Ulama adalah Pewaris Para Nabi

“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kalian beberapa derajat, dan Dialah yang Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah:11)
Biografi Ulama Fatwa-fatwa Ulama Ulama Ahlul Hadits

Oleh : Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz

Saya telah menelaah apa yang disebarkan oleh Fadhilah Al-Akh Syaikh Ahmad bin Muhammad Jamal –semoga Allah menujukannya kepada yang diridhai-Nya. Yaitu yang dimuat di sebagian Koran lokal, tentang penilaiannya yang menganggap aneh pelarangan takbir jama’i di masjid-masjid sebelum shalat Ied, dengan anggapan bahwa amalan ini merupakan bid’ah yang wajib dilarang. Syaikh Ahmad dalam makalahnya tersebut berusaha untuk memberikan dalil, bahwa takbir jama’i bukan bid’ah dan tidak boleh dilarang. Dan pandangannya ini di dukung oleh sebagian penulis lain.

allohuakbarKarena khawatir persoalan ini menjadi kabur bagi orang yang tidak mengetahui hakikat masalahnya, maka saya ingin menjelaskannya. Bahwasanya hukum asal takbir pada malam Ied, sebelum shalat Iedul Fithri, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan pada hari-hari tasyriq merupakan amalan yang di syariatkan pada waktu-waktu yang utama ini. Pada amalan tersebut terdapat keutamaan yang banyak, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang takbir Iedul Fithri.

“Artinya : Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangan dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjukNya yang diberikan kepadamu dan agar kamu bersyukur” [Al-Baqarah : 185]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala tentang sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah dan pada hari-hari tasyriq.

“Artinya : Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka, dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang dimaklumkan (ditentukan) atas rizki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak” [Al-Hajj : 28]
Dan firman Allah Azza wa Jalla.

“Artinya : Dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang ma’dudat (yang berbilang)” [Al-Baqarah: 203]

Diantara dzikir yang masyru pada hari-hari yang ma’lumat (ditentukan) dan hari-hari yang ma’dudat (yang berbilang) ini ialah takbir muthlaq dan takbir muqayyad, sesuai yang ada dalam sunnah muthahharah dan pengamalan salaf.

Dan sifat takbir yang masyru, ialah setiap muslim bertakbir dan mengeraskan suaranya sehingga orang-orang mendengarkan takbirnya, lalu merekapun mencontohnya dan ia mengingatkan mereka dengan takbir.

Adapun takbir jama’i yang mubtada’ (yang bid’ah), ialah adanya sekelompok jama’ah –dua orang atau lebih banyak- mengangkat suara semuanya. Mereka memulai bersama-sama dan berakhir bersama-sama dengan satu suara serta dengan cara khusus.

Amalan ini tidak mempunyai dasar serta tidak ada dalilnya. Hal seperti itu merupakan bid’ah dalam cara bertakbir. Allah tidak menurunkan dalil keterangan untuknya. Maka, barangsiapa yang mengingkari cara takbir yang seperti ini, berarti dia berpihak kepada yang haq, karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka amalan itu ditolak”.

Maksudnya : Tertolak dan tidak masyru

Dan karena sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Waspadalah terhadap segala urusan yang diada-adakan, karena semua yang diada-adakan adalah bid’ah dan semua bid’ah sesat”.

Dan takbir jama’i diada-adakan, maka amalan ini bid’ah. Amalan manusia jika menyalahi syari’at, maka wajib diingkari. Karena ibadah bersifat tauqifiyyah. Yaitu ibadah itu tidak disyariatkan, kecuali yang tercakup dalam dalil Al-Kitab dan As-Sunnah. Adapun perkataan dan pendapat manusia, maka tidak ada nilai hujjahnya jika menyalahi dalil-dalil syar’i. Begitu juga al-mashlahah al-mursalah, ibadah tidak bisa ada dengan berpatokan padanya. Karena ibadah hanya ditetapkan dengan nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah serta ijma’ yang qath’i.

Yang disyariatkan ialah setiap muslin bertakbir sesuai dengan cara yang masyru, yang sah berdasarkan dalil-dalil syar’i. Yaitu dengan cara sendiri-sendiri (masing-masing).

Takbir jama’i telah diingkari. Syaikh Muhammad bin Ibrahim, Mufti Saudi rahimahullah telah melarang takbir jama’i. Beliau telah mengeluarkan fatwa larangan ini. Dan telah keluar dari saya sendiri lebih dari satu fatwa larangan takbir jama’i. Dan telah keluar fatwa larangan takbir jama’i dari Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa.

Syaikh Hammud bin Abdillah At-Tuwaijiri rahimahullah telah menyusun risalah yang sangat bagus tentang pengingkaran takbir jama’i dan pelarangannya risalah ini sudah dicetak dan tersebar. Dalam risalah itu terdapat dalil-dalil pelarangan takbir jama’i yang memadai serta memuaskan, Alhamdulillah

Adapun yang dijadikan hujjah oleh Syaikh Ahmad, yaitu perbuatan Umar Radhiyallahu ‘anhu dan orang-orang di Mina, maka tidak ada hujjah-nya. Karena amalan Umar Radhiyallahu ‘anhu dan amalan orang-orang di Mina bukan termasuk takbir jama’i, tetapi itu merupakan takbir yang masyru’. Yaitu karena Umar Radhiyallahu ‘anhu mengeraskan suaranya dengan takbir untuk mengamalkan sunah, dan untuk mengingatkan orang-orang terhadap sunnah ini, sehingga merekapun ikut bertakbir. Setiap orang bertakbir menurut keadaannya, dan tidak ada kebersamaan antara mereka dengan Umar Radhiyallahu ‘anhu untuk mengeraskan suara takbir dengan satu suara dari awal sampai akhir takbir seperti halnya cara orang-orang yang melakukan takbir jama’i pada zaman sekarang ini. Begitulah semua cara takbir yang diriwayatkan dari As-Salaf Ash-Shalih rahimahullah dalam semua takbir, seperti cara yang disyari’atkan. Barangsiapa yang mempunyai anggapan yang menyalahi cara tadi, maka ia wajib mendatangkan dalil.

Seperti itu juga hukum nida (panggilan/himbauan) untuk shalat Ied, shalat tarawih, qiyamullail atau witir. Semuanya bid’ah dan tidak ada asal (dalil)nya.

Dan telah sah dalam hadits-hadits shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau shalat Ied tanpa ada adzan dan tanpa iqamat. Sepengetahuan kami tidak ada ahlul ilmi yang mengatakan adanya nida (panggilan/himbauan) tertentu, sehingga ia wajib menunjukkan dalil. Dan hukum asalnya adalah “tidak ada”. Maka, seseorang tidak boleh mensyariatkan suatu ibadah berupa perkataan atau perbuatan, kecuali dengan dalil dari Kitab Al-Aziz atau dari As-Sunnah yang shahih, atau ijma ahlul ilmi –seperti yang sudah disebutkan. Karena umumnya dalil-dalil syar’i melarang bid’ah-bid’ah, serta memerintahkan untuk mewaspadainya. Diantaranya firman Allah.

“Artinya : Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dien yang tidak diizinkan oleh Allah?” [As-Syura : 21]

Termasuk diantara dalil-dalil ini ialah kedua hadits yang disebutkan tadi, termasuk sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Artinya : Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak berlandaskan perintah kami, maka amalan itu ditolak”.

Dan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam khutbah Jum’at.

“Artinya : Amma ba’du. Maka sesungguhnya sebaik-baik hadits adalah kitab Allah. Sebaik-baik ajaran adalah ajaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya sejahat-jahat urusan ialah yang diada-adakan, dan setiap bid’ah adalah sest”

Hadits-hadits serta atsar-atsar yang semakna dengan ini banyak.

Kepada Allah semata (kita) memohon, agar Dia menunjukkan kepada kami dan Syaikh Ahmad serta semua ikhwan kita untuk memahami dienNya. Serta tetap berpegang padanya. Dan semoga Dia mejadikan kita semua termasuk ke dalam golongan du’at yang menyerukan ajaran Allah dan membela kebenaran. Dan supaya Dia melindungi kita serta semua kaum muslimin dari segala sesuatu yang menyalahi syariatNya. Sesungguhnya Dia Maha Baik, lagi Maha Mulia.