16
May
2010
- Details
-
Penulis: Redaksi Majalah Fatawa
-
Dibaca: 8565 kali.
Kolom ini, insya Allah, akan berisi tentang pendapat imam yang empat (imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad). Tentu tidak semua perkataan mereka akan dimunculkan. Disamping keterbatasan tempat, tidak semua pendapat mereka selalu benar.
Tujuan menampilkan pendapat mereka tentu bukan untuk membatasi bahwa imam dalam perjalanan kaum muslimin hanya terbatas pada 4 (empat) imam tersebut. Sebelum dan sesudah mereka ada banyak imam, baik yang masyhur maupun tidak. Tidak pula kolom ini bertujuan untuk menggiring pada sikap fanatik madzhab (pendapat/pandangan) tertentu.
Agama Islam adalah agama yang sempurna dengan kenabian Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga tak layak dibatasi oleh sekat pendapat satu atau dua imam. Kolom ini sekadar untuk sedikit mencoba menunjukkan sikap penghormatan kepada ulama besar. Tekad untuk kembali kepada al-Quran dan as-Sunnah sesuai pemahaman para sahabat tidaklah berarti kemudian diikuti sikap menyepelekan mereka. Hanya dengan ulama dari zaman-ke-zaman umat Islam bisa memahami agamanya dengan baik.
Sebelum menikmati nasihat dan pendapat mereka, ada baiknya diulas secara singkat tentang biografi mereka. Perjalanan hidup mereka sejak lahir hingga wafatnya, tentu secara singkat saja. Pemaparan ini diharapkan bisa memberikan gambaran secara lebih utuh.
Imam Abu Hanifah
Namanya Nu'man bin Tsabit bin Zhuthi' lahir tahun 80 H/699 M di Kufah, Iraq, sebuah kota yang sudah terkenal sebagai pusat ilmu pada zamannya. Ayahnya seorang pedagang besar, sempat hidup bersama 'Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Abu Hanifah kadang menyertai ayahnya saat berdagang, tetapi minatnya untuk membaca dan menghafal al-Qur'an lebih besar.
Abu Hanifah mulai belajar dengan mendalam ilmu qira'at dan bahasa Arab. Bidang ilmu yang paling diminati ialah hadits dan fikih. Abu Hanifah berguru kepada asy-Sya'bi dan ulama lain di Kufah. Jumlah gurunya di Kufah dikatakan mencapai 93 (sembilan puluh tiga) orang. Beliau kemudian berhijrah ke Basrah berguru kepada Hammad bin Abi Sulaiman, Qatadah, dan Syu'bah. Setelah belajar kepada Syu'bah, saat itu sebagai Amir al-Mukminin fi Hadits (pemimpin umat dalam bidang hadits), beliau diizinkan mulai mengajarkan hadits.
Di Makkah dan Madinah beliau berguru kepada 'Atha' bin Abi Rabah, Ikrimah, seorang tokoh di Makkah murid Abdullah ibn 'Abbas, 'Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah dan 'Abdullah ibn 'Umar radhiyallahu 'anhuma. Kehandalan Abu Hanifah dalam ilmu-ilmu hadits dan fikih dikenal Ikrimah sehingga disetujui menjadi guru penduduk Makkah.
Abu Hanifah kemudian meneruskan pengajiannya di Madinah bersama Baqir dan Ja'afar as-Shaddiq. Kemudian belajar juga kepada Malik bin Anas, tokoh di kota Madinah ketika itu.
Saat guru kesayangannya Hammad meninggal dunia di Basrah pada tahun 120 H/738 M, Abu Hanifah diminta menggantikannya sebagai guru dan tokoh agama di Basrah. Abu Hanifah juga berdagang. Beliau amat bijak dalam mengatur antara dua tanggung jawabnya ini, seperti dijelaskan oleh salah satu muridnya, al-Fudhail ibn 'Iyyad;
"Abu Hanifah seorang ahli hukum, terkenal dalam bidang fikih, kaya, suka bersedekah kepada yang memerlukannya, sangat sabar dalam pembelajaran baik malam atau siang hari, banyak beribadah pada malam hari, banyak berdiam diri, sedikit berbicara kecuali ditanya sesuatu masalah agama, pandai menunjuki manusia kepada kebenaran dan tidak mau menerima pemberian penguasa."
Pada zaman pemerintahan 'Abbasiyyah, Khalifah al-Mansur memintanya menjadi qadhi (hakim) kerajaan, tapi ditolak sehingga dipenjara. Abu Hanifah meninggal dunia pada bulan Rajab 150 H/767 M dalam penjara karena keracunan. Shalat jenazahnya dilangsungkan 6 (enam) kali, tiap kalinya terdiri tidak kurang dari 50.000 (lima puluh ribu) orang.
Selengkapnya: Berkenalan dengan 4 (Empat) Imam