Pembahasan Kitab Tauhid

Karya Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al fauzan dan Team Ahli Tauhid. Terdiri dari tiga buku yang resumenya kami sajikan di hadapan antum semua. Jangan bosan belajar Tauhid. Karena inilah tujuan dakwah para Rasul. Baarokallohufiikum...
Kitab Tauhid 1 Kitab Tauhid 2 Kitab Tauhid 3

بسم الله الرحمن الرحيم

🎙Bersama: Al Ustadz Fuad Efendi Lc.,M.H حفظه الله تعالى
📘 Materi : Kitab Tauhid Bab 39 | Berhukum kepada Selain Hukum Allah ﷻ dan Rasul-Nya - Pertemuan 1
🗓 Hari : Selasa, 29 Rabi’ul Akhir 1447 / 21 Oktober 2025
🕰 Waktu: Ba'da Maghrib - Isya'
🕌 Tempat: Masjid Jajar Surakarta
📖 Daftar Isi:



Bab 39: Berhukum kepada Selain Hukum Allah ﷻ dan Rasul-Nya #1

Mukadimah

Pada bab sebelumnya kita membahas tentang orang yang meletakkan dan membuat hukum selain hukum Allah ﷻ, adapun pada bab ini kita akan membahas tentang orang yang tidak membuat hukum, namun berhukum dengan hukum yang ada yang bukan hukum Allah ﷻ. Seperti seseorang yang membagi warisan bukan dengan aturan Islam, karena mungkin merasa bahwa aturan warisan Islam akan mengurangi jatahnya.

Hal yang kita bahas adalah konsekuensi dari dua kalimat syahadat, orang yang mengucapkan dua kalimat syahadat, konsekuensinya harus menjadikan ketaatan kepada Allah ﷻ di atas ketaatan kepada selain-Nya. Inilah dari realisasi konsekuensi kalimat tauhid.

Berhukum kepada selain Allah ﷻ bisa mengurangi tauhid baik sebagian atau keseluruhan.

Berkaitan dengan akidah, Tauhid menurut Imam Abu Hanifah masuk kedalam Fiqhul Akbar yang merupakan amalan-amalan batin. Amalan inilah yang manjadikan seseorang unggul dibandingkan dengan yang lain. Seperti halnya Abu Bakar As-Sidiq Radhiyallahu’anhu yang menjadi orang yang terbaik setelah Nabi ﷺ karena amalan hatinya bukan amalan-amalan dzahirnya.

Sebelum kita membahas dalil-dalil yang dibawakan oleh penulis (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) Rahimahullah, ada beberapa hal yang perlu kita sebutkan mengenai hukum Allah ﷻ. Hukum Allah terbagi menjadi dua:

1. (Hukum Kauni) - الْحُكْمُ الْكَوْنِيُّ.

Hukum kauni adalah hukum yang berkaitan dengan kejadian alam semesta. Kita harus meyakini bahwa segala pola kejadian alam semesta ini hanyalah terjadi atas keputusan Allah ﷻ.

Hukum Kauni adalah ketetapan Allah yang pasti terjadi, baik yang dicintai maupun tidak, seperti matahari terbit dan tenggelam.

Keyakinan kita bahwa yang mengatur alam semesta ini hanyalah Allah itu adalah bagian dari tauhid rububiyyah. Tidak sesuatu pun yang dapat menolak ketetapan Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman,

﴿وَاللّهُ يَحْكُمُ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ وَهُوَ سَرِيعُ الْحِسَابِ﴾

"Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya, dan Dia Maha Cepat perhitungan-Nya." (QS. Ar-Ra'd : 41)

Para ulama mengatakan bahwa sebagaimana kita dituntut untuk meyakini bahwasanya hanya Allah yang mengatur alam semesta, maka kita juga dituntut untuk meyakini bahwasanya hanya Allah yang berhak membuat hukum di antara manusia, dan kita wajib berhukum dengan hukum tersebut.

2. (Hukum Syar'i) - الْحُكْمُ الشَّرْعِيُّ

Kita harus meyakini bahwasanya hanya Allah ﷻ yang berhak untuk menetapkan hukum yang berlaku di antara manusia, untuk menguji siapa yang terbaik.

Hukum Syar'i ini adalah ketetapan atau perintah Allah yang dicintai dan diridai-Nya, tetapi belum tentu terjadi, seperti perintah shalat, puasa, atau larangan berzina.

Allah ﷻ berfirman,

﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ يَقُصُّ الحقَّ وَهُوَ خَيرُ الْفَاصِلِينَ﴾

"Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik." (QS. Al-An'am :57)

Oleh karena itu, tidak boleh seorang pun untuk membuat hukum selain hukum Allah dan tidak boleh pula berhukum dengan hukum selain Allah ﷻ .

  • Meyakini bahwa hanya Allah ﷻ yang boleh membuat hukum di alam semesta ini berkaitan dengan tauhid rububiyah.
  • Meyakini bahwa kita hanya boleh berhukum dengan hukum Allah merupakan bentuk pengamalan tauhid uluhiyyah. Jadi, barangsiapa yang membuat hukum dan berhukum kepada selain hukum Allah ﷻ, maka tauhidnya telah tercoreng kemurniannya.

- 📖 Lihat: I'lam Al-Muwaqqi'in karya Ibnu Al-Qayyim (1/24), Syarah: Aqidah Al-Wasithiyah karya Ibnu 'Utsaimin (1/188-dst).

*****

Dalil-1: QS. An-Nisa ayat 60-62

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah membawakan enam dalil tentang larangan berhakim kepada selain Allah dan Rasul-Nya. Di antara dalilnya adalah firman Allah ﷻ:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنزِلَ مِن قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَن يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَن يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُضِلَّهُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا ، وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَىٰ مَا أَنزَلَ اللَّهُ وَإِلَى الرَّسُولِ رَأَيْتَ الْمُنَافِقِينَ يَصُدُّونَ عَنكَ صُدُودًا ، فَكَيْفَ إِذَا أَصَابَتْهُم مُّصِيبَةٌ بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جَاءُوكَ يَحْلِفُونَ بِاللَّهِ إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا إِحْسَانًا وَتَوْفِيقًا

“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu, dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari Thaghut itu, dan syetan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh- jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: “Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul”, niscaya kamu lihat orang-orang munafik itu menghalangi (manusia) dari (mendekati) kamu dengan sekuat-kuatnya. Maka bagaimanakah halnya, apabila mereka ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu seraya bersumpah: “Demi Allah, sekali kali kami tidak menghendaki selain penyelesain yang baik dan perdamaian yang sempurna.” (QS. An-Nisa: 60-62)

📃 Penjelasan:

1. Taghut

Pada ayat ini, Allah ﷻ menyebutkan tentang orang-orang yang malah beriman kepada tagut yang seharusnya mereka kufur terhadapnya. Bahkan kufur terhadap tagut adalah salah satu syarat sah tauhid, Allah ﷻ berfirman,

﴿فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمْ﴾

"Barang siapa ingkar (kufur) kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS. Al-Baqarah: 256)

Demikian pula dalam ayat ini Allah ﷻ mengatakan,

﴿يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ﴾

"Tetapi mereka masih menginginkan ketetapan hukum kepada taghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari tagut itu." (QS. An-Nisa': 60)

Siapakah yang dimaksud dengan taghut? Taghut diambil dari kata الطغبان yang artinya melampaui batas. Sebagaimana firman Allah ﷻ,

﴿إِنَّا لَمَّا طَغَى الْمَاءُ حَمَلْنَاكُمْ فِي الْجْارِيَةِ﴾

"Sesungguhnya ketika air naik melampaui batas (sampai ke gunung), Kami membawa (nenek moyang) kamu ke dalam kapal." (QS. Al-Haqqah: 11)

Imam Malik Rahimahullah memberikan pengertian tentang taghut dengan mengatakan,

الطَّاغُوْت: مَا عُبِدَ مِنْ دُوْنِ الله

"Taghut adalah segala apa yang disembah selain Allah." (Tafsir Ibnu Abi Hatim (2/495))

Adapun Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan pengertian yang lebih terperinci dengan mengatakan,

كُُّل مَا تَّجَاوَزَ بِهِ الْعَبْدُ حَدَّهُ مِنْ مَعْبُودٍ أَوْ مَتْبُوعٍ أَوْ مُطَاعٍ

"Segala sesuatu yang disikapi dengan melampaui batas oleh seorang hamba, baik berupa hal yang disembah, diikuti, atau ditaati."(I'laamul Muwaqqi'in (1/40).)

Di sini Ibnul Qayyim tidak menambahkan "وهو راض" (dan dia rida atau suka untuk dijadikan taghut), lantas bukankah Nabi Isa disembah, dan tentu dia tidak rida, namun apakah Nabi Isa alaihissalam juga taghut?

Jawaban:

Perlu diketahui bahwa maksud Ibnul Qayyim tidaklah bertentangan dengan pengertian sebagian 'ulama yang lain, karena taghut bisa diklasifikasikan menjadi dua:

  1. Ditinjau dari segi yang menyembah atau yang lainnya: Semua yang ditaati atau disembah, atau yang lainnya, secara otomatis dia dianggap taghut. Meskipun pada hakikatnya dia tidaklah taghut. Namun dia merupakan taghut bagi penyembahnya.
  2. Ditinjau dari segi yang disembah: Maka sesuatu tidaklah disebut sebagai taghut kecuali jika ia ridha. Dan taghut yang inilah (yang ridha) yang diancam masuk neraka, seperti Iblis dan Firaun yang ridha untuk disembah. Wallahu a'lam.

Dari pengertian yang dibawakan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah ini, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa ada tiga perkara dimana seseorang bisa dikatakan beriman kepada taghut:

1. Pertama adalah menyembah sesuatu selain Allah ﷻ. Adapun sesuatu yang disembah itu ada dua, yaitu sesuatu yang hidup dan sesuatu yang mati. Sesuatu yang hidup contohnya adalah orang saleh seperti para nabi, malaikat, wali Allah; dan ada pula orang gila seperti para dukun dan orang-orang yang mengaku dirinya sebagai Tuhan (seperti Firaun dan Namrud). Akan tetapi para ulama mengatakan bahwa orang shaleh tidaklah dikatakan sebagai taghut, hanya saja para penyembahnyalah yang menjadikan orang-orang saleh tersebut sebagai taghut karena disembah selain Allah ﷻ. Adapun sesuatu yang mati contohnya adalah batu, pohon, kuburan, dan lain-lain.

2. Kedua adalah mengikuti sesuatu secara berlebihan. Contohnya adalah undang-undang yang bertentangan dengan syariat. Dahulu, di zaman Ibnu Taimiyah rahimahullahu ada seorang raja bernama Jenghis Khan yang sempat menguasai kaum muslimin, kemudian dia membuat undang-undang baru yang disebut dengan اليسق (Ilyasiq). Undang-undang baru tersebut dia ambil dari berbagai macam sumber, di antaranya dari ajaran Yahudi, Nasrani, dan Islam, kemudian dia menyimpulkan satu hukum yang menurutnya cocok untuk orang di zaman tersebut. Para ulama mengatakan hukum yang dibuat oleh Jenghis Khan tersebut merupakan taghut karena dia menjadikan hukum tersebut sebagai hukum negara dan tidak boleh ada yang menyelisihinya, padahal hukum tersebut merupakan hukum campuran dari berbagai macam agama dan keyakinan, dan itu termasuk menyelisihi syariat.

3. Ketiga adalah menaati sesuatu. Sebagaimana telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa di antara yang terlarang untuk ditaati adalah pemerintah dan ulama yang mereka menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

2. Hukum orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah

Penting bagi kita untuk memahami hal ini dengan baik, karena kesalahpahaman dalam permasalahan ini dapat menggelincirkan kita kepada pemikiran takfiri, yakni mengafirkan dengan tanpa pandang bulu atau dengan takfiri model MLM. Sebagai contoh, mereka mengatakan bahwa orang-orang di gedung MPR dan DPR semuanya kafir, bahkan sampai orang yang berjualan di situ pun juga dikatakan kafir karena menganggap bahwa mereka mendukung hukum selain hukum Allah ﷻ. Oleh sebab pendapat mereka itu, orang yang mendiamkan hal tersebut juga bisa tervonis kafir.

Oleh karena itu, ada beberapa pembahasan yang akan kita bahas terkait mengenai orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah ﷻ.

1. Cakupan hukum Allah

Cakupan hukum Allah ﷻ mencakup seluruh hukum, baik undang-undang, masalah tauhid, atau syari'at-svari'at lainnya. Sebagai contoh dalam masalah tauhid uluhiyyah, pergi ke kuburan dan berdoa kepada kuburan itu bukanlah hukum Allah , sehingga itu termasuk hukum selain hukum Allah ﷻ. Demikian pula dalam tauhid asma' washshífaat. mereka yang mendahulukan akalnya daripada dalil dalam memahami sifat Allah , juga telah berhukum dengan selain hukum Allah ﷻ.

Kesalahan dalam tauhid asma' washshifaat ini disebut dengan al-Qanun al-kulli, dan hukum tersebut bukanlah hukum Allah ﷻ melainkan hukum taghut.

Terkait masalah ini pula, banyak orang yang salah paham tentang perkataan Ibnu Taimiyyah. Beliau menvebutkan bahwa hukum Allah itu berkaitan dengan segala hal, bahkan sampai menetapkan hukum di antara anak-anak pun seseorang harus berhukum dengan hukum Allah . Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Fataawa berkata tatkala membahas sabda Nabi Muhammad ﷺ ,

الْقُضَاةُ ثَلَاثَةٌ، اثْنَانِ فِي النَّارِ، وَوَاحِدٌ فِي الْجَنَّةِ: رَجُلٌ عَلِمَ الْحَقَّ فَقَضَى بِهِ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ، وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَرَجُلٌ جَارَ فِي الْحُكْمِ فَهُوَ فِي النَّارِ

"Hakim itu ada tiga golongan, dua hakim di neraka dan satu hakim di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan perkara tersebut dengan ilmunya tersebut, maka ia berada di surga, Hakim yang memberi keputusan di antara manusia atas dasar kebodohan, maka ia di neraka. Dan hakim yang berlaku curang (mengetahui kebenaran namun tidak menjadikannya sebagai landasan) saat memberi putusan maka ia di neraka." (HR. Ibnu Majah No. 2315).

Kemudian Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

"Maka setiap orang yang memberikan keputusan di antara dua orang maka dia adalah hakim, apakah orang tersebut adalah orang yang berperang, atau orang yang mengurus pemberian dari negara, atau dia orang yang beramar makruf nahi mungkar, bahkan orang yang berhukum di antara anak-anak, maka menurut para sahabat mereka juga disebut sebagai hakim.” (Majmu' Fataawa (18/170).

Artinya adalah setiap orang yang berhukum harus dengan Hukum Allah ﷻ. Oleh karena itu, jangan disangka hukum Allah hanya terbatas pada hukum hudud, akan tetapi hukum Allah ﷻ mencakup seluruhnya bahkan untuk di antara anak-anak seorang ayah harus adil di antara anak-anaknya, atau seseorang yang punya istri empat namun tidak bersikap adil maka sejatinya dia telah berhukum dengan selain hukum Allah ﷻ. Maka yang harus kita pahami adalah cakupan hukum Allah mencakup semua hal yang berkaitan dengan aturan dan tidak hanya terbatas pada hukum hudud atau undang-undang kenegaraan yang berlaku di antara masvarakat. Semua bentuk-bentuk hukum tersebut harus berhukum dengan hukum Allah ﷻ.

2. Siapa pun yang diminta untuk menjadi hakim maka dia harus berhukum dengan hukum Allah ﷻ

Siapa pun orang yang jika diminta untuk menjadi hakim dalam menghakimi siapa pun, baik muslim atau kafir maka dia tetap harus berhukum dengan hukum Allah ﷻ. Allah ﷻ berfirman

فَإِن جَآءُوكَ فَٱحْكُم بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْ ۖ وَإِن تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَن يَضُرُّوكَ شَيْـًٔا ۖ وَإِنْ حَكَمْتَ فَٱحْكُم بَيْنَهُم بِٱلْقِسْطِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُقْسِطِينَ

"Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil." (QS. Al-Maidah: 42).

Oleh karenanva ketika Nabi Muhammad ﷺ datang ke kota Madinah, beliau membiarkan orang-orang Yahudi berialan dan berkeliaran akan tetapi ketika mereka datang kepada beliau untuk meminta suatu keputusan maka Nabi Muhammad harus berhukum dengan hukum Allah ﷻ, siapa pun orang yang ada di depannya.

 •┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ

“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم

Kajian Kitab Tauhid