Majalah Syir'ah, Tahannus, Februari 2004
Oleh Mujtaba Hamdi
Ternyata dalam ingatan kita makna berkah memiliki porsi tersendiri . Saat kata berkah hadir dalam sebuah percakapan, misalnya, tiba-tiba dalam memori kita muncul gambar sebuah keberlimpahan yang bersifat murni kehendak Ilahi. Berkah berupa rezeki: gambar yang segera timbul di benak kita adalah duit yang banyak, berlimpah ruah, atau setidaknya uang yang punya manfaat berlipat. Berkah berupa ilmu: memori kita seakan melayang ke sosok yang pengetahuannya banyak berguna bagi masyarakat.
Sebaliknya, rezeki tidak berkah atau ilmu tidak berkah mengingatkan kita akan sebuah ketidakbergunaan dan kesia-siaan. “Rezekinya tidak berkah. Lihat saja, meski berduit, anak-anaknya badung,” begitu kata orang. “Ia pandai, tapi ilmunya tidak berkah. Buktinya, pikiran-pikirannya sesat, menyeleweng dari syariah,” ini juga ungkapan yang biasa terdengar.
Ingatan kita tentang berkah, yang berasal dari kata al-barakah, seolah-olah ada begitu saja. Kita hampir tak pernah bertanya sejak kapan gambaran macam itu tumbuh di kepala. Barangkali, kita juga tidak menyadari bahwa kisah tentang berkah yang disampaikan kepada kita selalu yang itu-itu juga. Kisah Rasulullah di masa Perang Tabuk ini, contohnya. Syahdan, para Sahabat dilanda kekurangan bahan makanan. Mereka pun mengusulkan kepada Rasulullah, “Ya Rasul, izinkanlah kami menyembelih unta-unta itu untuk kami makan.”
Oleh : Abu Hamzah Agus Hasan Bashori al-Sanuwi
Apakah jabat tangan itu ada pada para sahabat Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-? Dia menjawab: "Ya." (HR. Bukhari: 5908)
2. Hadits Bara' Ibn Azib -Radiallahu anhu-
Selengkapnya: Hadits Jabat Tangan dan Saling Berpelukan Saat Bertemu