Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

Kajian Masjid Al-Ukhuwah - Rodja
🎙 Bersama Ustadz Abu Haidar As-Sundawy 𝓱𝓪𝓯𝓲𝔃𝓱𝓪𝓱𝓾𝓵𝓵𝓪𝓱
🗓 Bandung, 8 Muharram 1447 / 5 Juli 2025


 


Agama adalah Nasihat: Nasihat kepada Pemimpin

Melanjutkan pembahasan Agama adalah nasihat.

عَنْ أَبِي رُقَيَّةَ تَمِيْمٍ بْنِ أَوْسٍ الدَّارِي رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْنَا : لِمَنْ ؟ قَالَ للهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلِأَئِمَّةِ المُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ – رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Daari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama adalah nasihat.” (diulang 3x), Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau menjawab, “Bagi Allah, bagi kitab-Nya, bagi rasul-Nya, bagi pemimpin-pemimpin kaum muslimin, serta bagi umat Islam umumnya.” (HR. Muslim) [HR. Muslim, no. 55]

Nasihat adalah memberi nush kepada orang lain. Nush adalah seseorang menginginkan kebaikan bagi saudaranya, mengajak untuk melakukan kebaikan, menjelaskan dan memberikan dorongan untuk melakukan kebaikan tersebut.

Telah berlalu pembahasan nasehat kepada Allah ﷻ, Kitab Allah ﷻ dan Rasulullah ﷺ, kemudian dilanjutkan dengan nasihat kepada pemimpin (Imam).

Yang dimaksud imam adalah oeang yang diikuti dan dilaksanakan perintahnya. Imam ada dua jenis:

  1. Imam dalam masalah agama.
  2. Imam dalam pemerintah.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an dalam Surat An-Nisa ayat 59:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّـهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan kepada para pemimpin di antara kamu.

Ulil amri ada dua jenis:

  1. Urusan agama - Ulil amrinya ulama
  2. Urusan dunia - Ulil amrinya penguasa.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an dalam Surat Al-Anbiya ayat 7:

فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.

Makna ٱلذِّكْرِ adalah Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah ﷻ dalam surat Al-Hijr ayat 9:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُۥ لَحَٰفِظُونَ

Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.

Maka, ahli dzikir adalah ulama, tanyalah kepada mereka kalau kamu tidak tahu. Inilah perintah Allah ﷻ kepada kaum muslimin. Tidak boleh mengandalkan ra'yu atau akal untuk memahami agama. Dalam hadits disebutkan,

وَمَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka”

(HR. Tirmidzi no. 2951. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).

Maka :

إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.

‘Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kehancuran' (HR Bukhari).

Karena itu dalam do'a Ibaadurrahmaan disebutkan :

رَبَّنَا هَبْ لَنَا ‌مِنْ ‌أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati, dan jadikanlah kami imam (pemimpin) bagi orang-orang yang bertakwa.

Bagian kedua dari doa ini, “waj’alna lil muttaqina imama”, mengandung aspirasi untuk menjadi teladan bagi orang-orang yang bertakwa. Doa ini bukan sekadar permohonan pribadi, tetapi juga menunjukkan tanggung jawab sosial seorang Muslim, tetapi dalam hal imam agama, karena terlarang meminta jabatan dalam urusan dunia.

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَمُرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لِيْ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لَا تَسْأَلْ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا...

Dari Abdurrahman bin Samurah dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepadaku, “Wahai Abdurrahman bin Samurah, janganlah kamu meminta jabatan! Karena sesungguhnya jika diberikan jabatan itu kepadamu dengan sebab permintaan, pasti jabatan itu (sepenuhnya) akan diserahkan kepadamu (tanpa pertolongan dari Allâh). Dan jika jabatan itu diberikan kepadamu bukan dengan permintaan, pasti kamu akan ditolong (oleh Allâh Azza wa Jalla) dalam melaksanakan jabatan itu.... (HR. Bukhari Muslim).

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat As-Sajdah Ayat 24:

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا۟ ۖ وَكَانُوا۟ بِـَٔايَٰتِنَا يُوقِنُونَ

Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar. Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.

Mereka adalah para penuntut ilmu yang sabar dan mengamalkannya. Dan inilah syarat seseorang yang layak menjadi imam.

Berkata Abu Darda radiyallahuanhu “Kamu tidak akan menjadi seseorang yang berilmu sebelum kamu berlajar terlebih dahulu”. Tidak ada orang pintar tanpa belajar. Dan sabar ketika belajarnya. “Kamu dengan ilmumu tidak bisa disebut orang yang berilmu sebelum kamu mengamalkannya”. Setelah diamalkan barulah dia disebut orang yang berilmu.

Inilah Ulil amri dalam masalah agama yang berisi ahli ilmu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah berlandaskan pemahaman para sahabat.

Ulama, adalah pemimpin dalam masalah agama. Sama halnya dalam urusan dunia, yang kita berikan mereka pada ahlinya disaat ada masalah atau kerusakan, kenapa dalam masalah agama kita menggunakan akal kita tanpa bertanya pada ulama? Sungguh inilah yang menjadi pangkal kerusakan agama...

Padahal agama Islam sejatinya bukan didasarkan pada logika, namun Islam itu manut dan ikut pada apa yang dikatakan dalil walau terasa bertentangan dengan logika.

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ

“Seandainya agama dengan logika, maka tentu bagian bawah khuf (sepatu) lebih pantas untuk diusap daripada atasnya. Sungguh aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya (sepatunya).”

(HR. Abu Daud no. 162. Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Marom bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Agama adalah bukan hasil budidaya manusia, tetapi berdasarkan wahyu dari ilahi, maka tidak layak bagi akal untuk didahulukan jika sudah ada dalilnya.

Nasihat bagi Para Ulama (pemimpin kaum muslimin)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menjelaskan, nasihat bagi para ulama maksudnya:

1. Bersungguh-sungguh mengambil ilmu dari para ulama.

Mengambil ilmu dari mereka dengan adab-adab dan kaidah ilmu yang memadai. Sama halnya kita berobat ke dokter jika sakit, karena kita yakin dokter tersebut adalah ahli di bidangnya, dan dokter berbicara dengan ilmu yang dia pelajari bukan dengan ra'yu (kebodohan/tanpa ilmu/hawa nafsu), maka apalagi dalam urusan akhirat, tentu kita tidak boleh sembarangan dalam mengambil atau memberi fatwa.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Qashash Ayat 50:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ ٱتَّبَعَ هَوَىٰهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهْدِى ٱلْقَوْمَ ٱلظَّٰلِمِينَ

Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

  • Sabar dan tidak terburu-buru dalam mempelajari ilmu.

Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Qiyamah Ayat 16-17:

لَا تُحَرِّكْ بِهِۦ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِۦٓ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُۥ وَقُرْءَانَهُۥ

Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya.

Ketergesa-gesaan akan menghasilkan ilmu yang cepat hilang, bisa menjadi salah, atau beda pemahaman dan seterusnya.

2. Diantara bentuk nasihat kepada para ulama, adalah mengorek-korek kekurangan atau kesalahan para ulama.

Baik dalam pemahaman maupun pengamalan. Para ulama adalah manusia biasa, pasti banyak kesalahannya.

Bahkan para sahabat Nabi ﷺ, mereka juga tidak terlepas dari kesalahan. Seperti saat mereka memahami kezaliman dalam surat Al-an'am ayat 82:

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَٰئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk” [al-An’am/6 : 82]

Mereka mengira kedzaliman biasa, tetapi dijelaskan Nabi ﷺ sebagai kesyirikan.

Tatkala menjelaskan ayat :

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut.” (QS. Al Mu’minun: 60)

Aisyah mengatakan, “Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksudkan dalam ayat “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut”, adalah orang yang berzina, mencuri dan meminum khomr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas menjawab, “Wahai putri Ash Shidiq (maksudnya Abu Bakr Ash Shidiq, pen)! Yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah seperti itu. Bahkan yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah orang yang yang berpuasa, yang bersedekah dan yang shalat, namun ia khawatir amalannya tidak diterima.” [HR Tirmidzi dan Ahmad]

Lihatlah, Aisyah pun salah dalam menafsirkan ayat, yang kemudian dikoreksi Nabi ﷺ. Padahal tahu bahasa Arab.

Apalagi, sekelas ulama yang hanya manusia biasa, tentu akan banyak kesalahan yang bisa kita jumpai. Maka, jangan dicari kesalahannya dan diexpose.

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain” (Al-Hujurat : 12)

Betapa berbahayanya mencela atau menggunjing ulama. Al-Hafidz Abul Qasim Ibnu ‘Asakir Rahimahullah -ulama besar adab 6 Hijriyah- menyatakan,

أن لحوم العلماء مسمومة

“Bahwasanya daging para ulama itu beracun.” (Tabyin Kadzbil Muftari: 29)

Jika ulama direndahkan maka akan rusak agama ini dengan mengacu kepada kesalahan individu, 'jangan lagi ngaji, dia aja ulama begitu...' dan ungkapan sejenis lainya. Jika ulama dirusak, maka kepada siapa lagi agama ini akan disandarkan?

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪ ﻻ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺍﻧْﺘِﺰَﺍﻋَﺎً ﻳَﻨْﺘَﺰِﻋُﻪُ ﻣﻦ ﺍﻟﻌِﺒﺎﺩِ ﻭﻟَﻜِﻦْ ﻳَﻘْﺒِﺾُ ﺍﻟﻌِﻠْﻢَ ﺑِﻘَﺒْﺾِ ﺍﻟﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺣﺘَّﻰ ﺇﺫﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺒْﻖِ ﻋَﺎﻟِﻢٌ ﺍﺗَّﺨَﺬَ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺭﺅﺳَﺎً ﺟُﻬَّﺎﻻً ، ﻓَﺴُﺌِﻠﻮﺍ ﻓَﺄَﻓْﺘَﻮْﺍ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻋِﻠْﻢٍ ﻓَﻀَﻠُّﻮﺍ ﻭَﺃَﺿَﻠُّﻮﺍ

“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mengangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu. mereka sesat dan menyesatkan.“ (HR Bukhari)

Balasan bagi orang yang suka mencari – cari kekurangan orang lain adalah Allah Ta’ala akan membongkar aibnya. Suatu hari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi,

يا معشَرَ مَن أسْلَمَ بلِسانِه، ولم يُفْضِ الإيمانُ إلى قلبِه، لا تُؤْذُوا المُسلِمينَ، ولا تُعَيِّروهم، ولا تتَّبِعوا عَوْراتِهم؛ فإنَّه مَن تتَبَّع عَوْرةَ أخيه المسلِمِ تتَبَّع اللهُ عورتَه، ومَن تتَّبَع اللهُ عَورتَه يَفْضَحْهُ ولو في جَوفِ رَحلِه

“Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya padahal iman itu belum masuk ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin! Janganlah menjelekkan mereka! Jangan mencari-cari kekurangan mereka! Sebab, barang siapa mencari-cari kekurangan saudaranya yang muslim, niscaya Allah akan mencari-cari kekurangannya. Barang siapa yang Allah cari-cari kekurangannya, niscaya Allah akan membongkar aibnya dan mempermalukannya, walaupun dia berada di dalam rumahnya.”

(HR. Tirmidzi no. 2032, Ibnu Hibban no. 5763, dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma).

Agama Islam adalah agama yang mengajarkan kasih sayang sesama muslim. Seorang muslim diajarkan untuk amar ma’ruf nahi munkar dan menasihati, bukan mencela dan menjelek – jelekkan sesama muslim yang sudah terjatuh ke dalam kemaksiatan selama dia tidak melakukan terang – terangan dan dia bertaubat dengan kesalahannya tersebut. Jangan sampai kita menjelek-jelekkan, sombong, dan menganggap diri kita lebih baik dari orang lain.

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Setiap maksiat yang dijelek-jelekkan pada saudaramu, maka itu akan kembali kepadamu. Maksudnya, Engkau bisa dipastikan melakukan dosa tersebut.” (Madarijus salikin, 1: 194)

Bersambung InshaAllah...

•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم