بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Kajian Kitabul Ilmi - Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin
Pemateri: Ustadz Abu Haidar As-Sundawy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
Pertemuan: 9 Dzulqa’dah 1446 / 7 Mei 2025
Tempat: Ma'had Al-Islam Cileunyi Bandung.
Telah berlalu pembahasan mengenai adab-adab (yang harus dimiliki oleh) penuntut ilmu:
- Niat yang Ikhlas karena Allah ﷻ.
- Menghilangkan kebodohan dari dirinya dan orang lain.
- Membela syariat.
- Berlapang dada dalam masalah yang diperselisihkan.
5. Mengamalkan Ilmu
Seorang penuntut ilmu harus mengamalkan ilmunya, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlak, adab, dan mu'amalah, karena amalan adalah buah dan kesimpulan dari ilmu.
Seseorang yang datang kepada Abu Hurairah mengatakan bahwa ia tidak ingin belajar karena nanti dituntut untuk mengamalkannya. Abu Hurairah kemudian menyampaikan cukuplah dengan kamu tidak belajar menuntut ilmu berarti telah menyia-nyiakan ilmu yang paling buruk.
Pembawa ilmu itu seperti orang yang membawa senjata, bisa bermanfaat baginya atau bisa juga mencelakakannya, oleh karena itu diterangkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَالقُرْاَنُ حُجَّةٌ لَكَ أَوْ عَلَيْكَ
“Al Qur’an itu bisa menjadi pembelamu atau musuh bagimu.” (HR. Muslim no. 223)
Dia akan menjadi hujjah jika engkau mengamalkannya dan akan menjadi dakwaan jika tidak engkau amalkan. Demikian pula mengamalkan apa-apa yang shahih dari Nabi ﷺ dengan cara membenarkan semua kabar darinya dan melaksanakan hukum-hukum. Jika berita dari Allah dan Rasul-Nya datang, maka benarkan dan terimalah serta tunduklah dan janganlah engkau tanyakan: “Mengapa?” “Bagaimana?” Karena sikap itu bukanlah sikap kaum mukminin. Allah Ta'ala berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَٰلًا مُّبِينًا
“Dan tidaklah pantas bagi seorang mukmin baik laki-laki maupun wanita, apabila Allah telah menetapkan suatu urusan lalu akan ada pilihan lain bagi mereka dari urusan mereka. Dan barang siapa yang maksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia telah sesat dengan sejauh-jauhnya.” (QS. Al-Ahzaab: 36)
Dalam surat Surat Al-Hujurat Ayat 2:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَرْفَعُوٓا۟ أَصْوَٰتَكُمْ فَوْقَ صَوْتِ ٱلنَّبِىِّ وَلَا تَجْهَرُوا۟ لَهُۥ بِٱلْقَوْلِ كَجَهْرِ بَعْضِكُمْ لِبَعْضٍ أَن تَحْبَطَ أَعْمَٰلُكُمْ وَأَنتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.
Meninggikan suara bisa dimaksudkan sebagai mendahulukan pendapat sendiri dibanding hadits Nabi ﷺ, meskipun tidak masuk di akal. Seperti banyak hadits masalah hari akhir, turun Allah ﷻ ke dunia, hadits nyamuk sayap satu racun dan sayap lainya penawar, dan lainnya.
Ketika Nabi ﷺ berbicara kepada para Sahabat dengan sesuatu yang kadang-kadang asing dan jauh dari jangkauan akal mereka, mereka langsung menerima hal itu dan tidak mengatakan, “Kenapa?” “Bagaimana?” Berbeda dengan sikap orang di zaman sekarang dari umat ini. Kita dapati satu di antara mereka apabila disampaikan kepadanya sebuah hadits dari Rasulullah ﷺ akalnya merasa keheranan tentang hal itu dan kita temukan dia memperlakukan ucapan Nabi ﷺ yang dia renungkan isinya akan tetapi untuk di sanggah, bukan untuk diambil petunjuknya. Oleh karena itu, dia terhalang untuk memperoleh taufik sehingga membantah apa yang datang dari Rasul dan tidak menerimanya dengan pasrah.
Saya akan berikan contoh untuk hal itu. Di dalam sebuah hadits dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
”Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ’Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku kabulkan. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya Aku penuhi. Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku ampuni.” (HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 1808)
Hadits ini diceritakan oleh Nabi ﷺ dan ini merupakan hadits yang masyhur, bahkan mutawatir. Tidak ada seorang Sahabat pun yang berani mengangkat lisannya untuk bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah Allah turun?” “Apakah “Arsy-Nya itu kosong atau tidak?” Dan pertanyaan senada lainnya. Akan tetapi kita temukan beberapa orang berbicara seperti ini dan menanyakan, “Bagaimana dengan “Arsy ketika Allah turun ke langit dunia?” Dan perkataan lainnya yang terucap. Seandainya mereka menerima hadits ini dengan pasrah dan mengatakan bahwa Allah ﷻ bersemayam di atas 'Arsy dan Mahatinggi sesuai dengan keharusan Dzat-Nya dan Dia turun sebagaimana yang dikehendaki-Nya, maka akan tertolaklah syubhat ini dari mereka dan mereka tidak akan merasa bingung terhadap apa yang diberitakan oleh Nabi ﷺ tentang Rabb-Nya.
Dengan demikian, kita wajib menerima apa saja yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya tentang perkara-perkara yang ghaib dengan pasrah dan tidak membantahnya dengan apa-apa yang tersirat dalam fikiran kita, karena perkara yang ghaib tidak akan terjangkau oleh akal seperti itu. Contoh tentang hal ini banyak sekali, Saya tidak ingin berbicara panjang lebar tentang masalah ini, tetapi Sikap seorang mukmin terhadap hadits-hadits seperti ini hanyalah menerima dan pasrah dengan mengatakan, “Benarlah Allah dan Rasul-Nya!” Sebagaimana yang Allah kabarkan tentang masalah Ini dalam firman-Nya:
آمَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيْهِ
“Rasul telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya....” (QS. Al-Baqarah : 285)
'Aqidah wajib dibangun di atas Kitabullah dan Sunnah RasulNya dan manusia harus mengetahui bahwa tidak ada ruang bagi akal di dalamnya. Saya tidak mengatakan bahwa tidak ada jalan masuk bagi akal dalam masalah' aqidah. Saya hanya mengatakan bahwa tidak ada ruang bagi akal dalam masalah 'aqidah kecuali sebatas keterangan yang datang tentang kesempurnaan Allah yang dikuatkan oleh akal, sekalipun akal tidak bisa mengetahui rincian dari apa yang wajib bagi Allah berupa kesempurnaan akan tetapi akal bisa mengetahui bahwa Allah mempunyai semua sifat kesempurnaan. Orang yang dikaruniai hal ini wajib mengamalkan ilmunya dari sisi aqidah.
Demikian pula dari sisi ibadah-ibadah kepada Allah ﷻ, sebagaimana yang diketahui oleh kebanyakan dari kita bahwa ibadah harus dibangun di atas dua dasar:
- Pertama, ikhlas karena Allah ﷻ.
- Kedua, mengikuti Rasul (mutaba'ah).
Manusia harus membangun ibadahnya di atas ajaran yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh mengada-adakan kebid'ahan dalam agama Allah yang bukan bagian dari agama ini, baik dalam asal ibadahnya maupun ritualnya. Oleh karena itu kita katakan bahwa ibadah itu harus berupa sesuatu yang tetap berdasarkan syari'at, baik dalam bentuknya, tempatnya, waktunya, serta sebabnya. Semua hal tadi harus ditetapkan dengan syari'at.
Jika seseorang menetapkan salah satu sebab untuk ibadah yang dia lakukan kepada Allah tanpa dalil, maka hal itu kita tolak dan kita katakan bahwa ibadah ini tidak akan diterima karena harus memiliki landasan syari'at bahwa ini adalah penyebab ibadah tersebut, jika tidak maka tidak akan diterima. Jika seseorang menetapkan satu syari'at berupa ibadah tetapi tidak memiliki keterangan syari'at tentang hal itu atau dia melakukan satu amalan yang ada berlandaskan syari'at tetapi dengan cara pelaksanaan yang diadaadakan atau pada waktu yang diada-adakan, maka kita katakan bahwa ibadah ini pun ditolak karena ibadah itu harus dibangun di atas landasan syari'at dan hal ini termasuk tuntutan dari apa yang telah Allah ajarkan kepadamu berupa ilmu, yaitu tidak beribadah kepada Allah kecuali dengan cara yang disyaria'tkan.
Oleh karena itu, para ulama mengatakan bahwa pada asalnya ibadah itu dilarang sampai adanya dalil yang mensyari'atkannya. Hal ini ditunjukkan oleh firman-Nya,
أَمْ لَهُمْ شُرَكَٰٓؤُا۟ شَرَعُوا۟ لَهُم مِّنَ ٱلدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنۢ بِهِ ٱللَّهُ ۚ
“Atau apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu yang menetapkan syari'at bagi mereka berupa agama yang Allah tidak memberikan izin tentang hal itu?” (QS. Asy-Syuuraa: 21)
Juga berdasarkan sabda Nabi ﷺ dalam hadits yang terdapat dalam kitab ash-Shahiih (Muslim) dari 'Aisyah :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak” (HR. Muslim no. 1718)
Sekalipun engkau ikhlas dan ingin sampai kepada Allah dan kemuliaan-Nya akan tetapi dilakukan bukan dalam bentuk yang disyaratkan, maka hal ini akan tertolak. Seandainya engkau ingin sampai kepada Allah dengan cara yang Allah tidak menetapkan jalan itu untuk sampai kepada-Nya, maka hal ini pun tertolak.
Dengan demikian, setiap penuntut ilmu wajib menjadi seorang yang beribadah kepada Allah Ta'ala dengan landasan syari'at yang diketahuinya, tidak menambah atau mengurangi. Dia tidak boleh mengatakan, “Saya ingin beribadah kepada Allah dengan cara yang bisa membuat jiwa saya tenang dan hati saya sejuk serta dada saya lapang.” Dia tidak boleh mengatakannya sekalipun seandainya dia mendapatkan hal-hal tersebut. Tetapi dia harus menimbang dengan timbangan syari'at. Jika amalan itu dikuatkan oleh al-Kitab dan as-Sunnah maka dia harus melaksanakannya dengan sepenuh hati, jika tidak maka akan masuk ke dalam timbangan amal buruknya. Allah Ta'ala berfirman:
أَفَمَن زُيِّنَ لَهُۥ سُوٓءُ عَمَلِهِۦ فَرَءَاهُ حَسَنًا ۖ فَإِنَّ ٱللَّهَ يُضِلُّ مَن يَشَآءُ
“Maka apakah orang yang dihiasi oleh syaitan tentang kejelekan amalnya lalu dia menganggap baik terhadap hal itu (sama dengan orang yang tidak ditipu)? Sesungguhnya Allah menyesatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya...” (QS. Faathir: 8)
Demikian pula dia harus mengamalkan ilmunya dalam hal akhlak dan mu'amalah. Ilmu syar'i mengajak kepada semua akhlak yang utama berupa kejujuran, memenuhi janji, dan mencintai kebaikan bagi orang-orang yang beriman, sehingga Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.” (HR: Bukhari dan Muslim)
Dan beliau Nabi ﷺ bersabda,
فَمَنْ أَحَبَّ أَنْ يُزَحْزَحَ عَنِ النَّارِ وَيَدْخُلَ الْجَنَّةَ فَلْتَأْتِهِ مَنِيَّتُهُ وَهُوَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِى يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ
“Barangsiapa ingin dijauhkan dari neraka dan masuk ke dalam surga, hendaknya ketika ia mati dalam keadaan beriman kepada Allah, dan hendaknya ia berperilaku kepada orang lain sebagaimana ia senang diperlakukan oleh orang lain.” (HR. Muslim, no. 1844)
Banyak di antara manusia yang mempunyai semangat dan mencintai kebaikan, akan tetapi mereka tidak bergaul dengan manusia dengan akhlak mereka. Kita temukan dirinya bersikap kasar dan keras sekalipun ketika berdakwah mengajak kepada Allah ﷻ, kita dapati dirinya menggunakan kekasaran dan kekerasan. Hal ini menyalahi akhlak yang diperintahkan oleh Allah ﷻ.
Ketahuilah bahwa kebaikan akhlak adalah hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah ﷻ, dan manusia yang paling utama di hadapan Rasulullah ﷺ dan yang paling dekat kedudukannya dengan beliau adalah orang yang paling mulia akhlaknya, sebagaimana sabda beliau :
“Sesungguhnya orang yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat kedudukannya denganku pada hari Kiamat adalah orang yang paling baik akhlaknya di antara kalian. Dan orang yang paling aku benci dan paling jauh kedudukannya dariku pada hari Kiamat adalah tsartsirun (orang yang banyak bicara), mutasyaddiqun (yang cerewet), dan al-mutafaihiqun.”
Para Sahabat bertanya,
“Wahai Rasulullah, kami telah mengetahui siapa itu tsartsirun dan mutasyaddiqun, lalu apakah mutafaihiqun itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang sombong.” (HR. AtTirmidzi).
Keutamaan Akhlak
Akhlak adalah buah dari iman dan ilmu, dan akhlak memiliki keutamaan yang tinggi, diantaranya:
Dekat dengan Nabi ﷺ di Akhirat
إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ القِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا
“Sesungguhnya yang paling aku cintai di antara kalian dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah mereka yang paling bagus akhlaknya di antara kalian.” (HR. Tirmidzi no. 1941. Dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jaami’ no. 2201.)
Akhlak Mulia Penyebab Paling banyak Masuk Surga dan Akhlak Buruk Penyebab Masuk Neraka
Dari Abu Hurairah, ia berkata,
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ « تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ ». وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ « الْفَمُ وَالْفَرْجُ »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai perkara yang banyak memasukkan seseorang ke dalam surga, beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan berakhlak yang baik.” Beliau ditanya pula mengenai perkara yang banyak memasukkan orang dalam neraka, jawab beliau, “Perkara yang disebabkan karena mulut dan kemaluan.” (HR. Tirmidzi no. 2004 dan Ibnu Majah no. 4246. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Akhlak memiliki kedudukan dibandingkan ahli ibadah
Bahkan dengan akhlak mulia, seseorang bisa menyamai kedudukan (derajat) orang yang rajin berpuasa dan rajin shalat. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الْمُؤْمِنَ لَيُدْرِكُ بِحُسْنِ خُلُقِهِ دَرَجَةَ الصَّائِمِ الْقَائِمِ
“Sesungguhnya seorang mukmin bisa meraih derajat orang yang rajin berpuasa dan shalat dengan sebab akhlaknya yang luhur.” (HR. Ahmad no. 25013 dan Abu Dawud no. 4165. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wa At-Tarhiib no. 2643.)
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم