkan hajinya, dan ketika sebelum dia thawaf ifadhah maka suaminya tidak boleh menggaulinya. Tapi jika tidak memungkinkan dia kembali ke Masjidil Haram untuk thawaf setelah suci karena betempat tinggal di daerah jauh, maka dia boleh menyumbat darah haidhnya dan thawaf karena darurat.

HAL-HAL YANG DILAKUKAN WANITA YANG HAIDH SETELAH IHRAM UMRAH

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Seorang wanita ingin melakukan haji tamattu', tapi setelah ihram dia haidh sebelum sampai di Masjidil Haram. Apa yang harus dia lakukan ? Dan apakah dia boleh haji sebelum umrah ?

Jawaban

Ia tetap dalam ihramnya untuk umrah. Jika dia suci sebelum hari Arafah dan memungkinkan melakukan umrah maka dia melaksanakan umrah, lalu dia ihram untuk haji dan pergi ke Arafah untuk melaksanakan manasik haji. Tapi jika dia belum suci sebelum hari Arafah maka dia memasukkan haji pada umrah dengan niat : "Ya Allah aku ihram haji bersama umrah". Artinya, dia mengambil haji qiran. Lalu dia wukuf bersama manusia dan melakukan manasik haji yang lain. Oleh karenanya cukup dengan ihramnya itu thawaf pada hari 'Id atau setelahnya dan sa'i untuk haji dan umrah. Tapi dia wajib menyembelih kambing sebagaimana diwajibkan bagi orang yang tamattu'.[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal 135 - 140, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

Kajian Haji dan Umrah