بسم الله الرحمن الرحيم
📚 Ad-Daa wa Dawaa' #6
🎙┃ Ustadz Abdul Fattach, S.Pd.I Hafidzahullah
🗓┃Ahad, 14 September 2025 / 21 Rabi'ul Awal 1446 H
🕰┃ Ba'da Subuh
🕌┃Masjid Al-Ikhlash Safira Residence Kartasura
Ad-Daa wa Dawaa' #6: Rahasia Do'a dan Keterkaitannya dengan Takdir
Setelah memuji Allâh dan bershalawat atas Nabi-Nya, Ustadz mengawali kajian dengan mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang telah Allah Ta’ala berikan hingga masih dipertemukan dalam majelis ilmu setelah melakukan shalat subuh berjama'ah, semoga amalan-amalan kita menghapus dosa-dosa kita.
Karena segala kebaikan akan menghapus dosa-dosa kita, sebagaimana firman-Nya dalam surat Hud ayat 114:
إِنَّ ٱلْحَسَنَٰتِ يُذْهِبْنَ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
Rasulullah shallallahualaihiwasallam bersabda,
اتق الله حيثما كنت ، وأتبع السيئة الحسنة تمحها، وخالق الناس بخلق حسن
“Bertakwalah kepada Allah di manapun anda berada. Iringilah perbuatan dosa dengan amal kebaikan, karena kebaikan itu dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (HR. Ahmad 21354, Tirmidzi 1987, ia berkata: ‘hadits ini hasan shahih).
Salah satu kebaikan tersebut adalah kebaikan majelis-majelis ilmu. Karena dalam majelis ilmu, kita akan didoakan para malaikat, hadits menyebutkan bahwa segala sesuatu di langit dan di bumi, termasuk malaikat, memintakan ampunan untuk orang yang berilmu dan yang hadir di majelis ilmu karena mereka telah memberikan manfaat kepada seluruh makhluk.
Bahkan orang-orang yang tidak berniat untuk menuntut ilmu meskipun datang, ikhlas ataupun tidak semangat atau tidak, maka Allah ﷻ akan ampunkan dosanya.
Perhatikan hadits panjang berikut ini:
Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala memiliki malaikat-malaikat yang berkelana di jalan-jalan mencari Ahli Dzikir. Jika mereka telah mendapatkan sekelompok orang yang berdzikir kepada Allah, mereka duduk bersama dengan orang-orang yang berdzikir. Mereka saling mengajak: ‘Kemarilah kepada hajat kamu’. Maka para malaikat mengelilingi orang-orang yang berdzikir dengan sayap mereka sehingga langit dunia. Kemudian Allah Azza wa Jalla bertanya kepada mereka, sedangkan Dia lebih mengetahui daripada mereka, ’Apa yang diucapkan oleh hamba-hambaKu?’ Para malaikat menjawab, ’Mereka mensucikan-Mu (mengucapkan tasbih: Subhanallah), mereka membesarkanMu (mengucapkan takbir: Allah Akbar), mereka memujiMu (mengucapkan Alhamdulillah), mereka mengagungkan-Mu’. Allah bertanya, ’Apakah mereka melihatKu?’ Mereka menjawab,’Tidak, demi Alah, mereka tidak melihatMu’. Allah berkata,’Bagaimana seandainya mereka melihatKu?’ Mereka menjawab,’Seandainya mereka melihatMu, tentulah ibadah mereka menjadi lebih kuat kepadaMu, lebih mengagungkan kepadaMu, lebih mensucikan kepadaMu’. Allah berkata,’Lalu, apakah yang mereka minta kepadaKu?’ Mereka menjawab, ’Mereka minta surga kepadaMu’.
Allah bertanya, ’Apakah mereka melihatnya?’ Mereka menjawab,’Tidak, demi Alah, Wahai Rabb, mereka tidak melihatnya’. Allah berkata,’Bagaimana seandainya mereka melihatnya?’ Mereka menjawab,’Seandainya mereka melihatnya, tentulah mereka menjadi lebih semangat dan lebih banyak meminta serta lebih besar keinginan’.”
Allah berkata: “Lalu, dari apakah mereka minta perlindungan kepadaKu?” Mereka menjawab,”Mereka minta perlindungan dari neraka kepadaMu.” Allah bertanya,”Apakah mereka melihatnya?” Mereka menjawab,”Tidak, demi Allah, wahai Rabb. Mereka tidak melihatnya.” Allah berkata, ”Bagaimana seandainya mereka melihatnya?” Mereka menjawab,”Seandainya mereka melihatnya, tentulah mereka menjadi lebih menjauhi dan lebih besar rasa takut (terhadap neraka).” Allah berkata, ”Aku mempersaksikan kamu, bahwa Aku telah mengampuni mereka.” Seorang malaikat diantara para malaikat berkata, ”Di antara mereka ada Si Fulan. Dia tidak termasuk mereka (yakni tidak ikut berdzikir, Pent). Sesungguhnya dia datang hanyalah karena satu keperluan.” Allah berkata, ”Mereka adalah orang-orang yang duduk. Teman duduk mereka tidak akan celaka (dengan sebab mereka).”
📖 HR Bukhari, no. 6408, dan ini lafahznya; Muslim, no. 2689.
Telah berlalu pembahasan hal-hal yang berkaitan dengan do'a:
- Do'a adalah obat.
- Terus menerus dalam do'a.
- Tergesa-gesa dalam mengharapkan terkabulnya do'a.
- Syarat Diterimanya do'a: Waktu-waktu Terkabulnya Do'a & Ismul A'dzom.
- Ismul A'dzom ( اسم الله الأعظم): Yaitu nama-nama Allah ﷻ yang paling agung, yang diyakini memiliki keutamaan luar biasa dalam doa dan ibadah. Seperti do'a dzun nun, do'a riwayat ibnu Abbas, Ali, Abu Mi'laq dan lainya...
E. Beberapa Rahasia Do'a
Kita sering menjumpai do'a sejumlah orang yang dikabulkan Allah ﷻ, dengan sebab:
- Do'a-do'a tersebut kadang dipanjatkan ketika kondisi terjepit
- Dengan disertai ketundukan hati kepada Allah ﷻ.
- Bertepatan dengan waktu-waktu dikabulkannya do'a.
- Atas dasar kebaikan yang pernah dilakukan sebelumnya.
Sehingga Allah ﷻ mengabulkan do'a tersebut sebagai tanda syukur terhadap kebaikan orang yang berdo'a, serta hal-hal lain yang menyebabkan do'a-do'a terkabul.
Orang yang salah persepsi menyangka bahwa rahasia terkabulnya do'a tadi ada pada lafazh (kalimat) do'a yang digunakan. Ia pun memakai lafazh itu, tetapi mengabaikan berbagai perkara dan kondisi yang menyertai orang yang do'anya dikabulkan tadi.
Peristiwa ini diumpamakan seperti seseorang yang menggunakan obat yang manjur, pada waktu dan cara yang tepat, sehingga obat itu bermanfaat baginya. Kemudian, orang lain menyangka bahwa ia dapat memperoleh manfaat yang serupa hanya dengan sekadar memakai obat yang sama (sementara ia mengabaikan berbagai segi lain yang menyertai penggunaan obat tersebut). Orang seperti ini benar-benar telah salah persepsi. Memang, banyak orang yang salah dalam memahami permasalahan ini.
Contoh lain dari kekeliruan mereka, kadang ada orang yang benar-benar berada dalam kondisi terjepit berdo'a di kuburan, lalu do'anya pun dikabulkan. Orang yang bodoh lantas menyangka bahwa rahasia terkabulnya do'a tadi terletak pada kuburan.“ Ia tidak tahu bahwa rahasia sebenarnya dari dikabulkannya do'a tersebut justru terletak pada kondisi pemohon yang benar-benar terjepit dan kesungguhannya dalam memohon kepada Allah. Sekiranya hal itu dilakukan di dalam salah satu rumah Allah, tentulah akan lebih baik dan lebih dicintai oleh-Nya.
F. Do'a Laksana Senjata
Do'a dan ta'awwudz (memohon perlindungan kepada Allah ﷻ dari sesuatu) memiliki kedudukan sebagaimana layaknya senjata. Kehebatan sebuah senjata sangat bergantung kepada pemakainya, bukan hanya dari ketajamannya. Jika senjata tersebut adalah senjata yang sempurna, tidak ada cacatnya, lengan penggunanya adalah lengan yang kuat, serta tidak ada suatu penghalang maka tentulah ia mampu dipakai untuk menghantam dan mengalahkan musuh. Namun apabila salah satu dari tiga hal tersebut hilang, maka efeknya akan melemah dan berkurang.
Begitu pula do'a. Jika do'a tersebut pada dasarnya memang tidak layak, atau orang yang berdo'a tidak mampu menyatukan antara hati dan lisannya, atau ada sesuatu yang menghalangi terkabulnya do'a tersebut, maka tentu saja efeknya juga tidak akan ada.
G. Korelasi antara Do'a dan Takdir
Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan ada tiga golongan manusia dalam menyikapi hubungan antara takdir dan do'a:
- Tidak ada hubungannya karena jika sudah takdir pasti akan terjadi. Maka menganggap do'a tidak berfaedah.
- Do'a adalah murni ibadah seperti shalat dan haji, dan mereka berpendapat bahwa tidak ada efek apapun dari do'a.
- Sesuatu yang ditakdirkan terjadi karena adanya sebab, dan salah satunya adalah sebab karena do'a.
Ada sebuah pertanyaan yang cukup masyhur (populer) dalam pembahasan kali ini:
“Jika perkara yang diminta oleh seorang hamba itu memang telah ditakdirkan, niscaya hal itu pasti akan terjadi, baik ia “berdo'a ataupun tidak. Jika memang tidak ditakdirkan, niscaya hal itu tidak akan terjadi, baik ia berdo'a ataupun tidak. Bukankah demikian?”
Segolongan orang menyangka bahwa pernyataan di atas adalah sebuah kebenaran. Mereka pun lantas meninggalkan do'a seraya mengatakan: “Do'a itu sama sekali tidak berfaedah!” Seiring dengan kedunguan dan kesesatan mereka, sikap mereka ini sangat kontradiktif.
Sesungguhnya konsekuensi dari penerapan pemikiran mereka ini hanya akan meniadakan dan menafikan salah satu bentuk atau adanya faktor-faktor penyebab dari sebuah kejadian.
Sebagai bantahan, kita katakan kepada mereka: “Seandainya Anda memang ditakdirkan untuk kenyang dan terbebas dari rasa dahaga, tentulah hal itu pasti akan terjadi, baik Anda makan ataupun tidak. Demikian pula, jika memang tidak ditakdirkan (untuk kenyang), tentu Anda tidak akan pernah merasa kenyang, baik Anda makan ataupun tidak.
Begitu pula dengan keturunan, sekiranya Anda memang dirakdirkan untuk memilikinya, tentulah hal itu pasti akan terjadi, baik Anda menyetubuhi istri dan budak Anda ataupun tidak. Namun, jika memang tidak ditakdirkan, tentu Anda tidak akan pernah memiliki keturunan. Oleh sebab itu, tidak ada manfaatnya Anda menikah dan memiliki budak wanita. Begitulah seterusnya.
Adakah orang berakal, ataupun manusia pada umumnya, yang akan berpendapat seperti itu? Hewan ternak saja diberi naluri untuk berinteraksi dengan faktor penyebab, dalam rangka menjaga kelangsungan hidup dan eksistensi mereka. Ini artinya, hewan hewan tersebut lebih pandai daripada orang-orang tadi. Mereka memang seperti ternak, bahkan lebih sesat lagi jalannya.
Di antara mereka ada orang-orang yang sok pintar dan mengatakan: “Menyibukkan diri dengan do'a termasuk ibadah mahdhah (seperti shalat, haji, dan yang semisalnya), supaya Allah memberikan pahala kepada orang yang berdo'a, meskipun do'a tersebut sebenarnya tidak mempunyai efek sedikit pun terhadap apa yang diminta.”
Menurut orang yang berlagak pandai ini, tidak ada bedanya antara berdo'a dan berdiam diri, baik secara lisan maupun hati, untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Keterkaitan do'a dengan tercapainya keinginan itu seperti halnya keterkaitan orang yang diam saja untuk mendapatkannya. Sama saja, tidak ada bedanya.
Ada golongan yang lebih sombong lagi. Mereka berkata: “Do'a itu sekadar tanda yang Allah berikan sebagai isyarat atas terpenuhinya hal hal yang diinginkan atau dibutuhkan. Jika Allah memberikan taufik kepada seorang hamba untuk berdo'a, maka itu merupakan tanda dan isyarat bahwa kebutuhannya (yang ia inginkan) itu telah dipenuhi. Hal ini diumpamakan seperti halnya jika kita melihat awan hitam di musim penghujan, yang merupakan pertanda turunnya hujan.”
Mereka melanjutkan: “Hal yang sama juga berlaku pada hukum ketaatan dengan pahala, serta hukum kekafiran dan kemaksiatan dengan siksa. Ketaatan, kekafiran, dan kemaksiatan hanyalah tanda dari pahala atau siksa, bukan merupakan penyebab keduanya.”
Begitulah pendapat mereka. Menurut mereka, sama sekali tidak ada hubungan sebab-akibat dalam peristiwa pecah dan memecahkan, terbakar dan membakar, serta terbunuh dan membunuh. Tidak ada hubungan antara keduanya selain hanya rentetan peristiwa biasa, bukan rangkaian sebab dan akibat.
Pendapat mereka ini bertentangan dengan perasaan, akal, syari'at, dan fitrah. Pemikiran mereka juga telah berseberangan dengan semua orang yang berakal, sekaligus menjadi bahan tertawaan mereka.
Pendapat yang benar ialah ada bagian ketiga yang tidak tercantum dalam pertanyaan di atas, yaitu apa yang ditakdirkan itu terjadi karena adanya sejumlah sebab, di antaranya adalah do'a.
Tidak mungkin sesuatu itu ditakdirkan terjadi begitu saja tanpa adanya sebab. Ia pasti memiliki keterkaitan dengan sebab. Jika seorang hamba mengerjakan sebab, maka terjadilah apa yang ditakdirkan, begitu pula jika ia tidak mengerjakannya, maka apa yang ditakdirkan itu tidak terjadi.”
Ini sebagaimana ditakdirkannya kenyang karena makan dan minum, keberadaan anak karena bersetubuh, panen hasil pertanian karena menyemai, kematian ternak karena disembelih, dan memasuki Surga atau Neraka karena amal perbuatan. Demikianlah pendapat yang benar, namun hal ini tidak disinggung oleh penanya. Tampaknya, ia belum mendapatkan taufik untuk memahami perkara ini.
Jika demikian, do'a merupakan salah satu faktor penyebab yang paling kuat. Apabila apa yang diminta dalam do'a ditakdirkan terjadi dengan sebab do'a tersebut, maka tidak benar jika dikatakan bahwa do'a itu tidak ada faedahnya, sebagaimana apabila dikatakan bahwa tidak ada faedah dari makan, minum, serta segala bentuk aktivitas dan perbuatan. Tidak ada sebab yang lebih bermanfaar selain do'a, dan tidak ada cara yang lebih cepat untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui do'a.
Bolehnya bersandar dengan takdir jika sesuatu itu telah terjadi. Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إحرص على ما ينفعك, واستعن بالله ولا تعجز, فإن أصا بك شيء فلا تقل: لو أني فعلت كذا وكذا لكن كذا وكذا, ولكن قل: قدر الله وما شاء فعل, فإن (لو) تفتح عمل الشيطان
“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ‘seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ‘seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.” (Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))
Pengucapan yang benar sesuai kaidah bahasa Arab:
- Qoddarallahu - ُقَدَّرَ الله (Fi'il dan Fa'il)
- Qodarullahi - ِقَدَرُ الله (Mudhaf Mudhaf ilaihi)
Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم