Pergulatan antara penganut kebenaran dan pengikut kebatilan adalah kepastian dari Allah Subhanahu wata’ala. Dengan ilmu dan kekuasaan-Nya yang sempurna Dia Subhanahu wata’ala telah menakdirkan terjadinya sampai datangnya hari kiamat. Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan tentang awal pergulatan tersebut, yaitu antara Bapak kita, Adam ‘Alaihissalam, dan Iblis la’natullah ‘alaih. Iblis telah menyatakan permusuhan kepada manusia di hadapan Allah Subhanahu wata’ala, sebagaimana firman-Nya (yang artinya),
Iblis menjawab, “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” Allah berfirman, “Keluarlah kamu dari surga itu sebagai orang terhina lagi terusir. Sesungguhnya barang siapa di antara mereka mengikuti kamu, benarbenar Aku akan mengisi neraka Jahanam dengan kamu semuanya.” (Dan Allah berfirman), “Hai Adam bertempat tinggallah kamu dan istrimu di surga serta makanlah olehmu berdua (buahbuahan) di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini, lalu menjadilah kamu berdua termasuk orang-orang yang lalim.”
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya untuk menampakkan kepadakeduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu auratnya dan setan berkata, “Rabb kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasihat kepada kamu berdua,” maka setan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. Tatkala keduanya telah merasakan buah pohon itu, tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. Kemudian Rabb mereka menyeru mereka, “Bukankah Aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan Aku katakan kepadamu sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?” (al-A’raf: 16—22)
Suatu hari di masjid raya negeri Fusthat, wilayah Mesir. Seorang ulama terkenal bernama Abul Fadhl Al Jauhari menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjatuhkan talak, mengucapkan zhihar (ucapan seorang suami kepada istrinya,”Punggungmu seperti punggung ibuku, maksudnya mengharamkan istrinya untk dijima’i) dan melakukan ila’ (sumpah seorang suami untuk tdk mendekati istrinya).
Diantara hadirin, terlihat seseorang yang nampak asing bagi Al Jauhari dan orang-orang. Orang asing itu bernama Muhammad bin Qasim Al Utsmani.
Setelah keluar meninggalkan masjid, Al Utsmani bersama satu rombongan orang lantas mengikuti Al Jauhari dari belakang, sampai ke rumahnya. Mereka dipersilakan masuk.
Setelah berbincang-bincang dan tamu-tamu telah beranjak pamit, Al Jauhari memberi kesempatan kpd Al Utsmani untuk berbicara.
“Hari ini, saya menghadiri majlis anda. Saya mendengar anda menerangkan bahwa Rasulullah mengucapkan zhihar, padahal zhihar itu termasuk ucapan munkar dan dusta. Tidak mungkin hal ini terjadi pada diri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”. Al Utsmani berterus-terang.
Saat itu juga, Al Jauhari memeluk Al Utsmani dan mencium kepalanya. Al Jauhari menyatakan,”Sejak detik ini, saya bertaubat dari pendapat tersebut. Semoga Allah membalas anda atas teguran ini”.
Selengkapnya: Belajar dari Salaf: Jujur dalam Menerima Kebenaran