بسم الله الرحمن الرحيم
🎙Bersama: Al Ustadz Fuad Efendi Lc.,M.H حفظه الله تعالى
📘 Materi : Bab-36: Riya' - Pertemuan 1
🗓 Hari : Selasa, 25 Safar 1447 / 19 Agustus 2025
🕰 Waktu: Ba'da Maghrib - Isya'
🕌 Tempat: Masjid Jajar Surakarta
٣٦. ما جاء في الرياء
Bab Tentang Hal-hal yang Berkaitan dengan Riya
Riya’ berasal dari kata رَاءى – يُرَائِي – مُرَاءاةً ، رِئَاء ، رِيَاءً yang artinya memperlihatkan. Apa yang diperlihatkan? Yaitu memperlihatkan amal saleh kepada orang lain agar mendapat pujian atau pengakuan mereka. ([Maqoyis Al-Lughoh, Ibnu Faris, 2/473])
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: Riya adalah seorang beramal untuk dilihat oleh orang lain. Masuk pula dalam hal ini seorang yang beramal untuk didengar oleh orang lain (sum’ah). (Lihat Al-Qaulul Mufid: 2/124)
Sum'ah yaitu menyembunyikan amalan kemudian menceritakannya. Maka, riya’ terjadi pada perbuatan sedangkan sum’ah terjadi pada ucapan.
Dalam sebuah hadits disebutkan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Jundub bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Rasulallah Shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: « مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ » [أخرجه البخاري و مسلم]
“Barangsiapa (beramal) tujuannya untuk didengar (oleh manusia) maka Allah akan memperdengarkan padanya. Dan barangsiapa (beramal) dengan tujuan supaya dilihat (orang) maka Allah akan memperlihatkan padanya“. [HR Bukhari no: 6499. Muslim no: 2987].
- Riya pada pokok keimanan: Menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Hukumnya Syirik Khofi (tersembunyi) yang jenisnya besar.
- Riya pada cabang keimanan (sebagian amalan) yang merupakan penyempurna keimanan. Seperti seorang muslim yang ada iman, namun terkadang riya dalam shalat, puasa dan lainnya. Hukumnya Syirik Khofi (tersembunyi) yang jenisnya kecil. Dan hal ini mengurangi kesempurnaan tauhid.
Maka, riya disebut dengan dosa besar dengan dua alasan:
1. Nabi ﷺ menyebut riya sebagai kesyirikan. Dan kesyirikan tidak diampuni jika tidak bertaubat sebelum meninggal. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS. An Nisa: 48)
Dan jika ancaman disebut Allah ﷻ dalam Al-Qur’an berarti dosa besar.
2. Riya secara nash diancam dengan api neraka. Rasulullah ﷺ bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ : إِنَّ اَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيْكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ ِلأَنْ يُقَالَ جَرِيْءٌ, فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ اْلقُرْآنَ فَأُُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَعَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيْكَ اْلقُرْآنَ, قَالَ:كَذَبْتَ, وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ وَقَرَأْتَ اْلقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِىءٌ ، فَقَدْ قِيْلَ ، ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى اُلْقِيَ فيِ النَّارِ, وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ وَاَعْطَاهُ مِنْ اَصْْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِيَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا, قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيْهَا؟ قَالَ: مَاتَرَكْتُ مِنْ سَبِيْلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيْهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيْهَا لَكَ, قَالَ: كَذَبْتَ ، وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ فَقَدْ قِيْلَ, ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِيَ فِي النَّارِ. رواه مسلم (1905) وغيره
Dari Abi Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya : ‘Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Ia menjawab : ‘Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret orang itu atas mukanya (tertelungkup), lalu dilemparkan ke dalam neraka. Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca al Qur`an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya: ‘Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?’ Ia menjawab: ‘Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca al Qur`an hanyalah karena engkau.’ Allah berkata : ‘Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca al Qur`an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’ (pembaca al Qur`an yang baik). Memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka. Berikutnya (yang diadili) adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengenalinya (mengakuinya). Allah bertanya : ‘Apa yang engkau telah lakukan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab : ‘Aku tidak pernah meninggalkan shadaqah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.’ Allah berfirman : ‘Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah yang dikatakan (tentang dirimu).’ Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeretnya atas mukanya dan melemparkannya ke dalam neraka.’”
(HR. Muslim, Kitabul Imarah, bab Man Qaatala lir Riya’ was Sum’ah Istahaqqannar (VI/47) atau (III/1513-1514 no. 1905).
Hukum Amalan yang Terjangkit Riya
1. Terjangkit riya dari awal sampai akhir: amalan tersebut tertolak, bahkan mendatangkan dosa.
Seperti yang disebutkan dalam hadits di atas, sungguh menyedihkan, dia mengira amalannya diterima tetapi Allah ﷻ tidak menerimanya.
1. Riya yang muncul di awal:
Ibnul Qoyyim membagi riya’ yang datang di awal amalan menjadi dua:
- Jika ibadah itu adalah amalan yang akhirnya dibangun di atas yang awalnya, dan tidak mungkin bisa dikatakan sah, kecuali jika awalnya dan akhirnya sah, maka batallah semua amalannya.
Contoh : orang shalat subuh karena riya’, dan di rakaat kedua ia sadar dan merubah niatnya, maka shalat subuhnya tidak sah sama sekali. Karena tidak mungkin bisa dipisah antara rakaat pertamanya dari rakaat keduanya, dan begitu juga sebaliknya. - Jika amalan itu tidak termasuk ibadah yang akhirnya dibangun di atas yang awalnya, dan yang belakangan bisa dikatakan sah meskipun yang awal batal. Maka yang batal adalah yang dihinggapi riya’, dan yang tidak dihinggapi riya dianggap sah. ([I’lam Al-Muwaqqi’in, Ibnu Al-Qoyyim, 3/436 ])
2. Riya’ yang muncul di tengah-tengah beramal
Orang yang beramal, kemudian di tengah-tengah amalannya muncul sifat riya’, maka ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah riya’ tersebut berhasil diusir, dan kemungkinan kedua adalah dia menikmati riya’ tersebut hingga selesai beramal.
Sebuah contoh, ada orang yang berhaji yang awalnya ikhlas, akan tetapi kemudian di pertengahan ibadah haji dia pun riya’. Maka ketika dia sadar akan hal itu, dan dia memilih untuk mengusir riya’ tersebut, berhasil atau tidak dia dalam mengusir riya’ tersebut maka dia tetap mendapat pahala karena dia telah berusaha. Bukankah Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah : 286)
Akan tetapi yang menjadi masalah adalah ketika riya’ di tengah-tengah amalan itu dia biarkan terus ada hingga selesai ibadah yang dia lakukan.
Ulama berbeda pendapat tentang hal ini:
- Pendapat pertama dipilih oleh Imam Ahmad dan Ibnu Jarir Ath-Thabari yang dinukil oleh Hasan Al-Bashri rahimahumullah bahwasanya orang yang membiarkan riya’ terus ada hingga ibadah selesai tetap mendapatkan pahala karena yang menjadi patokan adalah niat awal seseorang dalam ibadah.
- Pendapat kedua menyebutkan bahwa hukumnya tergantung jenis amal tersebut:
- Jika amal tersebut merupakan satu kesatuan, maka riya’ yang muncul di tengah-tengah akan menyebabkan ibadah tersebut batal dan tidak berpahala.
Contoh dalam hal ini adalah shalat, jika riya’ muncul di dalam rakaat ketiga atau, kemudian dia biarkan riya’ hingga ibadahnya selesai maka tetap saja seluruh pahala shalatnya gugur. - Akan tetapi jika amalan tersebut bukanlah satu kesatuan, maka hanya amalan yang tercampur riya’ saja yang gugur pahalanya.
Contoh dalam hal ini adalah sedekah, jika seseorang awalnya bersedekah lima ratus ribu rupiah ikhlas, kemudian bersedekah lagi satu juta rupiah dengan riya’, maka amalan yang tertolak adalah sedekah yang satu juta rupiah, adapun sedekah awal yang jumlahnya lima ratus ribu rupiah tetap berpahala karena belum terkontaminasi dengan riya’.
3. Riya’ yang muncul setelah beramal – sum’ah
Terkadang ada orang yang riya’ muncul di dalam dirinya setelah dia beramal. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebut rasa ingin diakui dengan sebutan syahwat yang tersembunyi. Kemudian banyak orang yang tidak bisa menahan syahwat tersebut, sehingga akhirnya dia pun menceritakan amalannya kepada orang lain.
Ulama berbeda pendapat akan hukumnya:
- Pendapat pertama menyebutkan bahwa amalannya tetap berpahala, akan tetapi sum’ah yang dia lakukan di kemudian hari itulah yang menyebabkan dosa, karena sum’ah yang dilakukan merupakan amalan tersendiri yang terpisah dengan amalan sebelumnya. (Lihat Fatawa Arkan Al-Islam, Ibnu ‘Utsaimin, 1/156).
- Pendapat kedua menyebutkan bahwa amalan yang pernah dia lakukan tetap gugur, karena sum’ah yang dilakukan di kemudian hari itu yang menggugurkan amalnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al-Wabilush Shayyib condong kepada pendapat kedua. Beliau menyebutkan bahwa betapa banyak amal bisa gugur meskipun bukan karena kekufuran, akan tetapi karena dosa. (al-Waabil as-Shoyyib, Raafi’ al-Kalim at-Thoyyib hal 22).
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم