ʙɪꜱᴍɪʟʟᴀʜ
Hadits ke-8: Adab-Adab Memberi Salam dalam Rombongan
Dari ‘Ali bin Abi Thālib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata: Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ إِذَا مَرُّوا أَنْ يُسَلِّمَ أَحَدُهُمْ, وَيُجْزِئُ عَنْ اَلْجَمَاعَةِ أَنْ يَرُدَّ أَحَدُهُمْ
“Jika ada sekelompok orang (sebuah jama’ah) melewati jama’ah yang lain, maka cukup salah seorang dari jama’ah yang lewat tersebut untuk memberi salam. Dan sebaliknya, demikian juga jama’ah yang disalami maka cukup satu orang bagi mereka untuk membalas salam tersebut.”
- HR. Ahmad dan Al-Baihaqi dalam kitab Al-Adab no. 215.
Hadits ini sanadnya lemah karena di dalam sanadnya ada seorang rawi yang bernama Sa’īd bin Al-Khuzā’i Al-Madani. Dan dia adalah perawi yang dha’īf.
Akan tetapi Syaikh Al-Albani rahimahullāhu menyebutkan syawāhid yang menguatkan hadits ini. Yang dimaksud dengan syawahid adalah hadits-hadits yang maknanya sama tetapi diriwayatkan dari shahābat-shahābat yang lain. Dan syawāhid tersebut seluruhnya sanadnya juga lemah.
Oleh karenanya Syaikh Al-Albani mengatakan,
لَعَلَّ الْحَدِيْثَ بِهَذِهِ الطُّرُقِ يَتَقَوَّى فَيَصِيْرُ حَسَنًا، بَلْ هَذَا هُوَ الظَّاهِرُ
“Mungkin dengan banyaknya jalan-jalan yang lain dari hadits ini, maka hadits ini menguat dan menjadi menjadi hadits yang hasan. Bahkan memang dzohirnya ini hadits hasan” (Irwaul Golil 3/244)
Oleh karenanya, hadits ini juga dihasankan oleh Syaikh Al-Bassam dalam kitabnya Taudhihul Ahkām.
Hadits ini menjelaskan bahwasa di antara adab yang berkaitan dengan memberi salam adalah jika ada sekelompok jama’ah yang melewati jama’ah yang lain maka cukuplah salah seorang di antaranya yang memberi salam, karena hukumnya adalah fardhu kifayah.
إِذَا قَامَ بِهِ الْبَعْضُ سَقَطَ عَنِ الْبَاقِيْنَ
“Kalau seorang sudah melakukannya, maka yang lain tidak perlu lagi wajib untuk mengucapkan salam.”
Demikian juga dalam hal menjawab salam. Apabila ada seseorang yang datang kemudian memberi salam kepada jama’ah, “Assalāmu’alaykum.” Maka tidak wajib bagi seluruh jama’ah tersebut menjawabnya, tetapi cukup salah seorang di antara mereka.
Akan tetapi, para ulama mengatakan; seandainya mereka menjawab seluruhnya maka itu lebih baik dan lebih afdhal. Demikian pula seandainya seluruh orang dalam jama’ah tersebut mengucapkan salam, “Assalāmu’alaykum,” maka hal itu juga lebih afdhal.
Keutamaan itu didasarkan pada hadits,
أَفْشُوا السَّلامَ
Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Tebarkanlah salam.” (HR. Muslim, dari shahābat Abū Hurairah )
Jika jama’ah beramai-ramai mengucapkan salam atau beramai-ramai menjawab salam, maka hal itu lebih afdhal, meskipun tidak sampai ke tingkat wajib. Yang wajib adalah cukup salah satu yang memberi salam dan satu yang menjawabnya.
1. Menjawab Salam dengan yang sama sama atau Lebih Baik
Adab lain yang perlu disampaikan juga dalam pembahasan ini adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta’āla dalam Al Quran,
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Jika kalian diberi salam dengan suatu salam maka jawablah dengan salam yang lebih baik atau yang semisalnya.” (QS. An-Nisā: 86)
Dalam ayat ini, kita diperintahkan untuk menjawab salam yang diucapkan kepada dengan jawaban yang semisal atau yang lebih baik. Ini adalah sesuatu yang penting dan harus diperhatikan.
Jika kita bertemu dengan saudara kita kemudian dia mengucapkan salam,
- “Assalāmu’alaykum wa rahmatullāh,” maka hendaknya kita menjawab dengan jawaban yang sama dengan mengucapkan “Wa’alaykumussalam wa rahmatullāhi.”
- atau kita menjawab dengan jawaban yang lebih baik dengan mengucapkan, “Wa’alaykumussalam wa rahmatullāhi wa barakātuh.”
Dengan demikian, kita berusaha menjawab salam sebagaimana apa yang dia sampaikan atau lebih baik daripada apa yang dia sampaikan.
2. Tidak Boleh Menambah Apa yang Tidak Dicontohkan Nabi ﷺ
Disebutkan dalam atsar yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa' (2/959), bahwa Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhuma pernah menegur seseorang yang menambah-nambahi ucapan salam dengan ucapan karangan sendiri, yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.
Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya juga menegaskan hal yang senada. (Lihat: Tafsir al-Aurthubi (5/299).
Seperti kata Ta'ala setelah kata Allah: Assalāmu’alaykum warahmatullahi Ta'ala wa barakatuh.
Seperti halnya yang disampaikan oleh Syaikh Ar-Ruhaili Hafidzahullah, saat ditanya masalah ini.
3. Membalas dalam Cara Mengucapkan Salam
Menjawab salam dengan yang semisal atau dengan yang lebih baik juga dapat ditinjau dari sisi cara pengucapan salam. Misalnya saudara kita datang memberi salam kepada kita sambil tersenyum memandang wajah kita, maka kita pun berusaha memandangnya dengan tersenyum kepadanya.
Karena, mungkin ada sebagian orang yang karena keangkuhan dalam dirinya, jika diucapkan salam kepadanya, maka dia menjawab tanpa mau tersenyum atau bahkan tanpa melihat kepada saudaranya yang mengucapkan salam tersebut. Padahal Allāh mengatakan,
فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا
“Jawablah dengan lebih baik atau yang sama.”
Makna salam adalah doa "semoga keselamatan, rahmat, dan berkah dari Allah menyertai kamu" yang ditujukan kepada orang lain, dan menjawab salam adalah kewajiban.
Tiga inti doa dalam salam: keselamatan, rahmat, dan berkah adalah sesuatu yang setiap manusia cari dan butuhkan, inilah keagungan Islam, yang tidak dimiliki agama lain.
Dan ironinya banyak saudara kita yang mencari keberkahan dengan cara syirik. Na'udzubillahmindalik.
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلا تُؤْمِنُونَ حَتَّى تَحَابُّوا أَفَلا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلامَ بَيْنكُم
Kalian tidak akan masuk Surga sampai kalian beriman (dengan benar) dan kalian tidak akan beriman sampai kalian saling mencintai (karena Allâh Azza wa Jalla ). Maukah kalian aku tunjukkan suatu amal yang jika kalian kerjakan maka kalian akan saling mencintai ? Sebarkan salam di antara kamu” [HR. Muslim, no. 54].
5. Hendaknya Salam dengan Tulus dan Baik
Hal ini akan melunturkan hasad dan penyakit hati dengan kaum muslimin.
Mengucapkan salam dengan tulus dan baik berarti menyampaikannya dengan suara jelas, disertai senyum, dan tulus ikhlas sebagai doa kebaikan untuk orang lain.
Beberapa masalah salam oleh Imam Abdurrazzaq Ash-Shan'ani:
- Memberi Salam kepada Pembaca Al-Qur’an
Ada perbedaan pendapat dalam hal ini
- Tidak disyariatkan.
- Disyariatkan, dan ini dikuatkan oleh Imam an-Nawawi rahimahullah.
- Mengucapkan salam dalam rumah yang kosong:
Kita dianjurkan untuk tetap mengucapkan salam ketika masuk rumah yang tidak berpenghuni dengan lafaz sebagai berikut,
السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
“Salam/keselamatan bagi diri kami dan bagi hamba-hamba Allah yang saleh.”
Hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Beliau radhiyallahu ‘anhuma berkata,
إذا دخل البيت غير المسكون، فليقل السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ
“Jika seseorang masuk rumah yang tidak berpenghuni, maka ucapkanlah, ‘Assalaamu ‘alainaa wa’alaa ‘ibaadillaahish shaalihiin.’ (Salam/keselamatan bagi diri kami dan bagi hamba-hamba Allah yang saleh.)” (Adabul Mufrad, 806/ 1055)
Sunah ini termasuk dalam perintah Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an secara umum. Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً
“Apabila kamu memasuki rumah-rumah, hendaklah kamu memberi salam (kepada penghuninya, yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, dengan salam yang penuh berkah dan baik dari sisi Allah.” (QS. An-Nuur: 61)
Jika menyangka salam kita tidak bakal dijawab, apakah tetap dianjurkan memberi salam?
Ulama berbeda pendapat:
- Tidak dianjurkan: karena akan menjatuhkan orang lain ke dalam dosa.
- Dianjurkan, dengan alasan:
1. Karena berlandaskan dengan praduga.
2. Meskipun tidak dijawab maka malaikat akan menjawabnya.
3. Perintah dalam syariat tidak berlandaskan pada praduga.
4. Termasuk cara amar makruf nahi munkar.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
Hadits Ke-9: Larangan Mendahului Mengucapkan Salam kepada Orang Kafir
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
قال رسول الله صلّى اللّه عليه وسلّم “لَا تَبْدَؤُوا اَلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ, وَإِذَا لَقَيْتُمُوهُمْ فِي طَرِيقٍ, فَاضْطَرُّوهُمْ إِلَى أَضْيَقِهِ”
Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Janganlah kalian mulai memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan orang-orang Nashrani. Dan jika kalian bertemu dengan mereka di jalan maka buatlah mereka tergeser ke jalan yang sempit.”
- HR. Muslim no. 2167.
Inilah yang benar, bahwa hadis ini adalah riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu. Adapun yang disebutkan dalam kitab Bulugh al-Maram, yang mengesankan bahwa hadis ini adalah riwayat Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu’anhu, maka hal itu adalah suatu kekeliruan. Bisa jadi kekeliruan tersebut berasal Ibnu Hajar Rahimahullah sendiri, atau oleh para pengutip kitab dari beliau Rahimahmullah. (Lihat: Minhah al-Allaam Syarh Bulugh al-Maram).
Hadits ini dipermasalahkan oleh sebagian orang. Mereka mengatakan, “Islam kok demikian? Kok mengajarkan sikap keras terhadap orang-orang kafir?”
Sebenarnya hadits ini sama sekali tidak menjadi masalah, karena kita menempatkan dalil-dalil sesuai dengan kondisinya. Ada dalil-dalil yang menunjukkan bagaimana rahmatnya Islam. Terlalu banyak dalil yang menunjukkan bagaimana sikap Rasūlullāh shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap orang-orang kafir dengan muamalah thayyibah, dengan sikap yang baik dalam rangka untuk mengambil hati mereka.
Ada beberapa poin yang berkaitan dengan hadits ini.
1. Pertama, seorang muslim tidak boleh mendahulukan mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani. Mengapa demikian? Karena, salam menunjukkan pemuliaan dan di dalamnya juga terdapat do’a. Jika kita mengucapkan “Assalaamu’alaykum” berarti kita telah mendoakan keselamatan bagi dia. Padahal, dengan kekufurannya itu dia tidak berhak untuk mendapatkan keselamatan. Dia kafir kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla, dia kafir terhadap Nabi Muahammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan dia berbuat kesyirikan. Lalu bagaimana kita mendoakan keselamatan bagi mereka. Karena itu, kita tidak berhak dan bahkan tidak boleh mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka.
2. Kedua, bagaimana kalau kalau mereka yang lebih dahulu mengucapkan salam kepada kita? Kalau mereka mengucapkan “assalaamu’alaykum,” kita jawab, “wa’alaykum (demikian juga bagi kalian).” (Pendapat ini dipegang oleh Imam an-Nawawi rahimahullah).
Ibnul Qayyim rahimahullah, merinci:
- Boleh menjawab seperti normal jika mereka memberi salam yang normal.
- Tetapi jika yang memberi salam, seperti orang Yahudi yang diriwayatkan Aisyah : Assaamu'alaikum, maka dijawab wa'alaykum.
3. Ketiga, bagaimana jika kondisinya sulit untuk tidak saling mengucapkan salam kepada mereka? Misalnya, mereka adalah bos kita, rekan kerja kita, atau orang-orang yang sangat sering bertemu dengan kita. Bukankah jika kita tidak mau mengucapkan salam sama sekali akan menyulitkan diri kita? Kita bisa dianggap ekstrim, tidak mau bergaul, tidak ramah, atau prasangka-prasangka lain yang mungkin timbul.
Jika situasinya seperti itu, maka para ulama (banyak ulama) seperti Syaikhul Islām Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Albani rahimahullāh membolehkan kita untuk mengucapkan salam kepada mereka. Kita tidak perlu mengucapkan “Assalaamu’alaykum” kepada mereka, tetapi cukup dengan menggunakan kalimat salam yang umum seperti, “Selamat pagi”, “Bagaimana kondisimu?”, “Good morning” dan sejenisnya.
Ucapan salam seperti itu tidak menjadi masalah karena di dalamnya tidak mengandung doa rahmat dan keselamatan kepada mereka. Berbeda dengan “assalaamu’alaykum” yang merupakan do’a yang tidak pantas untuk diberikan kepada orang-orang yang musyrik dan kafir kepada Allāh serta kafir kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم