Niatilah untuk Menuntut Ilmu Syar'i

Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.”
(HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Kajian Islam

rumah3Menurut ajaran Islam, rumah tangga yang ideal adalah rumah tangga yang diliputi sakinah (ketenteraman jiwa), mawaddah (rasa cinta), dan rohmah (kasih sayang). Alloh Ta’ala berfirman:

Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Alloh) bagi kaum yang berpikir. (QS. ar-Rum [30]: 21)

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami atau istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, harus tahu pula hak dan kewajiban, memahami tugas dan fungsinya masing-masing, melaksanakan tugasnya itu dengan penuh tanggung jawab, ikhlas, serta mengharapkan ganjaran dan ridho dari Alloh Ta’ala.

Sehingga, upaya untuk mewujudkan pernikahan dan rumah tangga yang mendapat keridhoan Alloh dapat menjadi kenyataan. Akan tetapi, mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tenteram, dan bahagia mendadak dilanda kemelut perselisihan dan percekcokan.

Apabila terjadi perselisihan dalam rumah tangga, maka harus ada upaya ishlah (mendamaikan). Yang harus dilakukan pertama kali oleh suami dan istri adalah lebih dahulu saling introspeksi, menyadari kesalahan masing-masing, dan saling memaafkan, serta memohon kepada Alloh agar disatukan hati, dimudahkan urusan dalam ketaatan kepada-Nya, dan diberikan kedamaian dalam rumah tangganya. Jika cara tersebut gagal, maka harus ada juru damai dari pihak keluarga suami maupun istri untuk mendamaikan antara keduanya. Mudah-mudahan Alloh memberikan taufiq kepada pasangan suami istri tersebut.

Apabila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 34–35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu “perceraian”.

Syaikh Musthofa al-Adawi berkata: “Apabila masalah antara suami istri semakin memanas, hendaklah keduanya saling memperbaiki urusan keduanya, berlindung kepada Alloh dari setan yang terkutuk, dan meredam perselisihan antara keduanya, serta mengunci rapat-rapat setiap pintu perselisihan dan jangan menceritakannya kepada orang lain.

Apabila suami marah sementara istri ikut emosi, hendaklah keduanya berlindung kepada Alloh, berwudhu, dan sholat dua roka’at. Apabila keduanya sedang berdiri, hendaklah duduk; apabila keduanya sedang duduk, hendaklah berbaring, atau hendaklah salah seorang dari keduanya mencium, merangkul, dan menyatakan alasan kepada yang lainnya. Apabila salah seorang berbuat salah, hendaklah yang lainnya segera memaafkannya karena mengharapkan wajah Alloh semata.” (1)

__________________________________________________

(1)   Fiqh Ta’ammul bainaz-Zaujaini (hlm. 37).

Di tempat lain beliau berkata: “Sedangkan berdamai adalah lebih baik, sebagaimana yang difirmankan oleh Alloh Ta’ala. Berdamai lebih baik bagi keduanya daripada berpisah dan bercerai. Berdamai lebih baik bagi anak daripada mereka terlantar (tidak terurus). Berdamai lebih baik daripada bercerai. Perceraian adalah rayuan iblis dan termasuk perbuatan Harut dan Marut.
Alloh berfirman:

Maka mereka mempelajari dari keduanya (Harut dan Marut) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Alloh. (QS. al-Baqoroh [2]: 102)

Di dalam Shohih Muslim dari sahabat Jabir bin Abdulloh, ia berkata: Rosululloh bersabda:

“Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas lautan. Kemudian ia mengirimkan bala tentaranya. Tentara yang paling dekat kedudukannya dengan iblis adalah yang menimbulkan fitnah paling besar kepada manusia. Seorang dari mereka datang dan berkata: ‘Aku telah lakukan ini dan itu.’ Iblis menjawab: ‘Engkau belum melakukan apa-apa.’” Nabi melanjutkan: “Lalu datanglah seorang dari mereka dan berkata: ‘Tidaklah aku meninggalkannya sehingga aku berhasil memisahkan ia (suami) dan istrinya.’” Beliau melanjutkan: “Lalu iblis mendekatkan kedudukannya. Iblis berkata: ‘Sebaik-baik pekerjaan adalah yang telah engkau lakukan.’” ( HR. Muslim [no.2813 (67) )

Ini menunjukkan bahwa perceraian adalah perbuatan yang dicintai setan.

Apabila dikhawatirkan terjadinya perpecahan antara suami istri, hendaklah hakim atau pemimpin mengirim dua orang juru damai. Satu dari pihak suami dan satu lagi dari pihak istri untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Apabila keduanya damai, maka Alhamdulillah. Namun apabila permasalahan terus berlanjut antara keduanya kepada jalan yang telah digariskan dan keduanya tidak mampu menegakkan batasan-batasan Alloh (syari’at dan hukum-hukum-Nya) di antara keduanya. Yaitu istri tidak lagi mampu menunaikan hak suami yang disyari’atkan dan suami tidak mampu menunaikan hak istrinya, serta batas-batas Alloh menjadi terabaikan di antara keduanya dan keduanya tidak mampu menegakkan ketaatan kepada Alloh, maka ketika itu urusannya seperti yang Alloh firmankan:

Dan jika keduanya bercerai, maka Alloh akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari karunia-Nya. Dan Alloh Mahaluas (karunia-Nya) lagi Mahabijaksana. (QS. an-Nisa’ [4]: 130) (2)

__________________________________________________

(2)   Dinukil dari Fiqh Ta’ammul bainaz-Zaujaini (hlm. 87–92) secara ringkas.

Alloh Ta’ala berfirman:

Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Alloh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka telah memberikan nafkah dan hartanya. Maka perempuan-perempuan yang sholih adalah mereka yang taat (kepada Alloh) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Alloh telah menjaga (mereka). Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz (3) , hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Alloh Mahatinggi lagi Mahabesar. Dan jika kamu khawatir terjadi persengketaan antara keduanya maka kirimlah seorang juru damai dari keluarga laki-laki dan seorang juru damai dari keluarga perempuan. Jika keduanya (juru damai itu) bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Alloh memberi taufiq kepada suami istri itu. Sungguh, Alloh Maha Mengetahui lagi Mahateliti. (QS. an-Nisa’ [4]: 34–35)

__________________________________________________

(3)   Nusyuz yaitu meninggalkan kewajibannya selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa seizin suaminya.

Pada hakikatnya, perceraian dibolehkan menurut syari’at Islam, dan ini merupakan hak suami. Hukum talak (cerai) dalam syari’at Islam adalah dibolehkan.

Adapun hadits yang mengatakan bahwa “perkara halal yang dibenci oleh Alloh adalah talak (cerai)” yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2178), Ibnu Majah (no. 2018), dan al-Hakim (2/196) adalah hadits lemah. Hadits ini dilemahkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam al-‘Ilal, dilemahkan pula oleh Syaikh al-Albani dalam Irwa ul Gholil (no. 2040).

Meskipun talak (cerai) dibolehkan dalam ajaran Islam, tetapi seorang suami tidak boleh terlalu memudahkan masalah ini. Ketika seorang suami akan menjatuhkan talak, ia harus berpikir tentang maslahat (kebaikan) dan mafsadat (kerusakan) yang mungkin timbul akibat perceraian agar jangan sampai membawa kepada penyesalan yang panjang. Ia harus berpikir tentang dirinya, istrinya, dan anak-anaknya, serta tanggung jawabnya di hadapan Alloh pada hari kiamat.

Kemudian bagi istri, bagaimanapun kemarahannya kepada suami, hendaklah ia tetap sabar dan janganlah sekali-kali ia menuntut cerai kepada suaminya. Terkadang ada istri meminta cerai disebabkan masalah kecil atau karena suaminya menikah lagi (berpoligami) atau menyuruh suaminya menceraikan madunya.

Hal ini tidak dibenarkan dalam agama Islam. Jika si istri masih terus menuntut cerai, maka haram atasnya aroma surga, berdasarkan sabda Nabi :


أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلَاقَ مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ.

“Siapa saja wanita yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada alasan yang benar, maka haram atasnya aroma surga.” (4)

Abu Huroiroh berkata:

“Rosululloh melarang: ‘… dan janganlah seorang istri meminta (suaminya) untuk menceraikan saudari (madu)nya agar memperoleh nafkahnya.’” (5)

__________________________________________________

(4)   Hadits shohih: Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 2226), Tirmidzi (no. 1187), Ibnu Majah (no. 2055), Darimi (2/162), Ibnul Jarud (no. 748), Ibnu Hibban (no. 1320), ath-Thobari dalam Tafsir-nya (no. 4843–4844), al-Hakim (2/200), al-Baihaqi (7/316), dari Tsauban .
(5) Hadits shohih: Diriwayatkan oleh al-Bukhori (no. 2140), Muslim (no. 1515 (12)), dan Nasa i (7/258).

Dalam agama Islam dibolehkan poligami (menikahi lebih dari satu istri) dan ini sama sekali bukan untuk menyakiti wanita atau berbuat zholim kepada wanita, melainkan disyari’atkan untuk mengangkat derajat wanita dan menghormati mereka. Sebab poligami telah disyari’atkan oleh Alloh Yang Mahaadil, Mahabijaksana, Maha Pengasih, dan Maha Penyayang kepada hamba-hamba-Nya.

Setiap keluarga selalu mendambakan terwujudnya rumah tangga yang bahagia, diliputi sakinah, mawaddah, dan rohmah. Oleh karena itu, setiap suami dan istri wajib menunaikan hak dan kewajibannya sesuai dengan syari’at Islam dan bergaul dengan cara yang baik.

Kesimpulannya, wanita tidak boleh meminta cerai dari suaminya tanpa alasan syar’i. Kepada suami istri, hendaklah selalu melaksanakan kewajiban yang Alloh bebankan kepadanya, menjauhi apa-apa yang dilarang, dan selalu berdo’a kepada Alloh agar dikaruniai pasangan dan keturunan yang sholih dan sholihah.

Wahai Robb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. al-Furqon [25]: 74)

Sumber: Majalah Mawadah