بسم الله الرحمن الرحيم
🎙Bersama: Al Ustadz Fuad Efendi Lc.,M.H حفظه الله تعالى
📘 Materi : Bab-36: Riya' - Pertemuan 2
🗓 Hari : Selasa, 3 Rabi'ul Awal 1447 / 26 Agustus 2025
🕰 Waktu: Ba'da Maghrib - Isya'
🕌 Tempat: Masjid Jajar Surakarta
٣٦. ما جاء في الرياء
Bab 36-2 Tentang Hal-hal yang Berkaitan dengan Riya
Telah berlalu pembahasan Bab 36 pertemuan sebelumnya:
- Maksud dari Judul
- Definisi Riya'
- Macam-macam Riya dan Hukumnya
- Hukum Amalan yang Terjangkit Riya
Berkaitan hukum orang yang bertaubat dari riya’, maka yang menjadi pertanyaannya adalah apakah pahala amalnya bisa kembali? Para ulama khilaf akan hal ini.
- Pendapat pertama menyebutkan bahwa seseorang yang bertaubat dari riya’ tidak akan mendapatkan kembali pahala, karena pada asalnya dia tidak memiliki amal saleh, melainkan yang dia lakukan adalah riya’ yang merupakan syirik. Adapun jika dia bertaubat dari riya’ tersebut, maka yang hilang hanyalah dosanya. ([Al-Wabil As-Shoyyib, Ibnu Al-Qoyyim 22]).
- Pendapat kedua menyebutkan bahwa seseorang bisa mendapatkan kembali pahala amalnya, dan ini adalah pendapat Ibnu Taimiyyah ([Lihat Majmu’ Al-Fatawa, Ibnu Taimiyyah, 22/21]) karena dalil menunjukkan akan hal tersebut, yaitu hadits dari Hakim bin Hizam radhiallahu ‘anhu, ketika dia bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang amalan yang dia lakukan ketika masih kafir. Hakim bin Hizam berkata,
أَيْ رَسُولَ اللهِ، أَرَأَيْتَ أُمُورًا كُنْتُ أَتَحَنَّثُ بِهَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ، مِنْ صَدَقَةٍ، أَوْ عَتَاقَةٍ، أَوْ صِلَةِ رَحِمٍ، أَفِيهَا أَجْرٌ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَسْلَمْتَ عَلَى مَا أَسْلَفْتَ مِنْ خَيْرٍ
“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu tentang beberapa perkara, berupa sedekah, atau pembebasan budak, atau silaturahmi, yang pernah aku lakukan zaman jahiliah dahulu? Apakah aku mendapatkan pahala padanya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, ‘Kamu masuk Islam dengan kebaikan yang kamu lakukan di masa dahulu’.”([HR. Muslim no. 123])
Kalau Hakim bin Hizam saja masih mendapatkan kembali amal kebaikannya setelah masuk Islam (bertaubat) meskipun dilakukan dalam keadaan berbuat syirik besar, maka tentu riya’ yang merupakan syirik kecil bisa saja mendapatkan kembali pahalanya jika dia bertaubat.
Wallahu a’lam bishshawwab tentang pendapat mana yang lebih kuat. Intinya seseorang harus berhati-hati agar jangan sampai terjatuh dalam riya’. Jika sekiranya seseorang terjatuh dalam riya’, maka dia tetap harus bertaubat kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.
6. Perkara yang dikira riya’ akan tetapi bukan riya’
Beberapa perkara yang dikira riya’ oleh kebanyakan orang namun hakikatnya bukan riya’ di antaranya adalah,
1. Seseorang yang dipuji karena ketahuan amalannya oleh orang lain
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya oleh seseorang tentang pujian orang atas amalnya. Orang tersebut berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ يَعْمَلُ الْعَمَلَ مِنَ الْخَيْرِ، وَيَحْمَدُهُ النَّاسُ عَلَيْهِ؟ قَالَ: تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ
“Bagaimana menurut Anda tentang seseorang yang beramal kebaikan lalu orang-orang pun memuji kepadanya?” Beliau menjawab: ‘Itulah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin’.”([HR. Muslim no. 2642])
Terkadang ada orang yang beramal dengan ikhlas dan tidak mengharap pujian orang lain, akan tetapi orang-orang mengetahui amalannya dan kemudian memujinya, maka kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam itu adalah kabar gembira yang Allah Subhanahu wa ta’ala segerakan bagi seorang mukmin. Yang terpenting bagi orang yang mendapat pujian tersebut adalah tidak ujub dan bangga diri dengan pujian orang lain.
2. Menampakkan amal shaleh agar dicontoh
Disebutkan dalam sebuah hadits bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menganjurkan para sahabat untuk bersedekah kepada orang Arab Badui, maka tiba-tiba adalah salah seorang sahabat dari kaum Anshar memberikan sedekahnya, akhirnya para sahabat yang lain ikut bersedekah untuk Arab Badui tersebut. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam senang dan memuji sahabat Anshar tersebut secara tidak langsung dengan berkata,
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً، فَلَهُ أَجْرُهَا، وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً، كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang memulai mengerjakan perbuatan baik dalam Islam, maka dia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang mencontoh perbuatan itu, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun. Dan barangsiapa yang memulai kebiasaan buruk, maka dia akan mendapatkan dosanya, dan dosa orang yang mengikutinya dengan tanpa mengurangi dosa mereka sedikit pun.”([HR. Muslim)
Oleh karena itu, memperlihatkan amalan agar orang lain mencontoh amalan tersebut bukan termasuk riya’. Akan tetapi perlu untuk diingatkan bahwa riya’ dan memperlihatkan untuk dicontoh sangat beda tipis, sehingga rawan sekali orang terjatuh untuk kedalam riya’.
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Al-Wabilush Shayyib menyebutkan bahwa orang yang telah beramal saleh dan menyembunyikan amal saleh tersebut maka dia akan mendapat pahala yang sangat besar, karena kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ خَبِيءٌ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal saleh yang tersembunyi maka lakukanlah.”([Silsilah Hadits Ash-Shahihah no. 2313])
3. Seseorang terpacu beramal saleh karena melihat orang lain atau ada suasana baru.
Contoh dalam hal ini adalah seseorang yang tidak terbiasa shalat malam di rumahnya, akan tetapi kemudian keluarga atau teman-temannya yang menginap di rumahnya dan melakukan shalat malam, akhirnya dia pun terpaku untuk ikut shalat malam. Apakah yang seperti ini adalah riya’? Wallahu a’lam bishshawwab, sungguh orang yang mengalaminya lebih mengetahui hatinya.
Jika sekiranya dia berniat pamer kepada teman-temannya bahwa dia juga shalat malam meskipun itu bukan kebiasaannya, maka itu adalah riya’. Akan tetapi jika dia ikut shalat malam karena terpaku melihat teman-temannya yang shalat malam dan tidak ada unsur pamer di dalamnya, maka itu bukan
riya’, dan hal itu tidaklah mengapa.
7. Cara menghindarkan diri dari riya’
Cara-cara untuk menghindarkan diri dari riya’ antara lain:
Terdapat dua doa dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bisa kita panjatkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala agar kita bisa terhindar dari sifat riya’. Doa yang pertama,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan (syirik) yang menyekutukan-Mu sedangkan aku mengetahuinya, dan aku memohon ampun kepada-Mu dari apa-apa (kesyirikan) yang tidak aku ketahui.” ([HR. Bukhari no. 716 dalam Adabul Mufrad])
Doa yang kedua,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْفَقْرِ وَالْكُفْرِ، وَالْفُسُوقِ، وَالشِّقَاقِ، وَالنِّفَاقِ وَالسُّمْعَةِ، وَالرِّيَاءِ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kefakiran, kekufuran, kefasikan, kedurhakaan, kemunafikan, sum’ah, dan riya’.”([HR. Al-Hakim no. 1994 dalam Al-Mustadrak])
Oleh karena itu, yang terpenting adalah kita meminta perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dari riya’.
2. Melatih diri untuk menyembunyikan amalan
Melatih diri untuk bisa menyembunyikan amal saleh adalah di antara cara untuk menghindarkan diri dari sifat riya’. Dan sebagaimana kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَكُونَ لَهُ خَبِيءٌ مِنْ عَمَلٍ صَالِحٍ فَلْيَفْعَلْ
“Barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk memiliki amal saleh yang tersembunyi maka lakukanlah.”([Silsilah Hadits Ash-Shahihah no. 2313])
Seseorang harus melatih dirinya untuk memiliki amalan yang tersembunyi, baik itu baktinya kepada orang tuanya, atau kebaikannya terhadap istri dan anak-anaknya, atau bentuk amalan lainnya. Abu Hazim berkata,
اكْتُمْ حَسنَاتِكَ كَمَا تَكتُمُ سَيِّئَاتِكَ
“Sembunyikan amal kebaikanmu sebagaimana engkau menyembunyikan amal keburukanmu.”([Siyar A’lam An-Nubala’ 6/100 Tahqiq Syu’aib Al-Arnauth])
3. Merenungkan tentang nasib orang yang riya’ di dunia dan di akhirat
Orang yang riya’ di dunia akan merasakan kesengsaraan. Mereka akhirnya menggantungkan kebahagiaannya kepada jumlah orang yang mengakui dan memuji amalannya. Semakin banyak orang yang mengetahui dan memuji amalannya, maka dia akan merasa semakin bahagia, akan tetapi jika ternyata tidak ada yang mengakui dan memuji amalnya maka dia akan merasa sengsara dan gelisah.
Selain itu, Nasib orang yang riya’ di akhirat adalah dibongkar aibnya dan dihinakan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala pada hari kiamat. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
يَوْمَ تُبْلَى السَّرَائِرُ
“Pada hari ditampakkan segala rahasia.” (QS. Ath-Thariq : 9)
Dan kata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ
“Barangsiapa yang memperdengarkan (amalannya di dunia), Allah akan memperdengarkan tentangnya (keburukannya), dan barangsiapa yang memperlihatkan, Allah akan memperlihatkan tentang dia.”([HR. Bukhari no. 6499])
4. Merenungkan hakikat orang yang dia harapkan pujiannya
Jika sekiranya kita beramal untuk berharap pujian dari gubernur, bupati, orang kaya, raja atau presiden, maka cobalah renungkan bahwa siapakah hakikah orang-orang tersebut. Ketahuilah bahwa hakikat orang tersebut adalah manusia seperti kita, yang bisa jadi orang-orang yang diharapkan pujiannya tersebut belum tentu lebih mulia daripada kita di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Ketahuilah bahwa pujian manusia satu dunia tidak akan menambah derajat kita di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala sama sekali, dan jika satu dunia mencaci kita namun ternyata kita mulia di sisi Allah, maka celaan tersebut juga tidak akan memberikan pengaruh.
Maka dari itu, renungkanlah bahwa untuk apa kita mengharapkan pujian dari orang tersebut? Sungguh sangat tidak pantas jika kita beribadah hanya untuk mendapatkan pengakuan dan pujian dari orang seperti mereka (manusia).
5. Merenungkan bahwa amal yang bermanfaat hanyalah amal yang ikhlas
Ketika kita kelak telah meninggal dunia, dan dimasukkan ke dalam liang lahad, maka tidak ada yang akan tinggal bersama kita kecuali amal ibadah kita. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
يَتْبَعُ المَيِّتَ ثَلاَثَةٌ، فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى مَعَهُ وَاحِدٌ، يَتْبَعُهُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ، فَيَرْجِعُ أَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ
“Mayat diiringi tiga perkara, dua perkara akan kembali dan yang satu terus menyertainya. Ia diiringi oleh keluarganya, hartanya dan amalnya, maka harta dan keluarganya akan kembali, sedang amalnya akan terus tetap bersamanya.”([HR. Bukhari no. 6514 dan HR. Muslim no. 2960])
Amal saleh adalah perkara yang akan tetap menyertai kita hingga kita masuk ke alam barzakh. Maka renungkanlah, bahwa dari setiap amal saleh yang pernah kita lakukan, yang akan memberikan manfaat bagi diri kita hanyalah amal saleh yang ikhlas, adapun amalan yang tidak ikhlas maka tidak bermanfaat sama sekali bagi diri kita.
*****
Dalil 1: Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُوا لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلاً صَالِحاً وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَداً
“Katakanlah (Muhammad), ‘Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang telah menerima wahyu, bahwa sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa’. Maka barangsiapa mengharap pertemuan dengan Tuhannya maka hendaklah dia mengerjakan kebajikan dan janganlah dia mempersekutukan dengan sesuatu pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi : 110)
Sisi pendalilan dari ayat ini:
- Ayat ini dibuka dengan firman Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam agar beliau menjelaskan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa.
- Bahwasanya sembahan manusia adalah Yang Maha Esa dan hanya Dia yang berhak disembah. Ini merupakan isyarat bahwasanya segala ibadah hanya boleh diperuntukkan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. maka seseorang tidak boleh beribadah untuk mencari pujian manusia.
- Bahwasanya barangsiapa yang ingin bertemu dengan Allah Subhanahu wa ta’ala maka hendaknya dia beramal saleh. Apa yang dimaksud dengan amal saleh? Yaitu amalan yang secara dzahir dan batinnya saleh. Maka syarat amalan-amalan Shalih adalah ikhlas dan muttaba'ah.
- Bahwasanya tidak boleh seseorang berbuat syirik apa pun dalam beribadah kepada Allah.
Oleh karena itu, dari sini kita pahami bahwa ayat ini mengandung keumuman dari dua sisi:
- Sisi pertama adalah dilarang berbuat syirik baik besar maupun kecil, dan yang di antaranya syirik kecil adalah riya’;
- Sisi kedua adalah tidak boleh menyekutukan Allah Subhanahu wa ta’ala dengan siapa pun dalam peribadahan. Maka dari dua keumuman inilah yang menunjukkan dilarangnya seseorang untuk berbuat riya’.
•┈┈┈┈┈┈•❀❁✿❁❀•┈┈┈┈┈•
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, aku meminta pada-Mu agar dilindungi dari perbuatan syirik yang kuketahui dan aku memohon ampun pada-Mu dari dosa syirik yang tidak kuketahui”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم