بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitab: Pokok-pokok Aqidah (Ushulus Sunnah) Imam Ahmad
Pemateri: Ustadz Abu Ubaidah Yusuf As-Sidawiy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan 6: 27 Safar 1447 / 20 Agustus 2025
Tempat: Masjid Al-Aziz - Jl. Soekarno Hatta no. 662 Bandung.
POKOK-POKOK SUNNAH MENURUT IMAM AHMAD BIN HANBAL RAHIMAHULLAH
- Ushulus Sunnah - Imam Ahmad #6 | Pokok Aqidah #1: Beriman kepada Takdir
- Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:
- Urgensi Pembahasan Takdir
- Definisi Takdir
- Adakah perbedaan Qadha dan Qadar?
- Dalil-dalil Wajibnya Beriman kepada Takdir
- Tingkatan Iman kepada Takdir
- Buah Manis Beriman Kepada Takdir
- Kaidah-kaidah Masalah Takdir
- Sebab-sebab Tersesat dalam Masalah Takdir
- Jurus Syubhat Mengingkari Hadits-hadits Nabi ﷺ
Ustadz mengingatkan kembali untuk selalu bersyukur agar kita mendapatkan ilmu yang bermanfaat seperti air yang menyuburkan tanaman.
Benarlah apa yang dikatakan Ibnu Faris Rahimahullah:
إذَا كُنْتَ تُؤذَى بِحَرِّ المَصِيف ... وَيُبْسِ الخَرِيفِ وَبَرْدِ الشِّتَا
وَيُلْهِيْكَ حُسْنُ زَمَانِ الرَّبِيْع ... فَأَخْذُكَ لِلْعِلْمِ قُلْ لِي مَتَى؟
Jika kamu tersiksa dengan teriknya musim panas ... gersangnya musim gugur dan dinginnya musim dingin.
Dan juga terlenakan dengan indahnya musim semi ... Maka katakan kepadaku, kapan kamu akan belajar ilmu?
Ushulus Sunnah - Imam Ahmad #6 | Pokok Aqidah #1: Beriman kepada Takdir
Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:
وَمِنَ السُّنَّةِ اللَّازِمَةِ الَّتِي مَنْ تَرَكَ مِنْهَا خَصْلَةً - لَمْ يَقْبَلْهَا وَيُؤْمِنْ بِهَا - لَمْ يَكُنْ مِنْ أَهْلِهَا:
Termasuk Sunnah-Sunnah (Akidah) yang jika ditinggalkan satu saja ―tidak diterima maupun tidak diimani― maka ia bukan termasuk Ahlus Sunnah adalah:
Syaikh memulai dengan menyebut bahwa poin selanjutnya adalah pokok akidah (beliau menyebut Sunnah) yang dengannya menjadi pembeda antara Ahlus Sunnah dan Ahlu bid'ah. Seperti halnya, seorang ulama Abdul Wahid As-Sirozi Rahimahullah yang menulis Kitab juzun fiihi imtihanu mina sunny wal bid'i yang membahas masalah pembeda antara Ahlus Sunnah dan Ahlu bid'ah.
Dan landasan dari Pokok-pokok tersebut adalah Al-Qur’an dan sunnah serta ijmak ulama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata:
Barangsiapa yang menyelisihi Al-Qur'an yang jelas, dan menyelisihi hadits-hadits Nabi ﷺ yang banyak dan menyelisihi kesepakatan para salaful ummah, perselisihan-perselisihan yang tidak dianggap maka dia diperlakukan seperti ahlul bid'ah. (Majmu' Fatawa 24/96).
Hal ini kaidah secara umum, adapun menghukumi kesalahan individu maka dilihat keadaannya, perlu kehati-hatian. Maka imam Ahmad berkata: Mengeluarkan seseorang dari Ahlussunnah adalah perkara yang berat. (As Sunnah, 513 karya Al Khallal).
Maka, apa yang akan disampaikan Imam Ahmad rahimahullah selanjutnya adalah Pokok-pokok akidah yang membedakan antara Ahlussunnah dan ahlul bid'ah, siapa yang mengimaninya dan menerimanya maka dia ahli Sunnah, namun jika tidak menerimanya, maka dia adalah ahlul bid'ah.
Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal berkata:
الإِيمَانُ بِالقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ، وَالتَّصْدِيقُ بِالأَحَادِيثِ فِيهِ وَالإِيْمَانُ بِهَا، لَا يُقَالُ «لِمَ» وَلَا «كَيْفَ»، إِنَّمَا هُوَ التَّصْدِيقُ بِهَا وَالإِيمَانُ بِهَا.
(8) Beriman terhadap takdir yang baik maupun yang jelek, mempercayai semua hadits tentangnya dan mengimaninya. Tidak dibantah dengan pertanyaan “Kenapa” dan “Bagaimana”, akan tetapi wajib dipercaya dan diimani.
Beliau memulai dengan pembahasan tentang takdir karena pembahasan ini sangat penting sekali.
Urgensi Pembahasan Takdir
Mempelajari iman kepada takdir adalah hal yang sangat penting karena:
- Iman kepada takdir adalah bagian dari rukun iman.
- Banyak ayat-ayat Al-Qur'an, hadits-hadits dan ucapan salaf tentang masalah ini.
- Adanya penyimpangan dan kesesatan dalam memahami takdir. Seperti qodariyah yang tidak percaya takdir atau Jabariyah yang berpendapat makhluk tidak punya kehendak (seperti ungkapan manusia seperti wayang, tergantung dalangnya).
Adapun maksud hadits Nabi Muhammad ﷺ ,
إِذَا ذُكِرَ القَدَرُ فَأَمْسِكُوْا
“Apabila disebutkan tentang takdir maka tahanlah diri kalian (untuk berbicara).” (HR. ‘Abdurrazzaq, Al-Amali Fi Atsari As-Shahabah No. 51, At-Thabarani, Al-Mu’jamu Al-Kabir, No. 1427)
Mengapa Nabi Muhammad ﷺ mengatakan demikian? Maksudnya adalah jangan berbicara mengenai takdir dengan kejahilan atau tanpa dalil syar'i.
Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra Ayat 36:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِۦ عِلْمٌ ۚ إِنَّ ٱلسَّمْعَ وَٱلْبَصَرَ وَٱلْفُؤَادَ كُلُّ أُو۟لَٰٓئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔولًا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.
Demikian juga jangan berbicara tentang takdir dengan berlebihan, hingga menerobos hal-hal yang diluar ranah wilayah kita, yang berakibat dapat meragukan keimanan kita. Misal, kenapa Allah ﷻ tidak memberi hidayah kepada Fir'aun kenapa kepada Umar dan seterusnya.
Karena takdir adalah rahasia Allah ﷻ, maka jangan membahas di luar ranah berpikir kita.
Definisi Takdir
Takdir adalah Ilmu Allah ﷻ tentang semua kejadian sebelum terjadinya dan Allah ﷻ menulisnya dalam al-Lauhul Mahfudz, serta menghendaki dan menciptakannya.
Adakah perbedaan Qadha dan Qadar?
Sebagian ulama mengatakan tidak ada perbedaan antara keduanya, jika disebut Qadha maka mencakup Qadar, demikian juga sebaliknya. Sama seperti kata fakir dan miskin. Dan Imam Ahmad hanya menyebut dengan Qadar, maka dalam hal ini mencakup Qadha di dalamnya.
Sebagian ulama mengatakan,antara keduanya ada perbedaan:
- Qadha: Takdir setelah terjadi.
- Qadhar: Takdir sebelum terjadi.
Contoh, kita di masjid ini adalah qadha Allah ﷻ (yang menghendaki terjadi) dan jika belum terjadi adalah qadar.
Dalil-dalil Wajibnya Beriman kepada Takdir
Diantara dalil-dalil yang menyatakan wajibnya beriman kepada Qadha dan Qadar adalah :
- Firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنَاهُ بِقَدَرٍ
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan al-qadar (takdir) [al-Qamar/54:49]
- Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Jibril, yang artinya, “(Iman itu adalah) kamu beriman kepada Allah, para Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, serta beriman kepada takdir yang baik maupun yang buruk.” (HR Muslim (no. 8).
- Ijmak ulama, seperti dinukil oleh Umam An-Nawawi rahimahullah dalam Shahih Muslim 1/155 dan Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Fathul Bari 11/287. Begitu juga, Ulama-ulama lain yang selalu memasukkan masalah takdir dalam kitab-kitab mereka.
Disebutkan oleh Yahya bin Abdullah Salam bahwa tidak ada di bangsa Arab kecuali mereka menetapkan adanya takdir baik yang baik maupun yang buruk, yang Jahiliyah maupun Islam. Maka, beriman kepada takdir adalah fitrah, hingga kaum Jahiliyyah pun percaya. (Syarah Ushul Itiqad Ahli Sunnah wal Jama'ah 3/538).
Tingkatan Iman kepada Takdir
Tidak dikatakan beriman kepada takdir hingga tidak mengimani empat hal:
1. Al-‘Ilm (Ilmu).
Yaitu, Kita meyakini bahwa ilmu Allah Ta’ala meliputi segala sesuatu secara global dan terperinci, sebelum terjadi, ketika terjadi dan sesudah terjadi.
Firman-Nya:
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ ۚ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ ۚ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan. Tidak sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah ataupun yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [Al-An’aam: 59]
Hal ini akan menimbulkan rasa takut pada diri kita akan ilmu Allâh terhadap apa yang kita lakukan dan ucapkan, meskipun hanya lirikan mata kita.
2. Al-Kitaabah (Penulisan).
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala telah menuliskan ilmu-Nya tentang segala sesuatu yang terjadi di dalam Lauhul Mahfuzh sejak 50 ribu tahun sebelum penciptaan langit dan bumi.
Imam Muslim Rahimahullah meriwayatkan dalam Shahiihnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu ‘anhu, dia mengatakan, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ، قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ، بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ، قَالَ: وَعَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
‘Allah mencatat seluruh takdir para makhluk 50.000 tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.’ Beliau bersabda, ‘Dan adalah ‘Arsy-Nya berada di atas air.’” [HR. Muslim, (VIII/51) ]
3. Al-Masyii-ah (kehendak).
Kita meyakini bahwa Allah Ta’ala memiliki kehendak yang meliputi segala sesuatu. Tidak ada satu perbuatan makhluk pun yang keluar dari kehendak-Nya. Segala sesuatu yang terjadi semuanya di bawah kehendak (masyi’ah) Allah.
Manusia memiliki kehendak, tetapi kehendak manusia dibawah kehendak Allah ﷻ. Allah Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an :
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” [At-Takwiir/81 : 29]
4. Al-Khalq (Penciptaan)
Kita meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta adalah makhluk ciptaan Allah baik itu berupa dzat maupun sifat, demikian juga seluruh gerak-gerik yang terjadi di dalamnya.
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala
اللَّهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ
“Allah Yang menciptakan segala sesuatu… .” [Az-Zumar/39 : 62]
Dan firman-Nya:
هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللَّهِ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ
“…Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rizki kepadamu dari langit dan dari bumi… .” [Faathir/35 : 3]
Buah Manis Beriman Kepada Takdir
Manfaat kepada takdir sangat banyak, diantaranya:
- Menunaikan ibadah kepada Allah ﷻ.
- Menumbuhkan keberanian dan tawakkal kepada Allah ﷻ. Sehingga tidak akan mempercayai hal-hal yang bersifat khurafat seperti tihyarah (merasa sial karena hewan, angka atau bulan).
- Seorang akan khawatir suul khotimah. Karena tidak ada seorang pun tahu akhir hidup kita.
- Syukur tatkala mendapatkan nikmat dan sabar tatkala mendapatkan musibah.
- Dia akan mendapatkan ketenangan, ketentraman dan kebahagian.
Kaidah-kaidah Masalah Takdir
- Pembahasan masalah takdir tidak boleh keluar dari Al-Qur'an dan Sunnah.
- Iman kepada takdir tidak menafikan masyiah seorang hamba. Artinya hamba tetap memiliki kehendak, memiliki pilihan yang diberikan Allah ﷻ.
- Iman terhadap takdir tidak menafikan hamba untuk berusaha. Tetap, manusia harus melakukan sebab.
Seorang yang beriman diperintahkan mengambil sebab mendapatkan kebahagiaan di akhirat dan mengambil sebab keselamatan dari adzab.
Para shahabat Nabi ﷺ ketika dikabarkan oleh Nabi ﷺ bahwa tidak ada sebuah jiwa kecuali telah diketahui tempatnya di dalam surga dan neraka, mereka bertanya,
▪ يا رسولَ اللهِ ! فلمَ نعملُ ؟ أفلا نتَّكِلُ ؟
“Wahai Rasulullah, untuk apa kita beramal? Mengapa kita tidak pasrah saja?”
Beliau ﷺ menjawab dengan jawaban yang ringkas,
«لا اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ لِمَا خُلِقَ لَهُ ، ِ » .
“Tidak demikian, akan tetapi beramallah kalian, karena masing-masing akan dimudahkan melakukan apa yang dia diciptakan untuknya.” [HR Al Bukhari dan Muslim]
- Boleh beralasan takdir dalam hal musibah, tetapi tidak boleh beralasan dengan takdir dalam masalah dosa (maksiat).
Suatu saat ada pencuri yang hendak dipotong tangan oleh kholifah Umar, namun pencuri ini mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya aku mencuri hanya karena takdir Allah.” Umar pun menjawab, “Dan Kami pun memotong tangan dengan takdir Allah.”
- Tidak semua yang diinginkan Allah ﷻ secara kauni, berarti Allah ﷻ menginginkannya secara syar'i. (Tidak semua yang diinginkan Allah ﷻ berarti Allah ﷻ mencintainya).
Seperti Allah ﷻ mentakdirkan adanya setan, neraka, musibah dan siksa, apakah berarti Allah ﷻ mencintai hal-hal tersebut? Tentu jawabannya tidak. Tetapi ada hikmahnya dibalik semua itu.
Maka, bedakan antara takdir Iradah Kauniyah dan Syariah.
- Iradah Kauniyah maknanya masyiah (kehendak Allah ﷻ).
- Iradah Syariah maknanya mahabah (cinta).
Sebab-sebab Tersesat dalam Masalah Takdir
- Karena tidak memahami seperti pemahaman para sahabat.
- Menyamakan antara perbuatan Allah ﷻ dan perbuatan makhluk.
- Tidak membedakan antara Iradah Kauniyah dan Iradah syar'iyah.
- Mengandalkan akal. Karena akal memiliki batasan.
- Terlalu berlebih-lebihan dalam masalah takdir.
Lalu kata Imam Ahmad:
Siapa yang tidak mampu memahami tafsir sebuah hadits dan akalnya tidak mampu menjangkaunya, maka Hadits itu cukup ditetapkan, wajib baginya mengimaninya dan menerimanya seperti hadits tentang ash - shadiqul masduq, tentang pencatatan takdir janin di rahim, semua hadits tentang takdir dan rukyah (Melihat Allah ﷻ di akhirat) wajib baginya mengimaninya dan tidak boleh menolak satu huruf pun dari hadits-hadits tersebut, begitu pula hadits lain yang diriwayatkan para perawi yang terpercaya
Tidak boleh mendebat siapapun tentang takdir dan tidak boleh belajar ilmu debat, sebab belajar debat tentang masalah takdir, rukyah Allah ﷻ di akhirat dan masalah lain adalah haram dan terlarang, orang yang melakukan itu bukan termasuk Ahlus Sunnah meskipun beberapa ucapannya sesuai sunnah kecuali dia meninggalkan debat dan ia pasrah dan beriman kepada hadits-hadits tersebut.
Penjelasan:
Sebenarnya sudah kita bahas bagaimana kewajiban kita terhadap hadits Nabi, namun kita tambahi di sini satu masalah penting yaitu syubhat orang yang mendustakan hadits :
Jurus Syubhat Mengingkari Hadits-hadits Nabi ﷺ
1. Mencela sahabat dan perawi hadits.
Seperti mencela hadits sayap nyamuk. Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Apabila lalat jatuh di minuman seseorang dari kamu hendaklah ia tenggelamkan kemudian buang, karena salah satu sayapnya terdapat penyakit dan sayap lainnya terdapat penawarnya." (HR Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari).
Mereka seperti kelompok Syiah melihat perawi Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, yang hanya dua tiga tahun bertemu Nabi ﷺ tetapi banyak meriwayatkan 5000an hadits.
Tujuan mereka adalah mencela sahabat sehingga terputuslah hadits-hadits Nabi ﷺ.
2. Dianggap bertentangan dengan akal.
Seperti, Suatu ketika Abu Muawiyah yang buta berbicara di majlis Harun Ar-Rasyid, maka ia menyampaikan hadits: "Suatu saat Nabi Adam dan Musa 'alaihima sallam berdebat dan Adam memenangkannya.
Tiba-tiba Ali bin Ja'far menyela: "Bagaimana mungkin itu bisa terjadi, masa kehidupan Nabi Adam dan Nabi Musa kan berbeda masa yang lama". Lalu khalifah Harun Ar-Rasyid menghardiknya: "Dia menceritakan kepadamu hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu kamu membantah dengan bagaimana mungkin?" Beliau terus mengulang-ulangi, sampai Ali bin Ja'far terdiam"
Dalam masalah takdir, Nabi Adam Alaihissalam dapat membantah Nabi Musa Alaihissalam, sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu ‘laihi wa sallam mengenai perdebatan keduanya:
اِحْتَجَّ آدَمُ وَمُوْسَى، فَقَالَ لَهُ مُوْسَى: أَنْتَ آدَمُ الَّذِيْ أَخْرَجَتْكَ خَطِيْئَتُكَ مِنَ الْجَنَّةِ؟ فَقَالَ لَهُ آدَمُ : أَنْتَ مُوْسَى الَّذِي اصْطَفَاكَ اللهُ بِرِسَالَتِهِ وَبِكَلاَمِهِ، ثُمَّ تَلُوْمُنِيْ عَلىَ أَمْرٍ قَدْ قُدِّرَ عَلَيَّ قَبْلَ أَنْ أُخْلَقَ؟ فَحَجَّ آدَمُ مُوْسَى.
“Nabi Adam dan Nabi Musa Alaihissalam berbantah-bantahan. Nabi Musa berkata kepadanya, ‘Engkau Adam yang kesalahanmu telah mengeluarkanmu dari Surga?’ Nabi Adam menjawab kepadanya, ‘Engkau Musa yang dipilih oleh Allah dengan risalah-Nya dan berbicara secara langsung dengan-Nya, kemudian engkau mencelaku atas suatu perkara yang telah ditakdirkan atasku sebelum aku diciptakan?’ Maka, Nabi Adam dapat membantah Nabi Musa.” - HR. Muslim, kitab al-Qadr, (VIII/50, no. 2652).
Demikian juga hadits tentang penciptaan manusia pada hadits ash-shadiqul masduq, banyak ditolak karena tidak diterima akal. Suatu ketika, orang-orang mengabarkan hadits sahih ini yang berasal dari al-A'masy dari Zaid bin Wahb dari Ibn Mas'ud dari Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam ...
Mendengar hadits itu, berkatalah 'Amr bin 'Ubaid, tokoh mu'tazilah dengan sombongnya: "Seandainya pun aku mendengarnya langsung dari al-A'masy, niscaya akan kudustakan.... Seandainya pun kudengar hadits ini langsung dari Zaid, niscaya takkan kuanggap benar..... Kalaupun kudengar langsung dari Ibn Mas'ud, sungguh takkan kuterima hadits ini...
Kalau pun kudengar langsung dari Rasulullah -shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya akan kubantah... Dan kalaupun kudengar ini langsung dari Allah, niscaya akan kukatakan kepada-Nya bahwa bukan di atas hal ini kuambil perjanjian!"
Subhanallah, sungguh perkataan yang sangat kotor dari sang pemuja akal.
Dan banyak hadits lain yang ditentang akal karena disamakan dengan akal makhluk.
3. Karena haditsnya ahad. Dan masalah akidah tidak bisa ditentang dengan hadits ahad.
4. Takwil dengan merubah makna asli. Intinya mereka menolak isi hadits, seperti hadits Allah turun ke langit dunia, datangnya Dajjal, dan lainya.
Semoga bermanfaat.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم