Bercita-cita Tinggi dalam Menuntut Ilmu
Di antara akhlak Islam adalah berhias diri dengan cita-cita tinggi, yang menjadi titik sentral alam dirimu, baik untuk maju ataupun mundur, juga yang mengawasi gerak-gerik badanmu. Cita-cita yang tinggi bisa mendatangkan kebaikan yang tiada terputus dengan izin Allah, agar engkau bisa mencapai derajat yang sempurna, sehingga cita-cita itu akan mengalirkan darah kesatriaan dalam urat nadimu dan mengayunkan langkah untuk menjalani dunia ilmu dan amal. Orang lain tidak akan pernah melihatmu kecuali berada di tempat yang mulia, engkau tidak akan membentangkan tangan kecuali untuk menyelesaikan perkara-perkara yang penting.
Ini adalah perkara yang penting bagi para pelajar dalam menuntut ilmu, yaitu hendaklah dia mempunyai tujuan dalam belajarnya, bukan sekadar menghabiskan waktu di bangku sekolah, tetapi hendaklah seorang pelajar itu mempunyai cita-cita. Dan di antara cita-cita yang paling mulia adalah agar dengan ilmunya ia menjadi imam yang memimpin umat Islam di bidang ilmu pengetahuan, dan dia harus merasa bahwa dia bisa mencapainya sedikit demi sedikit sampai bisa mencapai cita-citanya. Kalau seorang pelajar melakukannya, dia akan menjadi perantara antara Allah dengan hamba-Nya dalam menyampaikan syariat Islam ini, yang akan membawanya untuk mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah dengan berpaling dari semua pendapat akal manusia, kecuali kalau bisa membantunya dalam mencapai kebenaran, seperti yang diucapkan oleh para ulama, yang itu merupakan sebuah ilmu yang bisa menjadi pintu bagi kita untuk mengetahui kebenaran. Karena, kalau tanpa ucapan-ucapan mereka, kita tidak akan mampu mengambil hukum langsung dari nash-nash yang ada, atau untuk mengetahui mana yang rajih (pendapat yang kuat) dan mana yang marjuh (pendapat yang lemah) atau yang semisalnya.
Cita-cita yang tinggi akan menghindarkanmu dari angan-angan dan perbuatan yang rendah dan akan memangkas habis batang kehinaan darimu seperti sikap suka menjilat dan basa-basi. Orang yang mempunyai cita-cita yang tinggi akan tegar, dia tidak akan gentar menghadapi masa-masa sulit. Sebaliknya, orang yang bercita-cita rendah akan menjadi penakut, pengecut, dan terbungkam mulutnya hanya oleh sedikit kelelahan.
Namun, jangan salah persepsi, jangan campuradukkan antara cita-cita yang tinggi dengan kesombongan. Karena, antara keduanya terdapat perbedaan yang sangat tajam, seperti perbedaan antara langit dan bumi. Cita-cita yang tinggi adalah perhiasan para ulama pewaris nabi, sedangkan kesombongan adalah penyakit orang-orang yang sakit dari kalangan para diktator yang sebenarnya miskin hati.
Wahai para pelajar, canangkanlah pada dirimu cita-cita yang tinggi, jangan berpaling darinya. Syariat kita telah memberi isyarat akan hal itu pada banyak masalah fiqih yang engkau jalani setiap hari, agar engkau selalu siap mendapatkannya. Misalnya, dibolehkannya tayamum bagi mukallaf tatkala tidak ada air, dan dia tidak diharuskan menerima hadiah sehingga air wudhu dari orang lain karena itu akan membuat orang lain merasa berjasa padamu. Yang itu akan merendahkan martabatmu. Dan perhatikanlah contoh-contoh lain yang seperti ini. Wallaahu a'lam.
Termasuk cita-cita yang tinggi adalah jangan sampai engkau mengharap milik orang lain. Karena, jika engkau menginginkan kepunyaan orang lain, lalu mereka memberikannya kepadamu, maka mereka akan memilikimu, karena perbuatan itu sebenarnya akan mengikatmu. Seandainya ada seseorang yang memberimu satu keping uang, maka tangannya akan lebih tinggi daripada tanganmu, sebagaimana digambarkan dalam sebuah hadits: "Tangan yang di aas lebih baik daripada tangan yang di bawah." (HR Bukhari dan Muslim).
Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi segala nikmat. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Seringkali kita melihat di tengah masyarakat terdapat kebiasaan selamatan ketika memasuki rumah baru. Berbagai ritual pun dilakukan baik dengan pembacaan surat tertentu secara jama’i, tahlilan, atau bahkan yang berbau syirik pun ada yang dilakukan. Sudah barang tentu hal ini perlu kita tinjau secara syari’at apakah semacam itu dibenarkan? Semoga pembahasan berikut ini dapat bermanfaat bagi pengunjung sekalian.
Bid’ah dalam Adat Kebiasaan
Bid’ah –yaitu ibadah yang jauh dari tuntunan Islam- biasa kita temukan dalam hal ibadah. Yaitu ibadah tersebut dilakukan dengan tatacara, penetapan waktu, penetapan jumlah dan penetapan tempat tanpa mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bid’ah dalam masalah ibadah-lah yang biasa dicela dalam hadits, sebagaimana dalam hadits ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)