Kategori Akhlak

Cara bergaul seorang hamba terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan para manusia lainnya.
Kajian Islam


KEDUA : MENERIMA HUKUM-HUKUM ALLAH DENGAN BENTUK MENGAMALKANNYA


Sesungguhnya berakhlak baik dalam bermuamalah dengan Allah dalam hal yang berkaitan dengan hukum-hukumNya adalah (dengan cara) menerima, mengamalkan dan merealisasikannya, serta tidak menolak sedikitpun hukum-hukum Allah. Jika seseorang mengingkari suatu hukum Allah, maka tindakan ini adalah (termasuk ) berakhlak buruk kepada Allah.

Kami akan memberikan permisalan tentang puasa. Tidak diragukan lagi bahwa puasa adalah (amalan) yang berat bagi manusia, karena dalam ibadah puasa seseorang (harus) meninggalkan hal-hal yang diingini, seperti makanan, minuman, dan jima'. (Dan) Ini adalah suatu perkara yang berat. Akan tetapi seorang yang beriman, ia akan berakhlak baik kepada Allah, menerima beban syariat ini, dan menerima kemuliaan ini, dan hal ini adalah nikmat dari Allah, ia akan menerimanya dengan lapang dada dan ketenangan, jiwanya luas, dan kamu akan mendapatinya berpuasa pada siang hari yang panas sedangkan ia dalam keadaan ridha, lapang dada, karena ia berakhlak baik kepada Penciptanya, akan tetapi orang yang berakhlak buruk kepada Allah akan "menemui" ibadah seperti ini dengan keluh kesah, kebencian. Dan andaikata ia tidak takut kepada suatu perkara yang tidak baik akibatnya niscaya ia tidal akan berpuasa.

Dan misal laiinnya adalah shalat :

Tidak dapat diragukan lagi bahwa puasa adalah ibadah yang berat bagi sebagian manusia, dan shalat itu ibadah yang berat bagi orang-orang munafik, sebagaimana sabda Nabi :

"Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya' dan shalat subuh" (Bukhari & Muslim)

akan tetapi shalat bagi orang yang beriman adalah "qurratu aini" (penghibur hati) dan menenangkan jiwanya.

"Dan mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) shalat. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu`,(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya". (Al Baqarah : 45-46)

Shalat bagi orang yang beriman bukanlah hal yang berat, bahkan shalat itu ringan dan mudah (bagi mereka yang beriman). Oleh karena itu Nabi bersabda :

"Dijadikan pelipur lara hatiku dalam shalat"

Maka berakhlak baik kepada Allah dalam masalah shalat ini, yaitu anda menunaikan shalat dengan lapang dada, tenang, dan kedua matamu mendapatkan pelipur lara jika engkau sedang mengerjakan dan menunggunya jika waktu shalat telah lewat, maka jika engkau telah mengerjakan shalat subuh, engkau dalam kerinduan kepada shalat dzuhur, dan jika engkau telah shalat dzuhur engkau dalam kerinduan kepada shalat ashar, dan jika engkau telah mengerjakan shalat ashar engkau dalam kerinduan kepada shalat maghrib, dan jika engkau telah shalat maghrib engkau dalam kerinduan kepada shalat isya', dan jika engkau telah selesai mengerjakan shalat isya engkau dalam kerinduan kepada shalat subuh. Demikianlah, hatimu selalu teringat dengan shalat-shalat. Hal seperti, tidak dapat diragukan lagi termasuk berakhlak baik kepada Allah.

Dan kami berikan contoh ketiga dalam masalah muamalah :

Dalam masalah muamalah, Allah mengharamkan riba bagi kita dengan pengharaman yang jelas dalam Al Qur'an

"Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (Al Baqarah : 275)

dan Allah berkata tentang riba :

"Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Penciptanya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya" (Al Baqarah : 275)

Allah mengancam orang yang kembali melakukan riba sesudah datang kepadanya nasehat dan mengetahui hukumnya dengan ancaman akan memasukkannya kekal kedalam neraka, (kita mohon perlindungan kepada Allah darinya).

Orang yang beriman akan menerima hukum ini dengan lapang dada, ridha dan menyerah (tunduk). Adapun orang yang tidak beriman, ia tidak akan menerimanya dan hatinya sempit dengan hukum ini. Ia akan berusaha mengadakan berbagai siasat dan cara, karena kita mengetahui bahwa bahwa didalam riba terdapat penghasilan yang pasti keutungannya dan tidak terdapat didalamnya perniagaan yang belum diketahui (untung dan rugi), akan tetapi pada hakikatnya riba adalah penghasilan bagi seseorang dan penganiayaan bagi yang lain. Oleh karena Itu Allah berfirman :

"Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya" (Al Baqarah : 279)


ADAPUN PERKARA KETIGA DALAM PEMBAHASAN BERAKHLAK BAIK KEPADA ALLAH ADALAH :

Ridha dan sabar pada taqdir-taqdir Allah, dan kita semua telah mengetahui bahwa taqdir-taqdir Allah yang Allah timpakan kepada mahluk-Nya, sebagiannya sesuai dan sebagiannya tidak disukai.

Apakah sakit disukai manusia ? (tidak sama sekali). Manusia menyukai sehat.

Apakah kefakiran disukai manusia ? Tidak, manusia menyukai menjadi orang kaya.

Apakah bodoh disukai manusia ? tidak, manusia menyukai menjadi seorang yang pandai (alim).

Akan tetapi taqdir Allah dengan hikmah-Nya bermacam-macam, sebagiannya ada yang disukai manusia dan ia lapang dada dengan taqdir sesuai dengan tabiatnya, dan sebagiannya tidak demikian halnya. Maka bagaimanakah berakhlak baik kepada kepada Allah terhadap taqdir-taqdir-Nya ?

Berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah dengan sikap engkau ridha dengan apa yang Allah taqdirkan bagimu, dan hendaknya engkau merasa tenang pada taqdir itu, dan hendaknya engkau mengetahui bahwa tidaklah Allah mentakdirkan bagimu melainkan dengan hikmah dan tujuan yang terpuji serta patut dipuji dan syukur. Dan berdasarkan hal ini, berakhlak baik kepada Allah berkenaan dengan taqdir-taqdir-Nya adalah ridha, menyerah dan merasa tenang. Oleh karena itu Allah memuji orang-orang yang sabar yaitu orang – orang yang apabila ditimpa dengan suatu musibah mereka berkata : "Sesungguhnya kami milik Allah, dan sesungguhnya kepada-Nya lah kita kembali"

Dan Allah berfirman :"Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar" (Al Baqarah : 155)

Dan kita meringkas pembahasn yang di atas bahwa berakhlak baik sebagaimana terjadi kepada makhluk juga terjadi kepada Al Khalik (Allah), dan yang dimaksud berakhlak baik kepada Allah adalah menerima Al Qur'an dengan membenarkannya, dan "menemui" hukum-hukumnya dengan menerima serta mengamalkannya, dan menerima taqdir-taqdir-Nya dengan sabar, dan ridha, inilah yang dimaksud berakhlak baik terhadap Allah.

Adapun berakhlak baik terhadap mahluk, sebagian ulama menerangkan dan menyebutkan dari Hasan Al Basri bahwa berakhlak baik adalah : mencegah gangguan, mengerahkan kedermawanan, dan berwajah ceria.

Tiga perkara :

Mencegah gangguan
Dermawan
Wajah berseri-seri


PERTAMA : Mencegah gangguan

Apakah makna " Mencegah gangguan?"

Maknanya adalah bahwa seseorang mencegah (dirinya) untuk mengganggu orang lain, baik itu gangguan yang berhubungan dengan harta, jiwa, atau kehormatan. Barangsiapa tidak menahan dirinya dari mengganggu orang lain, maka ia tidak mempunyai akhlak yang baik, dan ia berakhlak jelek. Rasulullah r telah memberitahukan dihadapan sejumlah besar umat beliau r (ketika beliau r menunaikan haji wada'  :

"Sesungguhnya darah kalian dan harta kalian dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana keharaman hari kalian ini, pada bulan kalian ini, dinegeri kalian ini" (hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

Jika seseorang berbuat aniaya kepada manusia dengan melakukan pengkhianatan, atau berbuat aniaya dengan memukul, dan kejahatan, atau berbuat aniaya kepada manusia dalam kehormatannya, atau mencela, atau ghibah (menggunjing hal-hal yang jelek), maka hal ini bukanlah termasuk berakhlak baik kepada manusia, karena ia tidak menahan (dirinya) dari mengganggu orang. Dan dosanya semakin besar manakala perbuatan aniaya itu dilakuakan kepada seseorang yang mempunyai hak paling besar padamu. Berbuat jahat kepada kedua orangtua misalnya, lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada selain keduanya, dan berbuat jahat kepada karib kerabat lebih besar (dosanya) dari berbuat jahat kepada orang yang lebih jauh, dan berbuat jahat kepada tetangga lebih besar dosanya dari berbuat jahat kepada selain tetanggamu, oleh karena itu Nabi bersabda : "Demi Allah, demi Allah, demi Allah, tidaklah beriman, ditanyakan kepada Rasulullah : Siapa wahai Rasulullah ? beliau bersabda : orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya".

Dalam riwayat Muslim :

"Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya"

KEDUA : MENDERMAKAN KEDERMAWANAN

Makna "Dermawan"

yaitu engkau mendermakan kedermawanan. Dan Kedermawan itu artinya bukanlah sebagaimana yang difahami oleh sebagian manusia, yaitu engkau mendermakan harta (hanya bermakna ini), tetapi yang dimaksud dermawan adalah mendermakan jiwa, kedudukan dan harta.

Jika kita melihat seseorang memenuhi kebutuhan manusia, membantu mereka, membantu mengarahkan mereka kepada seseorang yang mereka tidak mampu (menemuinya kecuali dengan perantaraannya) hingga berhasil (menemui) nya, atau menyebarkan ilmu diantara manusia, mendermakan hartanya kepada manusia, maka kami mensifatinya sebagai orang yang berakhlak baik, karena ia mendermakan kedermawanan, oleh karena itu Nabi bersabda :

"Bertaqwalah kepada Allah dimanapun kalian berada, ikutilah perbuatan jahat dengan perbuatan baik, niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan perbuatan jahat, dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik" (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Darimi)

Dan makna hal itu adalah jika engkau dianiaya atau dipergauli dengan perbuatan buruk maka engkau memaafkan. Dan sungguh Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan kesalahan manusia, Allah berfirman tentang penghuni surga :

"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan." (Ali Imran :134)

Dan Allah berfirman :

"Dan pema`afan kamu itu lebih dekat kepada takwa." (Al Baqarah : 237)

"Dan hendaklah mereka mema`afkan dan berlapang dada." (An Nur : 22)

Dan Allah berfirman :

"Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah." (Asy Syuura : 40)

Seseorang yang berhubungan dengan manusia lainnya, mesti akan mengalami suatu gangguan, maka sepatutnya sikapnya dalam menghadapi gangguan ini adalah hendaknya memaafkan dan berlapang dada. Dan hendaknya ia mengetahui dengan seyakin-yakinnya bahwa sikap pemaaf dan lapang dadanya dan harapannya untuk mendapatkan balasan kebaikan kelak di akhirat (dapat mengakibatkan) permusuhan antara dia dengan saudaranya menjadi kasih sayang dan persaudaraan. Allah berfirman :

"Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (Al Fushilat : 34)

Maka apakah yang lebih baik ? bersikap buruk atau baik ? (tentu) bersikap baik, dan perhatikanlah wahai orang yang mengerti bahasa Arab, bagaimana datang hasil yang diperoleh dengan "idza Al fujaiyyah" yang menunjukkan kejadian langsung dalam hasil yang diperolehnya :

"Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia." (Al Fushilat : 34)

Akan tetapi apakah setiap orang mendapatkan petunjuk untuk mengamalkan hal ini ?

Tidak, :

"Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar" (Al Fushilat : 35)

Dan disini terdapat masalah :

Apakah kita memahami dari keterangan ini memaafkan orang yang berbuat jahat secara mutlak (merupakan tindakan) terpuji dan diperintahkan ? Akan tetapi, hendaknya kalian ketahui bahwa memaafkan itu akan terpuji, jika sikap memaafkan itu lebih terpuji. Maka jika sikap memaafkan lebih terpuji, maka sikap itu lebih utama. Oleh Karena itu Allah berfirman :

"Maka barangsiapa mema`afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah" (Asy Syuura : 40)

Allah menjadikan sikap memaaf diiringi dengan (kata) berbuat baik (pada ayat di atas). Maka apakah mungkin sikap memaafkan tanpa diiringi berbuat baik ?

Jawabannya : Ya, mungkin, terkadang seseorang berani dan berbuat aniaya padamu, dan ia seorang yang dikenal jahat dan berbuat kerusakan oleh manusia. Kalau engkau memaafkannya ia akan terus dalam perbuatan jahatnya dan berbuat kerusakan. Maka sikap apakah yang lebih utama dalam kondisi ini ? kita maafkan atau kita membalas kejahatannya ? yang lebih utama adalah membalas kejahatannya. Karena dengan sikap ini terdapat sikap berbuat baik.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata : "Memperbaiki itu wajib, dan memaafkan itu dianjurkan".

Maka jika dalam sikap memaaf itu terlewatkan sikap berbuat baik, maka maknanya bahwa kita mendahulukan anjuran daripada kewajiban, dan hal ini tidak ada dalam syariat. Dan Ibnu Taimiyyah benar (semoga Allah merahmatinya)

Dan pada kesempatan ini saya ingin untuk mengingatkan atas suatu masalah yang dilakukan oleh banyak manusia dengan maksud berbuat baik. Yaitu suatu kejadian menimpa seseorang lalu orang lain meninggal disebabkannya. Maka datanglah keluarga terbunuh lalu meminta tebusan (sebagai pengganti hukuman mati) terhadap pelaku, maka apakah perbuatannya itu terpuji dan dianggap sebagai sikap berakhlak baik ? atau apakah dalam masalah ini ada perinciannya ? Ya benar, yang demikian itu ada perinciannya.

Kita harus memerhatikan dan memikirkan terhadap pelaku kejadian ini, apakah dia dari kalangan orang yang sudah dikenal dengan sikapnya yang ngawur (tidak hati-hati) ? ataukah dia dari orang yang berkata : "Aku tidak peduli menubruk seseorang, karena uang diyatnya (tebusannya) ada dilaci". Kita berlindung diri kepada Allah dari yang demikian itu. Ataukah ia termasuk dari kalangan orang yang tertimpa kejahatan bersamaan dengan sikapnya yang hati-hati dan sadar akan tetapi Allah telah menjadikan sesuatu dengan ukurannya ? Jawabannya adalah : kalau orang ini dari bentuk yang kedua maka memaafkan adalah lebih utama, akan tetapi sebelum memaafkan (walaupun dalam bentuk yang kedua) wajib kita lihat apakah mayit meninggalkan hutang atau tidak ? jika meninggalkan hutang yang belum terbayar maka kita tidak mungkin memaafkannya.

Dan kalau kita memberikan maaf, maka pemberian maaf kita tidak dianggap. Dan masalah ini barangkali lalai darinya kebanyakan manusia, mengapa kita mengatakan bahwa sebelum memaafkan wajib kita melihat apakah mayit mempunyai hutang atau tidak ? Mengapa kita mengatakan yang demikian ?

Karena para ahli waris menerima hak tebusan dari mana ? dari mayit yang ditimpa kejadian, dan tidaklah hak menerima tebusan diberikan kecuali sesudah hutang mayit dibayar. Oleh karena itu tatkala Allah menyebutkan tentang warisan Dia berfirman :

"(Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat" (An Nisa : 11)

Permasalahan ini tidak banyak diketahui oleh kebanyakan orang, oleh karena itu kami berkata : "jika terjadi kejadian atas seseorang, maka sebelum memaafkan pelaku kita lihat dulu keadaan pelaku perbuatan terlebih dahulu, apakah ia termasuk orang-orang yang ceroboh atau bukan ? dan kita melihat keadaan korban, apakah ia mempunyai hutang atau tidak ?

Intinya : bahwa termasuk berakhlak baik adalah dengan cara memaafkan manusia, dan ini termasuk sikap mendermakan kedermawanan, karena mendermakan kedermawanan itu bisa dengan cara memaafkan, atau menjatuhkan hukuman, atau menggugurkan hukum.

  • Media
    Sarana belajar Agama Islam melalui video dan audio kajian dari Asatidz Indonesia yang bermanhaj salaf...
    Ebook
    Bahan bacaan penambah wawasan berupa artikel online maupun e-book yang bisa diunduh. Ebook Islami sebagai bahan referensi dalam beberapa topik yang insyaAllah bermanfaat.
  • image
    Abu Hazim Salamah bin Dînâr Al-A’raj berkata, “Setiap nikmat yang tidak mendekatkan kepada Allah, maka hal tersebut adalah ujian/petaka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunyâ dalam Asy-Syukr Lillâh]
    image
    ‘Ammâr bin Yâsir radhiyallâhu ‘anhumâ berkata,“Ada tiga perkara, siapa yang mengumpulkannya, sungguh dia telah mengumpulkan keimanan: inshaf dari jiwamu, menebarkan salam kepada alam, dan berinfak bersama kefakiran.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry secara Mu’allaq dan Al-Baihaqy]

Share Some Ideas

Punya artikel menarik untuk dipublikasikan? atau ada ide yang perlu diungkapkan?
Kirim di Sini