بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
SEBELUM KITA MELANGKAH LEBIH JAUH
Sebelum kita melangkah lebih jauh, mungkin sempat terlintas dalam hatimu, mengapa pembicaraan ini hanya ditujukan kepada kami -kaum wanita-? Dan tidak ditujukan kepada kaum pria? Mungkin di sini perlu kita luruskan.
Saudariku, para istri yang mulia....
Bagaimana mungkin kita menuntat suami agar menjadi suami yang ideal. Kita menuntut ini dan itu. Sementara kita tak mau memperbaiki diri. Kerap kali seorang wanita hanya pandai menuntut dan merasa tak puas tanpa mau memandang permasalahan secara bijak. Untuk memperjelas hal ini, perlu kita paparkan beberapa contoh kasus:
Seorang istri mengeluhkan suaminya karena tidak perah kerasan di rurmah. Ada saja alasan yang ia kemukakan untuk dapat segera meninggalkan rumah. Ia pergi pagi-pagi buta dan baru kembali bila hari telah merangkak malam. Maka si istri terus-menerus mengajukan protes dan menuntut suaminya agar kerasan di rumah. Namun sayang, si istri tidak memandang secara bijak mengapa gerangan suaminya tak pernah kerasan di rumah? Ternyata semua itu berpangkal dari kelalaian si istri. Ia ternyata seorang istri yang awut-awutan. Sama sekali tidak pandai menciptakan suasana rumah yang nyaman. Semua sudut rumah berantakan, ditambah lagi dengan kondisi anak-anaknya yang sungguh tak sedap di pandang. Ia tak pandai menjaga penampilan di hadapan suami, tak terampil mengurus rumah tangga dan selalu menyuguhi suaminya dengan berbagai masalah dan keluhan. Lantas, benarkah tuntutannya terhadap suami untuk betah di rumah jikalau kondisinya seperti itu?