Dari Abu Hurairah rodhiallohu ‘anhu, ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam, “Berilah aku wasiat.” Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan marah!” Dia bertanya berulang-ulang dan tetap dijawab, “Jangan Marah!” (HR Bukhori)
Kedudukan Hadits
Hadits ini berisi tentang adab yang sangat penting.
Rahasia Di balik Jawaban Rasulullah
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wa sallam berulang kali diminta wasiat atau nasihatnya oleh para sahabat. Jawaban yang diberikan oleh Rasulullah berbeda-beda. Rahasia perbedaan jawaban tersebut menurut ulama ada 2, yaitu:
Jangan Marah
Perintah Rasulullah untuk tidak marah mengandung 2 penafsiran, yaitu:
Terapi Ketika Menghadapi Kemarahan
Ada beberapa cara untuk terhindar dari melampiaskan kemarahan, di antaranya:
Dari Abu Hurairoh rodhiallohu ‘anhu, sesungguhnya Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia berkata baik atau diam. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang penting dalam bidang adab. Makna hadits ini telah tercakup di dalam hadits ke-12.
Hak Alloh Dan Hak Hamba
Pada hadits di atas menunjukkan ada 2 hak yang harus ditunaikan, yaitu hak Alloh dan hak hamba. Penunaian hak Alloh porosnya ada pada senantiasa merasa diawasi oleh Alloh. Di antara hak Alloh yang paling berat untuk ditunaikan adalah penjagaan lisan. Adapun penunaian hak hamba, yaitu dengan memuliakan orang lain.
Menjaga Lisan
Menjaga lisan bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan berkata baik atau kalau tidak mampu maka diam. Dengan demikian diam kedudukannya lebih rendah dari pada berkata baik, namun masih lebih baik dibandingkan dengan berkata yang tidak baik.
Berkata baik terkait dengan 3 hal, seperti tersebut dalam surat An-Nisa’: 114, yaitu perintah bershadaqoh, perintah kepada yang makruf atau berkata yang membawa perbaikan pada manusia. Perkataan yang di luar ketiga hal tersebut bukan termasuk kebaikan, namun hanya sesuatu yang mubah atau bahkan suatu kejelekan. Pada menjaga lisan ada isyarat menjaga seluruh anggota badan yang lain, karena menjaga lisan adalah yang paling berat.
Memuliakan Orang Lain
Memuliakan berarti melakukan tindakan yang terpuji yang bisa mendatangkan kemuliaan bagi pelakunya. Dengan demikian memuliakan orang lain adalah melakukan tindakan yang terpuji terkait dengan tuntutan orang lain.
Batasan Tetangga Dan Tamu
Tetangga menurut syariat adalah sesuai dengan pengertian adat, artinya kapan secara adat dinilai sebagai tetangga maka dinilai sebagai tetangga juga oleh syariat. Kaidah menyatakan semua istilah yang ada dalam syariat dan tidak ada batasannya secara syariat dan bahasa maka pengertiannya dikembalikan kepada adat.
Batasan tamu yang wajib diterima dan dilayani adalah jika dia tidak memiliki kemampuan untuk mencari tempat untuk tinggal atau untuk makan. Jika mampu maka hukumnya sunnah. Adapun batasan lamanya adalah 1 hari 1 malam, sempurnanya 3 hari 3 malam.
Dari Ibnu Mas’ud rodhiallohu ‘anhu, dia berkata: “Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal ditumpahkan darah seorang muslim kecuali karena salah satu di antara tiga alasan: orang yang telah kawin melakukan zina, orang yang membunuh jiwa (orang muslim) dan orang yang meninggalkan agamanya memisahkan diri dari jamaah.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hakikat Seorang Muslim
Seorang muslim yang sesungguhnya adalah yang bersyahadatain dan menunaikan tauhid serta melaksanakan konsekuensinya. Adapun yang sekedar mengaku muslim dengan mengucapkan syahadatain namun melakukan syirik akbar atau bidáh mukafirah maka hakikatnya bukan seorang muslim. Seorang muslim tidak boleh ditumpahkan darahnya kecuali dengan alasan yang syar’i seperti tersebut dalam hadits.
Muslim Yang Halal Darahnya
Ada tiga sebab seorang muslim boleh ditumpahkan darahnya yaitu:
b. Meninggalkan jamaah, artinya meninggalkan jamaah yang telah bersatu di atas agama yang benar, dengan demikian ia telah meninggalkan agama yang benar. Termasuk makna meninggalkan jamaah adalah jika memberontak imam yang sah.
Pelaksana Eksekusi
Seorang muslim yang telah dihukumi halal darahnya eksekusinya ada di tangan penguasa (imam) atau yang mewakilinya, jika di negaranya berlaku hukum Alloh. Apabila berada di Negara yang tidak menerapkan hukum Alloh maka tak seorang pun berhak mengeksekusi penumpahan darah. Untuk eksekusi yang tidak sampai penumpahan darah, seperti cambuk, qishosh non-bunuh, maka boleh dilakukan oleh seorang ‘alim jika atas kemauan pelaku. Demikian pendapat sebagian ulama.
Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)
Dari Abu Hamzah Anas bin Malik rodhiallohu ‘anhu pelayan Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam, dari Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Tidaklah sempurna keimanan salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai bagi saudaranya (sesama muslim) segala sesuatu yang dia cintai bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Hakikat Penafian Iman
Penafian iman mencakup menafikan iman secara keseluruhan atau hanya menafikan kesempurnaan imannya. Suatu amalan yang menyebabkan pelakunya dinafikan imannya menunjukkan bahwa amalan tersebut merupakan amal kekafiran atau dosa besar. Dalam hadits ini penafian iman yang dimaksud adalah penafian atas kesempurnaan iman.
Mencintai Saudara Muslim Laksana Mencintai Diri Sendiri
Seorang muslim wajib merasa senang jika saudaranya memiliki agama yang baik. Dia senang jika saudaranya memiliki aqidah yang benar, tutur kata yang bagus dan perbuatan yang baik. Sebaliknya dia merasa benci jika keadaan saudaranya tersebut justru sebaliknya.
Seorang muslim disunahkan untuk senang jika saudaranya mendapatkan kebaikan-kebaikan duniawi. Dia merasa senang jika saudaranya berharta, sejahtera, sehat, berkedudukan dan lain-lain dari kenikmatan duniawi, dan dia tidak senang jika saudaranya miskin, sengsara, dan menderita.
Mendahulukan Kepentingan Saudara Muslim
Jika dalam urusan dunia, mendahulukan kepentingan saudaranya termaksud perbuatan yang terpuji dan disunahkan, namun jika dalam urusan akhirat, mendahulukan saudaranya termasuk perbuatan yang makruh.
Sumber: Ringkasan Syarah Arba’in An-Nawawi - Syaikh Shalih Alu Syaikh Hafizhohulloh - http://muslim.or.id
Penyusun: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam (Staf Pengajar Ma’had Ihyaus Sunnah, Tasikmalaya)