Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

no-mariedHubungan orang tua dan anak tidak selamanya berjalan sesuai yang diharapkan. Dalam kondisi ‘kurang’ normal, sikap mendzalimi dan didzalimi terkadang bisa terjadi. Termasuk diantaranya, dalam hal perwalian nikah. Tak jarang kita jumpai, ada sebagian wali yang enggan menikahkan putrinya, karena berbagai macam alasan.

Kasus semacam ini tidak hanya terjadi di lingkungan kita, bahkan telah menjadi fenomena yang mendunia. Syaikh Muhamad Ali Farkus – seorang ulama Al-Jazair – ditanya tentang keadaan wanita yang tertunda nikahnya karena sikap walinya.

Beliau menjelaskan:

Perlu kita pahami, ulama sepakat bahwa wali tidak memiliki hak untuk melarang orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, tanpa sebab yang diizinkan syariat. Si wali selalu menolak setiap lamaran orang yang sekufu, baik agama dan akhlaknya, dan siap memberikan mahar yang setara dengan umumnya wanita.

Wali yang melakukan tindakan demikian maka dia dianggap melakukan tindakan Al-’Adhl1 . Allah berfirman:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا بَيْنَهُمْ بِالْمَعْرُوفِ ذَلِكَ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ مِنْكُمْ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكُمْ أَزْكَى لَكُمْ وَأَطْهَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُون

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 232)

Kemudian si wanita ini berhak untuk mengajukan permasalahannya kepada hakim (KUA) untuk menikahkannya secara resmi. Karena sikap Al-Adhl termasuk kedzaliman, dan yang berhak menolak kedzaliman adalah hakim (KUA).

Jika tidak memungkinkan untuk mengajukan masalahnya ke hakim, maka kerabat dekatnya yang lain bisa menikahkannya dengan lelaki tersebut. Jika mereka menolak untuk menikahkannya maka wanita tersebut bisa mengajukan masalahnya kepada imam masjid (Pak Kaum) atau tetangganya yang dia percaya untuk menikahkannya. Dan orang yang dipercaya ini, sekaligus menjadi walinya. Karena kasus semacam ini termasuk bentuk tahkim (meminta keputusan). Sementara orang yang ditunjuk untuk memutuskan perkara, menggantikan posisi hakim resmi (KUA).

Di samping itu, manusia sangat butuh untuk menikah. Karena itu, mereka harus memperlakukannya dengan cara sebaik mungkin.

Imam Al-Qurtubhi membawakan keterangan dari Imam Malik tentang wanita yang kondisinya lemah:

Wanita ini boleh dinikahkan oleh orang yang menjadi rujukan permasalahannya. Karena wanita dalam kondisi semacam ini, tidak memungkinkan untuk menemui hakim, sehingga statusnya sama dengan orang yang tidak memiliki hakim. Karena itu, urusannnya dikembalikan kepada kaum muslimin, sebagai walinya. (Tafsir Al-Qurthubi, 3/76).

Pada kesempatan yang lain, Syaikh Muhamad Ali Farkus juga ditanya tentang sikap sebagian wali yang tidak mau menikahkan putrinya dengan lelaki sekufu. Beliau menjelaskan,

Ada dua latar belakang wali menolak untuk menikahkan putrinya;

Pertama, jika sang wali tidak mau menikahkan putrinya karena sebab yang diterima secara syariat, seperti, lelaki yang meminang tidak sekufu, atau karena ada lelaki lain yang lebih statusnya, agamanya, dan akhlaknya. Dalam keadaan ini, hak perwalian tetap menjadi miliknya dan tidak berpindah ke yang lain.

Kedua, jika pelarangan tersebut mengandung unsur kedzaliman, mempersempit hak putrinya untuk menikah, seperti; datang lelaki yang sekufu, baik agama dan akhlaknya, untuk meminangnya, namun wali melarangnya untuk menikah dengannya, maka dalam keadaan ini, walinya dianggap melakukan tindakan Al-Adhl dalam perwaliannya.

Wali ini tidak berhak untuk melakukan pembatasan semacam ini, dan perbuatan ini hukumnya haram dengan sepakat ulama. Berdasarkan hadis yang diriwayatkan Bukhari dan yang lainnya, bahwa Ma’qil bin Yasar radliallahu ‘anhu, memiliki saudara wanita yang menikah dengan seorang lelaki. Kemudian lelaki ini menceraikan istrinya, dan tidak rujuk kembali sampai selesai masa iddahnya. Beberapa hari kemudian, lelaki ini hendak melamar mantan istrinya. Maka Ma’qil merasa harga dirinya dilecehkan. Diapun berkata : “Lelaki ini membiarkan istrinya (sampai selesai iddah), padahal dia mampu untuk merujuknya. Kemudian dia ingin melamar lagi.” Akhirnya Ma’qil menghalangi pernikahan antara adiknya dengan lelaki tersebut. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:

وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا تَعْضُلُوهُنَّ أَنْ يَنْكِحْنَ أَزْوَاجَهُنَّ إِذَا تَرَاضَوْا

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang baik…” (sampai akhir ayat)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil Ma’qil dan membacakan ayat ini kepadanya. Ma’qil-pun meninggalkan rasa egonya dan bersedia untuk tunduk kepada aturan Allah. (HR. Bukhari no. 5331)

Sementara pada kondisi orang tua atau wali yang berhak lainnya, tidak bersedia untuk menikahkan maka hak perwalian langsung berpindah ke hak perwalian umum yang diwakili dengan hak perwalian hakim (KUA), ketika permasalahan ini diajukan kepada mereka. Dan perwaliannya tidak berpindah ke wali berikutya (kerabat dekat lainnya). Karena tindakan Al-Adhl adalah kedzaliman. Sementara kuasa untuk menghilangkan kedzaliman kembali kepada hakim.

Kemudian, jika tidak memungkinkan untuk mengajukan permasalahannya kepada hakim, maka wanita ini dinikahkan oleh wali urutan berikutnya (kerabatnya). Pada keadaan ini, hak perwalian kerabat ini dinilai sebagai bentuk tahkim (meminta keputusan). Kaidahnya: Orang yang ditunjuk sebagai hakim, statusnya setara dengan hakim resmi (KUA), sebagaimana yang ditegaskan oleh Imam As-Syafi’i. Jika tidak memiliki kerabat yang lain maka dia dinikahkan oleh imam tetap di daerahnya (Pak Kaum). Jika tidak menemukan juga maka siapapun orang yang beriman bisa menikahkannya, berdasarkan firman Allah:

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ

“Orang mukmin laki-laki dan orang mukmin wanita, sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain…” (QS. At-Taubah: 71)

Diterjemahkan dari buku: Al-Adat Al-Jariyah fi Al-A’ras Al-Jazairiyyah, hlm. 110 – 113.

Catatan:

Pertama, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, seorang wanita berhak untuk mengajukan masalah perwaliannya kepada hakim dengan beberapa syarat:

a. Lelaki yang melamarnya adalah lelaki yang sekufu (setara) dari semua sisi. Baik agama maupun dunia.
b. Lelaki tersebut baik agama dan akhlaknya.
c. Lelaki tersebut memiliki kemampuan secara finansial, sehingga bisa memberikan mahar dan nafkah sebagaimana umumnya masyarakat.
d. Penolakan yang dilakukan oleh wali karena kedzaliman, dan bukan dalam rangka memberikan kemaslahatan bagi putrinya.

Kedua, keterangan di atas sama sekali bukanlah membolehkan seseorang untuk menikah tanpa wali atau menikah dengan wali ‘gadungan’. Karena permasalahannya nikah bukanlah masalah yang ringan. Keterangan di atas justru sangat membatasi bahwa pernikahan harus dilakukan dengan wali. Meskipun perwalian nikah tidak selamanya ada di tangan orang tua, namun bisa berpindah ke yang lain, dengan beberapa persyaratan di atas.

Ketiga, hakim yang dimaksud di atas adalah pejabat resmi KUA, dengan kuasa dari lembaga. Dia datang atas nama lembaga bukan atas nama pribadi.

Keempat, perwalian bisa berpindah ke pihak yang lain, selain kerabat dan pejabat, jika sudah tidak memungkinkan untuk mengajukan masalah ke KUA. Selama masih memungkinkan untuk mengajukan masalah ke KUA secara resmi maka tidak diperkenankan menyerahkan masalah ke orang lain.

Kelima, semua pihak hendaknya berusaha bertakwa kepada Allah dan tidak menggampangkan masalah. Semua ini tidak lain dalam rangka menjaga batasan halal-haram dalam pernikahan.

Allahu a’lam

***

Penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits melalui muslimah.or.id

1 Al-’Adhl, secara bahasa dari kata ‘adhala – ya’dhulu, yang artinya ihtabasa (menahan). Sedangkan sikap Al-Adhl yang dimaksud dalam ayat adalah melarang orang yang berada di bawah perwaliannya untuk menikah, karena bermusuhan dengan calon suaminya, atau marah, atau sebab yang lainnya. (Lihat Mufradat Gharibil Qur’an, hlm. 338 dan Tafsir As-Sa’di, hlm. 103). – pent.

Tambahan pertanyaan lain tentang Wali nikah:

Pertanyaan:

Seorang wanita bekerja di tempat yang jauh. Dikarenakan takut zina dan fitnah, bolehkah ia menikahkan dirinya sendiri dengan wali hakim, karena wali wanita tersebut tidak mungkin datang karena jauh?

Jawaban:

Telah kita maklumi bersama bahwasanya wali merupakan syarat sah pernikahan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ

 

“Nikah tanpa wali tidaklah sah.” (HR. Tirmidzi: 1020. Diriwayatkan oleh lima imam selain Imam Nasa’i. Al-Albani berkata, “haditsnya shahih,” no. 1839, Mukhtashar Irwaul Ghalil: 1/364)

Yang berhak menikahkan wanita adalah bapak dari wanita tersebut, lalu orang yang diwasiati untuk menikahkan, lalu kakeknya dari jalur bapak, lalu anaknya, lalu saudaranya, lalu pamannya, lalu yang paling dekat dengan ashabah dari keturunannya, kemudian hakim.

Seorang wanita tidaklah boleh menikahkan dirinya sendiri atau menikah tanpa seizin dari walinya. Adapun apabila seorang wanita tidak punya wali, atau memiliki wali tetapi tidak berhak untuk menikahkannya karena berbeda agama, dan atau semua walinya menolak untuk menikahkannya dengan laki-laki yang baik agama dan akhlaknya, maka hakim boleh menikahkannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),

“Siapa pun dari kalangan wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka pernikahannya batil, pernikahannya batil, pernikahannya batil. Apabila ia telah “masuk” (berjima’ -ed) kepadanya, maka wanita tersebut berhak mendapatkan mahar, sebagai ganti dari sesuatu yang ia halalkan dari farjinya. Apabila para wali berselisih (tidak mau menikahkan), maka sulthan (hakim) adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (HR. Abu Daud: 2083, Ibnu Majah: 1879, Tirmidzi: 1102)

Dari sini, bisa kita ketahui bahwa wali hakim tidaklah boleh menikahkan seorang wanita, sementara wali wanita tersebut masih ada.

Selanjutnya, perlu diketahui pula bahwasanya apabila wali berhalangan hadir di majelis pernikahan dari wanita yang ia menjadi walinya kepada orang lain yang boleh menikahkannya atau kepada pegawai pemerintahan yang berhak dan boleh untuk menikahkan wanita tersebut.

Adapun jauhnya wali, bukanlah sebagai alasan bagi seorang wanita untuk diperbolehkan menikah melalui wali hakim dengan tanpa izin orangtuanya atau dengan tanpa adanya perwakilan orangtua kepada hakim atau petugas pemerintahan tersebut, walaupun disertai alasan takut terjatuh ke dalam fitnah atau alasan-alasan yang lainnya. Hal tersebut dikarenakan wali hakim adalah wali bagi wanita yang tidak punya wali atau walinya tidak mau menikahkannya tanpa alasan yang syar’i.

Segala puji bagi Allah semata, dan salawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Majalah Al-Furqon, edisi 11, tahun ke-6, 1428 H/2007 M.