Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

Aku Berdandan Untuk Istriku Seperti Aku Suka Istriku Berdandan Untukku[1]

PasanganSesungguhnya Alloh azza wajalla Maha Adil, dan Dia memerintahkan kepada keadilan dalam seluruh urusan. Di antara keadilan yang harus ditunaikan dalam rangka menggapai taqwa adalah adil dalam hak dan kewajiban antara pasutri.

Yang harus diketahui terlebih dahulu bahwa tidak ada hak suami yang harus ditunaikan istri melainkan telah diseimbangkan dengan kewajiban istri itu sendiri. Sebagaimana tidak ada hak istri yang harus ditunaikan suami melainkan juga telah diseimbangkan dengan kewajiban suami. Artinya kapan suami memiliki hak atas istri maka pada saat yang sama istri pun memiliki hak atas suaminya dalam keadaan yang seimbang. Yang demikian itu karena pasutri butuh keharmonisan dalam menjalani kehidupan berumah tangga untuk menggapai taqwa. Dalam al-Qur’an Alloh subhanahu wata’ala menyebutkan keseimbangan antara hak dan kewajiban pasutri dalam firman-Nya:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

…dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf… (QS. Al-Baqoroh [2]: 228)

Memahami Makna Ayat

Lebih lanjut marilah kita pahami ayat tersebut dengan menyimak uraian para ulama ahli tafsir berikut ini;

Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala mengatakan: “Adapun tentang firman Alloh azza wajalla (yang tersebut di atas) maknanya adalah bahwa para istri memiliki hak atas suami mereka sama seperti para suami memiliki hak atas para istri mereka, sehingga hendaknya masing-masing menunaikan hak pasangannya dengan cara yang baik.”.

Kemudian Imam al-Qurthubi juga menyebutkan hal yang sama dengan mengatakan: “Adapun firman Alloh subhanahu wata’ala (yang tersebut di atas) padanya terdapat tiga permasalahan. Pertama, firman Alloh azza wajalla : ” …dan para istri memiliki hak… “, ini maknanya adalah bahwa para istri memiliki hak-hak hubungan suami-istri atas suami mereka yang sama dengan hak-hak suami….”

Imam ath-Thobari rahimahullahu ta’ala menyebutkan hal yang senada, bahkan beliau memperjelas makna sebagian hak yang dimaksud dalam ayat tersebut dengan mengatakan: “Sebagian ahli tafsir yang lain mengatakan maknanya ialah mereka (para istri) memiliki hak atas berhiasnya suami sebagaimana para suami memiliki hak atas berhiasnya istri-istri mereka menurut selera pasangan masing-masing.”.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hak menikmati keindahan berhiasnya pasangan antara pasutri adalah sama dan seimbang, dan bahwa tuntutan berdandan tidak hanya tertuju bagi kaum wanita saja, namun termasuk kaum laki-laki juga dituntut melakukannya. Bila istri dituntut berdandan oleh suaminya agar ia bisa menikmati keelokannya maka suami hendaknya mengimbangi tuntutannya dengan memperhatikan penampilannya di hadapan istrinya. Begitulah kiranya makna bahwa seorang istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya sebagaimana yang ditetapkan oleh Alloh subhanahu wata’ala dalam firman-Nya yang tersebut di atas.

Salaf pun Berdandan

Yang menguatkan makna bahwa para istri pun berhak atas berhiasnya suami mereka ialah riwayat yang menyebutkan bahwa sahabat Abdulloh Ibnu Abbas radhiyallahu anhu pun berdandan untuk istrinya. Riwayat inilah yang dijadikan sebagai salah satu sandaran dalam menafsirkan ayat tersebut di atas oleh ketiga ulama ahli tafsir di atas. Yaitu sebuah riwayat yang menyebutkan perkataan Waqi’ dari Basyir bin Sulaiman dari Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhu dia berkata: “Sungguh aku suka berhias untuk istri sebagaimana aku suka ia berhias untukku sebab Alloh subhanahu wata’ala berfirman …(kemudian beliau menyebutkan firman Alloh di atas). “Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thobari dan Ibnu Abi Hatim dalam tafsirnya.

Imam al-Qurthubi secara tegas menguatkan penafsiran beliau terhadap ayat tersebut seraya berkata: “…, oleh sebab itulah Ibnu Abbas mengatakan, “Sungguh aku pun berhias untuk istriku sebagaimana ia berhias untukku, dan aku tidak suka menuntut seluruh hak-hakku dari istriku sehingga mengharuskan aku untuk memenuhi seluruh hak-haknya juga, yang demikian itu sebab Alloh subhanahu wata’ala berfirman… (kemudian beliau menyebutkan firmn Alloh di atas), maknanya berhias yang tidak sampai berbuat dosa.”.

Hikmah Suami Berdandan

Sudah kita ma’lumi bahwa setiap kita dituntut agar menunaikan seluruh kewajiban secara baik dan menyeluruh, tentu termasuk di dalamnya adalah hak berdandan. Sebab itu semua termasuk bentuk pergaulan suami istri yang baik. Artinya, dengan berdandan berarti suami istri telah saling mempergauli sesama pasangannya dengan baik.

Ibnu Katsir rahimahullahu ta’ala mengatakan: “Adapun tentang firman Alloh subhanahu wata’ala (yang artinya): “… dan pergaulilah mereka (para istri) dengan cara yang baik… “, maka maknanya adalah perbagusilah ucapanmu kepada mereka, dan baguskan perbuatan serta penampilanmu sebatas yang kalian sanggupi. Yang demikian itu sebagaimana kalian menyukai hal itu ada pada mereka, maka lakukanlah hal yang sama untuk mereka, sebagaimana Alloh subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya): ”… dan mereka memiiki hak yang setimpal dengan kewajibannya dengan cara yang baik….”

Sungguh benar apa yang beliau katakan bahwa berdandan termasuk bentuk pergaulan yang baik antara pasutri. Sebab dengan berdandan penampilan fisik seorang suami atau istri akan lebih dihargai dan disyukuri oleh pasangannya. Dan dengan berdandan kebersihan dan kesehatan tubuh akan terpelihara. Yang pasti bahwa berdandan di samping memiliki makna bagi diri pelakunya ia juga bermakna bagi orang lain, yaitu bagi pasangan hidupnya. Sehingga hanya orang yang kurang berilmu atau kurang kecerdasannya yang tidak bisa mengambil hikmah dari berdandan untuk pasangannya.

Imam al-Qurthubi setelah menyebutkan hikmah berdandan sebagai bentuk pergaulan pasutri yang baik, lalu beliau menyebutkan sebuah riwayat bahwa Yahya bin Abdurrohman al-Hanzholi berkata: “Aku mendatangi Muhammad bin al-Hanafiyah kemudian ia pun keluar menemuiku dengan mengenakan baju mantel merah sementara jenggotnya meneteskan minyak wangi. Lalu aku pun berkata kepadanya, “Apa-apaan ini? Ia menjawab, “Baju mantel ini ialah baju yang telah istriku pilihkan untuk aku kenakan, ia juga yang telah melumuriku dengan minyak wangi ini. Sungguh para istri sangat menyukai apa yang ada pada kita sebagaimana kita sangat menyukai sesuatu yang ada pada mereka.”

Itulah sebagian teladan bagi para pasutri, bagaimana seharusnya mereka memulai menciptakan keharmonisan hidup berumah tangga. Dalam hal berdandan sangat ditekankan adanya saling pengertian. Hendaknya istri memilihkan sesuatu yang baik buat suami, dan sebaliknya suami memilihkan sesuatu yang baik untuk dikenakan oleh istrinya.

Tidak bisa dipungkiri bahwa bila istri berdandan untuk suami akan membuahkan kedekatan yang makin menguatkan cinta kasih, maka tatkala suami berdandan buat istrinya tentu akan membuahkan hal yang serupa atau bahkan lebih dari itu.

Coba perhatikan tatkala sebagian pasutri mengenyampingkan masalah ini. Di saat suami bersama istri dia berpenampilan ala kadarnya, demikian pula suami, sehingga masing-masing dari suami istri melihat dengan pandangan matanya sesuatu yang kurang atau bahkan sama sekali tidak ia sukai pada pasangannya. Dalam keadaan demikian sangat memungkinkan timbulnya sikap saling menjauh –kalau bukan berpaling – dan pergaulan pun terasa hambar tanpa cinta kasih, tanpa keharmonisan dan keselarasan. Lalu bagaimana pasutri semacam ini akan bersama menggapai taqwa? Wallohul Muwaffiq.


[1] Pembahasan ini banyak mengambil dari tafsir QS. 2: 228 dan QS. 4: 19 dari Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir ath-Thobari dan tafsir al-Qurthubi, dengan beberapa tambahan keterangan dari buku-buku lainnya.

Artikel: http://alghoyami.wordpress.com