Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka Allah akan memahamkan dia dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari no. 71 dan Muslim no. 2436)
Hadits yang dihafal sebagian orang sebagai ucapan selamat atas kelahiran:
بورِك لك في الموهوب، وَشَكَرتَ الواهب، ورزققت برَّه، وبلغ أشُدَّه
(Buurika laka fil mauhubi, wa syakartal wahiba, wa ruziqta birrahu wa balagha asyuddahu) “Semoga Allah memberi berkah dengan anak yang dianugerahi atasmu, dan engkau kepada Dzat yang Maha Memberi. Semoga engkau diberi rezeki berupa kebaikan darinya. Semoga ia sampai pada masa kuatnya“
Dalam tahqiq terhadap kitab Wushulul Amani Bi Ushulit Tahaani, Syaikh Yahya Al Hajuri menjelaskan kedudukan hadits ini. Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Ibnu Asakir (6/108) dari jalan Kultsum bin Jausyan, juga oleh Ibnul Qoyyim dalam Tuhfatul Maulud tanpa sanad, tentang Kultsum bin Jausyan telah dijelaskan di At Tahdzibut Tahzib. Abu Daud dan Al Azdi berkata: “Ini hadits mungkar“. Ibnu Hibban berkata: “Tidak boleh berhujjah dengan hadits ini”. Abu Hatim berkata: “Hadits ini dhaif”. Yang benar adalah bahwa doa ini merupakan ucapan Hasan Al Bashri Rahimahullah, bukan hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, namun lafadz yang shahih dari Hasan Al Bashri adalah:
جعله الله مباركا عليك وعلى أمة محمد
(Ja’alallahu mubaarokan ‘alaika wa ‘ala ummati Muhammadin) “Semoga Allah menjadikan anakmu sebagai barokah untukmu dan untuk ummat Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam “
Amr an-Naqid menuturkan kepada kami. Dia berkata; Yazid bin Harun menuturkan kepada kami. Dia berkata; Hammad bin Salamah memberitakan kepada kami dari Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik, dia berkata;
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pada hari kiamat nanti akan didatangkan penduduk neraka yang ketika di dunia adalah orang yang paling merasakan kesenangan di sana. Kemudian dia dicelupkan di dalam neraka sekali celupan, lantas ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kebaikan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kenikmatan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku!’.
Dan didatangkan pula seorang penduduk surga yang ketika di dunia merupakan orang yang paling merasakan kesusahan di sana kemudian dia dicelupkan ke dalam surga satu kali celupan. Lalu ditanyakan kepadanya, ‘Wahai anak Adam, apakah kamu pernah melihat kesusahan sebelum ini? Apakah kamu pernah merasakan kesusahan sebelum ini?’. Maka dia menjawab, ‘Demi Allah, belum pernah wahai Rabbku, aku belum pernah merasakan kesusahan barang sedikit pun. Dan aku juga tidak pernah melihat kesulitan sama sekali.’.” (HR. Muslim dalam Kitab Shifat al-Qiyamah wa al-Jannah wa an-Naar)
Sesungguhnya tidak ada keselamatan kecuali dengan mengikuti Kitab dan Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah. Tapi kita tidak mungkin mendengar sunnah dan pemahaman mereka kecuali dengan melalui sanad (rantai para rawi). Dan sanad termasuk dalam Dien. Maka lihatlah dari siapa kalian mengambil Dien kalian. Sedangkan yang paling mengerti tentang sanad adalah Ashabulhadits. Maka dalam tulisan ini kita akan lihat betapa tingginya kedudukan mereka. Rasulullah Shalallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda :
“Allah membuat cerah (muka) seorang yang mendengarkan (hadits) dari kami, kemudian menyampaikannya.” (Hadits Shahih, H.R. Ahmad, Abu Dawud)
Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali hafidzahullah berkata : “Hadits ini adalah Shahih, diriwayatkan oleh : Imam Ahmad dalam Musnad 5/183, Imam Abu Dawud dalam As Sunan 3/322, Imam Tirmidzi dalam As Sunan 5/33, Imam Ibnu Majah dalam As Sunan 1/84, Imam Ad Darimi dalam As Sunan 1/86, Imam Ibnu Abi Ashim dalam As Sunan 1/45, Ibnul Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil Ilmi wa Fabhilihi 1/38-39, lihat As Shahihah oleh Al ‘Alamah Al Albani (404) yang diriwayatkan dari banyak jalan sampai kepada Zaid bin Tsabit, Jubair bin Muth’im dan Abdullah Bin Mas’ud Radhiallahu 'Anhu”
Hadits ini dinukil oleh Beliau (Syaikh Rabi’) dalam kitab kecil yang berjudul Makanatu Ahlil Hadits (Kedudukan Ahli Hadits), yaitu ketika menukil ucapan Imam besar Abu Bakar Ahmad bin Ali Al Khatib Al Baghdadi (wafat 463 H) dari kitabnya Syarafu Ashabil Hadits yang artinya “Kemuliaan Ashabul Hadits.” Dalam kitab tersebut, beliau menjelaskan kemuliaan dan ketinggian derajat Ahlul Hadits. Demikian pula beliau juga menjelaskan jasa-jasa mereka dan usaha mereka dalam membela Dien ini, serta menjaganya dari berbagai macam bid’ah. Diantara pujian beliau kepada mereka, beliau mengatakan : “Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjadikan golongannya (Ahlul Hadits) sebagai tonggak syariat. Melalui usaha mereka, Dia (Allah) menghancurkan setiap keburukan bid’ah. Merekalah kepercayaan Allah Subhanahu wa Ta'ala diantara makhluk-makhluk-Nya, sebagai perantara antara Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam dan umatnya. Dan merekalah yang bersungguh-sungguh dalam menjaga millah (Dien)-Nya. Cahaya mereka terang, keutamaan mereka merata, tanda-tanda mereka jelas, madzhab mereka unggul, hujjah mereka tegas… .”
Setelah mengutip hadits di atas, Al Khatib rahimahullah menukil ucapan Sufyan Bin Uyainah rahimahullah dengan sanadnya bahwa dia mengatakan : “Tidak seorangpun mencari hadits (mempelajari hadits) kecuali pada mukanya ada kecerahan karena ucapan Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam : (Kemudian menyebutkan hadits di atas). Kemudian, setelah meriwayatkan hadits-hadits tentang wasiat Nabi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam untuk memuliakan Ashabul Hadits, Beliau meriwayatkan hadits berikut :
“Islam dimulai dengan keasingan dan akan kembali asing, maka berbahagialah orang-orang yang (dianggap) asing.” (H.R. Muslim, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnul Majah)
Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits ini shahih. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 1/130, Imam Ahmad dalam Musnad-nya 1/398, Imam Tirmidzi dalam Sunan-nya 5/19, Imam Ibnu Majah dalam Sunnah-nya 2/1319, dan Imam Ad Darimi dalam Sunan-nya 2/402.”
Setelah meriwayatkan hadits ini, Al Khatib menukil ucapan Abdan rahimahullah dari Abu Hurairah dan Ibnu Mas’ud Radhiallahu 'Anhu : “Mereka adalah Ashabulhadits yang pertama.” Kemudian meriwayatkan hadits :
“Umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh sekian firqah, semuanya dalam neraka kecuali satu.”
Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2/332. Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/197, dan Hakim dalam Al Mustadrak 1/128. Lihat Ash Shahihah oleh Syaikh kita Al ‘Alamah Al Albani (203).”
Beliau (Al Khatib) kemudian mengucapkan dengan sanadnya sampai ke Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah bahwa dia berkata : “Tentang golongan yang selamat, kalau mereka bukan Ahlul Hadits, saya tidak tahu siapa mereka.” (Hal. 13, Syaraful Ashhabil Hadits oleh Al Khatib). Kemudian Syaikh Al Khatib menyebutkan hadits tentang Thaifah yang selalu tegak dengan kebenaran :
“Akan tetap ada sekelompok dari umatku di atas kebenaran. Tidak merugikan mereka orang-orang yang mengacuhkan (membiarkan, tidak menolong) mereka sampai datangnya hari kiamat.” (H.R. Muslim, Ahmad, Abu Dawud)
Syaikh Rabi’ berkata : “Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 3/1523, Imam Ahmad dalam Musnad 5/278-279, Imam Abu Dawud dalam Sunan 4/420, Imam Ibnu Majah dalam Sunan 1/4-5, Hakim dalam Mustadrak 4/449-450, Thabrani dalam Mu’jamul kabir 76643, dan Ath Thayalisi dalam Musnad halaman 94 no.689. lihat Ash Shahihah oleh Al ‘Alamah Al Abani 270-1955.”
Kemudian berkata (Al Khatib Al Baghdadi) : Yazid bin Harun berkata : “Kalau mereka bukan Ashabul Hadits, aku tidak tahu siapa mereka.” Setelah itu beliau meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada Abdullah bin Mubarak, dia berkata : “Mereka menurutku adalah Ashabul Hadits.” Kemudian meriwayatkan juga dengan sanadnya dari Imam Ahmad bin Sinan dan Ali Ibnul Madini bahwa mereka berkata : “Sesungguhnya mereka adalah Ashabul Hadits, Ahli Ilmu dan Atsar” (Hal. 14 - 15)
Demikianlah para ulama mengatakan bahwa Firqah Naajiah (golongan yang selamat) yaitu golongan yang selalu tegak dengan kebenaran dan selalu ditolong (Thaifah Manshurah), yaitu orang-orang yang asing(Ghuraba’) di tengah-tengah kaum Muslimin yang sudah tercemar dengan berbagai macam bid’ah dan penyelewengan dari Manhaj As Sunnah dan Ashabul Hadits.
Penulis: Syaikh Shalih bin ‘Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhohulloh Diterjemahkan dari Penjelasan Hadits Arba’in No. 40. Oleh: Abu Fatah Amrulloh Murojaah: Ustadz Abu Ukasyah Aris Munandar
Dari Ibnu Umar radhiallohu ‘anhuma beliau berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku seraya bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau musafir”. Ibnu Umar berkata: “Jika engkau berada di sore hari jangan menunggu datangnya pagi dan jika engkau berada pada waktu pagi hari jangan menunggu datangnya sore. Pergunakanlah masa sehatmu sebelum sakit dan masa hidupmu sebelum mati” (HR. Bukhori)
Penjelasan Hadits ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar berisi nasihat nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada beliau. Hadits ini dapat menghidupkan hati karena di dalamnya terdapat peringatan untuk menjauhkan diri dari tipuan dunia, masa muda, masa sehat, umur dan sebagainya.
Ibnu Umar berkata: “Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah memegang kedua pundakku”, hal ini menunjukkan perhatian yang besar pada beliau, dan saat itu umur beliau masih 12 tahun. Ibnu Umar berkata: “beliau pernah memegang kedua pundakku”. Rosululloh shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jadilah engkau di dunia seperti orang asing atau penyeberang jalan”. Jika manusia mau memahami hadits ini maka di dalamnya terkandung wasiat penting yang sesuai dengan realita. Sesungguhnya manusia (Adam –pent) memulai kehidupannya di surga kemudian diturunkan ke bumi ini sebagai cobaan, maka manusia adalah seperti orang asing atau musafir dalam kehidupannya. Kedatangan manusia di dunia (sebagai manusia) adalah seperti datangnya orang asing. Padahal sebenarnya tempat tinggal Adam dan orang yang mengikutinya dalam masalah keimanan, ketakwaan, tauhid dan keikhlasan pada Alloh adalah surga. Sesungguhnya Adam diusir dari surga adalah sebagai cobaan dan balasan atas perbuatan maksiat yang dilakukannya. Jika engkau mau merenungkan hal ini, maka engkau akan berkesimpulan bahwa seorang muslim yang hakiki akan senantiasa mengingatkan nafsunya dan mendidiknya dengan prinsip bahwa sesungguhnya tempat tinggalnya adalah di surga, bukan di dunia ini. Dia berada pada tempat yang penuh cobaan di dunia ini, dia hanya seorang asing atau musafir sebagaimana yang disabdakan oleh Al Musthofa shalallahu ‘alaihi wa sallam.